Minggu, 08 Juli 2012

Pulo Panjang dan Garis Batas Nasionalisme


Oleh Ayatulloh Marsai

Jalan-jalan ke Pulo Panjang sudah agenda Buletin Ciplukan sejak lama. Kebetulan, saya juga punya sedikit kepenasaran dengan Makam Buyut Sani. Pribahasa “sekali mendayung dua agenda terlampaui,” mungkin tepat untuk mengungkapkan keberuntunganku kali ini. Agenda Buletin Ciplukan terpenuhi sekaligus memenuhi dahaga ingin tahu saya tentang Buyut Sani, Pulo Panjang.

Jalan-jalan dan Menulis
Ada ungkapan: “apa yang ada di luar tidak ada  apa-apanya dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita.” Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Bagi saya, pengetahuan, perasaan, dan apa saja yang ada dalam diri kita, butuh perangsang eksternal supaya bisa mewujud. Sebaliknya, keseluruhan pengalaman eksternal akan menjadi pengetahuan berharga untuk memperkaya batin seseorang. Untuk itulah krew Buletin Ciplukan dibawa ke alam terbuka untuk mendapatkan keduanya: pengalaman eksternal dan keluarnya potensi batin yang terpenjara oleh sempitnya ruang gerak selama ini.



Produk yang diharapkan, dari pergumulan keduanya, adalah tulisan. Apa saja, entah itu puisi, catatan perjalanan, cerita pendek, dll. Atau, sebagai awal inspirasi untuk menulis novel. Tentang apa saja: ‘pelabuhan kecil’, perahu kayu, tukang perahu, mesin yang menderu-deru, laut, pantai, nelayan, rumput laut, dan banyak lagi. Apa saja, termasuk hal-hal sepele bagi orang lain, tetapi tidak boleh disepelekan oleh krew Buletin Ciplukan.

Tulisan perjalanan sedang nge-trend sekarang. Banyak penulis menobatkan diri sebagai  penulis perjalanan. Tidak sedikit media menyediakan kolom khusus untuk catatan perjalanan ini. Jadi, kalau bicara peluang, tulisan perjalanan punya pasar cukup bagus. Prospektif untuk ditekuni.

Jalan dan Pegunungan Bojonegara
Maksud hati memilih mobil terbuka supaya bisa menikmati semilir angin, tapi sayang suasana itu hanya bisa dinikmati sampai Kelurahan Tegal Bunder saja. Selanjutnya, udara jalan Bojonegara ternyata tidak sehat lagi. Debu berhamburan ketika angin datang. Debu juga membuntuti mobil yang kami tumpangi karena tekanan udara yang dihasilkan oleh kecepatannya. Ditambah truk-truk yang tidak henti-henti hilir mudik membawa batu, koral, split dan pasir. Ya, disinilah pusat tambang batu di provinsi ini. Kabarnya, hasil penambangan tadi diimpor. Penduduk harus puas sebagai mandor, kuli angkut, dan sopir.

Dari atas mobil, kemana saja mata lepas memandang, jelas terlihat oleh kami gunung tak lagi (gunung) menjulang, menganga. Ada yang habis sama sekali. Namun penambangan masih berlangsung, entah sampai kapan. Alat-alat berat masih rakus merangsek badan-badan pegunungan. Tidak masuk akal, ada negara/pemerintah yang membiarkan alamnya dieksploitasi sedemikian rupa. Tapi, itulah Indonesia. Eksploitasi benar-benar terjadi, tak ada yang sanggup menghentikannya. Kadang saya teringat kesohoran ‘orang Bojonegare’, kekerasan wataknya dan semangat perlawanananya. Dalam hal ini, nihil tidak ada, tidak terdengar ada ‘jawara’ atau ‘jagoan’ yang menghalangi eksploitasi alam Bojonegare. Mungkin benar, zaman ini, ternyata menempatkan uang sebagai jagoan sejati.

Perahu Penyebrangan

Setelah menempuh perjalanan kira-kira 30 menit, kami sampai di Grenyang, semacam pelabuhan tempat perahu-perahu angkutan bersandar. Kami beruntung, untuk menyebrang ke Pulo Panjang, mendapat tumpangan gratis dari Kepala Madrasah, H. Muktillah, S. Ag. Pemilik nama pena Mukti Jayaraksa, penulis “Meminang PSK (Perempuan Seperti Khadijah).” Rupanya diam-diam beliau punya perahu mesin. Meski tidak besar, cukup untuk kapasitas kami 20 orang.

Pada perjalanan ini, ikut serta ‘maniak mancing’, teman-teman Mukti Jayaraksa. Mereka menggunakan kapal milik Mustofa, yang tidak lain adik dari Mukti Jayaraksa.
Kalau memakai perahu jasa umum, masing-masing penumpang harus membayar Rp. 5000,- untuk ke Pasir Putih. Sementara ke Peres, tujuan kami, Rp. 15.000,-. Tempat yang kami tuju adalah Peres, tempat dimana makam Buyut Sani berada. Ongkos itu untuk satu kali jalan. Untuk perjalanan PP (pulang-pergi) kami seharusnya mengeluarkan ongkos Rp. 30.000,-. Tapi karena penyebrangan menggunakan perahu Pak Mukti Jayaraksa, jadi gratis dech!

Tempat ini bernama Grenyang, tempat dimana perahu-perahu berlabu, suasananya ramai sekali. Aktifitas ekonomi terasa. Ada warung penyedia makanan, minuman dan kebutuhan lain; tempat pelelangan ikan (TPI), tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya; perahu berjejer menunggu penumpang datang, ada juga yang membawa penumpang dari sebrang, Pulo Panjang.

Tongkang Batu Bara, Bagan dan Nelayan
Sepanjang perjalanan, di atas perahu yang terus menyusur laut, selain mata dimanjakan oleh laut lepas, juga kita bisa melihat beberapa ‘bagan’ milik nelayan. Bagan berfungsi sebagai tempat berdiam diri rombongan nelayan untuk menjaring ikan pada kedalaman tertentu. Bagan di sini terbuat dari bambu, sekitar 2-3 bambu yang disambung. Di tempat lain, di laut yang lebih dalam, bagan terbuat dari pohon pinang. 

Tidak begitu jauh dari daratan Bojonegare terparkir tongkang batu bara. Pemandangan umum yang terjadi di pinggir laut Banten. Saya pernah melihat yang lebih banyak dari ini di sekitar Salera Indah dan Kelape Pitu, Cilegon. Batu bara ini digunakan sebagai bahan bakar industri-industri besar di pinggir pantai Banten. Akibatnya, pantai tidak menjadi ruang public yang bisa dinikmati warga. Pantai di Cilegon dan Bojonegara dipagari industry-industri kimia. Di Anyer, oleh hotel. Hampir tidak ada pantai lepas milik negara di Banten yang bebes dinikmati publik. Sementara, limbah industri dibuang ke laut.

Ziarah ke Makam Buyut Sani
Tentang Buyut Sani, saya tahu dari brosur promosi wisata ziarah yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Banten, tahun 2008. Di brosur itu ada 20 lebih, tempat yang diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata. Saya bergumam akan mendatanginya satu per satu. Yang sudah terlampaui baru satu, Makam Muhammad Sholeh, Gunung Santri.

Dalam jalan-jalan bersama krew Buletin Ciplukan ke Pulo Panjang ini, saya berkesempatan mendatangi makam Buyut Sani. Tempatnya tidak jauh dari ‘pelabuhan kecil’ dimana perahu yang kami tumpangi ditambatkan. Hanya sekitar 250 meter.

Betapa kagetnya saya ketika melihat bangunan putih, ukuran ± 3 x 3 m, atap asbes itu tidak terawat. Saya merasa ditipu oleh brosur Dinas Pariwisata Provinsi Banten. Disana tidak ada plang “Makam Keramat Ki Buyut Sani,” seperti yang terdapat dalam brosur. Kotoran kambing dimana-mana, bahkan sampai di dalam bangunan dimana ada kuburan Buyut Sani.


Kuburan Buyut Sani terdapat di makam umum. Secara tata letak, makam ini terbilang unik, karena dibelah oleh jalan umum permanen bahan paving blok. Jadi, kesan makam itu seram, tidak berlaku disini. Sebab, banyak yang melewati jalan ini, baik jalan kaki maupun kendaraan. Kendaraanya berupa motor, sepeda, gerobak, (ada juga motor mobil).

Lama juga, rombongan tercengang-cengang di sini. Tidak ada kuncen (penjaga makam) untuk sekedar bertanya-tanya sedikitnya tentang Ki Buyut Sani. Atau pemandu ziarah untuk memimpin ritual ziarah. Tidak ada petunjuk. Gersang. Akhirnya, Pak Mukti Jayaraksa kami minta untuk memimpin ziarah.

Ziarah selesai. Namun meninggalkan tanya: siapa Buyut Sani, kenapa ada disni, bagaimana semasa hidupnya, dst, gelap. Tidak ada yang bisa kami minta keterangannya. Tidak ada kuncen!

Ternyata, pemerintah hanya bisa promosi. Pengunjung wisata tidak mendapatkan kenyataan sesuai brosur promosi. Saya hawatir, di tempat lain juga sama keadaannya. Kenyataan di lokasi tidak sesuai dengan gambaran pada promosi wisata. Padahal biaya promosi pasti tidak sedikit.

Garis Batas Nasionalisme
Di setiap perahu, di bibir pelabuhan kecil Kampung Ceper, Pulo Panjang, saya lihat ada bendera merah putih berkibar. Kebanyakan bahkan sampai sobek di atas tiang. Sesuatu hal yang tidak terjadi di daratan. Meski banyak kendaraan di daratan, baik kendaraan pribadi, perusahaan, maupun umum, tidak satupun yang mengikatkan bendera pada kendaraannya. Kecuali mobil kepresidenan. Dan, kendaraan yang lain jika bulan Agustus tiba, sebagai penghormatan pada hari ulang tahun kemerdekaan.

Identitas yang tertempel pada kendaraan di daratan lebih banyak identitas kelompok: partai, komunitas, LSM, Ormas, dll. Bukankah ini menunjukan kepada kita nasionalisme itu lebih tegas terlihat di garis batas terluar wilayah Indonesia.

Saya dapat belajar: ini berkaitan dengan identitas kebangsaan dan kenegaraan. Mereka, para nelayan, pelancong, dan petualang bersentuhan langsung dengan garis batas negara, garis batas kebangsaan. Terlepas, apakah dia mampu mempertahankan batas-batas itu ketika bersentuhan langsung atau tidak. Sebab, tantangan pasti cukup besar. Mulai dari godaan perselingkuhan dengan nelayan luar negeri, sampai ancaman kematian jika mereka melewati batas teritorial negara lain.

Setidaknya bendera masih tetap terikat di perahu. Mereka juga masih tetap pulang ke kampung halamannya ketika pendapatan ikan sudah cukup untuk sekedar makan.

Bagaimana dengan bendera merah putih yang terikat di atas-depan mobil kepresidenan? Sebagai pembeda presiden Indonesia dengan negara lain? sekedar itu? Mampukah Pak Presiden memakai identitas keindonesiaan/nasionalisme dalam segala bidang: politik, ekonomi, budaya, sosial?

Mabuk Laut vs Mabuk Cinta
Sebuah perjalanan memang penuh misteri, segalanya menjadi mungkin. Termasuk mabok laut bahkan mabuk cinta. Keduanya terjadi dalam perjalanan kali ini. Satu orang dari rombongan kami tiba-tiba saja muntah sejadi-jadinya, ketika turun dari perahu. Untung kami membawa kotak P3K, sehingga bisa langsung ditangani. Meskipun lebih baik sebetulnya kalau kami mengantisipasinya sejak keberangkatan dengan minum pil anti mabuk.

Mabuk Cinta. Namanya juga remaja, mungkin tidak lengkap tanpa haru-biru masalah percintaan. Cinta dan cemburu tidak terpisahkan, tanpa jarak. Cinta membuat seseorang merasa cemburu. Cemburu, kata orang tanda cinta. Ha ha… perjalanan masih panjang, kawan, ayo terus berjalan. Jangan sampai cinta memenjarakanmu. Cinta, kata Kahlil Gibran, mestinya membebaskan!

Bertemu Teman Lama
Tidak disangka, dalam perjalanan ke Pulo Panjang ini, saya bertemu teman lama. Dia Safroni, teman waktu di pesantren dulu, tahun 1995-98. Dialah kapten di kapal kecil yang kami tumpangi kali ini. Tidak disangka kami bertemu dalam perjalanan yang mendebarkan ini. 

Pertemuan ini melempar ingatan saya belasan tahun yang lalu di Pesantren Nurul Qomar Karangtengah. Makan nasi liwet bersama, sambal terasi, minum air kerak (intip). Sering sampai larut malam karena sore hari sampai malam, kami sibuk dengan jadwal ngaji. Jadi liwetan itu jam duabelas ke atas, kemudian tidur setelah puas berbagi kisah setiap harinya.
Sekarang Safroni sudah di kampungnya. Menjadi suami bagi istrinya, bapak bagi anaknya dan anggota masyarakat bagi puluhan kepala rumah tangga di kampung Peres, Pulo Panjang. Penduduk pulau. Dia sudah punya dua anak.

Untuk menghidupi keluarga kecilnya, dengan 2 anak, dia lebih sering mencari ikan ke Pulau Seribu dari pada di sekitar lau Pulo Panjang – Bojonegara ini. Merasa hidup keluarganya tidak begitu baik, dia pernah menjadi TKI ke Malaysia. Tidak terlalu menggembirakan, selain peraturan ketat dan kejam, bayarannya juga tidak terlalu besar jika dibandingkan pengeluaran di sana.

Tidak berhenti sampai disitu, belakangan istrinya yang berangkat ke Arab menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke Arab Saudi. Sampai sekarang. Baru, hidupnya secara materi membaik, meski dengan hidup sehari-hari yang kurang sempurna,tanpa istri di rumah dan ibu bagi anak-anaknya. Neneknya sebagai pengasuh.

Tegar, Saf, kamu bisa banyak belajar dari pengalaman hidupmu. Lalu sejahteralah!

Cilegon, 5 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar