Sabtu, 11 Desember 2010
Oleh Ayatulloh Marsai
Berkesempatan pergi haji memang harus disyukuri. Sebab, setelah saya membaca “Sang Pencerah”, ternyata pergi haji, dari dulu sampai sekarang adalah satu pekerjaan yang sulit. Tidak hanya butuh kemampuan individu dalam masalah finansial, tapi juga berkaitan dengan administrasi. Dulu, berangkat haji dipersulit oleh kolonial Belanda. Sekarang, sulit karena tidak serta merta dengan adanya uang, calon jama’ah bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan saja, pada jaman penjajah Belanda, orang yang pergi haji harus tercatat dalam catatan penjajah Belanda, berangkat dengan memakai kereta dengan gerbong khusus no.2, dan nanti pulang-pulang harus mengikuti tes kelulusan ibadah haji oleh pemerintah. Yang terakhir ini lucu, keabsahan haji seseorang ditentukan oleh kolonial Belanda. Yang lulus tes berhak memakai atribut pakaian haji, sebaliknya yang tidak lulus dilarang memakai atribut haji dalam bentuk apapun.
Penerapan sistem tersebut di atas menimbulkan beberapa kesan. Antara lain klasifikasi sosial, dan identifikasi (sensus) para haji Indonesia, agar semua haji Indonesia tercatat dalam buku kolonial Belanda. Apa tujuan Belanda melakukan ini?
Agar para haji tercatat dalam “kamus haji Indonesia” tahunan, kemudian mengawasi gerak-gerik para haji yang biasanya bikin ulah (memberontak) terhadap pemerintahan penjajah. Anggapan ini kemudian dikuatkan oleh Snouck Horgronje dalam penelitiannya di Mekkah. Dan, akhirnya ibadah haji adalah ibadah yang dilarang oleh protestan Belanda. Tidak hanya itu, akhirnya semua kegiatan agama Islam diawasi, sampai-sampai menerjemahkan al-qur’an juga dilarang. Karena, Belanda sadar betul bahwa ketika Islam dimengerti oleh penganutnya maka akan melahirkan perlawanan keras terhadap usaha penjajahan mereka.
Jadi, sekarang yang berhaji harus bersyukur dengan cara mabrur. Karena kesempatan berhaji, baik dulu maupun sekarang tidak mudah. Cara bersyukur paling bijak adalah dengan cara “memabrurkan” hajinya. Kenapa “memabrurkan”, bukan “mabrur” saja? Ya, “kemabruran” seorang haji tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diupayakan oleh yang bersangkutan. Ada tidak kemauan untuk “merubah” dirinya lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada, berarti dia harus terus berupaya (pasca haji sampai mati) untuk menyempurnakan pengamalan ibadahnya, baik berkaitan dengan Allah SWT. maupun berkenaan dengan manusia serta mahkluk lainnya. Butuh konsistensi untuk meraih tingkatan haji mabrur ini. Sebab, mabrur bukan harga mati yang bisa diraih berbarengan dengan selesainya ibadah haji. Bukan! Melainkan proses yang terus-menerus “menjadi”, sampai mati.
Biasanya, perubahan orang yang baru pergi haji ini sangat signifikan. Dalam segala hal, mereka berubah. Terutama cara dan dialek bahasanya. [wallahu ‘alam]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar