Jumat, 31 Desember 2010
06:43
“Ada seorang perempuan tua, pedagang pecel keliling. Di tengah dia menjajakan dagangannya dia kebelet buang hajat. Saking tak tahannya, dia membuang hajat sembarangan dan memilih tempat di bawah papan pengumuman bertuliskan “DILARANG BUANG AIR BESAR DI SINI”. Dia langsung ditegur oleh petugas yang melihatnya, “NEK APA NENEK GAK BISA BACA?”, “BISA”, jawab nenek itu. “COBA!”, cecar petugas. Lalu si nenek membaca dengan sangat fasih pengumuman itu. “KENAPA NENEK MASIH BUANG AIR BESAR DI SINI”, tanya petugas. “SAYA TIDAK MEMBUANG AIR SINI, APALAGI SAMPAI SATU EMBER, SAYA CUMA MAU BUANG HAJAT”, nenek membantah. Petugas langsung mengerti apa yang sedang terjadi dan tersenyum sambil menjelaskan maksud pengumuman tersebut, “NEK, YANG DIMAKSUD DENGAN “BUANG AIR BESAR ITU ADALAH BERAK, ATAU BUANG HAJAT, JADI NENEK JANGAN BERAK DI SINI.”
“Begitu perumpamaan orang yang tidak memahami al-qur’an”, hal ini sampaikan oleh Ketua MUI (Majlis Ulama Indonesia) Kota Cilegon, dalam acara Gema Muharram keliling di Mesjid Husnul Huda Link. Karangtengah, Desa Pabean, Kec. Purwakarta Kota Cilegon, malam Jum’at, 30/12.
Dalam acara ini MUI Kota Cilegon memberikan 2 buah al-Qur’an Al-Bantani yang sudah di revisi, karena sebelum mengalami sedikit kesalahan. Selain penyerahan al-Qur’an Al-Bantani juga diserahkan Kalender Hijriyah. Keduanya, dikatakan oleh MUI Kota Cilegon, amat dari Ibu Gubernur Banten, Atut Chosiyah.
Menurut Udi, kalender hijriyah hampir tidak dikenal oleh umat Islam sendiri, terutama generasi muda. Diterbitkannya kalender hijriyah ini adalah sebagai usaha sosialisasi tahun hijriyah kepada masyarakat yang cendrung lebih mengenal tahun masehi. Hal ini, selain disebabkan oleh nasionalisasi tahun masehi , juga disebabkan kesadaran umat Islam yang pudar. “saya himbau kepada para pemuda, jangan merayakan tahun baru dengan berlebihan, apalagi sampai pesta-pesta di pantai, ugal-ugalan dsb.”, pungkasnya.
“Selain amanat mushaf Al-Bantani dan kelendar hijriyah beliau (gubernur Banten -red) juga menghimbau agar masyarakat mengutamakan kebersamaan, kekompakan agar tercipta masyarakat yang kuat”, kata Udi.[ayatbanten].
Jumat, 31 Desember 2010
Kamis, 30 Desember 2010
Kiai Qomarudin Menghancurkan “Gegubugan” Yang Dibuat Penggali Kubur
By: Ayatulloh Marsai
Supaya tidak salah paham, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah gegubugan. Kata dasarnya adalah “gubug”, yang punya arti rumah atau pondok atau yang mirip dengannya. Sementara “ge” dan “an” adalah kata imbuhan awalan dan akhiran untuk menunjukan bahwa rumah atau mirip dengannya itu adalah rumah mainan. Atau dalam istilah sekarang, miniature, tapi dalam bentuk yang sederhana.
Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas gambaran tentang adat membuat “gegubugan” bagi penggali kubur yang punya istri sedang hamil, bisa dipahami dengan benar.
Kebiasaan ini adalah warisan nenek moyang kita, orang Banten, khususnya kampung Karangtengah, Cilegon. Dan, tetap berlangsung sampai Islam menjadi agama kita. Fenomena ini umum terjadi pada tradisi-tradisi yang lain di pulau Jawa.
Membuat gegubugan dilakukan khusus oleh orang yang istrinya sedang hamil. Gubug ini dibangun di sisi-sisi dekat kuburan, setiap orang yang istrinya sedang hamil membuat satu gubug. Posisinya berjejer satu sama lainnya. “Ritual” ini dipercaya bisa menyelamatkan cabang bayi yang ada dalam kandungan dari malapetaka cacat atau kelainan.
Karena unsur niat melakukan ritual itu berisi kemusyrikan, menyandarkan maslahat dan midarat kepada selain Allah, maka gubug-gubug itu dihancurkan oleh Kiai Qomar. Tentu saja sembari memberi penjelasan kepada umat, dimana letak kemusyrikan membuat gegubugan tersebut.
Banyak lagi praktek kemusyrikan yang dihancurkan oleh Kiai Qomar di Kampung Karangtengah dan sekitarnya. Misalnya, mengarak seekor kucing untuk meminta hujan; memasang Sapu Lidi terbalik, untuk menangkal hujan; menyajikan makanan untuk orang yang sudah meninggal pada malam Jum’at; dan kemusyrikan-kemusyrikan yang lain.
Kiai Qomarudin adalah tokoh Islamisasi di Cilegon bagian utara. Murid-muridnya tersebar di Banten, Lampung, Palembang, dan Jakarta. Mereka memegang peranan penting dalam bidang pendidikan, sosial-kemasyarakatan dan pemerintahan di tempatnya masing-masing.
[Dari Penuturan Purta Kiai Qomarudin, KH. Hasbullah Qomar]
Cilegon
Jumat, 24 Desember 2010/12:32
Supaya tidak salah paham, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah gegubugan. Kata dasarnya adalah “gubug”, yang punya arti rumah atau pondok atau yang mirip dengannya. Sementara “ge” dan “an” adalah kata imbuhan awalan dan akhiran untuk menunjukan bahwa rumah atau mirip dengannya itu adalah rumah mainan. Atau dalam istilah sekarang, miniature, tapi dalam bentuk yang sederhana.
Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas gambaran tentang adat membuat “gegubugan” bagi penggali kubur yang punya istri sedang hamil, bisa dipahami dengan benar.
Kebiasaan ini adalah warisan nenek moyang kita, orang Banten, khususnya kampung Karangtengah, Cilegon. Dan, tetap berlangsung sampai Islam menjadi agama kita. Fenomena ini umum terjadi pada tradisi-tradisi yang lain di pulau Jawa.
Membuat gegubugan dilakukan khusus oleh orang yang istrinya sedang hamil. Gubug ini dibangun di sisi-sisi dekat kuburan, setiap orang yang istrinya sedang hamil membuat satu gubug. Posisinya berjejer satu sama lainnya. “Ritual” ini dipercaya bisa menyelamatkan cabang bayi yang ada dalam kandungan dari malapetaka cacat atau kelainan.
Karena unsur niat melakukan ritual itu berisi kemusyrikan, menyandarkan maslahat dan midarat kepada selain Allah, maka gubug-gubug itu dihancurkan oleh Kiai Qomar. Tentu saja sembari memberi penjelasan kepada umat, dimana letak kemusyrikan membuat gegubugan tersebut.
Banyak lagi praktek kemusyrikan yang dihancurkan oleh Kiai Qomar di Kampung Karangtengah dan sekitarnya. Misalnya, mengarak seekor kucing untuk meminta hujan; memasang Sapu Lidi terbalik, untuk menangkal hujan; menyajikan makanan untuk orang yang sudah meninggal pada malam Jum’at; dan kemusyrikan-kemusyrikan yang lain.
Kiai Qomarudin adalah tokoh Islamisasi di Cilegon bagian utara. Murid-muridnya tersebar di Banten, Lampung, Palembang, dan Jakarta. Mereka memegang peranan penting dalam bidang pendidikan, sosial-kemasyarakatan dan pemerintahan di tempatnya masing-masing.
[Dari Penuturan Purta Kiai Qomarudin, KH. Hasbullah Qomar]
Cilegon
Jumat, 24 Desember 2010/12:32
Rabu, 22 Desember 2010
Meratapi Kehancuran Istana Surosowan
Rabu, 01 Desember 2010
01:21
Oleh Ayatulloh Marsai
Entah ini yang keberapa kali saya datang ke Banten Lama. Apalagi kalau dihitung dari masa kecil. Karena orang-orang di kampong saya, termasuk keluarga saya, hampir menjadikan ziarah ke Banten sebagai agenda tahunan pasca lebaran. Ditambah dengan kalau ada keluarga yang mau menunaikan ibadah haji, pasti ziarah ke Banten dulu. Agenda seperti ini menjadi kebiasaan yang tidak hanya berlaku di kampong saya, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banten pada umumnya.
Jadi, kalau kita bertanya kepada orang Banten secara acak, “sudah pernahkah ke Banten Lama untuk berziarah?”. Mudah ditebak, jawabannya pasti sudah pernah. Kalau ada yang jawab, belum pernah, kebantenannya patut dipertanykan.
Tetapi, dari sekian pengunjung yang datang, khususnya orang Banten sendiri, berapa persen yang mau tahu dengan aspek yang lain selain ziarah. Kita tahu bahwa Banten Lama yang sering kita datangi dulunya adalah Kerajaan Islam Banten. Terus, berapa persen pengunjung yang mau tahu dengan gambaran utuh Kerajaan Islam Banten itu, minimal dari jejak yang bisa kita saksikan. Sedikit.
Peziarah adalah potensi besar. Untuk kepentingan sosialisasi dan penyadaran sejarah cukup signifikan. Sudahkah pemerintah berusaha sampai kearah sana?
Sebab, dari rute tempat yang mereka kunjungi, sedikit sekali yang tertarik untuk datang ke Museum, Kraton Surosowan, Kaibon, Jembatan Rante dan bentengnya Belanda, Speelwizk. Ini sekaligus menunjukan corak kesadaran sejarah di Banten cendrung bercorak mistik atau tarekat.
Ketika saya baru konsentrasi di sejarah Islam, saya duduk seharian di bawah pohon yang terlatak di tengah bongkaran Istana Surosowan. Tidak saya sadari saya menagis ketika membayangkan bagaimana Surosowan dihancurkan oleh Belanda. Saya bertanya dalam hati kenapa Belanda melakukan ini semua? Kenapa hanya Banten, lainnya tidak? Saya pernah ke Cirobon, istanya masih utuh. Di Yogyakarta, Surakarta dan sebagainya.
Tetapi, diam-diam saya bangga terhadap kerjaan Islam Banten dengan kehancurannya. Tersirat makna bahwa pendahulu kita, para sultan, para pejuang yang lain, melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Hal yang mungkin tidak terjadi di daerah-daerah lain yang istananya masih utuh sampai sekarang. Mungkin hasil dari kompromi.
Pertanyaannya, kenapa Belanda menghancurkan Surosowan? Dan kenapa juga Speelwizk hancur? Kenapa di kraton kerajaan Islam lain masih utuh? Ada apa dengan Kerajaan Islam Banten? Saya harus mencari tahu jawabannya.[?]
01:21
Oleh Ayatulloh Marsai
Entah ini yang keberapa kali saya datang ke Banten Lama. Apalagi kalau dihitung dari masa kecil. Karena orang-orang di kampong saya, termasuk keluarga saya, hampir menjadikan ziarah ke Banten sebagai agenda tahunan pasca lebaran. Ditambah dengan kalau ada keluarga yang mau menunaikan ibadah haji, pasti ziarah ke Banten dulu. Agenda seperti ini menjadi kebiasaan yang tidak hanya berlaku di kampong saya, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banten pada umumnya.
Jadi, kalau kita bertanya kepada orang Banten secara acak, “sudah pernahkah ke Banten Lama untuk berziarah?”. Mudah ditebak, jawabannya pasti sudah pernah. Kalau ada yang jawab, belum pernah, kebantenannya patut dipertanykan.
Tetapi, dari sekian pengunjung yang datang, khususnya orang Banten sendiri, berapa persen yang mau tahu dengan aspek yang lain selain ziarah. Kita tahu bahwa Banten Lama yang sering kita datangi dulunya adalah Kerajaan Islam Banten. Terus, berapa persen pengunjung yang mau tahu dengan gambaran utuh Kerajaan Islam Banten itu, minimal dari jejak yang bisa kita saksikan. Sedikit.
Peziarah adalah potensi besar. Untuk kepentingan sosialisasi dan penyadaran sejarah cukup signifikan. Sudahkah pemerintah berusaha sampai kearah sana?
Sebab, dari rute tempat yang mereka kunjungi, sedikit sekali yang tertarik untuk datang ke Museum, Kraton Surosowan, Kaibon, Jembatan Rante dan bentengnya Belanda, Speelwizk. Ini sekaligus menunjukan corak kesadaran sejarah di Banten cendrung bercorak mistik atau tarekat.
Ketika saya baru konsentrasi di sejarah Islam, saya duduk seharian di bawah pohon yang terlatak di tengah bongkaran Istana Surosowan. Tidak saya sadari saya menagis ketika membayangkan bagaimana Surosowan dihancurkan oleh Belanda. Saya bertanya dalam hati kenapa Belanda melakukan ini semua? Kenapa hanya Banten, lainnya tidak? Saya pernah ke Cirobon, istanya masih utuh. Di Yogyakarta, Surakarta dan sebagainya.
Tetapi, diam-diam saya bangga terhadap kerjaan Islam Banten dengan kehancurannya. Tersirat makna bahwa pendahulu kita, para sultan, para pejuang yang lain, melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Hal yang mungkin tidak terjadi di daerah-daerah lain yang istananya masih utuh sampai sekarang. Mungkin hasil dari kompromi.
Pertanyaannya, kenapa Belanda menghancurkan Surosowan? Dan kenapa juga Speelwizk hancur? Kenapa di kraton kerajaan Islam lain masih utuh? Ada apa dengan Kerajaan Islam Banten? Saya harus mencari tahu jawabannya.[?]
Murid Istimewa Saya
06:41
Masih momentum kemarin. Saya menyemangati satu siswa lagi, namanya Umi. Saya lihat dia punya buku harian. Saya selalu mengistimewakan siapa saja yang punya buku harian, kemudian mendorongnya untuk terus menulis rutin setiap hari. Apapun isinya. Mulai dari percintaan, perseteruan, problematika persahabatan dan keluarga, bahkan perenungan jati diri bisa kita temukan dalam buku harian. Dan tidak ketinggalan perkembangan pemikiran. Proses pemebentukan jati diri [pencarian] akan bisa lihat dan ikuti dengan mendetail. Ini sejarah.
Guru saya bilang, Amaludin Muslim, dalam satu kesempatan di status FB-nya: Sejarah adalah apa yang dituliskan, bukan apa yang terjadi. Artinya, seberapa banyak peristiwa dalam hidup ini, pribadi maupun sosial, terencana ataupun tidak, tidak akan bisa diketahui secara benar, tanpa dituliskan. Jadi dengan alasan sederhana ini saya selalu memandang mereka istimewa, dan masih banyak alasan yang lain. Antaranya, saya tidak bisa melakukan ‘tradisi nulis’ ini sejak dini. Saya mendendam dengan kondisi ini, makanya mereka harus memulainya dari sekarang: sedini mungkin. []
Masih momentum kemarin. Saya menyemangati satu siswa lagi, namanya Umi. Saya lihat dia punya buku harian. Saya selalu mengistimewakan siapa saja yang punya buku harian, kemudian mendorongnya untuk terus menulis rutin setiap hari. Apapun isinya. Mulai dari percintaan, perseteruan, problematika persahabatan dan keluarga, bahkan perenungan jati diri bisa kita temukan dalam buku harian. Dan tidak ketinggalan perkembangan pemikiran. Proses pemebentukan jati diri [pencarian] akan bisa lihat dan ikuti dengan mendetail. Ini sejarah.
Guru saya bilang, Amaludin Muslim, dalam satu kesempatan di status FB-nya: Sejarah adalah apa yang dituliskan, bukan apa yang terjadi. Artinya, seberapa banyak peristiwa dalam hidup ini, pribadi maupun sosial, terencana ataupun tidak, tidak akan bisa diketahui secara benar, tanpa dituliskan. Jadi dengan alasan sederhana ini saya selalu memandang mereka istimewa, dan masih banyak alasan yang lain. Antaranya, saya tidak bisa melakukan ‘tradisi nulis’ ini sejak dini. Saya mendendam dengan kondisi ini, makanya mereka harus memulainya dari sekarang: sedini mungkin. []
Sang Pencerah itu Jiwa Zaman, di Kampung Saya Ada
Oleh Ayatulloh Marsai
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli. “Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel. “Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan. [bisa dilihat di cover belakang “Sang Pencerah”]
Paragraph di atas adalah penggalan cerita dari novel “Sang Pencerah”, karya Akmal Nasery Basral. Isinya jelas, mendobrak pemahaman awam tentang alat2 yang diproduksi barat [kafir] yang dianggap ‘haram’. Ahmad Dahlan justru memakai alat music Biola, bikinan Eropa. Tindakan ini jelas sebagai jawaban bahwa tidak haram hukumnya memakai produksi-produksi orang kafir, selagi itu bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
Hal Biola, urusannya bukan hanya alat, tetapi ini juga berkaitan dengan music yang juga menjadi masalah hilafiyah dalam ajaran fiqih. Jadi, tindakan Ahmad Dahlan sekaligus menjawab dua masalah sekaligus: masalah alat-alat yang diproduksi kafir dan musik. Dua-duanya diperbolehkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. *
Saya jadi ingat cerita Kiai saya, KH. Hasbullah Qomar, bahwa ayahnya, Kiai Qomaruddin juga mengalamai hal yang sama secara umum. Tapi, kali ini alatnya adalah spiker [alat pengeras suara]. Konon, dulu dilingkungan saya [Kecamatan Purwakarta sekarang], ada perbedaan pendapat tentang pemakaian pengeras suara ini: ada kiai yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiai yang melarang beralasan sama dengan kasus Ahmad Dahlan di atas, spiker adalah alat yang diproduksi oleh orang kafir, jadi hukumnya haram. Dalilnya, antara lain, ‘tidak ada dalam tuntunan Rasulullah’. Satu lagi, pengeras suara juga biasa digunakan untuk hal yang maksiat, daripada maslahat.
Sementara kiai yang membolehkan, Kiai Qomarudin, beralasan bahwa pengeras suara jelas sangat bermanfaat untuk menyambung suara supaya suara dakwah [urusan ibadah] bisa didengar oleh banyak orang secara efektif.
Perdebatan tidak bisa dielakkan, masing-masing teguh dengan pendapatnya, masing-masing punya pengikut, hingga masyarakat pun terpecah dalam sekte-sekte. Walaupun di masyarakat adanya sekte itu tidak terlalu tegas adanya.
Alhamdulillah, kiai yang tidak sepakat dengan spiker tadi kuasa melaksanakan rukun Islam ke-5, haji. Di sana rupanya dia mengalami hal yang selama ini di kampungnya dia tentang. Di Mekah, spiker dipakai untuk segala aktifitas haji, mulai azan, solat, hutbah, hingga pengumuman-pengumuman. Kiai itu tersentak kaget, dan tersadar bahwa memang spiker sangat bermanfaat untuk fasilitas ibadah kepada Allah swt. **
Dari dua kasus diatas, di dua daerah yang berbeda, terdapat persamaan fenomena yang orang menyebutnya ‘semangat pembaharuan’. Jiwa zaman yang sama, antara Yogyakarta dengan Banten, “jiwa pembaharuan” Islam, yang mengalir dari Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, baik langsung maupun tidak langsung. Tetapi jelas, wasilah-nya ibadah haji. Karena dulu, ibadah haji tidak sekedar haji, tetapi dibarengi dengan menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar seluruh penjuru dunia, rata-rata sampai 5 tahun. Dari sinilah perubahan pemahaman agama serta gerakan sosial di Nusantara bermula. Perubahan dan Gerakan itu sampai juga di kampung saya, lewat tangan Kiai Qomarudin. Wallahu ‘alam. []
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli. “Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel. “Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan. [bisa dilihat di cover belakang “Sang Pencerah”]
Paragraph di atas adalah penggalan cerita dari novel “Sang Pencerah”, karya Akmal Nasery Basral. Isinya jelas, mendobrak pemahaman awam tentang alat2 yang diproduksi barat [kafir] yang dianggap ‘haram’. Ahmad Dahlan justru memakai alat music Biola, bikinan Eropa. Tindakan ini jelas sebagai jawaban bahwa tidak haram hukumnya memakai produksi-produksi orang kafir, selagi itu bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
Hal Biola, urusannya bukan hanya alat, tetapi ini juga berkaitan dengan music yang juga menjadi masalah hilafiyah dalam ajaran fiqih. Jadi, tindakan Ahmad Dahlan sekaligus menjawab dua masalah sekaligus: masalah alat-alat yang diproduksi kafir dan musik. Dua-duanya diperbolehkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. *
Saya jadi ingat cerita Kiai saya, KH. Hasbullah Qomar, bahwa ayahnya, Kiai Qomaruddin juga mengalamai hal yang sama secara umum. Tapi, kali ini alatnya adalah spiker [alat pengeras suara]. Konon, dulu dilingkungan saya [Kecamatan Purwakarta sekarang], ada perbedaan pendapat tentang pemakaian pengeras suara ini: ada kiai yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiai yang melarang beralasan sama dengan kasus Ahmad Dahlan di atas, spiker adalah alat yang diproduksi oleh orang kafir, jadi hukumnya haram. Dalilnya, antara lain, ‘tidak ada dalam tuntunan Rasulullah’. Satu lagi, pengeras suara juga biasa digunakan untuk hal yang maksiat, daripada maslahat.
Sementara kiai yang membolehkan, Kiai Qomarudin, beralasan bahwa pengeras suara jelas sangat bermanfaat untuk menyambung suara supaya suara dakwah [urusan ibadah] bisa didengar oleh banyak orang secara efektif.
Perdebatan tidak bisa dielakkan, masing-masing teguh dengan pendapatnya, masing-masing punya pengikut, hingga masyarakat pun terpecah dalam sekte-sekte. Walaupun di masyarakat adanya sekte itu tidak terlalu tegas adanya.
Alhamdulillah, kiai yang tidak sepakat dengan spiker tadi kuasa melaksanakan rukun Islam ke-5, haji. Di sana rupanya dia mengalami hal yang selama ini di kampungnya dia tentang. Di Mekah, spiker dipakai untuk segala aktifitas haji, mulai azan, solat, hutbah, hingga pengumuman-pengumuman. Kiai itu tersentak kaget, dan tersadar bahwa memang spiker sangat bermanfaat untuk fasilitas ibadah kepada Allah swt. **
Dari dua kasus diatas, di dua daerah yang berbeda, terdapat persamaan fenomena yang orang menyebutnya ‘semangat pembaharuan’. Jiwa zaman yang sama, antara Yogyakarta dengan Banten, “jiwa pembaharuan” Islam, yang mengalir dari Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, baik langsung maupun tidak langsung. Tetapi jelas, wasilah-nya ibadah haji. Karena dulu, ibadah haji tidak sekedar haji, tetapi dibarengi dengan menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar seluruh penjuru dunia, rata-rata sampai 5 tahun. Dari sinilah perubahan pemahaman agama serta gerakan sosial di Nusantara bermula. Perubahan dan Gerakan itu sampai juga di kampung saya, lewat tangan Kiai Qomarudin. Wallahu ‘alam. []
Selasa, 14 Desember 2010
Berhaji, Harus Mabrur
Sabtu, 11 Desember 2010
Oleh Ayatulloh Marsai
Berkesempatan pergi haji memang harus disyukuri. Sebab, setelah saya membaca “Sang Pencerah”, ternyata pergi haji, dari dulu sampai sekarang adalah satu pekerjaan yang sulit. Tidak hanya butuh kemampuan individu dalam masalah finansial, tapi juga berkaitan dengan administrasi. Dulu, berangkat haji dipersulit oleh kolonial Belanda. Sekarang, sulit karena tidak serta merta dengan adanya uang, calon jama’ah bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan saja, pada jaman penjajah Belanda, orang yang pergi haji harus tercatat dalam catatan penjajah Belanda, berangkat dengan memakai kereta dengan gerbong khusus no.2, dan nanti pulang-pulang harus mengikuti tes kelulusan ibadah haji oleh pemerintah. Yang terakhir ini lucu, keabsahan haji seseorang ditentukan oleh kolonial Belanda. Yang lulus tes berhak memakai atribut pakaian haji, sebaliknya yang tidak lulus dilarang memakai atribut haji dalam bentuk apapun.
Penerapan sistem tersebut di atas menimbulkan beberapa kesan. Antara lain klasifikasi sosial, dan identifikasi (sensus) para haji Indonesia, agar semua haji Indonesia tercatat dalam buku kolonial Belanda. Apa tujuan Belanda melakukan ini?
Agar para haji tercatat dalam “kamus haji Indonesia” tahunan, kemudian mengawasi gerak-gerik para haji yang biasanya bikin ulah (memberontak) terhadap pemerintahan penjajah. Anggapan ini kemudian dikuatkan oleh Snouck Horgronje dalam penelitiannya di Mekkah. Dan, akhirnya ibadah haji adalah ibadah yang dilarang oleh protestan Belanda. Tidak hanya itu, akhirnya semua kegiatan agama Islam diawasi, sampai-sampai menerjemahkan al-qur’an juga dilarang. Karena, Belanda sadar betul bahwa ketika Islam dimengerti oleh penganutnya maka akan melahirkan perlawanan keras terhadap usaha penjajahan mereka.
Jadi, sekarang yang berhaji harus bersyukur dengan cara mabrur. Karena kesempatan berhaji, baik dulu maupun sekarang tidak mudah. Cara bersyukur paling bijak adalah dengan cara “memabrurkan” hajinya. Kenapa “memabrurkan”, bukan “mabrur” saja? Ya, “kemabruran” seorang haji tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diupayakan oleh yang bersangkutan. Ada tidak kemauan untuk “merubah” dirinya lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada, berarti dia harus terus berupaya (pasca haji sampai mati) untuk menyempurnakan pengamalan ibadahnya, baik berkaitan dengan Allah SWT. maupun berkenaan dengan manusia serta mahkluk lainnya. Butuh konsistensi untuk meraih tingkatan haji mabrur ini. Sebab, mabrur bukan harga mati yang bisa diraih berbarengan dengan selesainya ibadah haji. Bukan! Melainkan proses yang terus-menerus “menjadi”, sampai mati.
Biasanya, perubahan orang yang baru pergi haji ini sangat signifikan. Dalam segala hal, mereka berubah. Terutama cara dan dialek bahasanya. [wallahu ‘alam]
Oleh Ayatulloh Marsai
Berkesempatan pergi haji memang harus disyukuri. Sebab, setelah saya membaca “Sang Pencerah”, ternyata pergi haji, dari dulu sampai sekarang adalah satu pekerjaan yang sulit. Tidak hanya butuh kemampuan individu dalam masalah finansial, tapi juga berkaitan dengan administrasi. Dulu, berangkat haji dipersulit oleh kolonial Belanda. Sekarang, sulit karena tidak serta merta dengan adanya uang, calon jama’ah bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan saja, pada jaman penjajah Belanda, orang yang pergi haji harus tercatat dalam catatan penjajah Belanda, berangkat dengan memakai kereta dengan gerbong khusus no.2, dan nanti pulang-pulang harus mengikuti tes kelulusan ibadah haji oleh pemerintah. Yang terakhir ini lucu, keabsahan haji seseorang ditentukan oleh kolonial Belanda. Yang lulus tes berhak memakai atribut pakaian haji, sebaliknya yang tidak lulus dilarang memakai atribut haji dalam bentuk apapun.
Penerapan sistem tersebut di atas menimbulkan beberapa kesan. Antara lain klasifikasi sosial, dan identifikasi (sensus) para haji Indonesia, agar semua haji Indonesia tercatat dalam buku kolonial Belanda. Apa tujuan Belanda melakukan ini?
Agar para haji tercatat dalam “kamus haji Indonesia” tahunan, kemudian mengawasi gerak-gerik para haji yang biasanya bikin ulah (memberontak) terhadap pemerintahan penjajah. Anggapan ini kemudian dikuatkan oleh Snouck Horgronje dalam penelitiannya di Mekkah. Dan, akhirnya ibadah haji adalah ibadah yang dilarang oleh protestan Belanda. Tidak hanya itu, akhirnya semua kegiatan agama Islam diawasi, sampai-sampai menerjemahkan al-qur’an juga dilarang. Karena, Belanda sadar betul bahwa ketika Islam dimengerti oleh penganutnya maka akan melahirkan perlawanan keras terhadap usaha penjajahan mereka.
Jadi, sekarang yang berhaji harus bersyukur dengan cara mabrur. Karena kesempatan berhaji, baik dulu maupun sekarang tidak mudah. Cara bersyukur paling bijak adalah dengan cara “memabrurkan” hajinya. Kenapa “memabrurkan”, bukan “mabrur” saja? Ya, “kemabruran” seorang haji tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diupayakan oleh yang bersangkutan. Ada tidak kemauan untuk “merubah” dirinya lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada, berarti dia harus terus berupaya (pasca haji sampai mati) untuk menyempurnakan pengamalan ibadahnya, baik berkaitan dengan Allah SWT. maupun berkenaan dengan manusia serta mahkluk lainnya. Butuh konsistensi untuk meraih tingkatan haji mabrur ini. Sebab, mabrur bukan harga mati yang bisa diraih berbarengan dengan selesainya ibadah haji. Bukan! Melainkan proses yang terus-menerus “menjadi”, sampai mati.
Biasanya, perubahan orang yang baru pergi haji ini sangat signifikan. Dalam segala hal, mereka berubah. Terutama cara dan dialek bahasanya. [wallahu ‘alam]
Sabtu, 11 Desember 2010
AMNESIA SEJARAH*
Oleh Ayatulloh Marsai
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”. (Bung Karno).
Kata-kata bijak di atas mengandaikan bangsa kita untuk mengenal sejarah bangsanya secara utuh, bukan sempalan-sempalan. Karena bangsa kita terdiri dari daerah-daerah, suku bangsa, maka dalam mengenalkan sejarah nasional terhadap generasi muda hendaknya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dalam buku pelajaran Sejarah tingkat SLTA misalnya, sejumlah pahlawan Banten seperti, Ki Wasyid, Ki Sam’un, Syafrudin Prawiranegara, tidak mendapatkan tempat yang sama dengan pahlawan-pahlawan nasional dari Jawa pada umumnya. Seperti, Pangeran Diponegoro, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari.
Jangan anggap porsi penyajian sejarah yang berbeda ini masalah sepele. Karena perbedaan porsi penyajian akan menentukan “brain” anak didik, juga karakter generasi kita sebagai pemegang kendali masa depan. dalam pentas politik nasional, seolah-olah Banten daerah yang kecil peranannya dalam perjuangan nasional. Hingga nantinya tidak layak menjadi pemimpin nasional. Seperti yang pernah menimpa calon presiden, Yusuf Kalla. Dia, karena dari Sulawesi, dianggap belum saatnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ironisnya, pernyataan itu keluar dari orang Sulawesi sendiri, Andi A Mallarangeng (Kemenpora sekarang).
Sementara, orang Jawa, dengan keberhasilannya menghargai sejarahnya, membesarkan para pahlawannya, selalu layak menjadi presiden Indonesia. Hitung saja dari 6 Presiden RI, 5 dari mereka adalah orang Jawa. Sebabnya, karena mereka menghargai sejarah dan para pahlawannya. Bentuk penghargaan itu paling tidak mereka tunjukan lewat perawatan secara fisik terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan propaganda pemikiran lewat karya-karya penelitian yang diterbitkan oleh penerbit besar atau pun kecil di daerah.
Agaknya kita harus banyak belajar dari orang Jawa, dalam hal menghargai sejarah kita. Banten punya Istana Surosowan, Kaibon, Masjid Agung Banten dan peninggalan sejarah yang melimpah. nasibnya, nyaris terlupakan dari hingar bingar pembangunan di Provinsi Banten. Baik secara fisik maupun pengembangan penelitian oleh para akademisi.
Banten punya peristiwa-peristiwa heroik. Semangat perlawanan Ki Wasyid melawan Belanda tidak kalah penting dengan perlawanan Pangeran Diponogoro; peranan Kiai Syam’un tidak kalah penting dengan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari dalam memajukan pendidikan di Indonesia; dan yang menyambung nyawa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ketika Soekarno dan Hatta dipenjara oleh Belanda, adalah Syafrudin Prawiranegara (Wong Banten). Dialah yang memproklamasikan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk kemudian diserahkan kembali sesudah Seokarno-Hatta dibebaskan. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Untuk menghadirkan peranan Banten dalam sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonsia, pemerintah daerah berkewajiban menekan, mengawasi atau memberikan muatan sejarah lokal Banten di sekolah-sekolah. Dari SD-SLTA.
Sebab, salah satu tujuan pembelajaran sejarah adalah untuk menanamkan identitas diri daerah atau bangsa kepada generasi muda. Ini sangat penting. Dan tujuan ini bisa efektif dilakukan lewat pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah.
Nah, kalau ternyata di buku pelajaran sejarah ada dominasi pahlawan dari daerah lain, sementara pahlawan daerah sendiri tidak mendapatkan pembahasan yang berimbang, maka saya rasa perlu ada langka khusus dari pemerintah daerah untuk memberikan ruang penuh atas sejarah lokal di sekolah. Ini hal mendesak yang harus diagendakan baik oleh Provinsi Banten maupun oleh kabupaten/kotanya.
Karena kalau tidak segera diagendakan maka generasi kita tidak akan mengenal sejarahnya, apalagi identitas bangsanya. Bangsa yang tidak mengenal identitas bangsanya maka akan mudah “ngebuntut” kepada keinginan-keinginan bangsa luar. Karena bangsa yang lupa identitas dirinya tidak lebih seperti orang yang terkena penyakit “amnesia”. Yang namanya amnesia, ditanya nama, alamat, orang tua, dan identitas yang lain pasti bingung. Lebih lanjut, orang amnesia, diberi identitas baru, nama baru, orang tua baru dan juga alamat baru, sangat mudah.
Orang amnesia adalah gambaran utuh sebuah daerah atau bangsa yang lupa atau tidak tahu sejarah bangsanya (identitas diri). Dan sekaligus bangsa yang gampang diarahkan oleh bangsa lain dalam segala bidang pembangunan.
Lihat saja, kecendrungan masyarakat kita terhadap segala sesuatu yang datang dari luar negeri. Mereka bangga. Pakaian impor, makanan-minuman merek luar hingga gaya hidup. Sementara kekayaan pakaian khas daerah hanya ada di acara seremoni, makanan daerah hanya ada di warung yang digagas pemerintah, dan gaya hidup berpedoman pada acara TV yang kapitalis.
Dalam kasus nasional, kita patut bersyukur, gara-gara klaim Malaisya atas salah satu kebudayaan Indonesia (reog dan tari pendet), negara kita terbangun dari mimpi buruk mengejar kemoderenan buta. Negara Indonesia sadar bahwa dirinya kaya, dirinya punya identitas sendiri. Dan sekarang identitas itu mau diakuisi oleh sudara serumpunnya.
Indonesia tergugah, dan segera mengambil dan merawat kekayaan budaya yang selama ini ditelantarkan. Mempromosikannya ke mancanegara sebagai kekayaan khas Indoensia yang sudah dipatenkan. Antara lain: batik, dan angklung.
Belajar dari kasus nasional, dimana yang berseteru dalam kasus ini antar negara, maka daerah juga harus rajin menggali kekayaan budaya daerahnya. Dan juga menanamkan kesadaran budaya itu kepada generasi muda. Antara lain lewat muatan lokal di sekolah. Kekayaan daerah secara otomatis menjadi kekayaan nasional. Jadi, ketika daerah banyak mengukuhkan budaya daerahnya dengan sendirinya negara juga akan kaya dengan budaya bangsanya. Dengan kata lain jika pengembangan sejarah lokal dan tradisi lokal dilakukan di daerah maka penyakit “amnesia” tidak akan pernah menjangkiti generasi kita secara lokal maupun nasional, juga Indonesia akan memiliki jati diri bangsa yang kokoh.
Di akhir tulisan ini, lagi-lagi Bung Karno, memberikan pelajaran berharga kepada kita dengan slogan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Wa Allahu ‘alam.
*)Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post, Kolom Gagasan, 20 Desember 2010
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”. (Bung Karno).
Kata-kata bijak di atas mengandaikan bangsa kita untuk mengenal sejarah bangsanya secara utuh, bukan sempalan-sempalan. Karena bangsa kita terdiri dari daerah-daerah, suku bangsa, maka dalam mengenalkan sejarah nasional terhadap generasi muda hendaknya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dalam buku pelajaran Sejarah tingkat SLTA misalnya, sejumlah pahlawan Banten seperti, Ki Wasyid, Ki Sam’un, Syafrudin Prawiranegara, tidak mendapatkan tempat yang sama dengan pahlawan-pahlawan nasional dari Jawa pada umumnya. Seperti, Pangeran Diponegoro, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari.
Jangan anggap porsi penyajian sejarah yang berbeda ini masalah sepele. Karena perbedaan porsi penyajian akan menentukan “brain” anak didik, juga karakter generasi kita sebagai pemegang kendali masa depan. dalam pentas politik nasional, seolah-olah Banten daerah yang kecil peranannya dalam perjuangan nasional. Hingga nantinya tidak layak menjadi pemimpin nasional. Seperti yang pernah menimpa calon presiden, Yusuf Kalla. Dia, karena dari Sulawesi, dianggap belum saatnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ironisnya, pernyataan itu keluar dari orang Sulawesi sendiri, Andi A Mallarangeng (Kemenpora sekarang).
Sementara, orang Jawa, dengan keberhasilannya menghargai sejarahnya, membesarkan para pahlawannya, selalu layak menjadi presiden Indonesia. Hitung saja dari 6 Presiden RI, 5 dari mereka adalah orang Jawa. Sebabnya, karena mereka menghargai sejarah dan para pahlawannya. Bentuk penghargaan itu paling tidak mereka tunjukan lewat perawatan secara fisik terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan propaganda pemikiran lewat karya-karya penelitian yang diterbitkan oleh penerbit besar atau pun kecil di daerah.
Agaknya kita harus banyak belajar dari orang Jawa, dalam hal menghargai sejarah kita. Banten punya Istana Surosowan, Kaibon, Masjid Agung Banten dan peninggalan sejarah yang melimpah. nasibnya, nyaris terlupakan dari hingar bingar pembangunan di Provinsi Banten. Baik secara fisik maupun pengembangan penelitian oleh para akademisi.
Banten punya peristiwa-peristiwa heroik. Semangat perlawanan Ki Wasyid melawan Belanda tidak kalah penting dengan perlawanan Pangeran Diponogoro; peranan Kiai Syam’un tidak kalah penting dengan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari dalam memajukan pendidikan di Indonesia; dan yang menyambung nyawa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ketika Soekarno dan Hatta dipenjara oleh Belanda, adalah Syafrudin Prawiranegara (Wong Banten). Dialah yang memproklamasikan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk kemudian diserahkan kembali sesudah Seokarno-Hatta dibebaskan. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Untuk menghadirkan peranan Banten dalam sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonsia, pemerintah daerah berkewajiban menekan, mengawasi atau memberikan muatan sejarah lokal Banten di sekolah-sekolah. Dari SD-SLTA.
Sebab, salah satu tujuan pembelajaran sejarah adalah untuk menanamkan identitas diri daerah atau bangsa kepada generasi muda. Ini sangat penting. Dan tujuan ini bisa efektif dilakukan lewat pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah.
Nah, kalau ternyata di buku pelajaran sejarah ada dominasi pahlawan dari daerah lain, sementara pahlawan daerah sendiri tidak mendapatkan pembahasan yang berimbang, maka saya rasa perlu ada langka khusus dari pemerintah daerah untuk memberikan ruang penuh atas sejarah lokal di sekolah. Ini hal mendesak yang harus diagendakan baik oleh Provinsi Banten maupun oleh kabupaten/kotanya.
Karena kalau tidak segera diagendakan maka generasi kita tidak akan mengenal sejarahnya, apalagi identitas bangsanya. Bangsa yang tidak mengenal identitas bangsanya maka akan mudah “ngebuntut” kepada keinginan-keinginan bangsa luar. Karena bangsa yang lupa identitas dirinya tidak lebih seperti orang yang terkena penyakit “amnesia”. Yang namanya amnesia, ditanya nama, alamat, orang tua, dan identitas yang lain pasti bingung. Lebih lanjut, orang amnesia, diberi identitas baru, nama baru, orang tua baru dan juga alamat baru, sangat mudah.
Orang amnesia adalah gambaran utuh sebuah daerah atau bangsa yang lupa atau tidak tahu sejarah bangsanya (identitas diri). Dan sekaligus bangsa yang gampang diarahkan oleh bangsa lain dalam segala bidang pembangunan.
Lihat saja, kecendrungan masyarakat kita terhadap segala sesuatu yang datang dari luar negeri. Mereka bangga. Pakaian impor, makanan-minuman merek luar hingga gaya hidup. Sementara kekayaan pakaian khas daerah hanya ada di acara seremoni, makanan daerah hanya ada di warung yang digagas pemerintah, dan gaya hidup berpedoman pada acara TV yang kapitalis.
Dalam kasus nasional, kita patut bersyukur, gara-gara klaim Malaisya atas salah satu kebudayaan Indonesia (reog dan tari pendet), negara kita terbangun dari mimpi buruk mengejar kemoderenan buta. Negara Indonesia sadar bahwa dirinya kaya, dirinya punya identitas sendiri. Dan sekarang identitas itu mau diakuisi oleh sudara serumpunnya.
Indonesia tergugah, dan segera mengambil dan merawat kekayaan budaya yang selama ini ditelantarkan. Mempromosikannya ke mancanegara sebagai kekayaan khas Indoensia yang sudah dipatenkan. Antara lain: batik, dan angklung.
Belajar dari kasus nasional, dimana yang berseteru dalam kasus ini antar negara, maka daerah juga harus rajin menggali kekayaan budaya daerahnya. Dan juga menanamkan kesadaran budaya itu kepada generasi muda. Antara lain lewat muatan lokal di sekolah. Kekayaan daerah secara otomatis menjadi kekayaan nasional. Jadi, ketika daerah banyak mengukuhkan budaya daerahnya dengan sendirinya negara juga akan kaya dengan budaya bangsanya. Dengan kata lain jika pengembangan sejarah lokal dan tradisi lokal dilakukan di daerah maka penyakit “amnesia” tidak akan pernah menjangkiti generasi kita secara lokal maupun nasional, juga Indonesia akan memiliki jati diri bangsa yang kokoh.
Di akhir tulisan ini, lagi-lagi Bung Karno, memberikan pelajaran berharga kepada kita dengan slogan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Wa Allahu ‘alam.
*)Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post, Kolom Gagasan, 20 Desember 2010
Kamis, 09 Desember 2010
Tahun Baru Vs tahun baru
Oleh Ayatulloh Marsai*
Seorang penceramah di radio lokal mengelu-elukan tahun baru hijriyah yang cendrung sepi bila dibandingkan dengan tahun baru masehi. Kiai itu bilang, “pemuda-pemudi biasanya ramai pergi ke pantai untuk menyaksikan dan merayakan pergantian tahun masehi. Tetapi, di tahun baru hijriyah tidak ada yang merayakannya”.
Dari perkataannya, apakah ada keinginan dari penceramah itu tahun hijriyah dirayakan sama halnya dengan merayakan tahun masehi. Tentu saja tidak. Sebaliknya, doktrin Islam mengajarkan kehidmatan dalam melalui pergantian tahun ini. Bahkan, Nabi menganjurkan untuk melakukan puasa pada dua hari berturut-turut, yakni hari terakhir tahun dan hari awal tahun.
Yang menjadi keluhan penceramah di atas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap titik awal dan titik akhir tahun hijriyah. Mereka menyandarkannya lebih pada perhitungan tahun masehi daripada tahun hijriyah. Tahun baru masehi lebih popular darpada tahun hijriyah.
Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan tahun baru masehi lebih popular dibanding dengan hijriyah.
Pertama, faktor nasionalisasi tahun masehi. Negara memakai penanggalan masehi sebagai penanggalan nasional. Sementara penanggalan hijriyah hanya berlaku untuk interen umat Islam. Artinya, segala aspek kerja nasional dihitung dengan penanggalan masehi. Putaran tahun dihitung dari Januari sampai Desember. Bukan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Putaran satu pekan dihitung dari hari Senin sampai Minggu, bukan dari Ahad sampai hari Sabtu. Konsekwensinya, hari libur dalam sepekan juga dijatuhkan pada hari Minggu, bukan hari Jum’at. Akhirnya, kita umat muslim juga kerepotan untuk “memuliakan” hari Jum’at sebagai “sayidul ayyam” bagi kita.
Memang, negara pada sisi yang lain, menjadikan hari-hari besar agama menurut penanggalannya masing-masing, sebagai hari libur nasional. Termasuk didalamnya hari-hari besar Islam yang dilandaskan pada perhitungan hijriyah.
Tetapi, sadarkah kita, penanggalan mana yang seharusnya “dinasionalisasi” jika kita melihat fakta 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim? Dan, penanggalan mana yang seharusnya menjadi “tuan rumah”, jika kita melihat sejarah panjang penjajahan atas bumi Nusantara ini. Siapa yang menjajah? Dan, siapa yang berjuang melawannya? Citra kebudayaan Islam tertindas dalam kemayoritasannya, menjadi tamu di negara yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri!
Kedua, media massa. Media massa, terutama televisi, sangat besar pengaruhnya dalam mempopulerkan segala hal, termasuk Tahun Baru Masehi yang biasa diucapkan satu paket dengan Hari Natal, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, misalnya. Iklan layanan sosial, sponsorsip industri besar, yang mengucapkan hari natal dan tahun baru masehi ini biasanya sudah mulai marak ketika memasuki pertengahan bulan Desember. Sehingga, perayaan tahun baru masehi menjadi “perilaku massif” di semua kalangan, tidak hanya pemuda-pemudi (yang disebukan penceramah di atas), anak-anak dan orang tua juga merayakannya.
Sebaliknya, coba perhatikan televisi di rumah Anda, apakah hal yang sama terjadi di Tahun Baru Hijriyah? Tentu, tidak. Kalau pun ada ucapan selamat itu dari ormas Islam atau pemerintah, pada hari H-nya saja. Hari H lewat, selesai. Sebab, budaya Islam kalah popular dibanding budaya masehi. Juga sudah menjadi “budaya pesakitan” di kalangan umat muslim sendiri. Tidak hanya berkaitan dengan budaya penanggalan saja tetapi juga pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti, berpakaian, gaya hidup, pandangan hidup, akhlak keseharian, dll. Kalau asepk-aspek wajib saja tidak terpenuhi, apalagi mau repot-repot merayakan Tahun Baru Hijriyah yang hanya refleksi budaya semata.
Sebetulnya, media massa tidak lepas fungsinya sebagai media. Media siapa saja untuk masuk ke dalamnya sebagai subyek yang berkepentingan tampil di depan massa (masyarakat jangkaun teve tersebut). Kepentingan televisi sebagai perusahaan adalah profit. Artinya, siapapun yang tampil harus mendatangkan profit sebesar mungkin kepada perusahaan, terlepas datangnya dari subyek yang berkepentingan tampil atau dari sponsor. Sponsor berkepentingan terhadap “rating”. Tayangan mana yang menyedot perhatian masyarakat, tayangan itulah yang mendapat sponsor paling banyak. Dan, seperti disebutkan di atas, televisi mengejar profit, maka televisi memilih tampilan yang banyak sponsornya. Sponsor memilih tayangan yang banyak penontonnya.
Salah satu doktrin Islam yang berhasil merubah wajah televisi di Indonesia adalah Puasa pada Bulan Ramadhan. Aroma Ramadhan sudah tercium harum jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadhan tiba. Ucapan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, bisa kita temukan setiap saat di sembarang stasiun televisi. Hampir semua produk merubah tayangan iklannya menjadi “beraroma” Ramadhan dan Lebaran. Tidak terlewatkan, produk-produk itu membidik waktu Sahur dan Berbuka Puasa: “Selamat Menikmati Makan Sahur Anda” dan “Selamat Berbuka Puasa”. Tidak berhenti sampai disitu, sinetron-sinetron mendadak bernuansa religious (islami).
Dapat disimpulkan, bahwa ketaatan umat Islam Indonesia terhadap Ibadah Ramadhan cukup kuat. Atau, Ibadah Ramadhan dan Lebaran sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hingga mampu “menyulap” wajah tayangan televisi Indonesia pada sekitar bulan Ramadhan.
Kalau benar demikian, menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai kesadaran umat Islam yang massif harus menjadi agenda serius bagi kita. Terutama bagi ormas-ormas Islam, partai-partai Islam atau juga politisi muslim yang ada di partai nasional, cendikiawan muslim, lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam. Supaya, Tahun Baru Hijriyah layaknya Ramadhan, menjadi tradisi yang meng-indonesia. Lebih lanjut, menjadi Tahun Baru-nya Indonesia. Selamat Tahun Baru 1432 [*]
*)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah. Tinggal di Link. Dukumalang, RT/RW 08/04 Tegal Bunder-Purwakarta Kota Cilegon.
Seorang penceramah di radio lokal mengelu-elukan tahun baru hijriyah yang cendrung sepi bila dibandingkan dengan tahun baru masehi. Kiai itu bilang, “pemuda-pemudi biasanya ramai pergi ke pantai untuk menyaksikan dan merayakan pergantian tahun masehi. Tetapi, di tahun baru hijriyah tidak ada yang merayakannya”.
Dari perkataannya, apakah ada keinginan dari penceramah itu tahun hijriyah dirayakan sama halnya dengan merayakan tahun masehi. Tentu saja tidak. Sebaliknya, doktrin Islam mengajarkan kehidmatan dalam melalui pergantian tahun ini. Bahkan, Nabi menganjurkan untuk melakukan puasa pada dua hari berturut-turut, yakni hari terakhir tahun dan hari awal tahun.
Yang menjadi keluhan penceramah di atas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap titik awal dan titik akhir tahun hijriyah. Mereka menyandarkannya lebih pada perhitungan tahun masehi daripada tahun hijriyah. Tahun baru masehi lebih popular darpada tahun hijriyah.
Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan tahun baru masehi lebih popular dibanding dengan hijriyah.
Pertama, faktor nasionalisasi tahun masehi. Negara memakai penanggalan masehi sebagai penanggalan nasional. Sementara penanggalan hijriyah hanya berlaku untuk interen umat Islam. Artinya, segala aspek kerja nasional dihitung dengan penanggalan masehi. Putaran tahun dihitung dari Januari sampai Desember. Bukan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Putaran satu pekan dihitung dari hari Senin sampai Minggu, bukan dari Ahad sampai hari Sabtu. Konsekwensinya, hari libur dalam sepekan juga dijatuhkan pada hari Minggu, bukan hari Jum’at. Akhirnya, kita umat muslim juga kerepotan untuk “memuliakan” hari Jum’at sebagai “sayidul ayyam” bagi kita.
Memang, negara pada sisi yang lain, menjadikan hari-hari besar agama menurut penanggalannya masing-masing, sebagai hari libur nasional. Termasuk didalamnya hari-hari besar Islam yang dilandaskan pada perhitungan hijriyah.
Tetapi, sadarkah kita, penanggalan mana yang seharusnya “dinasionalisasi” jika kita melihat fakta 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim? Dan, penanggalan mana yang seharusnya menjadi “tuan rumah”, jika kita melihat sejarah panjang penjajahan atas bumi Nusantara ini. Siapa yang menjajah? Dan, siapa yang berjuang melawannya? Citra kebudayaan Islam tertindas dalam kemayoritasannya, menjadi tamu di negara yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri!
Kedua, media massa. Media massa, terutama televisi, sangat besar pengaruhnya dalam mempopulerkan segala hal, termasuk Tahun Baru Masehi yang biasa diucapkan satu paket dengan Hari Natal, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, misalnya. Iklan layanan sosial, sponsorsip industri besar, yang mengucapkan hari natal dan tahun baru masehi ini biasanya sudah mulai marak ketika memasuki pertengahan bulan Desember. Sehingga, perayaan tahun baru masehi menjadi “perilaku massif” di semua kalangan, tidak hanya pemuda-pemudi (yang disebukan penceramah di atas), anak-anak dan orang tua juga merayakannya.
Sebaliknya, coba perhatikan televisi di rumah Anda, apakah hal yang sama terjadi di Tahun Baru Hijriyah? Tentu, tidak. Kalau pun ada ucapan selamat itu dari ormas Islam atau pemerintah, pada hari H-nya saja. Hari H lewat, selesai. Sebab, budaya Islam kalah popular dibanding budaya masehi. Juga sudah menjadi “budaya pesakitan” di kalangan umat muslim sendiri. Tidak hanya berkaitan dengan budaya penanggalan saja tetapi juga pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti, berpakaian, gaya hidup, pandangan hidup, akhlak keseharian, dll. Kalau asepk-aspek wajib saja tidak terpenuhi, apalagi mau repot-repot merayakan Tahun Baru Hijriyah yang hanya refleksi budaya semata.
Sebetulnya, media massa tidak lepas fungsinya sebagai media. Media siapa saja untuk masuk ke dalamnya sebagai subyek yang berkepentingan tampil di depan massa (masyarakat jangkaun teve tersebut). Kepentingan televisi sebagai perusahaan adalah profit. Artinya, siapapun yang tampil harus mendatangkan profit sebesar mungkin kepada perusahaan, terlepas datangnya dari subyek yang berkepentingan tampil atau dari sponsor. Sponsor berkepentingan terhadap “rating”. Tayangan mana yang menyedot perhatian masyarakat, tayangan itulah yang mendapat sponsor paling banyak. Dan, seperti disebutkan di atas, televisi mengejar profit, maka televisi memilih tampilan yang banyak sponsornya. Sponsor memilih tayangan yang banyak penontonnya.
Salah satu doktrin Islam yang berhasil merubah wajah televisi di Indonesia adalah Puasa pada Bulan Ramadhan. Aroma Ramadhan sudah tercium harum jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadhan tiba. Ucapan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, bisa kita temukan setiap saat di sembarang stasiun televisi. Hampir semua produk merubah tayangan iklannya menjadi “beraroma” Ramadhan dan Lebaran. Tidak terlewatkan, produk-produk itu membidik waktu Sahur dan Berbuka Puasa: “Selamat Menikmati Makan Sahur Anda” dan “Selamat Berbuka Puasa”. Tidak berhenti sampai disitu, sinetron-sinetron mendadak bernuansa religious (islami).
Dapat disimpulkan, bahwa ketaatan umat Islam Indonesia terhadap Ibadah Ramadhan cukup kuat. Atau, Ibadah Ramadhan dan Lebaran sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hingga mampu “menyulap” wajah tayangan televisi Indonesia pada sekitar bulan Ramadhan.
Kalau benar demikian, menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai kesadaran umat Islam yang massif harus menjadi agenda serius bagi kita. Terutama bagi ormas-ormas Islam, partai-partai Islam atau juga politisi muslim yang ada di partai nasional, cendikiawan muslim, lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam. Supaya, Tahun Baru Hijriyah layaknya Ramadhan, menjadi tradisi yang meng-indonesia. Lebih lanjut, menjadi Tahun Baru-nya Indonesia. Selamat Tahun Baru 1432 [*]
*)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah. Tinggal di Link. Dukumalang, RT/RW 08/04 Tegal Bunder-Purwakarta Kota Cilegon.
Rabu, 01 Desember 2010
Produksi Kata
Oleh Ayatulloh Marsai
Saya seolah keranjingan, seolah gila, karena kemana-mana saya selalu menenteng note book saya. Beda, dibanding sebelumnya. Beda dengan kebanyakan orang lainnya. Aneh. Gila.
Dibenakku berseliweran kata. Setiap masalah ingin sekali saya terjemahkan dalam bentuk kata-kata. Sehingga kata yang berseliweran di benak bukan hanya kata-kata yang akan hilang tanpa bekas dan kenangan.
Ingin rasanya aku pindahkan dunia kedalam kata-kata. Agar dunia bisa manfaat karena orang semua paham bahasa dunia dengan kata. Hingga ketika dunia mengingatkan, manusia mendengar. Tidak hanya mendengar, tapi juga merubah dirinya menghampiri kemaslahatan.[!]
Saya seolah keranjingan, seolah gila, karena kemana-mana saya selalu menenteng note book saya. Beda, dibanding sebelumnya. Beda dengan kebanyakan orang lainnya. Aneh. Gila.
Dibenakku berseliweran kata. Setiap masalah ingin sekali saya terjemahkan dalam bentuk kata-kata. Sehingga kata yang berseliweran di benak bukan hanya kata-kata yang akan hilang tanpa bekas dan kenangan.
Ingin rasanya aku pindahkan dunia kedalam kata-kata. Agar dunia bisa manfaat karena orang semua paham bahasa dunia dengan kata. Hingga ketika dunia mengingatkan, manusia mendengar. Tidak hanya mendengar, tapi juga merubah dirinya menghampiri kemaslahatan.[!]
Rabu, 24 November 2010
Orang-orang Kalah
Selasa, 23 Nopember 2010
Oleh Ayatullah Marsai
Bisik-bisik di lorong gelap. Gelap sekali, hingga suara itu sudah pelan tak terdengar gaungnya. Orang-orang kampung sekarang hanya boleh berbisik, tidak boleh bersuara. Apapun yang mereka lihat, rasakan dan dengar. Dengar dengan telinga atau dengan hati suara yang datang dari situ-situ juga.
Sejak saat pemuda pemberani berani bersuara lantang itu. Suara lantangnya berakibat fatal, dia diseret ke lingkaran setan, tak bisa keluar lagi. Sampai mati. Setelah mati bergentayangan, dimanapun dia kehendaki. Di kantor, di gudang, di dapur, di mana-mana, hingga di secretariat-sekretariat organisasi kepemudaan. Kasihan, dia mati dilingkar kenistaan, lingkaran setan.
Sejak saat itu tidak ada lagi orang yang berani bersuara agak lantang sekalipun, apalagi lantang beneran. Berbisik, berbisik, terus berbisik. Walau tak merubah keadaan. Berbisik dimana-mana. Di pinggir comberan, kubangan jalan, bekas gusuran, tanah yang ditelantarkan, disisi bongkahan kayu yang berjamur, berserakan. Petani berbisik, pupuk langka, impor beras, bantuan traktor tak merata, penyulunya seperti pilot, pemberdayaan yang mempedaya. Harga pupuk selangit, hasil bumi tetap di bumi terkula-I lumpur.
Pedagang kaki lima tetap tak bisa terbang. Mesti 5, itu tetap kaki. Sampai kapanpun gak bisa jadi sayap yang bisa membawanya terbang. Ironisnya, kaki lima juga gak bisa loncat, karena lima bilangan ganjil. Gak bisa meloncat pindahkan nasib menjadi lebih baik.
Bila pol-PP datang, tak bisa merayap sampai keburu ditendang. Bukan hanya orangnya, dagangannya sasaran utama. Seolah barang dagangan yang harus diperbaiki, padahal nasib pedagangnya yang harus diangkat. Beda dengan yang jelas-jelas dagangannya “haram”, aman-aman saja, karena mereka ada di bar, hotel, tempat hiburan, dibawah gemerlap bintang buatan manusia. Aman, asal tempatnya nyaman.
Jangan sekali-kali dagang al-quran di pinggir jalan, kalau tidak ingin al-quran ditendang. Jual-lah miras, narkoba, dan jangan ketinggalan pelacur dengan seperangkat alat kontrasepsi, di gedung yang mewah, dijamin aman.[ayatbanten]
Oleh Ayatullah Marsai
Bisik-bisik di lorong gelap. Gelap sekali, hingga suara itu sudah pelan tak terdengar gaungnya. Orang-orang kampung sekarang hanya boleh berbisik, tidak boleh bersuara. Apapun yang mereka lihat, rasakan dan dengar. Dengar dengan telinga atau dengan hati suara yang datang dari situ-situ juga.
Sejak saat pemuda pemberani berani bersuara lantang itu. Suara lantangnya berakibat fatal, dia diseret ke lingkaran setan, tak bisa keluar lagi. Sampai mati. Setelah mati bergentayangan, dimanapun dia kehendaki. Di kantor, di gudang, di dapur, di mana-mana, hingga di secretariat-sekretariat organisasi kepemudaan. Kasihan, dia mati dilingkar kenistaan, lingkaran setan.
Sejak saat itu tidak ada lagi orang yang berani bersuara agak lantang sekalipun, apalagi lantang beneran. Berbisik, berbisik, terus berbisik. Walau tak merubah keadaan. Berbisik dimana-mana. Di pinggir comberan, kubangan jalan, bekas gusuran, tanah yang ditelantarkan, disisi bongkahan kayu yang berjamur, berserakan. Petani berbisik, pupuk langka, impor beras, bantuan traktor tak merata, penyulunya seperti pilot, pemberdayaan yang mempedaya. Harga pupuk selangit, hasil bumi tetap di bumi terkula-I lumpur.
Pedagang kaki lima tetap tak bisa terbang. Mesti 5, itu tetap kaki. Sampai kapanpun gak bisa jadi sayap yang bisa membawanya terbang. Ironisnya, kaki lima juga gak bisa loncat, karena lima bilangan ganjil. Gak bisa meloncat pindahkan nasib menjadi lebih baik.
Bila pol-PP datang, tak bisa merayap sampai keburu ditendang. Bukan hanya orangnya, dagangannya sasaran utama. Seolah barang dagangan yang harus diperbaiki, padahal nasib pedagangnya yang harus diangkat. Beda dengan yang jelas-jelas dagangannya “haram”, aman-aman saja, karena mereka ada di bar, hotel, tempat hiburan, dibawah gemerlap bintang buatan manusia. Aman, asal tempatnya nyaman.
Jangan sekali-kali dagang al-quran di pinggir jalan, kalau tidak ingin al-quran ditendang. Jual-lah miras, narkoba, dan jangan ketinggalan pelacur dengan seperangkat alat kontrasepsi, di gedung yang mewah, dijamin aman.[ayatbanten]
Isi Piring dan Bumi
Oleh Ayatullah Marsai
Ketika saya makan [dari pagi sampai malam], sajian di piring saya nasi, lauk dan mungkin sayur. Saya jadi ingat bumi kita yang terdiri dari daratan, dan lautan. Nasi di piring tadi kita dapatkan dari padi. Lauk, bisa dari daratan juga lautan, begitu juga sayuran.
Pola makan kita masih sangat tergantung sama daratan. Sesuai dengan porsi nasi lebih banyak dari lauk dan sayurnya. Artinya, hidup kita juga masih sangat tergantung pada daratan. Mentalnya, juga tidak ketinggalan sangat tergantung pada daratan.
Bertolak belakang dengan kondisi obyektif bahwa daratan itu jauh lebih sempit ketimbang lautan. Dari kondisi obyektif ini, seharusnya mulai berfikir kreatif, belajar melepas ketergantungan kita dari daratan. Dan, mulai melirik laut sebagai potensi besar untuk masa depan umat manusia.[ayatbanten]
Ketika saya makan [dari pagi sampai malam], sajian di piring saya nasi, lauk dan mungkin sayur. Saya jadi ingat bumi kita yang terdiri dari daratan, dan lautan. Nasi di piring tadi kita dapatkan dari padi. Lauk, bisa dari daratan juga lautan, begitu juga sayuran.
Pola makan kita masih sangat tergantung sama daratan. Sesuai dengan porsi nasi lebih banyak dari lauk dan sayurnya. Artinya, hidup kita juga masih sangat tergantung pada daratan. Mentalnya, juga tidak ketinggalan sangat tergantung pada daratan.
Bertolak belakang dengan kondisi obyektif bahwa daratan itu jauh lebih sempit ketimbang lautan. Dari kondisi obyektif ini, seharusnya mulai berfikir kreatif, belajar melepas ketergantungan kita dari daratan. Dan, mulai melirik laut sebagai potensi besar untuk masa depan umat manusia.[ayatbanten]
Selasa, 23 November 2010
Tangisan dan Senyuman Alam Bawah Sadar
Awalnya banyak siswa menganggap ini sebagai permainan yang patut ditertawakan. Karena bagi mereka ini mungkin sangat sepele. Diawali dengan membaca bismillah dalam hati, sambil disuruh merasakan aliran udara sekitar, energy bismillah yang datang. Kemudian, siswa disuruh menyedot nafas lewat hidung dan dikeluarkan melalui mulut secara berlahan-lahan. Sangat sederhana.
Siapa nyana proses yang sederhana ini kemudian bisa membuat semua siswa tertidur pulas. Tidak hanya itu, dalam tidur mereka dibuat menangis tersedu-sedu lantaran dibawa oleh “intruksi” yang mengandaikan keadaan kedua orang tua mereka dalam keadaan sakit parah. Saking parahnya sampai harus dibawa ke rumah sakit. Sementara disisi lain mereka harus sekolah, dengan sungguh-sungguh untuk tidak menjadikan sia-sia orang tuanya. Sampai disini, mereka semakin keras menangisi kondisi ini.
Sampai akhirnya, berkat perawatan yang intensif, orang tua mereka sembuh dan bisa pulang ke rumah. Untuk merayakan kesembuhan itu, mereka sekeluarga pergi ke pantai. Di pantai mereka bergembira, bercanda, bergurau, main air dan saling berbagi cerita kegembiraan.
Akhirnya, dengan heppy ending ini mereka dibangunkan dari keadaan alam bawah sadar ke alam nyata. Sekian.
Siapa nyana proses yang sederhana ini kemudian bisa membuat semua siswa tertidur pulas. Tidak hanya itu, dalam tidur mereka dibuat menangis tersedu-sedu lantaran dibawa oleh “intruksi” yang mengandaikan keadaan kedua orang tua mereka dalam keadaan sakit parah. Saking parahnya sampai harus dibawa ke rumah sakit. Sementara disisi lain mereka harus sekolah, dengan sungguh-sungguh untuk tidak menjadikan sia-sia orang tuanya. Sampai disini, mereka semakin keras menangisi kondisi ini.
Sampai akhirnya, berkat perawatan yang intensif, orang tua mereka sembuh dan bisa pulang ke rumah. Untuk merayakan kesembuhan itu, mereka sekeluarga pergi ke pantai. Di pantai mereka bergembira, bercanda, bergurau, main air dan saling berbagi cerita kegembiraan.
Akhirnya, dengan heppy ending ini mereka dibangunkan dari keadaan alam bawah sadar ke alam nyata. Sekian.
Senin, 22 November 2010
Potret Semu Penerimaan CPNS
19/11/2010 23:09
Oleh Ayatulloh Marsai
[Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, Jum'at 26 November 2010]
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan biasanya baru bisa dicapai setelah melalui pembuktian secara objektif. Objektifitas ini hanya dimiliki oleh ilmu penegtahuan rumpun eksak saja, yang objeknya berupa benda atau alam. Sementara bagaimana dengan ilmu social, yang objeknya adalah manusia itu sendiri?
Sartono Kartodirjo, mempunyai rumusan bahwa kebenaran dalam ilmu sosial bisa dilandaskan kepada pembuktian intersubyektif. Pembuktian intersubyektif adalah kebenaran yang dakui, disepakati, oleh subyek –subyek hingga menjadi kebenaran yang diakui secara kolektif. Subyek-subyek itu (manusia atau masyarakat umum) kemudian oleh Sartono disebut sebagai pembuktian intersubyektif. Setara dengan obyektif dalam ilmu eksak. Maka kebenaran dalam ruang lingkup ilmu sosial bisa dicapai dengan cara pembuktian intersubyektif ini.
Penulis ingin menggunakan lensa kebenaran intersubyektif ini untuk memotret fenomena penerimaan CPNS di negeri ini, yang sedang dan akan berlangsung bulan ini. Sering kita mendengar istilah dari masyarakat, “rahasia umum”, “tradisi”, “budaya”, atau bahkan “bukan rahasia lagi”, bahwa penerimaan CPNS yang berlangsung hanya formalitas belaka. Sebab, orang-orang yang akan mengisi formasi yang dibutuhkan sudah ada. Mereka masuk melalui jalur yang sama dengan calon peserta tes lainnya, namun dengan “modal berbeda” dari kebanyakan calon peserta lainnya. “Modal berbeda” itu, dalam istilah yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat umum, disebut “jatah”, “titipan”, “jual-beli” dan sebagainya.
“Jatah”, “titipan” dan “jual-beli” dalam penerimaan CPNS, awalnya mungkin dari satu-dua subyek, kemudian terjadi persamaan pengalaman antar subyek satu dengan yang lain. Maka, pengalaman yang sama antar subyek ini menjadi pengalaman intersubyektif. Dan, dalam komunikasi sehari-hari, pengalaman intersubyektif itu muncul dengan istilah “sudah rahasia umum, tradisi, dan sudah budaya, dalam penerimaan CPNS ada jatah si A, ada titipan si B dan sudah di beli si C”.
Sudah jelas, kalau kita sepakat dengan konsep intersubyektif untuk mengukur sebuah kebenaran, maka kecurangan dalam penerimaan CPNS jelas telah menjadi fenomena. Hanya saja untuk membuktikan secara administrasi dan hukum, tentu saja sangat sulit.
Fenomena kecurangan penerimaan CPNS belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Buktinya, ngara kita baru punya satu KPK. Seharusnya, pemerintah membuat dua komisi lagi untuk menuntaskan agenda reformasi ’98, yakni KPK yang K-nya singkatan dari kolusi dan KPN, N-nya singkatan dari nepotisme. Dengan dua komisi baru ini mungkin fenomena kecurangan penerimaan CPNS akan tertangani secara khusus dan sistematis.
Setelah ujian CPNS selesai, hasilnya diumumkan lewat media, maka pengalaman yang memperkuat fenomena kecurangan itu “bergentayangan”. Misalnya, si A, lulus. Dia anaknya Pak Anu (wong gede); si D, tidak lulus, ananya Mang fulan (wong biase, cilik). Padahal secara keilmuan dan kompetensi, misalnya si A jauh dibawah si D pada bidang yang sama.
Kepuasan batin peserta ujian CPNS tidak terpenuhi
Dalam sebuah kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Begitu juga dalam penerimaan CPNS, ada yang diterima dan yang tidak diterima (baca: lulus dan ada yang tidak lulus). Yang lulus harus bersyukur dengan cara bertanggungjawab penuh melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Yang tidak lulus harus menerima dengan legowo.
Menerima dengan legowo terhadap hasil tes ini hanya terjadi ketika ulangan harian di sekolah. Yang nailainya besar puas, dan yang nilainya kecil menerima dengan ikhlas. Rahasianya adalah lembar jawaban masing-masing siswa dikembalikan dan kunci jawaban di simak secara bersama-sama. Dengan begitu semua siswa bisa melihat sendiri dimana letak kesalahan jawaban yang mereka berikan pada saat tes/ujian.
Seandainya saja proses penerimaan CPNS seperti ulangan di sekolah, tentu tidak akan muncul gunjingan bahkan kesaksian kecurangan setelah hasil tes diumumkan. Apalagi gunjingan dan kesaksian yang berifat kolektif dan intersubyektif seperti disebutkan di atas. Pengandaian ujian ala anak sekolah ini secara teknis mungkin terlalu naïf, dan akan segera dijawab tidak mungkin bisa dilakukan!
Di era teknologi informatika, transparansi di segala bidang bisa dilakukan, termasuk ihwal penerimaan CPNS. Penggunaan teknologi sejak sosialisasi formasi yang tersedia, pendaftaran, tes, hingga pengumuman hasil tes, sangat mungkin dilakukan. Andai saja ada kemauan serius dari seluruh pemangku kebijakan di negeri ini. Atau, para menagku kebijakan diuntungkan oleh sistem yang ada hingga tidak mau berfikir bajik!
Sekedar ide sederhana, kita bisa mengunakan jasa Pos untuk memberi balasan (--pasca tes) yang berisi nilai dan kunci jawaban. Atau kunci jawaban dan nilai disertakan dalam pengumuman di media. Lebih canggih, dengan komputerisasi atau internetisasi data hasil ujian yang disertai kunci jawaban, diurutkan berdasar ranking. Dengan demikian publik bisa mengaksesnya dan legowo bukan?
Akhirnya semua kembali kepada para penentu kebijakan, apakah ada hasrat untuk memuaskan “batin publik”, dengan transparansi penerimaan CPNS ini dari “A” sampai “Z”.
*)Penulis adalah Guru Honorer, Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam, di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.
Oleh Ayatulloh Marsai
[Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, Jum'at 26 November 2010]
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan biasanya baru bisa dicapai setelah melalui pembuktian secara objektif. Objektifitas ini hanya dimiliki oleh ilmu penegtahuan rumpun eksak saja, yang objeknya berupa benda atau alam. Sementara bagaimana dengan ilmu social, yang objeknya adalah manusia itu sendiri?
Sartono Kartodirjo, mempunyai rumusan bahwa kebenaran dalam ilmu sosial bisa dilandaskan kepada pembuktian intersubyektif. Pembuktian intersubyektif adalah kebenaran yang dakui, disepakati, oleh subyek –subyek hingga menjadi kebenaran yang diakui secara kolektif. Subyek-subyek itu (manusia atau masyarakat umum) kemudian oleh Sartono disebut sebagai pembuktian intersubyektif. Setara dengan obyektif dalam ilmu eksak. Maka kebenaran dalam ruang lingkup ilmu sosial bisa dicapai dengan cara pembuktian intersubyektif ini.
Penulis ingin menggunakan lensa kebenaran intersubyektif ini untuk memotret fenomena penerimaan CPNS di negeri ini, yang sedang dan akan berlangsung bulan ini. Sering kita mendengar istilah dari masyarakat, “rahasia umum”, “tradisi”, “budaya”, atau bahkan “bukan rahasia lagi”, bahwa penerimaan CPNS yang berlangsung hanya formalitas belaka. Sebab, orang-orang yang akan mengisi formasi yang dibutuhkan sudah ada. Mereka masuk melalui jalur yang sama dengan calon peserta tes lainnya, namun dengan “modal berbeda” dari kebanyakan calon peserta lainnya. “Modal berbeda” itu, dalam istilah yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat umum, disebut “jatah”, “titipan”, “jual-beli” dan sebagainya.
“Jatah”, “titipan” dan “jual-beli” dalam penerimaan CPNS, awalnya mungkin dari satu-dua subyek, kemudian terjadi persamaan pengalaman antar subyek satu dengan yang lain. Maka, pengalaman yang sama antar subyek ini menjadi pengalaman intersubyektif. Dan, dalam komunikasi sehari-hari, pengalaman intersubyektif itu muncul dengan istilah “sudah rahasia umum, tradisi, dan sudah budaya, dalam penerimaan CPNS ada jatah si A, ada titipan si B dan sudah di beli si C”.
Sudah jelas, kalau kita sepakat dengan konsep intersubyektif untuk mengukur sebuah kebenaran, maka kecurangan dalam penerimaan CPNS jelas telah menjadi fenomena. Hanya saja untuk membuktikan secara administrasi dan hukum, tentu saja sangat sulit.
Fenomena kecurangan penerimaan CPNS belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Buktinya, ngara kita baru punya satu KPK. Seharusnya, pemerintah membuat dua komisi lagi untuk menuntaskan agenda reformasi ’98, yakni KPK yang K-nya singkatan dari kolusi dan KPN, N-nya singkatan dari nepotisme. Dengan dua komisi baru ini mungkin fenomena kecurangan penerimaan CPNS akan tertangani secara khusus dan sistematis.
Setelah ujian CPNS selesai, hasilnya diumumkan lewat media, maka pengalaman yang memperkuat fenomena kecurangan itu “bergentayangan”. Misalnya, si A, lulus. Dia anaknya Pak Anu (wong gede); si D, tidak lulus, ananya Mang fulan (wong biase, cilik). Padahal secara keilmuan dan kompetensi, misalnya si A jauh dibawah si D pada bidang yang sama.
Kepuasan batin peserta ujian CPNS tidak terpenuhi
Dalam sebuah kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Begitu juga dalam penerimaan CPNS, ada yang diterima dan yang tidak diterima (baca: lulus dan ada yang tidak lulus). Yang lulus harus bersyukur dengan cara bertanggungjawab penuh melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Yang tidak lulus harus menerima dengan legowo.
Menerima dengan legowo terhadap hasil tes ini hanya terjadi ketika ulangan harian di sekolah. Yang nailainya besar puas, dan yang nilainya kecil menerima dengan ikhlas. Rahasianya adalah lembar jawaban masing-masing siswa dikembalikan dan kunci jawaban di simak secara bersama-sama. Dengan begitu semua siswa bisa melihat sendiri dimana letak kesalahan jawaban yang mereka berikan pada saat tes/ujian.
Seandainya saja proses penerimaan CPNS seperti ulangan di sekolah, tentu tidak akan muncul gunjingan bahkan kesaksian kecurangan setelah hasil tes diumumkan. Apalagi gunjingan dan kesaksian yang berifat kolektif dan intersubyektif seperti disebutkan di atas. Pengandaian ujian ala anak sekolah ini secara teknis mungkin terlalu naïf, dan akan segera dijawab tidak mungkin bisa dilakukan!
Di era teknologi informatika, transparansi di segala bidang bisa dilakukan, termasuk ihwal penerimaan CPNS. Penggunaan teknologi sejak sosialisasi formasi yang tersedia, pendaftaran, tes, hingga pengumuman hasil tes, sangat mungkin dilakukan. Andai saja ada kemauan serius dari seluruh pemangku kebijakan di negeri ini. Atau, para menagku kebijakan diuntungkan oleh sistem yang ada hingga tidak mau berfikir bajik!
Sekedar ide sederhana, kita bisa mengunakan jasa Pos untuk memberi balasan (--pasca tes) yang berisi nilai dan kunci jawaban. Atau kunci jawaban dan nilai disertakan dalam pengumuman di media. Lebih canggih, dengan komputerisasi atau internetisasi data hasil ujian yang disertai kunci jawaban, diurutkan berdasar ranking. Dengan demikian publik bisa mengaksesnya dan legowo bukan?
Akhirnya semua kembali kepada para penentu kebijakan, apakah ada hasrat untuk memuaskan “batin publik”, dengan transparansi penerimaan CPNS ini dari “A” sampai “Z”.
*)Penulis adalah Guru Honorer, Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam, di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.
Jumat, 19 November 2010
FIPOB Ke-5 & Kesadaran Bahari Kita
Oleh Ayatulloh Marsai
Di tengah gegap gempita Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari (FIPOB) ke-5 di Banten, yang berlangsung dari 2-11 November 2010, saya sangat sulit menemukan luas laut Banten di situs-situs milik pemerintah. Satu sisi saya bangga menjadi tuan rumah festival yang menghadirkan 55 negara ini. Sisi yang lain, “kecewa” dengan keterbatasan informasi primer yang bisa diakses berkaitan dengan luas laut Banten.
Di Website Pemprov Banten, saya hanya mendapatkan informasi luas Banten, 8.651,20 Km2, dilengkapi dengan topografi (wilayah dataran rendah dan daratan tinggi diatas permukaan laut), informasi hidrologi (air tanah) dan klimatologi serta geologi. Sementara informasi luas laut wilayah Banten tidak ditemukan.
Dalam sambutan pembukaan FIPOB V, sebagaimana dilansir Baraya Post, 3/11/ 2010, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, hanya menyebutkan panjang pantai Provinsi Banten, 517 km dan jumlah tempat wisata di Banten, 204 tempat. Selebihnya sibuk membicarakan Gunung Anak Krakatau yang sedang aktif, sebagai tambahan pemandangan gratis bagi para tamu dari mancanegara.
Sementara luas laut Banten yang “menyelimuti” dari tiga arah angin tidak disebutkan oleh Gubernur Banten. Di utara ada Laut Jawa, di barat ada Selat Sunda dan di selatan ada Samudera Indonesia.
Keterbatasan informasi ini menimbulkan kesan bahwa Pemprov Banten belum maksimal memetakan wilayahnya secara keseluruhan sampai ke perbatasan terluar, yakni lautan. Bagaimana bisa pemerintah bisa mengembangkan potensi-potensi yang terkandung di sepanjang pantai, di permukaan, serta di dasar lautan, kalau pemetaan sektor kelautannya saja belum digarap secara maksimal.
Ketersediaan informasi yang cukup akan sangat bermanfaat untuk pengembangan seluruh sektor yang ada di laut. Baik pengembangan itu oleh pemerintah, pengusaha domestik dan juga investor asing.
Banten adalah bagian dari bangsa bahari, sebagaimana didengung-dengungkan oleh Kemenpora, Andi A Mallarangeng, dalam sambutan pembukaan FIPOB ke-5 ini.
Lautan Lebih Luas Daripada Daratan
Lautan adalah bagian tak terpisahkan dari daratan. Bagi Indonesia, lautan bukan pemisah melainkan penghubung antar nusa (baca: pulau). Tidak ada perdebatan bahwa lautan lebih luas dibandingkan dengan daratan. Konsep ini berlaku baik untuk Indonesia khusus, maupun secara global.
Luas laut Indonesia 5,8 juta kilometer persegi, tiga kali lebih luas dari daratan yang hanya 1,9 juta kilometer persegi (Portal Nasional Republik Indonesia). Perbandingan daratan dan lautan di Bumi secara keseluruhan: 28,88 persen untuk daratan dan 71,11 persennya berupa lautan. Sebuah angka persentase yang memang sudah seharusnya menggiring kita pada kesimpulan bahwa masa depan sebuah bangsa ada di lautan. Siapa yang pandai dan berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang terkandung di lautan maka dia adalah bangsa yang kaya.
Dalam buku, “Al-Qur’an dan Lautan”, karya Agus S Djamil, bahwa keberadaan wilayah laut menjadi salah satu penentu tingkat ekonomi sebuah negara. Sebagai inspirasi bagi kita, buku ini juga mengungkap bahwa jumlah kata “laut” berjumlah 32 kata, sedangkan kata “darat” sebanyak 13 ayat. Bila dijumlahkan menjadi 45 kata. Angka 45 sebagai pengejawantahan terhadap “bumi”. Sekarang, kita ambil 13 sebagai kata “darat” yang tidak lain 28, 22 persen dari 45. Dan sisanya 32, atau 71, 11 persen, persis sama dengan persentase lauatan di dunia ini.
Tidak ada keraguan lagi bagi kita, baik secara fisik, secara ilmiah, bahkan Agama, bahwa penguasaan terhadap lautan sangat menentukan masa depan kita sebagai bangsa bahari. Dengan pandangan positif terhadap laut maka kita akan mulai mengolah, mendayagunakan laut sebagai kekayaan yang menyejahterakan rakyat. Kita akan mulai menghargai tapal batas laut terluar sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak diserobot oleh tetangga yang lebih sadar akan kekayaan laut. Kekayaan laut Indonesia banyak dinikmati oleh nelayan-nelayan asing.
Bangkitkan Sektor Kelautan
Sampai disini, Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari ke-5, yang bertemakan 4P (people, profit, promosi, dan prospek) ini, mudah-mudahan tidak selesai sampai acara seremonial belaka. Tapi, menjadi titik awal “ketergugahan” Provinsi Banten untuk lebih serius menatap lautan yang terhampar di tiga penjuru arah angin Banten, sebagai potensi yang bisa menyejahterakan dan mengangkat derajat rakyat Banten kususnya, umumnya Indonesia.
Tentu saja kesejahteraan itu bisa diraih dengan cara pengembangan pengelolaan menyeluruh pada sektor kelautan. Misalnya, Wisata Bahari. Sektor ini sangat melimpah di Banten, tidak hanya pantai yang indah, pemandangan Gunung Anak Krakatau, tetapi juga wisata dasar laut yang menakjubkan. Bahkan dalam seminar tentang peninggalan arkeologi bawah laut, di Serang, 27 Juli 2010, seperti yang diberitakan Erabaru.Net, terungkap banyak kapal-kapal luar negeri yang tenggelam di lautan Banten. Jadi ketika kita bicara wisata bahari Banten, maka tentu meliputi permukaan dan bawah lautan Banten ini.
Sektor yang lain misalnya, pertambangan laut, perikanan, dan kepelabuanan. Di Banten, sudahkah ketiga sektor penting itu mendapat perhatian serius dari pemerintah?
Kemudian, tidak kalah pentingnya kita juga harus mulai serius mengamankan laut Banten ini. Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bangsa kita, baik secara ekonomi atau pun kedaulatan bangsa. Dua tahun terakhir, di Pelabuhan Merak misalnya, kita kedatangan imigran illegal dari luar, dan mereka berhasil masuk ke laut Banten, tanpa kita ketahui sebelumnya di perbatasan.
Belum lagi pencurian ikan, dan yang paling parah adalah pencurian kekayaan laut dalam, seperti terumbu-terumbu karang dan juga peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di dalam laut. Kesemuanya menandakan dengan jelas kelemahan sistem keamanan laut kita.
Seyogyanya FIPOB V ini bisa menggugah Banten. Menjadikannya sebagai tonggak sejarah untuk kebangkitan Banten sebagai bagian bangsa bahari. Kebangkitan yang dimulai dari dukungan para pemangku kebijakan yang komprehensif. Mulai dari payung hukum, kebijakan ekonomi, pariwisata, revitalisasi pelabuhan bertaraf internasional, trevel, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keamanan lautan baik dari ancaman dalam maupun luar, baik yang datang dari manusia maupun alam.
Seluruh keinginan dan kebijakan pemerintahan mengenai kebangkitan bangsa bahari di Banten perlu keberpihakan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu gerakan kebangkitan ini harus dipahami dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Kebangkitan bangsa bahari meng-andaikan kemampuan memanfaatkan potensi sektor kelautan secara optimal. Dengan begitu kita akan mendapati sebagian “rahasia” Allah swt. menciptakan lautan lebih luas daripada daratan. “Dan Dialah, Allah, yang menundukan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (An-Nahl, ayat 14). Wassalam.
Di tengah gegap gempita Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari (FIPOB) ke-5 di Banten, yang berlangsung dari 2-11 November 2010, saya sangat sulit menemukan luas laut Banten di situs-situs milik pemerintah. Satu sisi saya bangga menjadi tuan rumah festival yang menghadirkan 55 negara ini. Sisi yang lain, “kecewa” dengan keterbatasan informasi primer yang bisa diakses berkaitan dengan luas laut Banten.
Di Website Pemprov Banten, saya hanya mendapatkan informasi luas Banten, 8.651,20 Km2, dilengkapi dengan topografi (wilayah dataran rendah dan daratan tinggi diatas permukaan laut), informasi hidrologi (air tanah) dan klimatologi serta geologi. Sementara informasi luas laut wilayah Banten tidak ditemukan.
Dalam sambutan pembukaan FIPOB V, sebagaimana dilansir Baraya Post, 3/11/ 2010, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, hanya menyebutkan panjang pantai Provinsi Banten, 517 km dan jumlah tempat wisata di Banten, 204 tempat. Selebihnya sibuk membicarakan Gunung Anak Krakatau yang sedang aktif, sebagai tambahan pemandangan gratis bagi para tamu dari mancanegara.
Sementara luas laut Banten yang “menyelimuti” dari tiga arah angin tidak disebutkan oleh Gubernur Banten. Di utara ada Laut Jawa, di barat ada Selat Sunda dan di selatan ada Samudera Indonesia.
Keterbatasan informasi ini menimbulkan kesan bahwa Pemprov Banten belum maksimal memetakan wilayahnya secara keseluruhan sampai ke perbatasan terluar, yakni lautan. Bagaimana bisa pemerintah bisa mengembangkan potensi-potensi yang terkandung di sepanjang pantai, di permukaan, serta di dasar lautan, kalau pemetaan sektor kelautannya saja belum digarap secara maksimal.
Ketersediaan informasi yang cukup akan sangat bermanfaat untuk pengembangan seluruh sektor yang ada di laut. Baik pengembangan itu oleh pemerintah, pengusaha domestik dan juga investor asing.
Banten adalah bagian dari bangsa bahari, sebagaimana didengung-dengungkan oleh Kemenpora, Andi A Mallarangeng, dalam sambutan pembukaan FIPOB ke-5 ini.
Lautan Lebih Luas Daripada Daratan
Lautan adalah bagian tak terpisahkan dari daratan. Bagi Indonesia, lautan bukan pemisah melainkan penghubung antar nusa (baca: pulau). Tidak ada perdebatan bahwa lautan lebih luas dibandingkan dengan daratan. Konsep ini berlaku baik untuk Indonesia khusus, maupun secara global.
Luas laut Indonesia 5,8 juta kilometer persegi, tiga kali lebih luas dari daratan yang hanya 1,9 juta kilometer persegi (Portal Nasional Republik Indonesia). Perbandingan daratan dan lautan di Bumi secara keseluruhan: 28,88 persen untuk daratan dan 71,11 persennya berupa lautan. Sebuah angka persentase yang memang sudah seharusnya menggiring kita pada kesimpulan bahwa masa depan sebuah bangsa ada di lautan. Siapa yang pandai dan berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang terkandung di lautan maka dia adalah bangsa yang kaya.
Dalam buku, “Al-Qur’an dan Lautan”, karya Agus S Djamil, bahwa keberadaan wilayah laut menjadi salah satu penentu tingkat ekonomi sebuah negara. Sebagai inspirasi bagi kita, buku ini juga mengungkap bahwa jumlah kata “laut” berjumlah 32 kata, sedangkan kata “darat” sebanyak 13 ayat. Bila dijumlahkan menjadi 45 kata. Angka 45 sebagai pengejawantahan terhadap “bumi”. Sekarang, kita ambil 13 sebagai kata “darat” yang tidak lain 28, 22 persen dari 45. Dan sisanya 32, atau 71, 11 persen, persis sama dengan persentase lauatan di dunia ini.
Tidak ada keraguan lagi bagi kita, baik secara fisik, secara ilmiah, bahkan Agama, bahwa penguasaan terhadap lautan sangat menentukan masa depan kita sebagai bangsa bahari. Dengan pandangan positif terhadap laut maka kita akan mulai mengolah, mendayagunakan laut sebagai kekayaan yang menyejahterakan rakyat. Kita akan mulai menghargai tapal batas laut terluar sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak diserobot oleh tetangga yang lebih sadar akan kekayaan laut. Kekayaan laut Indonesia banyak dinikmati oleh nelayan-nelayan asing.
Bangkitkan Sektor Kelautan
Sampai disini, Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari ke-5, yang bertemakan 4P (people, profit, promosi, dan prospek) ini, mudah-mudahan tidak selesai sampai acara seremonial belaka. Tapi, menjadi titik awal “ketergugahan” Provinsi Banten untuk lebih serius menatap lautan yang terhampar di tiga penjuru arah angin Banten, sebagai potensi yang bisa menyejahterakan dan mengangkat derajat rakyat Banten kususnya, umumnya Indonesia.
Tentu saja kesejahteraan itu bisa diraih dengan cara pengembangan pengelolaan menyeluruh pada sektor kelautan. Misalnya, Wisata Bahari. Sektor ini sangat melimpah di Banten, tidak hanya pantai yang indah, pemandangan Gunung Anak Krakatau, tetapi juga wisata dasar laut yang menakjubkan. Bahkan dalam seminar tentang peninggalan arkeologi bawah laut, di Serang, 27 Juli 2010, seperti yang diberitakan Erabaru.Net, terungkap banyak kapal-kapal luar negeri yang tenggelam di lautan Banten. Jadi ketika kita bicara wisata bahari Banten, maka tentu meliputi permukaan dan bawah lautan Banten ini.
Sektor yang lain misalnya, pertambangan laut, perikanan, dan kepelabuanan. Di Banten, sudahkah ketiga sektor penting itu mendapat perhatian serius dari pemerintah?
Kemudian, tidak kalah pentingnya kita juga harus mulai serius mengamankan laut Banten ini. Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bangsa kita, baik secara ekonomi atau pun kedaulatan bangsa. Dua tahun terakhir, di Pelabuhan Merak misalnya, kita kedatangan imigran illegal dari luar, dan mereka berhasil masuk ke laut Banten, tanpa kita ketahui sebelumnya di perbatasan.
Belum lagi pencurian ikan, dan yang paling parah adalah pencurian kekayaan laut dalam, seperti terumbu-terumbu karang dan juga peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di dalam laut. Kesemuanya menandakan dengan jelas kelemahan sistem keamanan laut kita.
Seyogyanya FIPOB V ini bisa menggugah Banten. Menjadikannya sebagai tonggak sejarah untuk kebangkitan Banten sebagai bagian bangsa bahari. Kebangkitan yang dimulai dari dukungan para pemangku kebijakan yang komprehensif. Mulai dari payung hukum, kebijakan ekonomi, pariwisata, revitalisasi pelabuhan bertaraf internasional, trevel, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keamanan lautan baik dari ancaman dalam maupun luar, baik yang datang dari manusia maupun alam.
Seluruh keinginan dan kebijakan pemerintahan mengenai kebangkitan bangsa bahari di Banten perlu keberpihakan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu gerakan kebangkitan ini harus dipahami dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Kebangkitan bangsa bahari meng-andaikan kemampuan memanfaatkan potensi sektor kelautan secara optimal. Dengan begitu kita akan mendapati sebagian “rahasia” Allah swt. menciptakan lautan lebih luas daripada daratan. “Dan Dialah, Allah, yang menundukan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (An-Nahl, ayat 14). Wassalam.
Terobosan Baru
21:14
Satu satunya cara yang dapat menjamin bahwa hari esok akan lebih menyenangkan dari hari kemarin adalah merencanakan sesuatu, mengerjakannya dan mencapai cita-cita yang telah direncanakan tersebut. Tanpa cita-cita baru berarti kita mendaur ulang cita-cita lama. Jika anda sulit bangun di pagi hari dan anda enggan menyongsong hari baru, tak perlu diragukan lagi bahwa yang terbentang di depan anda adalah jalan lama, bukan jalan baru.
Menurut mantan eksekutif Disney, Mike Vance, mengulang hari kemarin menyebabkan psychosclerosis atau “pembekuan pikiran”. Mengulang hari kemarin juga dapat digambarkan sebagai berdiri kaku kedinginan di atas anak tangga kehidupan. Ini tidak berarti bahwa anda belum pernah menaiki tangga. Anda pernah melangkah, lalu anda berjalan di tempat.
Ketika prestasi di masa lalu, dan bukannya visi untuk maju di masa depan, yang lebih mendominasi banyak mimpi, besar kenungkinan bahwa anda memulai kembali dengan cara lama. Tak seorang pun dalam sejarah yang pernah dikenang dan dihormati karena kepiawaiannya mengulang hari kemarin. Lazimnya, penghormatan hanya diberikan kepada mereka yang berhasil melakukan trobosan baru.
“kehidupan adalah sebuah proses untuk menjadi seseorang/sesuatu. Jika minat anda belum bertambah selama tahun yang lalu; jika anda masih memikirkan hal-hal yang sama, mempunyai pengalaman pribadi yang sama, memiliki reaksi yang dapat diprediksi seperti semula –kepribadian yang mati telah terbentuk”. ------(Jendral Douglas MacArthur).
Sumber: “Menangkap Hari; 7 langkah untuk mencapai hal-hal yang luar biasa di dalam dunia yang biasa-biasa”, Danny Cox & John Hoover.
Satu satunya cara yang dapat menjamin bahwa hari esok akan lebih menyenangkan dari hari kemarin adalah merencanakan sesuatu, mengerjakannya dan mencapai cita-cita yang telah direncanakan tersebut. Tanpa cita-cita baru berarti kita mendaur ulang cita-cita lama. Jika anda sulit bangun di pagi hari dan anda enggan menyongsong hari baru, tak perlu diragukan lagi bahwa yang terbentang di depan anda adalah jalan lama, bukan jalan baru.
Menurut mantan eksekutif Disney, Mike Vance, mengulang hari kemarin menyebabkan psychosclerosis atau “pembekuan pikiran”. Mengulang hari kemarin juga dapat digambarkan sebagai berdiri kaku kedinginan di atas anak tangga kehidupan. Ini tidak berarti bahwa anda belum pernah menaiki tangga. Anda pernah melangkah, lalu anda berjalan di tempat.
Ketika prestasi di masa lalu, dan bukannya visi untuk maju di masa depan, yang lebih mendominasi banyak mimpi, besar kenungkinan bahwa anda memulai kembali dengan cara lama. Tak seorang pun dalam sejarah yang pernah dikenang dan dihormati karena kepiawaiannya mengulang hari kemarin. Lazimnya, penghormatan hanya diberikan kepada mereka yang berhasil melakukan trobosan baru.
“kehidupan adalah sebuah proses untuk menjadi seseorang/sesuatu. Jika minat anda belum bertambah selama tahun yang lalu; jika anda masih memikirkan hal-hal yang sama, mempunyai pengalaman pribadi yang sama, memiliki reaksi yang dapat diprediksi seperti semula –kepribadian yang mati telah terbentuk”. ------(Jendral Douglas MacArthur).
Sumber: “Menangkap Hari; 7 langkah untuk mencapai hal-hal yang luar biasa di dalam dunia yang biasa-biasa”, Danny Cox & John Hoover.
Minggu, 14 November 2010
Kasih saja makan tanah Pak!
November 13, 2010
18:35
Di akhir pembelajaran seorang guru memberikan motivasi kepada siswanya, “umur kalian sekarang sekitar 13 tahun. Bayangkan 10 tahun ke depan, ketika umur kalian 23-25, ingin jadi seperti apa kalian!!!? Untuk mewujudkan cita-cita yang kalian inginkan itu, maka kalian harus belajar dan terus belajar secara sungguh-sungguh. Sebab, ilmu akan memberi kita segalanya, kemudahan hidup, termasuk kesejahteraan hidup. Kalau kalian tidak belajar dengan sungguh-sungguh, mau makan apa kalian, dan anak istri kalian?”.
Dengan iseng seorang siswa menjawab, “dikasih makan tanah saja Pak!”. Guru kemudian memanggil muridnya itu, “Ardi, keluar, ambil tanah yang kamu bilang tadi.” Dengan raut muka penuh penyesalan Ardi keluar ruang kelas.
Tidak lama, Ardi kembali dengan segenggam tanah di tangannya. Dan Sang Guru langsung menyambutnya dengan perintah beruntun, “ke depan, angkat tanah itu tinggi-tinggi, dan coba jelaskan apa yang kamu maksud dengan mengasih makan anak istri dengan tanah.”
Tentu saja Ardi gelagapan, karena kata-katanya tadi 100 persen bercanda, tidak ada serius-seriusnya. Sang Guru tahu itu, tetapi dia melihat ada kebenaran pada jawaban muridnya itu.
Kemudian Sang Guru angkat bicara, “kalian tahu Batubata, kalian tahu Genteng, bahkan kalian tahu Rumah, atau Padi. Dan kalian tahu besi, emas, perak dan tembaga-tembaga lainnya, semuanya berasal dari tanah. Tanah. Jadi jawaban kamu benar”, sambil menepuk pundak Ardi.
“Tapi Ardi, dan kalian semua harus tahu dan sadar bahwa kesemua jenis barang yang saya sebutkan tadi adalah tanah yang sudah diolah dengan ilmu, diproses dengan pengetahuan dan kemampuan yang cakap. Hasilnya bisa bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia dan bisa menjadi bisnis besar. Mungkin maksud jawaban Ardi begitu, sehingga tanah bisa dipergunakan untuk memberi makan anak istrinya nanti”, Sang Guru menjelaskan panjang.
Semua siswa mengangguk-angguk, Ardi dipersilahkan kembali ke tempat duduknya. Waktunya pulang, semua siswa keluar menggenggam pengetahuan menghadapi tantangan zaman.
18:35
Di akhir pembelajaran seorang guru memberikan motivasi kepada siswanya, “umur kalian sekarang sekitar 13 tahun. Bayangkan 10 tahun ke depan, ketika umur kalian 23-25, ingin jadi seperti apa kalian!!!? Untuk mewujudkan cita-cita yang kalian inginkan itu, maka kalian harus belajar dan terus belajar secara sungguh-sungguh. Sebab, ilmu akan memberi kita segalanya, kemudahan hidup, termasuk kesejahteraan hidup. Kalau kalian tidak belajar dengan sungguh-sungguh, mau makan apa kalian, dan anak istri kalian?”.
Dengan iseng seorang siswa menjawab, “dikasih makan tanah saja Pak!”. Guru kemudian memanggil muridnya itu, “Ardi, keluar, ambil tanah yang kamu bilang tadi.” Dengan raut muka penuh penyesalan Ardi keluar ruang kelas.
Tidak lama, Ardi kembali dengan segenggam tanah di tangannya. Dan Sang Guru langsung menyambutnya dengan perintah beruntun, “ke depan, angkat tanah itu tinggi-tinggi, dan coba jelaskan apa yang kamu maksud dengan mengasih makan anak istri dengan tanah.”
Tentu saja Ardi gelagapan, karena kata-katanya tadi 100 persen bercanda, tidak ada serius-seriusnya. Sang Guru tahu itu, tetapi dia melihat ada kebenaran pada jawaban muridnya itu.
Kemudian Sang Guru angkat bicara, “kalian tahu Batubata, kalian tahu Genteng, bahkan kalian tahu Rumah, atau Padi. Dan kalian tahu besi, emas, perak dan tembaga-tembaga lainnya, semuanya berasal dari tanah. Tanah. Jadi jawaban kamu benar”, sambil menepuk pundak Ardi.
“Tapi Ardi, dan kalian semua harus tahu dan sadar bahwa kesemua jenis barang yang saya sebutkan tadi adalah tanah yang sudah diolah dengan ilmu, diproses dengan pengetahuan dan kemampuan yang cakap. Hasilnya bisa bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia dan bisa menjadi bisnis besar. Mungkin maksud jawaban Ardi begitu, sehingga tanah bisa dipergunakan untuk memberi makan anak istrinya nanti”, Sang Guru menjelaskan panjang.
Semua siswa mengangguk-angguk, Ardi dipersilahkan kembali ke tempat duduknya. Waktunya pulang, semua siswa keluar menggenggam pengetahuan menghadapi tantangan zaman.
Rabu, 10 November 2010
Haji, Kaum Terpelajar & Sumpah Pemuda
Oleh: Ayatulloh Marsai*
Dalam buku, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Penerbit Gramedia Jakarta, 1989), Mohammad Roum, menceritakan bahwa keberadaan kaum terpelajar yang belajar di Nederland, setelah pulang membawa perubahan besar dalam arah perjuangan Indonesia. Selanjutnya, yang juga terbukti kuat melakukan usaha sistematis terhadap kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia adalah para Haji.
Apakah hubungannya dengan Sumpah Pemuda? Tentu saja erat sekali, sebab, peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 berasal dari mata rantai dari semangat juang para pelajar dan Haji jauh-jauh hari sebelumnya. Pangkalnya adalah tahun 1905, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam; tahun 1913 Tiga Serangkai (Setiabudi, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjiptomangunkusumo) mendirikan National Indische Partij; tahun 1925 berdiri Nederland Indonesische Vereniging dan Jong Islamieten Bond; tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Jong Indonesia. Kesemuanya, menurut Pak Roem, mempunyai kesadaran: Bangsa satu, Tanah Air satu dan Bahasa satu.
Dari sekian banyak pribumi, petani dan pedagang, maka kaum terpelajar dan Hajilah yang terusik kesadarannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, sekaligus mampu mengambil langkah sistematis dalam rangka pemerdekaan Indonesia. Namun demikian dari sekian banyak kaum terpelajar dan Haji tidak serta merta semuanya punya kesadaran untuk bergerak, berupaya menuju Indonesia merdeka. Indonesia yang memerintah dan mengatur bangsanya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terpelajar, menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk bekerja kepada Belanda. Sementara yang terjadi dikalangan sejumlah Haji yang berangkat ke Tanah Suci, hanya untuk memenuhi panggilan kewajiban agamanya, tidak lebih.
Pandangan yang jauh ke depan, visi Indonesia bersatu hanya mampu dilihat oleh segelintir kaum terpelajar,dan sedikit para Haji saja. Sementara yang lain bersikap masa bodoh dan tidak peduli terhadap nasib bangsanya di genggaman tangan penjajah.
Sebetulnya kesadaran nasional berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Indonesia, tidak cukup lahir dari pemuda yang berstatus terpelajar semata dan Haji semata. Tetapi itu lahir dari siapa saja yang tercerahkan dan dilengkapi dengan instrument yang dibutuhkan.
Orang yang tercerahkan, menurut Ali Syariati, adalah individu yang sadar dan bertanggungjawab untuk membangkitkan kesadaran diri dan rakyat jelata. Dalam hal ini, pemuda yang punya daya ubah, daya dorong, daya kendali untuk berperan aktif dalam menentukan arah perubahan. Itulah pemudah yang tercerahkan. Seperti yang dilakukan oleh para pelajar Stovia dan juga para Haji, yang tidak hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelajar dan jama’ah haji, lebih dari itu berperan aktif dalam menentukan arah perjuangan, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan.
Semangat perubahan itu semakin bertenaga ketika mereka mengetahui bahwa Belanda adalah negara kecil, namun cukup lama menjadi tuan rumah di Indonesia. Ini sangat mengganggu pikiran dan perasaan para pelajar. Negara yang kecil bisa menguasai negara besar, Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Faktor ini, tidak bisa dipungkiri, turut menyemangati bangsa Indonesia yang beragam suku, bahasa dan kepulauan, untuk menjadikan negara masa depan mereka menjadi negara kesatuan.
Kaum Terpelajar Indonesia Kini
Yang pasti, secara kuantitas pelajar sekarang jauh lebih banyak dari jaman penjajahan. Sekolah-sekolah sudah tersebar ke seluruh pelosok negeri, perguruan-perguruan tinggi merata ada di setiap kota, membuka kesempatan lebar kepada seluruh generasi muda Indonesia untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan, beberap pemuda yang punya kocek lebih, bisa menikmati pendidikannya di negera-negara maju. Yang terakhir ini, bisa menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan yang lebih modern dibanding dengan fasilitas yang ada di perguruan tinggi yang pertama disebutkan.
Melihat kenyataan ini, tentunya kita patut bergembira bahwa pemuda sekarang mayoritas adalah kaum terpelajar. Timbul pertanyaan kemudian, apakah keberadaan mereka merupakan jaminan untuk terwujudnya Indonesia lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, dan berkeadilan. Apakah para terpelajar itu bisa mewujudkan kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh Pancasila dan UUD ’45.
Jawabannya tentu saja tidak jaminan keberadaan mereka bisa membawa bangsa ini lemih maju. Hanya sedikit dari mereka (kaum terpelajar) yang akan menjadi aktor penggerak kemajuan. Sebagaimana sejarah mengajarkan kepada kita, hanya sedikit orang yang mampu melihat permasalahan dengan kesadaran, dengan tanggungjawab sosialnya untuk mencerahkan rakyat jelata. Mengahrumkan nama bangsa di pentas internasional. Seperti, 5 pemuda Indonesia yang akan berangkat ke London untuk bergabung dengan 1500 pemuda dunia dari 192 negara. Kegiatan yang punya nama “One Young Word” ini akan membahas persoalan-persoalan dunai, dari politik, ekonomi social dan masalah-masalah penting lain di dunia internasional.
Dengan tidak bermaksud` mengecilkan arti penting keberadaan mereka yang berprestasi, namun sebagian terbesar dari kaum terpelajar kita bersikap masa bodoh dengan perkembangan bangsa, malah banyak yang terjerumus pada “dunia-dunia muda” yang cendrung negatif. Lihat saja, “label” yang melekat pada kaum pelajar Indonesia sekarang nampak jelas terlihat di media-media, baik cetak maupun elektronik. Tawuran pelajar sering sekali terjadi, dari jalanan sampai ke lapangan Sepak Bola. Bahkan tawuran ini bisa dilihat sekarang sudah “kuliah” di perguruan-perguruan tinggi. Tidak sedikit perguruan tinggi luntur wibawanya sebagai lembaga pendidikan tinggi oleh “budaya” kekerasan ini; ketika kita melihat pelaku seks bebas tertangkap polisi, dia adalah pemuda dan kaum terpelajar; minum-minuman keras, judi, ngebut di jalanan raya, penyalahgunaan narkoba, sampai pembajak VCD, pelakunya adalah pemuda dan kaum terpelajar.
Belum lama ini, kita juga malu dengan pola protes pemuda dan kaum terpelajar Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia, dengan menggunakan kotoran manusia sebagai media protesnya. Terlepas dengan siapa kita berhadapan, tetapi pola yang digunakan tidak menggambarkan perjuangan kaum terpelajar. Kecendrungan perjuangan kaum terpelajar adalah menggugat, menyalurkan rasa nasionalismenya dengan cara-cara rasional dan sistematis.
Pantaskah pemuda-pemuda dengan “label” di atas nantinya memegang kendali bangsa ini. Jawabanya tentu sudah jelas, tidak. Negara kesatuan bangsa, tanah air dan kesatuan bahasa ini akan menjadi petaka jika pewarisnya berprilaku menyimpang seperti itu. Sementara, PR (pekerjaan Rumah) bangsa ini makin bertumpuk. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, putus sekolah, moralitas, masalah lingkungan, pembalakan liar dan trauma akibat bencana. Kesemuanya merupakan pekerjaan besar yang menunggu kebangkitan nasional jilid II yang dipelopori oleh pemuda dan kaum terpelajar yang tercerahkan.
Kesadaran Yang Harus Dibangun
Usia Sumpah Pemuda itu sekarang sudah 82 tahun. Dengan semangat kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, marilah kita berkarya, menciptakan sesuatu yang baru (kreatif). Kita bikin bangga orang-orang yang 82 tahun lalu, dengan susah menyatukan suku yang berbeda, wilayah kepualauan dengan berbagai bahasa. Kita punya potensi, alam yang kaya, subur, budaya timur yang ramah, etis, terbuka, toleran, damai, adalah identitas yang sudah lama kita miliki.
Ada dua kesadaran yang harus dibangun untuk mengembalikan semangat Sumpah Pemuda. Pertama, kesadaran eksternal, membangun kesadaran bahwa bangsa ini sedang berada dalam ancaman-ancaman bangsa asing. Atau dalam bahasa yang lebih halus, sedang berkompetisi dengan bangsa lain. Kesadaran ini kedengarannya klasik. Namun terbukti ampuh untuk membangun nasionalisme pada tingkatan awal. Seperti, beberapa kasus kita dengan Malaysia, mulai dari masalah-masalah adat kebudayaan sampai batas wilayah, terbukti telah membangkitkan kecintaan kita terhadap Indonesia yang lama terlupakan. Jadi, kesadaran atas ancaman faktor asing ini penting, bukan ancaman perpecahan bangsa, tanah air atau bahasa, melainkan membuyarkan tujuan pembangunan nasional menjadi pembangunan golongan dan pribadi. Paling tidak, ancaman itu kita pahami secara positif dengan semangat kompetisi dalam segala bidang dengan bangsa lain. Sambil belajar dari mereka yang sudah maju.
Kedua,kesadaran internal. Pemuda tercerahkan harus punya kesadaran, bangsa ini merdeka untuk ditumbuhkembangkan menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan sosial. Bangsa yang lahir atas nama rakyat, harus mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan untuk segelintir orang atau golongan. Oleh karenanya, kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa dalam Sumpah Pemuda 1928 harus disertai, dalam bahasa Es Ito (Novel Negara Kelima), kesatuan jiwa.
*) Penulis adalah Guru Sertifikasi SKI
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Tinggal di Dukumalang, Kel. Tegal Bunder, Purwakarta – Kota Cilegon
Dalam buku, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Penerbit Gramedia Jakarta, 1989), Mohammad Roum, menceritakan bahwa keberadaan kaum terpelajar yang belajar di Nederland, setelah pulang membawa perubahan besar dalam arah perjuangan Indonesia. Selanjutnya, yang juga terbukti kuat melakukan usaha sistematis terhadap kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia adalah para Haji.
Apakah hubungannya dengan Sumpah Pemuda? Tentu saja erat sekali, sebab, peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 berasal dari mata rantai dari semangat juang para pelajar dan Haji jauh-jauh hari sebelumnya. Pangkalnya adalah tahun 1905, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam; tahun 1913 Tiga Serangkai (Setiabudi, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjiptomangunkusumo) mendirikan National Indische Partij; tahun 1925 berdiri Nederland Indonesische Vereniging dan Jong Islamieten Bond; tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Jong Indonesia. Kesemuanya, menurut Pak Roem, mempunyai kesadaran: Bangsa satu, Tanah Air satu dan Bahasa satu.
Dari sekian banyak pribumi, petani dan pedagang, maka kaum terpelajar dan Hajilah yang terusik kesadarannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, sekaligus mampu mengambil langkah sistematis dalam rangka pemerdekaan Indonesia. Namun demikian dari sekian banyak kaum terpelajar dan Haji tidak serta merta semuanya punya kesadaran untuk bergerak, berupaya menuju Indonesia merdeka. Indonesia yang memerintah dan mengatur bangsanya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terpelajar, menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk bekerja kepada Belanda. Sementara yang terjadi dikalangan sejumlah Haji yang berangkat ke Tanah Suci, hanya untuk memenuhi panggilan kewajiban agamanya, tidak lebih.
Pandangan yang jauh ke depan, visi Indonesia bersatu hanya mampu dilihat oleh segelintir kaum terpelajar,dan sedikit para Haji saja. Sementara yang lain bersikap masa bodoh dan tidak peduli terhadap nasib bangsanya di genggaman tangan penjajah.
Sebetulnya kesadaran nasional berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Indonesia, tidak cukup lahir dari pemuda yang berstatus terpelajar semata dan Haji semata. Tetapi itu lahir dari siapa saja yang tercerahkan dan dilengkapi dengan instrument yang dibutuhkan.
Orang yang tercerahkan, menurut Ali Syariati, adalah individu yang sadar dan bertanggungjawab untuk membangkitkan kesadaran diri dan rakyat jelata. Dalam hal ini, pemuda yang punya daya ubah, daya dorong, daya kendali untuk berperan aktif dalam menentukan arah perubahan. Itulah pemudah yang tercerahkan. Seperti yang dilakukan oleh para pelajar Stovia dan juga para Haji, yang tidak hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelajar dan jama’ah haji, lebih dari itu berperan aktif dalam menentukan arah perjuangan, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan.
Semangat perubahan itu semakin bertenaga ketika mereka mengetahui bahwa Belanda adalah negara kecil, namun cukup lama menjadi tuan rumah di Indonesia. Ini sangat mengganggu pikiran dan perasaan para pelajar. Negara yang kecil bisa menguasai negara besar, Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Faktor ini, tidak bisa dipungkiri, turut menyemangati bangsa Indonesia yang beragam suku, bahasa dan kepulauan, untuk menjadikan negara masa depan mereka menjadi negara kesatuan.
Kaum Terpelajar Indonesia Kini
Yang pasti, secara kuantitas pelajar sekarang jauh lebih banyak dari jaman penjajahan. Sekolah-sekolah sudah tersebar ke seluruh pelosok negeri, perguruan-perguruan tinggi merata ada di setiap kota, membuka kesempatan lebar kepada seluruh generasi muda Indonesia untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan, beberap pemuda yang punya kocek lebih, bisa menikmati pendidikannya di negera-negara maju. Yang terakhir ini, bisa menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan yang lebih modern dibanding dengan fasilitas yang ada di perguruan tinggi yang pertama disebutkan.
Melihat kenyataan ini, tentunya kita patut bergembira bahwa pemuda sekarang mayoritas adalah kaum terpelajar. Timbul pertanyaan kemudian, apakah keberadaan mereka merupakan jaminan untuk terwujudnya Indonesia lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, dan berkeadilan. Apakah para terpelajar itu bisa mewujudkan kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh Pancasila dan UUD ’45.
Jawabannya tentu saja tidak jaminan keberadaan mereka bisa membawa bangsa ini lemih maju. Hanya sedikit dari mereka (kaum terpelajar) yang akan menjadi aktor penggerak kemajuan. Sebagaimana sejarah mengajarkan kepada kita, hanya sedikit orang yang mampu melihat permasalahan dengan kesadaran, dengan tanggungjawab sosialnya untuk mencerahkan rakyat jelata. Mengahrumkan nama bangsa di pentas internasional. Seperti, 5 pemuda Indonesia yang akan berangkat ke London untuk bergabung dengan 1500 pemuda dunia dari 192 negara. Kegiatan yang punya nama “One Young Word” ini akan membahas persoalan-persoalan dunai, dari politik, ekonomi social dan masalah-masalah penting lain di dunia internasional.
Dengan tidak bermaksud` mengecilkan arti penting keberadaan mereka yang berprestasi, namun sebagian terbesar dari kaum terpelajar kita bersikap masa bodoh dengan perkembangan bangsa, malah banyak yang terjerumus pada “dunia-dunia muda” yang cendrung negatif. Lihat saja, “label” yang melekat pada kaum pelajar Indonesia sekarang nampak jelas terlihat di media-media, baik cetak maupun elektronik. Tawuran pelajar sering sekali terjadi, dari jalanan sampai ke lapangan Sepak Bola. Bahkan tawuran ini bisa dilihat sekarang sudah “kuliah” di perguruan-perguruan tinggi. Tidak sedikit perguruan tinggi luntur wibawanya sebagai lembaga pendidikan tinggi oleh “budaya” kekerasan ini; ketika kita melihat pelaku seks bebas tertangkap polisi, dia adalah pemuda dan kaum terpelajar; minum-minuman keras, judi, ngebut di jalanan raya, penyalahgunaan narkoba, sampai pembajak VCD, pelakunya adalah pemuda dan kaum terpelajar.
Belum lama ini, kita juga malu dengan pola protes pemuda dan kaum terpelajar Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia, dengan menggunakan kotoran manusia sebagai media protesnya. Terlepas dengan siapa kita berhadapan, tetapi pola yang digunakan tidak menggambarkan perjuangan kaum terpelajar. Kecendrungan perjuangan kaum terpelajar adalah menggugat, menyalurkan rasa nasionalismenya dengan cara-cara rasional dan sistematis.
Pantaskah pemuda-pemuda dengan “label” di atas nantinya memegang kendali bangsa ini. Jawabanya tentu sudah jelas, tidak. Negara kesatuan bangsa, tanah air dan kesatuan bahasa ini akan menjadi petaka jika pewarisnya berprilaku menyimpang seperti itu. Sementara, PR (pekerjaan Rumah) bangsa ini makin bertumpuk. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, putus sekolah, moralitas, masalah lingkungan, pembalakan liar dan trauma akibat bencana. Kesemuanya merupakan pekerjaan besar yang menunggu kebangkitan nasional jilid II yang dipelopori oleh pemuda dan kaum terpelajar yang tercerahkan.
Kesadaran Yang Harus Dibangun
Usia Sumpah Pemuda itu sekarang sudah 82 tahun. Dengan semangat kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, marilah kita berkarya, menciptakan sesuatu yang baru (kreatif). Kita bikin bangga orang-orang yang 82 tahun lalu, dengan susah menyatukan suku yang berbeda, wilayah kepualauan dengan berbagai bahasa. Kita punya potensi, alam yang kaya, subur, budaya timur yang ramah, etis, terbuka, toleran, damai, adalah identitas yang sudah lama kita miliki.
Ada dua kesadaran yang harus dibangun untuk mengembalikan semangat Sumpah Pemuda. Pertama, kesadaran eksternal, membangun kesadaran bahwa bangsa ini sedang berada dalam ancaman-ancaman bangsa asing. Atau dalam bahasa yang lebih halus, sedang berkompetisi dengan bangsa lain. Kesadaran ini kedengarannya klasik. Namun terbukti ampuh untuk membangun nasionalisme pada tingkatan awal. Seperti, beberapa kasus kita dengan Malaysia, mulai dari masalah-masalah adat kebudayaan sampai batas wilayah, terbukti telah membangkitkan kecintaan kita terhadap Indonesia yang lama terlupakan. Jadi, kesadaran atas ancaman faktor asing ini penting, bukan ancaman perpecahan bangsa, tanah air atau bahasa, melainkan membuyarkan tujuan pembangunan nasional menjadi pembangunan golongan dan pribadi. Paling tidak, ancaman itu kita pahami secara positif dengan semangat kompetisi dalam segala bidang dengan bangsa lain. Sambil belajar dari mereka yang sudah maju.
Kedua,kesadaran internal. Pemuda tercerahkan harus punya kesadaran, bangsa ini merdeka untuk ditumbuhkembangkan menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan sosial. Bangsa yang lahir atas nama rakyat, harus mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan untuk segelintir orang atau golongan. Oleh karenanya, kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa dalam Sumpah Pemuda 1928 harus disertai, dalam bahasa Es Ito (Novel Negara Kelima), kesatuan jiwa.
*) Penulis adalah Guru Sertifikasi SKI
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Tinggal di Dukumalang, Kel. Tegal Bunder, Purwakarta – Kota Cilegon
Sabtu, 06 November 2010
Celoteh ter-pinggir-kan Lingkar-an
Jalan berlubang, penuh air, kotor dan menganggu. “sprooot”, air itu menyembur kearahku. “sial, dasar bajingan, gak punya mata”, umpatku. Ah, tapi gimana lagi jalan di kota ini memang seperti adanya. Sudah bertahun-tahun, tak terjamah oleh APBN, tidak juga oleh APBD, entah mereka ngelayab ke mana?!, gak jelas. Gak setiap tahun juga gak apa-apa, yang penting kuat, kuat, sekali lagi yang penting kuat. Kuat itu, bisa bertahan sampai satu preode kerja Pak Presiden atau Pak Walikota!!
Disisi jalan, semak hijau tinggi, hampir bersentuh dengan kabel listrik, menjulang. Bukan indah, tapi tak terawat. Yang punya sawah menganggap ini kewjiban pemerintah desa. Dasar orang kampong, selalu mengandalkan pemerintah, emang gak bisa bersih-bersih taman sendiri pake uang sendiri. Bisa khan?! Bukan begitu, tapi khan pemerintah punya anggaran, kalau gak dipakai mau dipake buat apa? Beli mobil? Beli motor? Ah, jalannya juga jelek. Jalan kaki aja sih.
Jalan sepanjang kurang lebih 4 km ini juga tidak sepi dari “kuburan polisi”. Ah, polisi, mentang-mentang tugas di jalan, sampai dukubur juga di jalan. Luar biasa pengabdiannya. Sayang, kesetiaanmu kepada jalan, justru menganggu pengguna jalan. Kau malang melintang, menunda-nunda perjalanan. Kendaraan munclak-munclak, gak beres. Kanvas remku cepat habis, sudah kotor akibat jalan berlubang. Lama-lama aku bisa miskin gara-gara aku punya motor. Motor sialan. “Bukan saya yang sialan”, mungkin motorku jawab begitu. Ya, ya, jalan yang sialan. “lha kok saya yang sialan”, mungkin kata jalan begitu. “siapa yang mau jadi jelek, kalian gak tahu sih, aku begini karena aku dianaktrikan, semenjak aku punya “adik” lingkar itu, aku dilupakan, aku gak pernah dikasih perhatian, gak dipoles, gak ditengok, tengok. Jadi yang salah siapa? Ya, ya…………… Bapaklah….. yang salah, kenapa saya tidak diperhatiakan supaya saya layak jadi teman motor kalian untuk menjalani perjalan hidup ini. Kalau gak mampu, lha ya bok jangan punya anak lagi! Nanti, anak yang lain gak ternafkahi….. Ah, tulisan kacau!!! Ya iyalah, inilah “anak kandung” keadaan yang kacau!
Karangtengah sawah, 31 Oktober 2010
Ayatbanten.
Disisi jalan, semak hijau tinggi, hampir bersentuh dengan kabel listrik, menjulang. Bukan indah, tapi tak terawat. Yang punya sawah menganggap ini kewjiban pemerintah desa. Dasar orang kampong, selalu mengandalkan pemerintah, emang gak bisa bersih-bersih taman sendiri pake uang sendiri. Bisa khan?! Bukan begitu, tapi khan pemerintah punya anggaran, kalau gak dipakai mau dipake buat apa? Beli mobil? Beli motor? Ah, jalannya juga jelek. Jalan kaki aja sih.
Jalan sepanjang kurang lebih 4 km ini juga tidak sepi dari “kuburan polisi”. Ah, polisi, mentang-mentang tugas di jalan, sampai dukubur juga di jalan. Luar biasa pengabdiannya. Sayang, kesetiaanmu kepada jalan, justru menganggu pengguna jalan. Kau malang melintang, menunda-nunda perjalanan. Kendaraan munclak-munclak, gak beres. Kanvas remku cepat habis, sudah kotor akibat jalan berlubang. Lama-lama aku bisa miskin gara-gara aku punya motor. Motor sialan. “Bukan saya yang sialan”, mungkin motorku jawab begitu. Ya, ya, jalan yang sialan. “lha kok saya yang sialan”, mungkin kata jalan begitu. “siapa yang mau jadi jelek, kalian gak tahu sih, aku begini karena aku dianaktrikan, semenjak aku punya “adik” lingkar itu, aku dilupakan, aku gak pernah dikasih perhatian, gak dipoles, gak ditengok, tengok. Jadi yang salah siapa? Ya, ya…………… Bapaklah….. yang salah, kenapa saya tidak diperhatiakan supaya saya layak jadi teman motor kalian untuk menjalani perjalan hidup ini. Kalau gak mampu, lha ya bok jangan punya anak lagi! Nanti, anak yang lain gak ternafkahi….. Ah, tulisan kacau!!! Ya iyalah, inilah “anak kandung” keadaan yang kacau!
Karangtengah sawah, 31 Oktober 2010
Ayatbanten.
Selasa, 02 November 2010
"Pedekate"
Senin, 01 Nopember 2010
03:58
Ibarat orang pacaran, ketika ada saingan maka kita akan sekuat kemampuan untuk bisa mendapatkan perhatian dari pacar kita. Ibarat "pedekate" maka kita memberikan yang terbaik kepada perempuan yang kita harapkan menjadi pacar kita itu. Itulah hikmah yang bisa saya ambil dari polemic antara Pemkot vs KS-Posco berkaitan dengan kepentingan Pemkot untuk membuat Pelabuhan Kubangsari pada satu sisi, dan pembangunan Pabrik Baja oleh KS-Posco di sisi lain.
Lihat saja dalam beberapa bulan terakhir, di media cetak local misalnya, kita pasti dengan mudah bisa menemukan berita kegiatan amal yang dilakukan oleh PT KS. Misalnya, “KS Group Pedulai Kesehatan: Pengobataan Gratis Bagi Warga Kecamatan Anyar”, “PT KS Bantu Korban Anyer” dan banyak lagi. Tentu kegiatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, secara kwalitas pelayanan kesehatan Rumah Sakit KS sudah dimaklumi oleh masyarakat, ketimbang rumah sakit pemerintah misalnya, karena tergolong mahal.
Yang paling menggembirakan dari sekian berita tentang KS di media massa adalah pengangkatan 99 karyawan outsourcing menjadi organic. Belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga ini menjadi hikmah tersendiri untuk masyarakat Kota Cilegon.
Kilas Balik KS Untuk Masyarakat Lokal
Menjadi pengandaian tersendiri untuk penulis, seandainya perhatian KS sebesar ini selama berpuluh tahun di berdiri kokoh di Cilegon, mungkin tingkat penganggur di kota ini tidak senumpuk sekarang ini. Seandainya perhatian KS terhadap warga sekitarnya berlangsung dari dulu, mungkin generasi diatas saya tidak perlu ke RSUD Serang ketika butuh perawatan.
Tetapi, akan menjadi sangat naïf kalau kita sibuk terus berandai-andai terhadap sesuatu yang sudah berlalu. Akan lebih real rasanya berharap kepada pihak KS untuk tidak menghentikan “kebaikannya” kepada masyarakat local. Disamping karena kewajibannya memang seperti itu, juga supaya tidak timbul anggapan kalau PT KS hanya “baik” ketika ada maunya, yakni mendapatkan simpati masyarakat local sebagai modal awal mendapat dukungan public.
Dan, tidak kalah pentingnya, Pemkot sudah semestinya belajar dari ujung polemic ini. Entah dari berbagai segi, diantaranya pelayanan public. Apakah selama ini Pemkot sudah bisa memaksimalkan pelayanan public terhadap masyarakat kota cilegon. Terutama kesehatan?, terutama penerimaan CPNS? Tidakkah sudah menjadi rahasia umum kalau pelayanan kesehatan gakin sangat “itung-itungan” dan “berbeda”. Tidakkah penerimaan CPNS juga sudah menjadi rahasia umum, yang berhasil masuk adalah orang-orang yang “tersambung” dengan kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung? Hitung saja umpanya, keluarga pejabat-pejabat yang jadi PNS! Dan yang langsung misalnya ketua organisasi sayap partai, atau organisasi underbrow kekuasaan? Atau berapa persen PNS yang berlatar belakang keluarga miskin? Tentu semua pertanyaan ini tidak perlu dijawab, sebab semuanya sudah menjadi rahasia umum. Apakah rahasia umum tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai ukuran kebenaran? Sangat kuat, karena walaupun rahasia, tapi masyarakat umum sudah tahu.
Agaknya, ibarat orang pacaran, KS lebih bisa mendekati masyarakat “bil hikmah” untuk bisa mendapatkan simpatik masyarakat lokal, ketimbang Pemkot. Akhirnya, jelas bagi masyarakat mana yang harus dipilih untuk menjadi “pacar” yang penuh perhatian. Semoga KS tetap setia dan tetap pada kesetiaannya, sebab jelas keberlangsungannya tidak lepas dari dukungan dan doa masyarakat local. (Ayatbanten, Dukumalang, 01 November 2010).
03:58
Ibarat orang pacaran, ketika ada saingan maka kita akan sekuat kemampuan untuk bisa mendapatkan perhatian dari pacar kita. Ibarat "pedekate" maka kita memberikan yang terbaik kepada perempuan yang kita harapkan menjadi pacar kita itu. Itulah hikmah yang bisa saya ambil dari polemic antara Pemkot vs KS-Posco berkaitan dengan kepentingan Pemkot untuk membuat Pelabuhan Kubangsari pada satu sisi, dan pembangunan Pabrik Baja oleh KS-Posco di sisi lain.
Lihat saja dalam beberapa bulan terakhir, di media cetak local misalnya, kita pasti dengan mudah bisa menemukan berita kegiatan amal yang dilakukan oleh PT KS. Misalnya, “KS Group Pedulai Kesehatan: Pengobataan Gratis Bagi Warga Kecamatan Anyar”, “PT KS Bantu Korban Anyer” dan banyak lagi. Tentu kegiatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, secara kwalitas pelayanan kesehatan Rumah Sakit KS sudah dimaklumi oleh masyarakat, ketimbang rumah sakit pemerintah misalnya, karena tergolong mahal.
Yang paling menggembirakan dari sekian berita tentang KS di media massa adalah pengangkatan 99 karyawan outsourcing menjadi organic. Belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga ini menjadi hikmah tersendiri untuk masyarakat Kota Cilegon.
Kilas Balik KS Untuk Masyarakat Lokal
Menjadi pengandaian tersendiri untuk penulis, seandainya perhatian KS sebesar ini selama berpuluh tahun di berdiri kokoh di Cilegon, mungkin tingkat penganggur di kota ini tidak senumpuk sekarang ini. Seandainya perhatian KS terhadap warga sekitarnya berlangsung dari dulu, mungkin generasi diatas saya tidak perlu ke RSUD Serang ketika butuh perawatan.
Tetapi, akan menjadi sangat naïf kalau kita sibuk terus berandai-andai terhadap sesuatu yang sudah berlalu. Akan lebih real rasanya berharap kepada pihak KS untuk tidak menghentikan “kebaikannya” kepada masyarakat local. Disamping karena kewajibannya memang seperti itu, juga supaya tidak timbul anggapan kalau PT KS hanya “baik” ketika ada maunya, yakni mendapatkan simpati masyarakat local sebagai modal awal mendapat dukungan public.
Dan, tidak kalah pentingnya, Pemkot sudah semestinya belajar dari ujung polemic ini. Entah dari berbagai segi, diantaranya pelayanan public. Apakah selama ini Pemkot sudah bisa memaksimalkan pelayanan public terhadap masyarakat kota cilegon. Terutama kesehatan?, terutama penerimaan CPNS? Tidakkah sudah menjadi rahasia umum kalau pelayanan kesehatan gakin sangat “itung-itungan” dan “berbeda”. Tidakkah penerimaan CPNS juga sudah menjadi rahasia umum, yang berhasil masuk adalah orang-orang yang “tersambung” dengan kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung? Hitung saja umpanya, keluarga pejabat-pejabat yang jadi PNS! Dan yang langsung misalnya ketua organisasi sayap partai, atau organisasi underbrow kekuasaan? Atau berapa persen PNS yang berlatar belakang keluarga miskin? Tentu semua pertanyaan ini tidak perlu dijawab, sebab semuanya sudah menjadi rahasia umum. Apakah rahasia umum tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai ukuran kebenaran? Sangat kuat, karena walaupun rahasia, tapi masyarakat umum sudah tahu.
Agaknya, ibarat orang pacaran, KS lebih bisa mendekati masyarakat “bil hikmah” untuk bisa mendapatkan simpatik masyarakat lokal, ketimbang Pemkot. Akhirnya, jelas bagi masyarakat mana yang harus dipilih untuk menjadi “pacar” yang penuh perhatian. Semoga KS tetap setia dan tetap pada kesetiaannya, sebab jelas keberlangsungannya tidak lepas dari dukungan dan doa masyarakat local. (Ayatbanten, Dukumalang, 01 November 2010).
Senin, 01 November 2010
Juru Hikmah Semua Musibah
Jumat, 29 Oktober 2010
Bencana alam datang silih berganti di negeri ini, belum juga beres kita mencari sebab-akibat serta solusi bagi bencana banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat; sekarang Gunung Merapi meletus menggemparkan tanah Yogyakarta; Tsunami menghantam daratan Sikakap, kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Sudah selayaknya musibah beruntun itu berhikmah bagi bangsa kita. Hikmah yang bisa membawa bangsa kita lebih baik, tanggap terhadap bencana. Bergegas tidak hanya ketika sudah terjadi, namun juga siap siaga sebelum musibah datang.
Sebagai bangsa beragama, kita juga harus “menyelami” keinginan Tuhan dengan bencana alam yang datang. Sebab, pasti ada korelasi yang erat antara bencana alam dengan perbuatan manusia secara pribadi maupun kolektif. Termasuk, pasti ada kaitan antara bencana alam yang datang dengan kebijakan dan peraturan pemerintah yang lahir dan dilakukan oleh bangsa kita.
Menyelami keinginan Tuhan tidak se-repot menuruti keinginan manusia. Tuhan sudah jauh-jauh hari menjelaskan keinginan-keinginannya dalam Kitab-Nya. Keinginan Tuhan tidak keluar dari nalar manusia, sebab kelebihan manusia atas makhluk yang lain hanya sebatas di nalar itu. Maka selayaknya kita sekarang, dengan musibah bencana alam yang datang beruntun ini, mencari hikmah atau solusinya dengan nalar yang kita miliki.
Manusia berkewajiban mencari hikmah atas semua musibah itu. Sayangnya, ada sedikit masalah dengan pemahaman sebagian orang tentang hikmah ini. Sebagian orang memahami hikmah secara dangkal. Hikmah bagi mereka adalah keburukan berganti “kebaikan” pada diri yang terkena musibah. Sebagai contoh, banyak orang yang berpendapat “hikmah tsunami di Aceh adalah bersatunya kembali rakyat Aceh dan mau mengaku sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara, tsunami-tsunami di daerah lain masih berdatangan tanpa bisa di temukan jalan keluarnya. Bagaimana supaya tsunami tidak memakan korban?, itu tidak bisa ditemukan solusinya. Apakah bangsa yang “terjatuh pada lubang yang sama” ini, bangsa yang mau mengambil hikmah dari semua kejadian? Tentu, jawabannya, tidak. Bangsa kita belum menemukan hikmah dari semua musibah bencana alam yang datang.
Hikmah itu Solusi
Pertanyaan selanjutnya, apakah bangsa ini tidak ada kemauan untuk merubah nasib, dari bangsa yang penuh musibah menuju bangsa yang penuh berkah. Kalau mau, paling tidak ada dua hal yang bisa lakukan. Pertama, menghentikan eksploitasi alam, dengan dalih apapun, sambil memperbaiki yang rusak secara sistemik oleh pemerintah. Dalih yang paling sering merusak alam Indonesia adalah investasi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menambah pendapatan negara. Sungguh bangsa yang tidak cerdas, bergantung pada modal asing, hutang yang melimpah, semua yang berujung pada kemajuan semu. Sedangkan, rakyat yang menjadi sandaran investasi tadi, tidak hanya tetap nganggur tapi juga terkena “amukan” alam yang dieksploitasi.
Keuntungannya? hanya untuk sebagian orang saja. Tidak rumit untuk me-logika-kan kondisi terakhir ini, cukup dengan membandingkan rumah pejabat dengan rumah rakyatnya. Silahkan Anda teliti di daerah masing-masing. Mungkin, hasilnya jauh dari contoh pemimpin-pemimpin yang adil misal, Muhammad Rasulullah, Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz.
Hal kedua yang bisa kita lakukan untuk merubah nasib bangsa kita adalah memaksimalkan peran para ahli yang berkaitan dengan alam. Karena hanya mereka yang bisa melihat gejala-gejala alam secara ilmiah sekaligus memberi solusi secara ilmiah juga. Ini solusi yang saya pahami dari ayat al-qur’an (2:269), “Allah menganugrahi al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak dan hanya ulul albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam ayat ini jelas, ulul albab atau ilmuan yang menjadi kunci hikmah atau solusi dari semua masalah, termasuk musibah-musibah yang menimpa bangsa kita. Pemerintah harus memberi kesempatan yang fair dan fasilitas yang memadai untuk ulul albab, meneliti, menyelidik gejala dan seterusnya, kemudian memberi solusi. Mungkin pemerintah akan berkilah, “sudah, sudah kami lakukan!”, dengan menyediakan alat peringatan tsunami, gempa, bahkan gunung api, nyatanya belum bisa mengurangi korban yang jatuh.
Masalahnya, mungkin pemerintah belum memberikan tempat yang layak untuk para ahli itu di negara ini. Selama ini, lebih baikkah posisinya ketimbang investor?! (Dukumalang, 29 Jum’at 2010: Ayatbanten)
Bencana alam datang silih berganti di negeri ini, belum juga beres kita mencari sebab-akibat serta solusi bagi bencana banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat; sekarang Gunung Merapi meletus menggemparkan tanah Yogyakarta; Tsunami menghantam daratan Sikakap, kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Sudah selayaknya musibah beruntun itu berhikmah bagi bangsa kita. Hikmah yang bisa membawa bangsa kita lebih baik, tanggap terhadap bencana. Bergegas tidak hanya ketika sudah terjadi, namun juga siap siaga sebelum musibah datang.
Sebagai bangsa beragama, kita juga harus “menyelami” keinginan Tuhan dengan bencana alam yang datang. Sebab, pasti ada korelasi yang erat antara bencana alam dengan perbuatan manusia secara pribadi maupun kolektif. Termasuk, pasti ada kaitan antara bencana alam yang datang dengan kebijakan dan peraturan pemerintah yang lahir dan dilakukan oleh bangsa kita.
Menyelami keinginan Tuhan tidak se-repot menuruti keinginan manusia. Tuhan sudah jauh-jauh hari menjelaskan keinginan-keinginannya dalam Kitab-Nya. Keinginan Tuhan tidak keluar dari nalar manusia, sebab kelebihan manusia atas makhluk yang lain hanya sebatas di nalar itu. Maka selayaknya kita sekarang, dengan musibah bencana alam yang datang beruntun ini, mencari hikmah atau solusinya dengan nalar yang kita miliki.
Manusia berkewajiban mencari hikmah atas semua musibah itu. Sayangnya, ada sedikit masalah dengan pemahaman sebagian orang tentang hikmah ini. Sebagian orang memahami hikmah secara dangkal. Hikmah bagi mereka adalah keburukan berganti “kebaikan” pada diri yang terkena musibah. Sebagai contoh, banyak orang yang berpendapat “hikmah tsunami di Aceh adalah bersatunya kembali rakyat Aceh dan mau mengaku sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara, tsunami-tsunami di daerah lain masih berdatangan tanpa bisa di temukan jalan keluarnya. Bagaimana supaya tsunami tidak memakan korban?, itu tidak bisa ditemukan solusinya. Apakah bangsa yang “terjatuh pada lubang yang sama” ini, bangsa yang mau mengambil hikmah dari semua kejadian? Tentu, jawabannya, tidak. Bangsa kita belum menemukan hikmah dari semua musibah bencana alam yang datang.
Hikmah itu Solusi
Pertanyaan selanjutnya, apakah bangsa ini tidak ada kemauan untuk merubah nasib, dari bangsa yang penuh musibah menuju bangsa yang penuh berkah. Kalau mau, paling tidak ada dua hal yang bisa lakukan. Pertama, menghentikan eksploitasi alam, dengan dalih apapun, sambil memperbaiki yang rusak secara sistemik oleh pemerintah. Dalih yang paling sering merusak alam Indonesia adalah investasi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menambah pendapatan negara. Sungguh bangsa yang tidak cerdas, bergantung pada modal asing, hutang yang melimpah, semua yang berujung pada kemajuan semu. Sedangkan, rakyat yang menjadi sandaran investasi tadi, tidak hanya tetap nganggur tapi juga terkena “amukan” alam yang dieksploitasi.
Keuntungannya? hanya untuk sebagian orang saja. Tidak rumit untuk me-logika-kan kondisi terakhir ini, cukup dengan membandingkan rumah pejabat dengan rumah rakyatnya. Silahkan Anda teliti di daerah masing-masing. Mungkin, hasilnya jauh dari contoh pemimpin-pemimpin yang adil misal, Muhammad Rasulullah, Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz.
Hal kedua yang bisa kita lakukan untuk merubah nasib bangsa kita adalah memaksimalkan peran para ahli yang berkaitan dengan alam. Karena hanya mereka yang bisa melihat gejala-gejala alam secara ilmiah sekaligus memberi solusi secara ilmiah juga. Ini solusi yang saya pahami dari ayat al-qur’an (2:269), “Allah menganugrahi al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak dan hanya ulul albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam ayat ini jelas, ulul albab atau ilmuan yang menjadi kunci hikmah atau solusi dari semua masalah, termasuk musibah-musibah yang menimpa bangsa kita. Pemerintah harus memberi kesempatan yang fair dan fasilitas yang memadai untuk ulul albab, meneliti, menyelidik gejala dan seterusnya, kemudian memberi solusi. Mungkin pemerintah akan berkilah, “sudah, sudah kami lakukan!”, dengan menyediakan alat peringatan tsunami, gempa, bahkan gunung api, nyatanya belum bisa mengurangi korban yang jatuh.
Masalahnya, mungkin pemerintah belum memberikan tempat yang layak untuk para ahli itu di negara ini. Selama ini, lebih baikkah posisinya ketimbang investor?! (Dukumalang, 29 Jum’at 2010: Ayatbanten)
Sabtu, 30 Oktober 2010
Apa Sasaran Hidup Anda?
Kamis, 05 Agustus 2010
12:19
Sekarang giliran kelas VII A yang menjadi objek uji coba atas pertanyaan-pertanyaan Alan Lakein. Pertanyaan Sasaran Hidup Anda, masih dijawab dengan nada yang sama, yakni hidup sukses berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Di bawah ini adalah jawaban mereka:
1. Membuat ibu senang, dan kakakku senang juga, aku ingin menjadi orang yang berguna di rumah, di masyarakat, di kota dan Negara dan cita-citaku ingin menjadi pemain sepak bola terkenal di negara manapun biar seperti Cristian Ronaldo. Kalau aku sudah sukses maka aku akan memberikan apa saja kepada kedua orang tuaku dan keluargaku.
2. Aku cita-citanya ingin menjadi guru, aku selalu belajar untuk mendapat cita-citanya itu, aku seorang yang miskin, hidup saya sangat sederhana dan hidup saya selalu mandiri. Aku punya ibu, bapak, nenek, kakak dan adikku yang masih bayi.
3. Tujuan hidup saya ingin menuju cita-cita saya agar saya jadi dibanggakan sama orang tuaku.
4. Belajar, menjadi orang yang sukses, menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, menjadi orang yang berguna untuk nusa dan bangsa, menjadi orang yang pinter.
5. Saya adalah seorang siswa di madrasah tsanawiyah. Saya masih duduk di kelas I (satu) A. saya masih terbilang siswa baru di sekolah, saya punya banyak teman di sekolah, mereka baik-baik banget sama aku, aku belajar setiap hari, hari libur di sekolah aku adalah hari jum’at, bukan hari minggu seperti di sekolah-sekolah yang lain. Dan di sekolahku banyak banget kegiatan ekstrakulikuler, seperti Paskibra, Marching band, pramuka dan gema ramadhan. Aku dan teman-teman mulai belajar jam 07:30 dan 09:30 istirahat, setelah istirahat masih ada lagi belajar 2 mata pelajaran lagi, lalu waktunya untuk pulang, setelah pulang kita bebas melakukan yang lain di rumah, asal perkerjaan itu tidak dilarang oleh agama.
6. Tujuan hidup saya adalah ingin membahagiakan orang tua, ingin mendapatkan ilmu dari dunia ini, ingin membahagiakan keluarga, orang tua, bangsa, dan Negara.
7. Untuk mencapai cita-cita saya sebagai dokter, mempunyai istri dan berkeluarga.
8. Tujuan hidup saya adalah mengajar SLTP di karangtengah. Umur, tamat sekolah pengalaman belajar dan menjadi orang pintar sampai perguruan tinggi dan membantu orang tua.
9. Ingin mrnjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat kami kalau sudah menjadi orang yang pintar atau berguna kepada masyarakat pasti kita dibanggai oleh masyarakat. Bukan itu saja kalau kita sudah menjadi orang pintar juga tidak susah mencari uang untuk kehidupan sehari-hari, dan untuk membantu orang tua kita.
10. Ingin menjadi orang sukses dan pintar.
11. Cita-cita saya adalah ingin menjadi guru madrasah atau mts dan security seperti kakak-kakak saya dan aku harus berusaha untuk meraih cita-cita itu biar membahagiakan orang tua.
12. Menggapai cita-cita saya belajar dengan giat pintar, dan berilmu, memnahagiakan orang tua, pengen kaya/suge.
13. Saya ingin menjadi pemain sepak bola karena akan mengajar cita-cita saya semenjak sekarang karena saya ikut bermain footsal, saya ingin terkenal seperti C. Ronaldo.
14. Saya ingin belajar, saya sekolah di mts karangtengah, ini demi orang tua saya, Karena orang tua saya yang sudah berkorban demi kita.
15. Tujuan hidup saya membahagiakan kedua orang tua saya, masa depanku menuju atas yang luhur, dan tinggi, mencontohkan adik-adikku dan keluarga, para sahabatku hidup penuh anugerah. Aku ingin menjadi anak yang solehah, pinter, dan pandai.
16. Mencapai cita-cita, membahagiakan orng tua, menjadi orang pinter, menjadi orang yang bertanggung jawab.
17. Mencapai cita-cita, menjadi seorang ibu yang baik bagi keluarga, membahagiakan orang tua, menjadi orang yang sukses dan orang yang bertanggungjawab.
18. Saya mau menjadi orang yang berbakti kepda orang tua dan bangsa dan saya ingin membahagiakan kedua orang tua, sampai sekarang aku belajar yang rajin. Belajar demi cita-cita saya ingin menjadi apapun yang bisa membahagiakan orang tua, aku ingin jadi sukses seperti saudaraku.
19. Beriman dan belajar dan cita-cita saya adalah sebagai dokter dan guru. Saya ingin sekali membahagiakan orang tua saya sapaya beliau bahagia.
20. Untuk menjadi anak yang berguna dan berguna untuk masyarakat saya sekolah untuk mencari ilmu agama.
21. Saya ingin menjadi orang yang sukses. Aku ingin membahagiakan kedua orng tuaku.
22. Untuk belajar biar menjadi orang yang berguna bagi hidup masyarakat dan orang tua dan cita-citaku ingin meneruskan sekolah biar mendapatkan kerja yang enak dan saya inin membahagiakan orang tua saya. Aku ingin banget ngejar cita-citaku, apakah aku mampu belajar cita-citaku, ya Allah, kabulkan doaku ini.
23. Aku ingin jadi anak yang solehah berbakti pada orang tua karena orang tualah yang melahirkan saya sejak 1 bulan dalam kandungan sampai sekarang. Dan saya akan membalas kebaikan orang tua saya, cita-cita ku saya ingin jadi orang yang berguna dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
24. Saya mau jadi pemain volley nanti besar saya juga cinta sama main bola. Aku ingin jadi orang sukses aku sekarang mau pulang habis pulang saya lolos baju, celana, kaos kaki, tas, peci, makan minum, mandi pake celana, pake baju, pake peci, pakai sejadah dan sekolah untuk bermain bola futsal, dan saya pengen menang jai juara ke 1.
25. Menjadi anak yang membanggakan keluarga dan mempunyai keluarga yang utuh.
26. Saya mau menjadi guru, saya di dunia ini hanya sementara. Sementara lagi semuanya akan mati saya sebagai orang miskin, makan saja susah. Saya di pondok sangsara tipi, kalau di rumah sa makan tinggal nyentong kalau disini kalau gak masak dulu enggak makan kalau disini mah disina belajar yang enak.
27. Belajar dan mencari ilmu sehabis belajar mencari ilmu kalau sudah belajar cita-citanya menjadi guru dan pegawai menjaga warung biar bisa membahagiakan orang tua.
28. Tujuan hidup saya adalah bisa membahagiakan orang tua dan ingin menjadi orang yang bisa dikagumi oleh orang lain.
29. Aku ingin menjadi orang yang sukses dalam hidup aku. Aku ingin cita-citanya tercapai mudah-mudahan menjadi orang yang senang, sukses, dalam hidup aku.
30. Tujuan hidup saya adalah ingin mendoakan orang tua saya untuk pergi haji. Setiap solat aku mendoakan orang tuaku untuk pergi haji, tetapi tidak terkabul-terkabul dan aku solat zuhur mendoakan lagi.
31. Ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa dan berbakti kepada kedua orang tua. Semoga cita-citaku terkejar sampai dewasa nanti karena hanya dialah yang mengurus dari kecil hingga saat ini.
32. Tujuan hidup saya adalah pingin menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua, walaupun saya hidup sederhana tetapi saya pengen sekali menjadi sukses. Dari kecil sampai sekarang orang tua saya menyayangi saya tapi, terkadang saya melawan orang tua saya, tapi kalau dipikir-pikir orang tua ngomel karena itu salah saya. Oleh karena itu saya harus membalas jasa orang tua saya.
33. Untuk beribadah di jalan Allah swt. Cita-cita aku ingin menjadi dokter, ingin menjadi orang yang sukses, membahagiakan orang tua, berbakti kepada orang tua, menjadi generasi mudah Indonesia. Keinginan saya yang paling besar pengen ke Pantai Losari, Makasar, Sulsel.
12:19
Sekarang giliran kelas VII A yang menjadi objek uji coba atas pertanyaan-pertanyaan Alan Lakein. Pertanyaan Sasaran Hidup Anda, masih dijawab dengan nada yang sama, yakni hidup sukses berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Di bawah ini adalah jawaban mereka:
1. Membuat ibu senang, dan kakakku senang juga, aku ingin menjadi orang yang berguna di rumah, di masyarakat, di kota dan Negara dan cita-citaku ingin menjadi pemain sepak bola terkenal di negara manapun biar seperti Cristian Ronaldo. Kalau aku sudah sukses maka aku akan memberikan apa saja kepada kedua orang tuaku dan keluargaku.
2. Aku cita-citanya ingin menjadi guru, aku selalu belajar untuk mendapat cita-citanya itu, aku seorang yang miskin, hidup saya sangat sederhana dan hidup saya selalu mandiri. Aku punya ibu, bapak, nenek, kakak dan adikku yang masih bayi.
3. Tujuan hidup saya ingin menuju cita-cita saya agar saya jadi dibanggakan sama orang tuaku.
4. Belajar, menjadi orang yang sukses, menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, menjadi orang yang berguna untuk nusa dan bangsa, menjadi orang yang pinter.
5. Saya adalah seorang siswa di madrasah tsanawiyah. Saya masih duduk di kelas I (satu) A. saya masih terbilang siswa baru di sekolah, saya punya banyak teman di sekolah, mereka baik-baik banget sama aku, aku belajar setiap hari, hari libur di sekolah aku adalah hari jum’at, bukan hari minggu seperti di sekolah-sekolah yang lain. Dan di sekolahku banyak banget kegiatan ekstrakulikuler, seperti Paskibra, Marching band, pramuka dan gema ramadhan. Aku dan teman-teman mulai belajar jam 07:30 dan 09:30 istirahat, setelah istirahat masih ada lagi belajar 2 mata pelajaran lagi, lalu waktunya untuk pulang, setelah pulang kita bebas melakukan yang lain di rumah, asal perkerjaan itu tidak dilarang oleh agama.
6. Tujuan hidup saya adalah ingin membahagiakan orang tua, ingin mendapatkan ilmu dari dunia ini, ingin membahagiakan keluarga, orang tua, bangsa, dan Negara.
7. Untuk mencapai cita-cita saya sebagai dokter, mempunyai istri dan berkeluarga.
8. Tujuan hidup saya adalah mengajar SLTP di karangtengah. Umur, tamat sekolah pengalaman belajar dan menjadi orang pintar sampai perguruan tinggi dan membantu orang tua.
9. Ingin mrnjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat kami kalau sudah menjadi orang yang pintar atau berguna kepada masyarakat pasti kita dibanggai oleh masyarakat. Bukan itu saja kalau kita sudah menjadi orang pintar juga tidak susah mencari uang untuk kehidupan sehari-hari, dan untuk membantu orang tua kita.
10. Ingin menjadi orang sukses dan pintar.
11. Cita-cita saya adalah ingin menjadi guru madrasah atau mts dan security seperti kakak-kakak saya dan aku harus berusaha untuk meraih cita-cita itu biar membahagiakan orang tua.
12. Menggapai cita-cita saya belajar dengan giat pintar, dan berilmu, memnahagiakan orang tua, pengen kaya/suge.
13. Saya ingin menjadi pemain sepak bola karena akan mengajar cita-cita saya semenjak sekarang karena saya ikut bermain footsal, saya ingin terkenal seperti C. Ronaldo.
14. Saya ingin belajar, saya sekolah di mts karangtengah, ini demi orang tua saya, Karena orang tua saya yang sudah berkorban demi kita.
15. Tujuan hidup saya membahagiakan kedua orang tua saya, masa depanku menuju atas yang luhur, dan tinggi, mencontohkan adik-adikku dan keluarga, para sahabatku hidup penuh anugerah. Aku ingin menjadi anak yang solehah, pinter, dan pandai.
16. Mencapai cita-cita, membahagiakan orng tua, menjadi orang pinter, menjadi orang yang bertanggung jawab.
17. Mencapai cita-cita, menjadi seorang ibu yang baik bagi keluarga, membahagiakan orang tua, menjadi orang yang sukses dan orang yang bertanggungjawab.
18. Saya mau menjadi orang yang berbakti kepda orang tua dan bangsa dan saya ingin membahagiakan kedua orang tua, sampai sekarang aku belajar yang rajin. Belajar demi cita-cita saya ingin menjadi apapun yang bisa membahagiakan orang tua, aku ingin jadi sukses seperti saudaraku.
19. Beriman dan belajar dan cita-cita saya adalah sebagai dokter dan guru. Saya ingin sekali membahagiakan orang tua saya sapaya beliau bahagia.
20. Untuk menjadi anak yang berguna dan berguna untuk masyarakat saya sekolah untuk mencari ilmu agama.
21. Saya ingin menjadi orang yang sukses. Aku ingin membahagiakan kedua orng tuaku.
22. Untuk belajar biar menjadi orang yang berguna bagi hidup masyarakat dan orang tua dan cita-citaku ingin meneruskan sekolah biar mendapatkan kerja yang enak dan saya inin membahagiakan orang tua saya. Aku ingin banget ngejar cita-citaku, apakah aku mampu belajar cita-citaku, ya Allah, kabulkan doaku ini.
23. Aku ingin jadi anak yang solehah berbakti pada orang tua karena orang tualah yang melahirkan saya sejak 1 bulan dalam kandungan sampai sekarang. Dan saya akan membalas kebaikan orang tua saya, cita-cita ku saya ingin jadi orang yang berguna dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
24. Saya mau jadi pemain volley nanti besar saya juga cinta sama main bola. Aku ingin jadi orang sukses aku sekarang mau pulang habis pulang saya lolos baju, celana, kaos kaki, tas, peci, makan minum, mandi pake celana, pake baju, pake peci, pakai sejadah dan sekolah untuk bermain bola futsal, dan saya pengen menang jai juara ke 1.
25. Menjadi anak yang membanggakan keluarga dan mempunyai keluarga yang utuh.
26. Saya mau menjadi guru, saya di dunia ini hanya sementara. Sementara lagi semuanya akan mati saya sebagai orang miskin, makan saja susah. Saya di pondok sangsara tipi, kalau di rumah sa makan tinggal nyentong kalau disini kalau gak masak dulu enggak makan kalau disini mah disina belajar yang enak.
27. Belajar dan mencari ilmu sehabis belajar mencari ilmu kalau sudah belajar cita-citanya menjadi guru dan pegawai menjaga warung biar bisa membahagiakan orang tua.
28. Tujuan hidup saya adalah bisa membahagiakan orang tua dan ingin menjadi orang yang bisa dikagumi oleh orang lain.
29. Aku ingin menjadi orang yang sukses dalam hidup aku. Aku ingin cita-citanya tercapai mudah-mudahan menjadi orang yang senang, sukses, dalam hidup aku.
30. Tujuan hidup saya adalah ingin mendoakan orang tua saya untuk pergi haji. Setiap solat aku mendoakan orang tuaku untuk pergi haji, tetapi tidak terkabul-terkabul dan aku solat zuhur mendoakan lagi.
31. Ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa dan berbakti kepada kedua orang tua. Semoga cita-citaku terkejar sampai dewasa nanti karena hanya dialah yang mengurus dari kecil hingga saat ini.
32. Tujuan hidup saya adalah pingin menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua, walaupun saya hidup sederhana tetapi saya pengen sekali menjadi sukses. Dari kecil sampai sekarang orang tua saya menyayangi saya tapi, terkadang saya melawan orang tua saya, tapi kalau dipikir-pikir orang tua ngomel karena itu salah saya. Oleh karena itu saya harus membalas jasa orang tua saya.
33. Untuk beribadah di jalan Allah swt. Cita-cita aku ingin menjadi dokter, ingin menjadi orang yang sukses, membahagiakan orang tua, berbakti kepada orang tua, menjadi generasi mudah Indonesia. Keinginan saya yang paling besar pengen ke Pantai Losari, Makasar, Sulsel.
Selasa, 26 Oktober 2010
Membiarkan Perzinahan, Menghacurkan Alam
Oleh: Ayatulloh, S. Hum
Dalam buku “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, KH. Drs. Badruddin Hsubky, saya menemukan kutipan hadist: “sebagian tanda-tanda kimat adalah diangkatnya ilmu, dikokohkannya kebodohan, diminumnya minuman keras, dan dikembangkannya pelcuran”. (HR Muslim dan Anas bin Malik).
Saya pikir, hadist ini bisa kita gunakan untuk memotret kondisi kita kini, disini, dilingkungan kita sendiri, tidak jauh-jauh. Kita bisa mengevaluasi fenomena sosial yang nampak di depan mata kita yang “telanjang” sekalipun. Apalagi kalau kita lihat dengan “Kacamata Sidiq”, seperti judul sebuah buku kumpulan Cerpen, karya Gola A Gong. Maka akan nampak, sebagian besar yang disebutkan oleh hadist tersebut, sudah dan sedang berlangsung di sekitar kita. Lalu apa yang akan kita perbuat. Jawabannya jelas, kita harus menghentikan itu semua apapun tantangannya, kita harus berusah mengehentikannya. Kalau bisa dengan sistematis, dipelopori oleh ulama. Sosok yang punya kapasitas keilmuan yang tinggi dan mendalam, berwawasan luas, juga punya tenaga spiritual yang kuat.
Hal yang pertama disebutkan oleh hadist, diangkatnya ilmu, adalah biang keladi kemungkaran-kemungkaran selanjutnya. Biangnya, adalah kejahiliyaan. Kejahiliyaan, jangan dipahami buta pengetahuan tekhnologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Meraka mahir dalam hal ini. Tetapi, kejahiliyaan dari awal sejarah Islam mempunyai arti bodoh dalam hal kesadaran ketuhanan, dalam hal menghadirkan pesan-pesan tuhan dalam semua geraknya (ketauhidan).
Setelah ilmu dicabut, maka yang jadi pemimpin adalah "orang-orang jahil", yang dipilih dengan alasan yang "ngawur" pula, bukan kebaikan sebagai ukuran, tetapi jasa “sumbangan” materi untuk sarana paling umum, seperti tempat ibadah, pakaian tim olahraga, juga busana pengajian dan sebagainya. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin jahil. Dari pemimpin yang "jahil" itu lahir pula kebijakan, peraturan yang mendukung kemungkaran, kemaksiatan, dan seterusnya. Dan, paling pamungkas (mungkin fenomena paling parah) sebagai syarat kehancuran adalah pelacuran yang dikukuhkan oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, dukungan, fasilitasi, dan membiarkan fenomena terakhir ini. “Sempurnalah” sudah syarat untuk terjadinya sebuah kehancuran dunia. Bukankah zaman ini sudah memenuhi syarat ini: diangkatnya ilmu, kokohnya kejahilan, minum minuman keras, dan pengembangan pelacuran. Sekedar menilai fenomena sekarang, “manusia biasa” yang masih “hidup” hati dan pikirannya pasti sudah bisa menyimpulkan dengan benar. Tetapi, adalah ulama yang yang punya kapasitas keilmuan yang berhak sekaligus berkewajiban menghentikan ini semua. Kalau tidak, berarti benar, ilmu sudah benar-benar diangkat oleh Allah ke langit. Sebab, fenomena ini jelas sebuah kemungkaran. Wallahu ‘alam.
Perpus Baitul Hikmah MA/MTs Karangtengah, 26 Oktober 2010
Penulis: Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah, tinggal di kampong Dukumalang, 008/004 Tegal Bunder, Purwakarta – Cilegon. Alumni SPI-ADAB IAIN ‘SGD’ Bandung.
Dalam buku “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, KH. Drs. Badruddin Hsubky, saya menemukan kutipan hadist: “sebagian tanda-tanda kimat adalah diangkatnya ilmu, dikokohkannya kebodohan, diminumnya minuman keras, dan dikembangkannya pelcuran”. (HR Muslim dan Anas bin Malik).
Saya pikir, hadist ini bisa kita gunakan untuk memotret kondisi kita kini, disini, dilingkungan kita sendiri, tidak jauh-jauh. Kita bisa mengevaluasi fenomena sosial yang nampak di depan mata kita yang “telanjang” sekalipun. Apalagi kalau kita lihat dengan “Kacamata Sidiq”, seperti judul sebuah buku kumpulan Cerpen, karya Gola A Gong. Maka akan nampak, sebagian besar yang disebutkan oleh hadist tersebut, sudah dan sedang berlangsung di sekitar kita. Lalu apa yang akan kita perbuat. Jawabannya jelas, kita harus menghentikan itu semua apapun tantangannya, kita harus berusah mengehentikannya. Kalau bisa dengan sistematis, dipelopori oleh ulama. Sosok yang punya kapasitas keilmuan yang tinggi dan mendalam, berwawasan luas, juga punya tenaga spiritual yang kuat.
Hal yang pertama disebutkan oleh hadist, diangkatnya ilmu, adalah biang keladi kemungkaran-kemungkaran selanjutnya. Biangnya, adalah kejahiliyaan. Kejahiliyaan, jangan dipahami buta pengetahuan tekhnologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Meraka mahir dalam hal ini. Tetapi, kejahiliyaan dari awal sejarah Islam mempunyai arti bodoh dalam hal kesadaran ketuhanan, dalam hal menghadirkan pesan-pesan tuhan dalam semua geraknya (ketauhidan).
Setelah ilmu dicabut, maka yang jadi pemimpin adalah "orang-orang jahil", yang dipilih dengan alasan yang "ngawur" pula, bukan kebaikan sebagai ukuran, tetapi jasa “sumbangan” materi untuk sarana paling umum, seperti tempat ibadah, pakaian tim olahraga, juga busana pengajian dan sebagainya. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin jahil. Dari pemimpin yang "jahil" itu lahir pula kebijakan, peraturan yang mendukung kemungkaran, kemaksiatan, dan seterusnya. Dan, paling pamungkas (mungkin fenomena paling parah) sebagai syarat kehancuran adalah pelacuran yang dikukuhkan oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, dukungan, fasilitasi, dan membiarkan fenomena terakhir ini. “Sempurnalah” sudah syarat untuk terjadinya sebuah kehancuran dunia. Bukankah zaman ini sudah memenuhi syarat ini: diangkatnya ilmu, kokohnya kejahilan, minum minuman keras, dan pengembangan pelacuran. Sekedar menilai fenomena sekarang, “manusia biasa” yang masih “hidup” hati dan pikirannya pasti sudah bisa menyimpulkan dengan benar. Tetapi, adalah ulama yang yang punya kapasitas keilmuan yang berhak sekaligus berkewajiban menghentikan ini semua. Kalau tidak, berarti benar, ilmu sudah benar-benar diangkat oleh Allah ke langit. Sebab, fenomena ini jelas sebuah kemungkaran. Wallahu ‘alam.
Perpus Baitul Hikmah MA/MTs Karangtengah, 26 Oktober 2010
Penulis: Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah, tinggal di kampong Dukumalang, 008/004 Tegal Bunder, Purwakarta – Cilegon. Alumni SPI-ADAB IAIN ‘SGD’ Bandung.
Jumat, 22 Oktober 2010
Kemana Efek Sosial Ibadah Haji?
Oleh: Ayatulloh Marsai
*)dimuat di Banten Raya Post, Jum'at 22 Oktober 2010
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Secara berurutan rukun Islam mencakup syahadat, shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji. Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji menggambarkan kesempuraan ibadah seorang muslim. Tidak heran bila setiap muslim memimpikan ibadah yang satu ini sebagai cita-cita satu kali seumur hidup. Karena setiap muslim ingin menyempurnakan ibadahnya dengan melaksanakan haji, maka orang yang mendaftar haji berjubel saking banyaknya. Sebagai konsekwensinya harus ada yang rela masuk dalam daftar tungg dan baru bisa diberangkatkan 3-4 tahun mendatang. Sungguh suatu prestasi yang membanggakan bagi kita umat Islam di Indonesia.
Perkembangan Jama’ah Haji Indonesia dari tahun 2003-2008 saja meningkat 1,7%. Tahun 2003 berjumlah 179.646, tahun 2004 berjumlah 192.330, tahun 2005 berjumlah 181.706, tahun 2006 berjumlah 189.299, tahun 2007 berjumlah 188.569, dan tahun 2008 jama’ah berjumlah 191.823. (http://www.kemenag.go.id) Dan, tahun 2010 ini 224.000 calhaj termasuk petugas akan diberangkatkan menunaikan rukun Islam kelima ini, berangkat dari 11 embarkasi yaitu, Aceh, Medan, Padang, Batam, Palembang, Jakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan dan Makassar. (http://www.kemenag.go.id).
Jumlah ini belum ditambah dengan jama’ah yang berangkat lewat jasa swasta, yang biasanya setiap tahun terjadi. Dari perkembangan ini, dengan mudah bisa kita bayangkan bahwa calon jama’ah haji dari tahun ke tahun akan terus meningkat.
Tentu kondisi diatas, secara kasat mata, membanggakan kita sebagai umat Islam, jika dijadikan sebagai tolak ukur peningkatan keimanan dan ketakwaan umat Islam Indonesia. Sayangnya, anggapan ini akan segera luntur ketika kita “menimbangnya” dengan kenyataan sosial masyarakat Indonesia, dimana penyakit sosial meningkat (kurang lebih) sebanding dengan minat terhadap ibadah haji. Kebodohan, kemiskinan, kezaliman, kemakisatan, terlebih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Dalam hal korupsi kita bisa lihat kasus-kasus yang menggantung pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Misal, kasus yang berkenaan dengan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan 7 yayasan miliknya, sebesar 1,4 trilyun; kasus korupsi di PERTAMINA, tahun 1993, kerugian negara sebesar US $ 24.8 juta; Korupsi di BAPINDO oleh Eddy Tanzil tahun 1993, kerugian sebesar 1.3 Triliun; 15 kasus korupsi HPH dan Dana Reboisasi, kerugian negara Rp 15,025 triliun; dan terakhir, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun. (http://www.tempointeraktif.com).
Kasus-kasus tersebut bisa dibilang kasus kelas kakap yang melibatkan para petinggi negara masa Orde Baru, yang tidak sedikit diantara mereka sudah melaksanakan ibadah haji.
Sementara pada Era Reformasi, menurut Moeflich Hasbullah, dalam Korupsi dan Jiwa, Opini Republika, 12 Juli 2010, kondisinya lebih parah dibandingkan dengan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru korupsi dilakukan oleh orang-orang pusat, sementara pada masa Era Reformasi sekarang ini dilakukan oleh pejabat-pejabat antardepartemen. Menurutnya, korupsi sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, baik pejabat pemerintah maupun swasta bahkan rakyat biasa. Rakyat bawah merampok gaji guru di jalanan, mengurangi timbangan di pasar, mengoplos dagangan, bahkan mencampur daging segar dengan daging busuk. Hatta terasi pun-seperti terjadi di Cirebon-dioplos dengan belatung dan nasi busuk. Hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia memiliki mentalitas korupsi. Semuanya melakukan kejahatan dengan modus dan bentuknya masing-masing. Semua tujuannya sama ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara.
Kemiskinan, kebodohan adalah sisi buruk yang lain dari bangsa ini, yang mungkin saja berkaitan dengan fenomena korupsi tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, yang jelas kemiskinan dan kebodohan hadir disekitar ruang lingkup haji-haji Indonesia. Selayaknya mereka peduli. Bukankah ibadah haji mengajarkan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh, sebuah kisah yang beredar di pesantren, sebut saja namanya Ki Muafaq, yang sudah berniat melaksanakan ibadah haji tetapi kemudian mengurungkan niatnya ketika melihat tetangganya memakan bangkai kambing karena kelaparan. Kemudian seorang muslim yang lain bermimpi tentang Ki Muafaq. Dalam mimpinya, orang itu mendengar suara bahwa yang diterima hajinya (haji mabrur) pada musim ini adalah Ki Muafaq. Dia sangat heran terhadap isi mimpi itu, sebab dia tahu betul nama yang disebutkan dalam mimpi itu, Ki Muafaq, tidak jadi melaksanakan haji.
Dari kisah ini jelas, kepedulian sosial, menolong saudara yang kelaparan adalah bagian dari pesan ibadah haji yang apabila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ibadah hajinya akan diterima oleh Allah SWT. Tidak hanya itu, secara sosial tentunya akan turut menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan di negeri ini.
Masalah sosial kita selanjutnya adalah maraknya kezaliman, kemungkaran dan kemaksiatan di negara yang notabene mayoritas muslim. Pemabalakan hutan yang liar dan rakus, terbukti semakin menambah penderitaan rakyat kecil (banjir di Papua). Kemaksiatan dilindungi, minuman keras terus beredar, pelacuran dan usaha-usaha sebagian oknum yang melindunginya atas nama hiburan dan pariwisata, nampak jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Ironisnya, fenomena itu berlangsung aman di negeri “sejuta Haji” ini.
Kenyataan ini selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama sebagai umat Islam khususnya, masyarakat Indonesia umumnya. Menjadi tanda tanya besar bagi kita, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pemahaman muslim Indonesia terhadap ibadah haji. Sehingga ibadah haji tidak banyak berefek dalam arah perubahan sosial, politik dan budaya masyarakat kita menjadi lebih baik.
Panggilan Suci dan Semangat Pembebasan
Banyak orang percaya bahwa kesempatan berhaji adalah panggilan suci yang tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan serupa. Panggilan suci menuntut kepasrahan untuk melepas segala atribut materi: suku, bangsa, jabatan, keturunan, harta dan semua yang berbau status sosial. Pakaian ihram berwarna putih tanpa jahitan, menggambarkan dengan sempurna bentuk kepasrahan tersebut.
Wukuf di Arafah mengandung pesan betapa kecil manusia di hadapan Sang Pencipta, seperti sebutir pasir di hamparan gurun yang luas, air di bentangan samudera. Maka, tidak ada alasan manusia untuk menyombongkan diri apalagi menindas satu sama lain.
Tawaf, mengelilingi satu pusaran Ka’bah, memberi makna persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT. Tak satu orang pun lebih dari yang lain, kecuali dari sisi ketakwaanya kepada Allah SWT. Sementara Sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah (dalam sejarahnya menunjukan tanggungjawab seorang ibu atas kewajibannya), mengisyaratkan manusia bertanggungjawab atas sesamanya. Orang kaya punya tanggungjawab terhadap orang miskin. Penguasa bertanggungjawab terhapa yang dipimpinnya.
Dengan ritual haji yang syarat makna persamaan derajat manusia tersebut, jamaah haji yang pulang ke tanah air, bukan untuk menjadikan gelar hajinya sebagai kelompok kelas sosial baru, yang memicu kesenjangan sosial baru. Melainkan menjadikan pesan haji sebagai bahan bakar semangat pembebasan di masyarakat. Membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan.
Semangat pembebasan ini pernah dimiliki oleh para haji kepulauan Nusantara ini pada abad ke-19. Mereka bergerak melawan kolonial Belanda yang menindas petani dan rakyat jelata.
Ibnu Qoyim, Ulama di Indonesia Pada Akhir Abad IXI dan Awal Abad XX, dalam Jurnal Sejarah 3, hal. 26, MSI bekerjasama dengan Gramedia, Jakarta: 1995, memaparkan bahwa peristiwa kekerasan adalah gejala umum yang menampakan diri di hampir seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19. Setelah perang-perang besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan perang Padri (1821-1837), berbagai pemberontakan lain meletus. Jihad di Cilegon atau pemberontakan Petani Banten (1888), peristiwa Nyi Aciah (1870-1871), gerakan Amat Ngaisa dan gerakan Kobra (1871). Peristiwa Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1888), dan di daerah Sumatera dan Kalimantan (1821-1838), Perang Banjarmasin (1857-1862), dan perlawanan lainnya, mewarnai isi kalender sejarah abad ke-19. Kesemuanya adalah penentangan terhadap kekuasaan atau dominasi Belanda.
Sejak saat itu keberangkatan umat Islam Nusantara naik haji dibatasi oleh Belanda. Belanda mengutus seorang ilmuwan, Snouck Horgronje, untuk mempelajari keberadaan kegiatan jama’ah haji di Mekah. Langkah Belanda ini menegaskan kepada kita bahwa mereka menganggap kegiatan ibadah hajilah yang telah menumbuhkan semangat perlawanan di dada para Haji yang Ulama di Indonesia.
Tentu saja fakta sejarah tersebut harus “diterjemahkan” dalam konteks kekinian. “Musuh” yang menanti jama’ah haji Indonesia sekarang bukan lagi penjajah Belanda, tetapi semua bentuk ketidakadilan, keserakahan, kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan, baik yang berada di dalam dirinya maupun di lingkungan sosialnya. Kesemuanya menanti agresifitas dan progresifitas para Haji yang terpancar dari “kesempurnaan” ibadah haji mereka. Semoga!
Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumni IAIN “SGD” Bandung.
*)dimuat di Banten Raya Post, Jum'at 22 Oktober 2010
Haji adalah rukun Islam yang kelima. Secara berurutan rukun Islam mencakup syahadat, shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji. Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji menggambarkan kesempuraan ibadah seorang muslim. Tidak heran bila setiap muslim memimpikan ibadah yang satu ini sebagai cita-cita satu kali seumur hidup. Karena setiap muslim ingin menyempurnakan ibadahnya dengan melaksanakan haji, maka orang yang mendaftar haji berjubel saking banyaknya. Sebagai konsekwensinya harus ada yang rela masuk dalam daftar tungg dan baru bisa diberangkatkan 3-4 tahun mendatang. Sungguh suatu prestasi yang membanggakan bagi kita umat Islam di Indonesia.
Perkembangan Jama’ah Haji Indonesia dari tahun 2003-2008 saja meningkat 1,7%. Tahun 2003 berjumlah 179.646, tahun 2004 berjumlah 192.330, tahun 2005 berjumlah 181.706, tahun 2006 berjumlah 189.299, tahun 2007 berjumlah 188.569, dan tahun 2008 jama’ah berjumlah 191.823. (http://www.kemenag.go.id) Dan, tahun 2010 ini 224.000 calhaj termasuk petugas akan diberangkatkan menunaikan rukun Islam kelima ini, berangkat dari 11 embarkasi yaitu, Aceh, Medan, Padang, Batam, Palembang, Jakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan dan Makassar. (http://www.kemenag.go.id).
Jumlah ini belum ditambah dengan jama’ah yang berangkat lewat jasa swasta, yang biasanya setiap tahun terjadi. Dari perkembangan ini, dengan mudah bisa kita bayangkan bahwa calon jama’ah haji dari tahun ke tahun akan terus meningkat.
Tentu kondisi diatas, secara kasat mata, membanggakan kita sebagai umat Islam, jika dijadikan sebagai tolak ukur peningkatan keimanan dan ketakwaan umat Islam Indonesia. Sayangnya, anggapan ini akan segera luntur ketika kita “menimbangnya” dengan kenyataan sosial masyarakat Indonesia, dimana penyakit sosial meningkat (kurang lebih) sebanding dengan minat terhadap ibadah haji. Kebodohan, kemiskinan, kezaliman, kemakisatan, terlebih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Dalam hal korupsi kita bisa lihat kasus-kasus yang menggantung pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Misal, kasus yang berkenaan dengan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan 7 yayasan miliknya, sebesar 1,4 trilyun; kasus korupsi di PERTAMINA, tahun 1993, kerugian negara sebesar US $ 24.8 juta; Korupsi di BAPINDO oleh Eddy Tanzil tahun 1993, kerugian sebesar 1.3 Triliun; 15 kasus korupsi HPH dan Dana Reboisasi, kerugian negara Rp 15,025 triliun; dan terakhir, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun. (http://www.tempointeraktif.com).
Kasus-kasus tersebut bisa dibilang kasus kelas kakap yang melibatkan para petinggi negara masa Orde Baru, yang tidak sedikit diantara mereka sudah melaksanakan ibadah haji.
Sementara pada Era Reformasi, menurut Moeflich Hasbullah, dalam Korupsi dan Jiwa, Opini Republika, 12 Juli 2010, kondisinya lebih parah dibandingkan dengan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru korupsi dilakukan oleh orang-orang pusat, sementara pada masa Era Reformasi sekarang ini dilakukan oleh pejabat-pejabat antardepartemen. Menurutnya, korupsi sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, baik pejabat pemerintah maupun swasta bahkan rakyat biasa. Rakyat bawah merampok gaji guru di jalanan, mengurangi timbangan di pasar, mengoplos dagangan, bahkan mencampur daging segar dengan daging busuk. Hatta terasi pun-seperti terjadi di Cirebon-dioplos dengan belatung dan nasi busuk. Hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia memiliki mentalitas korupsi. Semuanya melakukan kejahatan dengan modus dan bentuknya masing-masing. Semua tujuannya sama ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara.
Kemiskinan, kebodohan adalah sisi buruk yang lain dari bangsa ini, yang mungkin saja berkaitan dengan fenomena korupsi tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, yang jelas kemiskinan dan kebodohan hadir disekitar ruang lingkup haji-haji Indonesia. Selayaknya mereka peduli. Bukankah ibadah haji mengajarkan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh, sebuah kisah yang beredar di pesantren, sebut saja namanya Ki Muafaq, yang sudah berniat melaksanakan ibadah haji tetapi kemudian mengurungkan niatnya ketika melihat tetangganya memakan bangkai kambing karena kelaparan. Kemudian seorang muslim yang lain bermimpi tentang Ki Muafaq. Dalam mimpinya, orang itu mendengar suara bahwa yang diterima hajinya (haji mabrur) pada musim ini adalah Ki Muafaq. Dia sangat heran terhadap isi mimpi itu, sebab dia tahu betul nama yang disebutkan dalam mimpi itu, Ki Muafaq, tidak jadi melaksanakan haji.
Dari kisah ini jelas, kepedulian sosial, menolong saudara yang kelaparan adalah bagian dari pesan ibadah haji yang apabila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ibadah hajinya akan diterima oleh Allah SWT. Tidak hanya itu, secara sosial tentunya akan turut menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan di negeri ini.
Masalah sosial kita selanjutnya adalah maraknya kezaliman, kemungkaran dan kemaksiatan di negara yang notabene mayoritas muslim. Pemabalakan hutan yang liar dan rakus, terbukti semakin menambah penderitaan rakyat kecil (banjir di Papua). Kemaksiatan dilindungi, minuman keras terus beredar, pelacuran dan usaha-usaha sebagian oknum yang melindunginya atas nama hiburan dan pariwisata, nampak jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Ironisnya, fenomena itu berlangsung aman di negeri “sejuta Haji” ini.
Kenyataan ini selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama sebagai umat Islam khususnya, masyarakat Indonesia umumnya. Menjadi tanda tanya besar bagi kita, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pemahaman muslim Indonesia terhadap ibadah haji. Sehingga ibadah haji tidak banyak berefek dalam arah perubahan sosial, politik dan budaya masyarakat kita menjadi lebih baik.
Panggilan Suci dan Semangat Pembebasan
Banyak orang percaya bahwa kesempatan berhaji adalah panggilan suci yang tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan serupa. Panggilan suci menuntut kepasrahan untuk melepas segala atribut materi: suku, bangsa, jabatan, keturunan, harta dan semua yang berbau status sosial. Pakaian ihram berwarna putih tanpa jahitan, menggambarkan dengan sempurna bentuk kepasrahan tersebut.
Wukuf di Arafah mengandung pesan betapa kecil manusia di hadapan Sang Pencipta, seperti sebutir pasir di hamparan gurun yang luas, air di bentangan samudera. Maka, tidak ada alasan manusia untuk menyombongkan diri apalagi menindas satu sama lain.
Tawaf, mengelilingi satu pusaran Ka’bah, memberi makna persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT. Tak satu orang pun lebih dari yang lain, kecuali dari sisi ketakwaanya kepada Allah SWT. Sementara Sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah (dalam sejarahnya menunjukan tanggungjawab seorang ibu atas kewajibannya), mengisyaratkan manusia bertanggungjawab atas sesamanya. Orang kaya punya tanggungjawab terhadap orang miskin. Penguasa bertanggungjawab terhapa yang dipimpinnya.
Dengan ritual haji yang syarat makna persamaan derajat manusia tersebut, jamaah haji yang pulang ke tanah air, bukan untuk menjadikan gelar hajinya sebagai kelompok kelas sosial baru, yang memicu kesenjangan sosial baru. Melainkan menjadikan pesan haji sebagai bahan bakar semangat pembebasan di masyarakat. Membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan.
Semangat pembebasan ini pernah dimiliki oleh para haji kepulauan Nusantara ini pada abad ke-19. Mereka bergerak melawan kolonial Belanda yang menindas petani dan rakyat jelata.
Ibnu Qoyim, Ulama di Indonesia Pada Akhir Abad IXI dan Awal Abad XX, dalam Jurnal Sejarah 3, hal. 26, MSI bekerjasama dengan Gramedia, Jakarta: 1995, memaparkan bahwa peristiwa kekerasan adalah gejala umum yang menampakan diri di hampir seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19. Setelah perang-perang besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan perang Padri (1821-1837), berbagai pemberontakan lain meletus. Jihad di Cilegon atau pemberontakan Petani Banten (1888), peristiwa Nyi Aciah (1870-1871), gerakan Amat Ngaisa dan gerakan Kobra (1871). Peristiwa Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1888), dan di daerah Sumatera dan Kalimantan (1821-1838), Perang Banjarmasin (1857-1862), dan perlawanan lainnya, mewarnai isi kalender sejarah abad ke-19. Kesemuanya adalah penentangan terhadap kekuasaan atau dominasi Belanda.
Sejak saat itu keberangkatan umat Islam Nusantara naik haji dibatasi oleh Belanda. Belanda mengutus seorang ilmuwan, Snouck Horgronje, untuk mempelajari keberadaan kegiatan jama’ah haji di Mekah. Langkah Belanda ini menegaskan kepada kita bahwa mereka menganggap kegiatan ibadah hajilah yang telah menumbuhkan semangat perlawanan di dada para Haji yang Ulama di Indonesia.
Tentu saja fakta sejarah tersebut harus “diterjemahkan” dalam konteks kekinian. “Musuh” yang menanti jama’ah haji Indonesia sekarang bukan lagi penjajah Belanda, tetapi semua bentuk ketidakadilan, keserakahan, kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan, baik yang berada di dalam dirinya maupun di lingkungan sosialnya. Kesemuanya menanti agresifitas dan progresifitas para Haji yang terpancar dari “kesempurnaan” ibadah haji mereka. Semoga!
Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumni IAIN “SGD” Bandung.
Ayatbanten: 100 Hari Kerja Walikota & Madrasah Swasta
Ayatbanten: 100 Hari Kerja Walikota & Madrasah Swasta: "Oleh: Ayatulloh Marsai* Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang “ditelorkan” oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat..."
Kamis, 21 Oktober 2010
100 Hari Kerja Walikota & Nasib Madrasah Swasta*
*)Tulisan ini dimuat di kolom Gagasan Banten Raya Post, Kamis, 4 November 2010
Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang diluncurkan oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat Syafaat), Honor Daerah (Honda) dan Beasiswa Keluarga Miskin (Gakin). Program ini bisa membantu peningkatan kualitas pendidikan, terutama di madrasah swasta. Dan, sebagai program unggulan daerah, Honda dan Gakin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, Tb. Iman Aryadi dan Edi Aryadi. Ini patut mendapat apresiasi dari kalangan pesantren dan madrasah swasta di Kota Cilegon. Bagaimana tidak, program ini telah mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kegelisahan civitas dan wali siswa di madrasah, tidak mampu mengganti kelelahan tenaga pengajar, dan oprasional pendidikan, sebab kondisi ekonomi peserta didiknya.
Tetapi, dalam program 100 hari kerja Walikota dan Wakil Walikota yang baru, Tb. Iman Ariyadi dan Edi Aria, kalangan madrasah swasta terhenyak “menahan nafas” dan “mengurut dada”, ketika program 100 hari itu berlalu, tidak satupun program yang berpihak kepada madrasah swasta. Siapa yang tidak pilu, melihat saudara “sekandungnya” menerima nafkah dari “bapaknya”, sementara dia tidak. Inilah yang dirasakan oleh madrasah swasta di Cilegon, ketika “menonton” dua program untuk pendidikan dalam 100 hari kerja Walikota Cilegon ini.
100 hari, 2 Program untuk Pendidikan
Ada dua program (katanya populis) yang sasarannya lembaga pendidikan, tetapi tidak menyentuh secara merata lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon.
Pertama, program SPP gratis untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Jumlah Madrasah Aliyah Negeri di kota ini hanya 2 madrasah. Sementara jumlah madrasah swasta berpuluh kali lipat dari MAN. Selisih yang sangat jauh berimbang. Dengan kata lain, sebagian besar anak bangsa ini berada di madrasah-madrasah dan sekolah swasta.
Yang kedua, program bantuan buku Ujian Nasional (UN) gratis. Program yang kedua ini merupakan implentasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon (BUMD). Hanya saja yang merasakan program ini, sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan –untuk tidak menyebut sekolah umum-- di Kota Cilegon. Sementara lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI di Cilegon, tidak turut merasakan manfatnya.
Bagaimana dengan Madrasah Swasta? Apakah tidak masuk dalam agenda 100 hari kerja Walikota itu? Sangat ironis memang, program pemberdayaan dunia pendidikan yang seharusnya bisa menyentuh lembaga pendidikan di kota ini secara keseluruhan, tetapi kenyataannya hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecilnya saja. Bukankah kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa yang diamanatkan oleh UUD ’45, tidak disertai oleh klasifikasi jenis sekolah maupun tingkatannya? Tetapi, kenapa yang terjadi demikian halnya?
Nampaknya ada dikotomi antara keduanya. Dikotomi sekolah dan madrasah semakin dikuatkan oleh kebijakan ini. Dikotomi yang seharusnya sudah harus segera dilenyapkan ketika bangsa kita sudah bisa memerintah sendiri. Paling tidak, penghilangan dikotomi itu ditempuh dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merata, tidak memandang perbedaan yang ada pada madrasah dan sekolah, melainkan melihat persamaannya sebagai lembaga yang sama-sama berkewajiban mencercaskan anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, saya teringat dengan pemaparan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, seorang Sejarawan dari Universitas Padjajaran, yang memaparkan dalam bukunya, Api Sejarah, bahwa dulu Penjajah Belanda memecah belah melalui Sekolah. Bagaimana sikap Penjajah Belanda terhadap sekolah-sekolah rakyat pribumi yang sengaja dibuat oleh Belanda, dibedakan dengan sekolah-sekolah yang dibuat untuk kalangan anak Eropa dan pribumi bangsawan. Tidak hanya kelas sosialnya, sampai dengan anggaran yang dialokasikan juga jauh berbeda.
Menurut Pak Mansur, diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Untuk Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000,- sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.
Disamping sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, ada lembaga pendidikan yang usianya lebih tua, tetapi tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial, yakni pesantren. Pesantren adalah basis pendidikan Agama Islam yang dimotori oleh para Kyai dan Haji. Dan lembaga pendidikan yang terakhir ini tidak mendapat anggaran sedikitpun dari pemerintahan Belanda.
Zaman berganti, dari bangsa yang terjajah, menjadi bangsa yang merdeka, sudah 65 tahun. Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas sudah tidak ada, berganti dengan SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum. Disamping itu ada Pesantren, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Agama. Namun, pergantian zaman tersebut tidak merubah pandangan pemerintahan yang merdeka ini terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Pembedaan itu masih terasa.
Dikotomisasi sangat kental terasa dalam setiap kebijakan yang lahir. Masalah anggaran subsidi pendidikan, pengangkatan tenaga pengajar, belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, sangat jauh dari keseimbangan antara Madrasah dengan Sekolah. Kondisi ini juga terjadi pada penerimaan peluang kerja, cendrung lulusan Madrasah tidak sejajar kesempatannya untuk mengisi peluang yang ada, meskipun mungkin secara kompetensi sama. Situasi ini mengganggu pikiran, perasaan dan mental “penghuni” pesantren dan madrasah. Dan harus diakui “penghuni” tersebut adalah bagian terbesar dari orang-orang yang harus “diproteksi” secara ekonomi oleh negara.
Seharusnya setelah Kolonial Belanda hengkang, Indonesia merdeka, pembedaan itu sudah tidak ada. Semua warga negara dipandang sama kedudukannya bukan hanya dalam kewajiban, namun juga haknya. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dari negara.
Fakta di atas cukup relevan "perenungan mendalam" untuk pemerintahan yang mau belajar dari sejarah, pemerintah yang menginginkan pemerataan kekayaan negara merata kepada seluruh rakyatnya. Karena pemerintah adalah "bapak" yang berkewajiban bersikap adil terhadap semua "anak-anaknya." Wallahu 'alam!
**)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumnus IAIN ‘SGD’ Bandung.
Oleh: Ayatulloh Marsai**
Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang diluncurkan oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat Syafaat), Honor Daerah (Honda) dan Beasiswa Keluarga Miskin (Gakin). Program ini bisa membantu peningkatan kualitas pendidikan, terutama di madrasah swasta. Dan, sebagai program unggulan daerah, Honda dan Gakin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, Tb. Iman Aryadi dan Edi Aryadi. Ini patut mendapat apresiasi dari kalangan pesantren dan madrasah swasta di Kota Cilegon. Bagaimana tidak, program ini telah mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kegelisahan civitas dan wali siswa di madrasah, tidak mampu mengganti kelelahan tenaga pengajar, dan oprasional pendidikan, sebab kondisi ekonomi peserta didiknya.
Tetapi, dalam program 100 hari kerja Walikota dan Wakil Walikota yang baru, Tb. Iman Ariyadi dan Edi Aria, kalangan madrasah swasta terhenyak “menahan nafas” dan “mengurut dada”, ketika program 100 hari itu berlalu, tidak satupun program yang berpihak kepada madrasah swasta. Siapa yang tidak pilu, melihat saudara “sekandungnya” menerima nafkah dari “bapaknya”, sementara dia tidak. Inilah yang dirasakan oleh madrasah swasta di Cilegon, ketika “menonton” dua program untuk pendidikan dalam 100 hari kerja Walikota Cilegon ini.
100 hari, 2 Program untuk Pendidikan
Ada dua program (katanya populis) yang sasarannya lembaga pendidikan, tetapi tidak menyentuh secara merata lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon.
Pertama, program SPP gratis untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Jumlah Madrasah Aliyah Negeri di kota ini hanya 2 madrasah. Sementara jumlah madrasah swasta berpuluh kali lipat dari MAN. Selisih yang sangat jauh berimbang. Dengan kata lain, sebagian besar anak bangsa ini berada di madrasah-madrasah dan sekolah swasta.
Yang kedua, program bantuan buku Ujian Nasional (UN) gratis. Program yang kedua ini merupakan implentasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon (BUMD). Hanya saja yang merasakan program ini, sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan –untuk tidak menyebut sekolah umum-- di Kota Cilegon. Sementara lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI di Cilegon, tidak turut merasakan manfatnya.
Bagaimana dengan Madrasah Swasta? Apakah tidak masuk dalam agenda 100 hari kerja Walikota itu? Sangat ironis memang, program pemberdayaan dunia pendidikan yang seharusnya bisa menyentuh lembaga pendidikan di kota ini secara keseluruhan, tetapi kenyataannya hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecilnya saja. Bukankah kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa yang diamanatkan oleh UUD ’45, tidak disertai oleh klasifikasi jenis sekolah maupun tingkatannya? Tetapi, kenapa yang terjadi demikian halnya?
Nampaknya ada dikotomi antara keduanya. Dikotomi sekolah dan madrasah semakin dikuatkan oleh kebijakan ini. Dikotomi yang seharusnya sudah harus segera dilenyapkan ketika bangsa kita sudah bisa memerintah sendiri. Paling tidak, penghilangan dikotomi itu ditempuh dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merata, tidak memandang perbedaan yang ada pada madrasah dan sekolah, melainkan melihat persamaannya sebagai lembaga yang sama-sama berkewajiban mencercaskan anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, saya teringat dengan pemaparan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, seorang Sejarawan dari Universitas Padjajaran, yang memaparkan dalam bukunya, Api Sejarah, bahwa dulu Penjajah Belanda memecah belah melalui Sekolah. Bagaimana sikap Penjajah Belanda terhadap sekolah-sekolah rakyat pribumi yang sengaja dibuat oleh Belanda, dibedakan dengan sekolah-sekolah yang dibuat untuk kalangan anak Eropa dan pribumi bangsawan. Tidak hanya kelas sosialnya, sampai dengan anggaran yang dialokasikan juga jauh berbeda.
Menurut Pak Mansur, diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Untuk Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000,- sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.
Disamping sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, ada lembaga pendidikan yang usianya lebih tua, tetapi tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial, yakni pesantren. Pesantren adalah basis pendidikan Agama Islam yang dimotori oleh para Kyai dan Haji. Dan lembaga pendidikan yang terakhir ini tidak mendapat anggaran sedikitpun dari pemerintahan Belanda.
Zaman berganti, dari bangsa yang terjajah, menjadi bangsa yang merdeka, sudah 65 tahun. Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas sudah tidak ada, berganti dengan SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum. Disamping itu ada Pesantren, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Agama. Namun, pergantian zaman tersebut tidak merubah pandangan pemerintahan yang merdeka ini terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Pembedaan itu masih terasa.
Dikotomisasi sangat kental terasa dalam setiap kebijakan yang lahir. Masalah anggaran subsidi pendidikan, pengangkatan tenaga pengajar, belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, sangat jauh dari keseimbangan antara Madrasah dengan Sekolah. Kondisi ini juga terjadi pada penerimaan peluang kerja, cendrung lulusan Madrasah tidak sejajar kesempatannya untuk mengisi peluang yang ada, meskipun mungkin secara kompetensi sama. Situasi ini mengganggu pikiran, perasaan dan mental “penghuni” pesantren dan madrasah. Dan harus diakui “penghuni” tersebut adalah bagian terbesar dari orang-orang yang harus “diproteksi” secara ekonomi oleh negara.
Seharusnya setelah Kolonial Belanda hengkang, Indonesia merdeka, pembedaan itu sudah tidak ada. Semua warga negara dipandang sama kedudukannya bukan hanya dalam kewajiban, namun juga haknya. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dari negara.
Fakta di atas cukup relevan "perenungan mendalam" untuk pemerintahan yang mau belajar dari sejarah, pemerintah yang menginginkan pemerataan kekayaan negara merata kepada seluruh rakyatnya. Karena pemerintah adalah "bapak" yang berkewajiban bersikap adil terhadap semua "anak-anaknya." Wallahu 'alam!
**)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumnus IAIN ‘SGD’ Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)