Selasa, 29 November 2011

Mimpi Garuda

Aku ingat waktu kecil aku sering mimpi terbang. Dari gunung ke gunung, dari pematang ke pematang sawah. Berputar-putar di angkasa. Dengan gaya “Superman” aku terus menyusuri angkasa raya. Dari atas ketinggian seperti ini aku melihat hamparan sawah, pemukiman dan lautan, membentang sambung-menyambung menjadi satu kesatuan bumi yang indah ini.

Seandainya itu menjadi nyata, betapa indahnya hidup ini. Mau kemana saja aku bisa. Seandainya mimpi itu menjadi nyata, pertama yang ingin aku lakukan adalah menghampiri burung Garuda. Aku kangen sama dia, seumur hidupku aku tidak melihatmu, kecuali yang terpanggang di tembok mencengkram Bhineka Tunggal Ika. Entah di hutan mana aku harus mencari. Aku ingin Garuda hadir dalam setiap pagiku, untuk sekedar berkeliling melingkari hutan di kepulauan Indonesia. Berkeliling di udara dari Sabang sampai Maraoke sambil tetap mencengkram Bhineka Tunggal Ika Entah. Aku akan turun jika melihat gejolak kesukuan, keagamaan, ekonomi dan gejolak apa saja yang mengancam isi semboyan cengkraman Garuda.

Garuda, entah di hutan mana aku mencarimu. Setelah aku jauh berkeliling, tidak kunjung aku melihatmu, apalagi melihat hutan Indonesia sekarang, aku tidak berharap banyak. Sebab hutan tidak lagi dihuni orang hutan, melainkan oleh orang-orang kota. Sejak keberadaan orang-orang kota di hutan-hutan, kamu tidak mungkin terlihat lagi.Orang kota datang ke hutan kira-kira mau ngapain. Cari pekerjaan? Sepertinya bukan, sebab pemuda-pemuda kampong sebelah hutan ini malah pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Di kota banyak pekerjaan, pikirnya.

Orang kota itu membawa banyak peralatan, alat berat tentunya, jangan-jangan untuk menebang hutan. Ya hutan. Hutan yang biasanya mereka tebang. Seperti di tempat-tempat lain kepulauan ini, mereka menebang hutannya, bukan pohonnya. Musnah. Itulah bedanya orang kampung dengan orang kota. Kalau orang kampung hanya menebang pohon untuk keperluan hidup sehari-hari mereka. Sementara orang kota menebang hutannya untuk memenuhi keperluan nafsunya. Ah, biadab.

Garudaku hilang. Hanya ada di kanvas guru-guru melukis imaji, hanya ada dalam cerita guru sejarah yang sebetulnya harus jujur belum pernah melihat Garuda sekuat itu, dalam rumus kode buntut guru matematika.

Aku kecewa, buat apa aku bisa terbang kalau aku tidak bisa memenuhi hasrat masa kecilku melihat dan bercengkrama dengan Garuda. Garuda tinggal namanya saja. Dalam mimpi pengusaha penerbangan, dia ingin mempunya pesawat terbang sekuat Garuda. Pengusaha kacang tanah kemasan, dia ingin kacangnya besar sebesar Garuda dibandingkan kelinci. Garuda, terlanjur menjadi gambar, terlanjur menjadi simbol, terlanjur menjadi lambang, artinya sebagai identitas wilayah berkapasitas Negara Kesatuan. Garuda, burung yang kuat, negara lemah, tak ada hubungan, tidak nyambung.
  
Dalam pertandingan sepak bola, Tim Garuda Muda memang kuat. Tapi, menang juga tidak hubungan dengan burung garuda, bukan karena burung garuda yang tangguh. Tapi karena keuletan tim itu.

Ah, buat apa aku gantungkan mimpiku pada keinginan bertemu garuda. Lebih baik aku pergunakan kemampuan terbangku untuk berkeliling menebarkan benih-benih hutan baru, sambil memata-matai orang kota agar tak mengganggu hutan baruku. Dan, orang kampung, orang desa bisa menebang hutan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Orang kota berani bayar mahal hanya untuk melihat hutan. Hutan asli lho, bukan sekedar lukisan hutan yang ada di tengah kota itu.

Seperti sudah aku jelaskan, terbangku hanya mimpi masa kecil, dalam tidur nyenyakku setelah puas bermain dalam hutan, bersama teman-temanku. Sekarang, teman-temanku itu ada yang menjadi menteri, ada yang menjadi dosen, pemimpin partai, menjadi DPRD di Kota, ada juga yang mau jadi presiden. Semoga memori tentang hutan masih tersimpan rapih dalam bawah sadar mereka.

Aku berharap temanku itu bisa mewujudkan mimpi-mimpi masa kecilku, mimpi orang kecil, tentang garuda yang perkasa, tentang hutan dimana garuda bisa memelihara keperkasaan dan eksistensinya dan tentang kebebasan bermimpi tanpa batas, orang besar atau kecil, kaya atau miskin. Satu yang wajib ada: dia layak bermimpi

Ayatulloh Marsai
28 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar