Oleh
Ayatulloh Marsai
Jalan-jalan
ke Pulo Panjang sudah agenda Buletin
Ciplukan sejak lama. Kebetulan, saya juga punya sedikit kepenasaran dengan
Makam Buyut Sani. Pribahasa “sekali mendayung dua agenda terlampaui,” mungkin
tepat untuk mengungkapkan keberuntunganku kali ini. Agenda Buletin Ciplukan terpenuhi sekaligus memenuhi dahaga ingin tahu
saya tentang Buyut Sani, Pulo Panjang.
Jalan-jalan dan Menulis
Ada
ungkapan: “apa yang ada di luar tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang ada dalam
diri kita.” Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah.
Bagi saya, pengetahuan, perasaan, dan apa saja yang ada dalam diri kita, butuh
perangsang eksternal supaya bisa mewujud. Sebaliknya, keseluruhan pengalaman
eksternal akan menjadi pengetahuan berharga untuk memperkaya batin seseorang.
Untuk itulah krew Buletin Ciplukan
dibawa ke alam terbuka untuk mendapatkan keduanya: pengalaman eksternal dan
keluarnya potensi batin yang terpenjara oleh sempitnya ruang gerak selama ini.
Produk
yang diharapkan, dari pergumulan keduanya, adalah tulisan. Apa saja, entah itu
puisi, catatan perjalanan, cerita pendek, dll. Atau, sebagai awal inspirasi
untuk menulis novel. Tentang apa saja: ‘pelabuhan kecil’, perahu kayu, tukang
perahu, mesin yang menderu-deru, laut, pantai, nelayan, rumput laut, dan banyak
lagi. Apa saja, termasuk hal-hal sepele bagi orang lain, tetapi tidak boleh
disepelekan oleh krew Buletin Ciplukan.
Tulisan
perjalanan sedang nge-trend sekarang. Banyak penulis menobatkan diri sebagai penulis perjalanan. Tidak sedikit media
menyediakan kolom khusus untuk catatan perjalanan ini. Jadi, kalau bicara
peluang, tulisan perjalanan punya pasar cukup bagus. Prospektif untuk ditekuni.
Jalan dan Pegunungan Bojonegara
Maksud
hati memilih mobil terbuka supaya bisa menikmati semilir angin, tapi sayang suasana
itu hanya bisa dinikmati sampai Kelurahan Tegal Bunder saja. Selanjutnya, udara
jalan Bojonegara ternyata tidak sehat lagi. Debu berhamburan ketika angin
datang. Debu juga membuntuti mobil yang kami tumpangi karena tekanan udara yang
dihasilkan oleh kecepatannya. Ditambah truk-truk yang tidak henti-henti hilir
mudik membawa batu, koral, split dan pasir. Ya, disinilah pusat tambang batu di
provinsi ini. Kabarnya, hasil penambangan tadi diimpor. Penduduk harus puas
sebagai mandor, kuli angkut, dan sopir.
Dari
atas mobil, kemana saja mata lepas memandang, jelas terlihat oleh kami gunung
tak lagi (gunung) menjulang, menganga. Ada yang habis sama sekali. Namun
penambangan masih berlangsung, entah sampai kapan. Alat-alat berat masih rakus
merangsek badan-badan pegunungan. Tidak masuk akal, ada negara/pemerintah yang
membiarkan alamnya dieksploitasi sedemikian rupa. Tapi, itulah Indonesia.
Eksploitasi benar-benar terjadi, tak ada yang sanggup menghentikannya. Kadang
saya teringat kesohoran ‘orang Bojonegare’, kekerasan wataknya dan semangat
perlawanananya. Dalam hal ini, nihil tidak ada, tidak terdengar ada ‘jawara’
atau ‘jagoan’ yang menghalangi eksploitasi alam Bojonegare. Mungkin benar,
zaman ini, ternyata menempatkan uang sebagai jagoan sejati.
Perahu Penyebrangan
Setelah
menempuh perjalanan kira-kira 30 menit, kami sampai di Grenyang, semacam
pelabuhan tempat perahu-perahu angkutan bersandar. Kami beruntung, untuk
menyebrang ke Pulo Panjang, mendapat tumpangan gratis dari Kepala Madrasah, H.
Muktillah, S. Ag. Pemilik nama pena Mukti Jayaraksa, penulis “Meminang PSK (Perempuan Seperti Khadijah).”
Rupanya diam-diam beliau punya perahu mesin. Meski tidak besar, cukup untuk
kapasitas kami 20 orang.
Pada
perjalanan ini, ikut serta ‘maniak mancing’, teman-teman Mukti Jayaraksa.
Mereka menggunakan kapal milik Mustofa, yang tidak lain adik dari Mukti
Jayaraksa.
Kalau
memakai perahu jasa umum, masing-masing penumpang harus membayar Rp. 5000,-
untuk ke Pasir Putih. Sementara ke Peres, tujuan kami, Rp. 15.000,-. Tempat
yang kami tuju adalah Peres, tempat dimana makam Buyut Sani berada. Ongkos itu
untuk satu kali jalan. Untuk perjalanan PP (pulang-pergi) kami seharusnya
mengeluarkan ongkos Rp. 30.000,-. Tapi karena penyebrangan menggunakan perahu
Pak Mukti Jayaraksa, jadi gratis dech!
Tempat
ini bernama Grenyang, tempat dimana perahu-perahu berlabu, suasananya ramai
sekali. Aktifitas ekonomi terasa. Ada warung penyedia makanan, minuman dan
kebutuhan lain; tempat pelelangan ikan (TPI), tempat para nelayan menjual hasil
tangkapannya; perahu berjejer menunggu penumpang datang, ada juga yang membawa
penumpang dari sebrang, Pulo Panjang.
Tongkang Batu Bara, Bagan dan Nelayan
Sepanjang
perjalanan, di atas perahu yang terus menyusur laut, selain mata dimanjakan
oleh laut lepas, juga kita bisa melihat beberapa ‘bagan’ milik nelayan. Bagan
berfungsi sebagai tempat berdiam diri rombongan nelayan untuk menjaring ikan
pada kedalaman tertentu. Bagan di sini terbuat dari bambu, sekitar 2-3 bambu
yang disambung. Di tempat lain, di laut yang lebih dalam, bagan terbuat dari
pohon pinang.
Tidak
begitu jauh dari daratan Bojonegare terparkir tongkang batu bara. Pemandangan
umum yang terjadi di pinggir laut Banten. Saya pernah melihat yang lebih banyak
dari ini di sekitar Salera Indah dan Kelape Pitu, Cilegon. Batu bara ini
digunakan sebagai bahan bakar industri-industri besar di pinggir pantai Banten.
Akibatnya, pantai tidak menjadi ruang public yang bisa dinikmati warga. Pantai
di Cilegon dan Bojonegara dipagari industry-industri kimia. Di Anyer, oleh
hotel. Hampir tidak ada pantai lepas milik negara di Banten yang bebes
dinikmati publik. Sementara, limbah industri dibuang ke laut.
Ziarah ke Makam Buyut Sani
Tentang
Buyut Sani, saya tahu dari brosur promosi wisata ziarah yang diterbitkan oleh Dinas
Pariwisata Provinsi Banten, tahun 2008. Di brosur itu ada 20 lebih, tempat yang
diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata. Saya bergumam akan mendatanginya satu per
satu. Yang sudah terlampaui baru satu, Makam Muhammad Sholeh, Gunung Santri.
Dalam
jalan-jalan bersama krew Buletin Ciplukan ke Pulo Panjang ini, saya berkesempatan
mendatangi makam Buyut Sani. Tempatnya tidak jauh dari ‘pelabuhan kecil’ dimana
perahu yang kami tumpangi ditambatkan. Hanya sekitar 250 meter.
Betapa
kagetnya saya ketika melihat bangunan putih, ukuran ± 3 x 3 m, atap asbes itu
tidak terawat. Saya merasa ditipu oleh brosur Dinas Pariwisata Provinsi Banten.
Disana tidak ada plang “Makam Keramat Ki Buyut Sani,” seperti yang terdapat
dalam brosur. Kotoran kambing dimana-mana, bahkan sampai di dalam bangunan
dimana ada kuburan Buyut Sani.
Kuburan Buyut Sani terdapat di makam umum. Secara tata letak, makam ini terbilang unik, karena dibelah oleh jalan umum permanen bahan paving blok. Jadi, kesan makam itu seram, tidak berlaku disini. Sebab, banyak yang melewati jalan ini, baik jalan kaki maupun kendaraan. Kendaraanya berupa motor, sepeda, gerobak, (ada juga motor mobil).
Lama
juga, rombongan tercengang-cengang di sini. Tidak ada kuncen (penjaga makam)
untuk sekedar bertanya-tanya sedikitnya tentang Ki Buyut Sani. Atau pemandu
ziarah untuk memimpin ritual ziarah. Tidak ada petunjuk. Gersang. Akhirnya, Pak
Mukti Jayaraksa kami minta untuk memimpin ziarah.
Ziarah
selesai. Namun meninggalkan tanya: siapa Buyut Sani, kenapa ada disni,
bagaimana semasa hidupnya, dst, gelap. Tidak ada yang bisa kami minta
keterangannya. Tidak ada kuncen!
Ternyata,
pemerintah hanya bisa promosi. Pengunjung wisata tidak mendapatkan kenyataan
sesuai brosur promosi. Saya hawatir, di tempat lain juga sama keadaannya.
Kenyataan di lokasi tidak sesuai dengan gambaran pada promosi wisata. Padahal
biaya promosi pasti tidak sedikit.
Garis Batas Nasionalisme
Di
setiap perahu, di bibir pelabuhan kecil Kampung Ceper, Pulo Panjang, saya lihat
ada bendera merah putih berkibar. Kebanyakan bahkan sampai sobek di atas tiang.
Sesuatu hal yang tidak terjadi di daratan. Meski banyak kendaraan di daratan,
baik kendaraan pribadi, perusahaan, maupun umum, tidak satupun yang mengikatkan
bendera pada kendaraannya. Kecuali mobil kepresidenan. Dan, kendaraan yang lain
jika bulan Agustus tiba, sebagai penghormatan pada hari ulang tahun
kemerdekaan.
Identitas
yang tertempel pada kendaraan di daratan lebih banyak identitas kelompok:
partai, komunitas, LSM, Ormas, dll. Bukankah ini menunjukan kepada kita
nasionalisme itu lebih tegas terlihat di garis batas terluar wilayah Indonesia.
Saya
dapat belajar: ini berkaitan dengan identitas kebangsaan dan kenegaraan.
Mereka, para nelayan, pelancong, dan petualang bersentuhan langsung dengan
garis batas negara, garis batas kebangsaan. Terlepas, apakah dia mampu
mempertahankan batas-batas itu ketika bersentuhan langsung atau tidak. Sebab,
tantangan pasti cukup besar. Mulai dari godaan perselingkuhan dengan nelayan
luar negeri, sampai ancaman kematian jika mereka melewati batas teritorial
negara lain.
Setidaknya
bendera masih tetap terikat di perahu. Mereka juga masih tetap pulang ke
kampung halamannya ketika pendapatan ikan sudah cukup untuk sekedar makan.
Bagaimana
dengan bendera merah putih yang terikat di atas-depan mobil kepresidenan?
Sebagai pembeda presiden Indonesia dengan negara lain? sekedar itu? Mampukah
Pak Presiden memakai identitas keindonesiaan/nasionalisme dalam segala bidang:
politik, ekonomi, budaya, sosial?
Mabuk Laut vs Mabuk Cinta
Sebuah
perjalanan memang penuh misteri, segalanya menjadi mungkin. Termasuk mabok laut
bahkan mabuk cinta. Keduanya terjadi dalam perjalanan kali ini. Satu orang dari
rombongan kami tiba-tiba saja muntah sejadi-jadinya, ketika turun dari perahu.
Untung kami membawa kotak P3K, sehingga bisa langsung ditangani. Meskipun lebih
baik sebetulnya kalau kami mengantisipasinya sejak keberangkatan dengan minum
pil anti mabuk.
Mabuk
Cinta. Namanya juga remaja, mungkin tidak lengkap tanpa haru-biru masalah
percintaan. Cinta dan cemburu tidak terpisahkan, tanpa jarak. Cinta membuat
seseorang merasa cemburu. Cemburu, kata orang tanda cinta. Ha ha… perjalanan
masih panjang, kawan, ayo terus berjalan. Jangan sampai cinta memenjarakanmu.
Cinta, kata Kahlil Gibran, mestinya membebaskan!
Bertemu Teman Lama
Tidak
disangka, dalam perjalanan ke Pulo Panjang ini, saya bertemu teman lama. Dia
Safroni, teman waktu di pesantren dulu, tahun 1995-98. Dialah kapten di kapal
kecil yang kami tumpangi kali ini. Tidak disangka kami bertemu dalam perjalanan
yang mendebarkan ini.
Pertemuan
ini melempar ingatan saya belasan tahun yang lalu di Pesantren Nurul Qomar
Karangtengah. Makan nasi liwet bersama, sambal terasi, minum air kerak (intip).
Sering sampai larut malam karena sore hari sampai malam, kami sibuk dengan
jadwal ngaji. Jadi liwetan itu jam duabelas ke atas, kemudian tidur setelah
puas berbagi kisah setiap harinya.
Sekarang
Safroni sudah di kampungnya. Menjadi suami bagi istrinya, bapak bagi anaknya
dan anggota masyarakat bagi puluhan kepala rumah tangga di kampung Peres, Pulo
Panjang. Penduduk pulau. Dia sudah punya dua anak.
Untuk
menghidupi keluarga kecilnya, dengan 2 anak, dia lebih sering mencari ikan ke
Pulau Seribu dari pada di sekitar lau Pulo Panjang – Bojonegara ini. Merasa
hidup keluarganya tidak begitu baik, dia pernah menjadi TKI ke Malaysia. Tidak
terlalu menggembirakan, selain peraturan ketat dan kejam, bayarannya juga tidak
terlalu besar jika dibandingkan pengeluaran di sana.
Tidak
berhenti sampai disitu, belakangan istrinya yang berangkat ke Arab menjadi
tenaga kerja wanita (TKW) ke Arab Saudi. Sampai sekarang. Baru, hidupnya secara
materi membaik, meski dengan hidup sehari-hari yang kurang sempurna,tanpa istri
di rumah dan ibu bagi anak-anaknya. Neneknya sebagai pengasuh.
Tegar,
Saf, kamu bisa banyak belajar dari pengalaman hidupmu. Lalu sejahteralah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar