Aku ingat waktu kecil aku
sering mimpi terbang. Dari gunung ke gunung, dari pematang ke pematang sawah.
Berputar-putar di angkasa. Dengan gaya “Superman” aku terus menyusuri angkasa
raya. Dari atas ketinggian seperti ini aku melihat hamparan sawah, pemukiman
dan lautan, membentang sambung-menyambung menjadi satu kesatuan bumi yang indah
ini.
Seandainya itu menjadi
nyata, betapa indahnya hidup ini. Mau kemana saja aku bisa. Seandainya mimpi
itu menjadi nyata, pertama yang ingin aku lakukan adalah menghampiri burung
Garuda. Aku kangen sama dia, seumur hidupku aku tidak melihatmu, kecuali yang
terpanggang di tembok mencengkram Bhineka Tunggal Ika. Entah di hutan mana aku
harus mencari. Aku ingin Garuda hadir dalam setiap pagiku, untuk sekedar
berkeliling melingkari hutan di kepulauan Indonesia. Berkeliling di udara dari
Sabang sampai Maraoke sambil tetap mencengkram Bhineka Tunggal Ika Entah. Aku
akan turun jika melihat gejolak kesukuan, keagamaan, ekonomi dan gejolak apa saja
yang mengancam isi semboyan cengkraman Garuda.
Garuda, entah di hutan
mana aku mencarimu. Setelah aku jauh berkeliling, tidak kunjung aku melihatmu,
apalagi melihat hutan Indonesia sekarang, aku tidak berharap banyak. Sebab
hutan tidak lagi dihuni orang hutan, melainkan oleh orang-orang kota. Sejak
keberadaan orang-orang kota di hutan-hutan, kamu tidak mungkin terlihat lagi.Orang kota datang ke hutan
kira-kira mau ngapain. Cari pekerjaan? Sepertinya bukan, sebab pemuda-pemuda
kampong sebelah hutan ini malah pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Di kota
banyak pekerjaan, pikirnya.
Orang kota itu membawa
banyak peralatan, alat berat tentunya, jangan-jangan untuk menebang hutan. Ya
hutan. Hutan yang biasanya mereka tebang. Seperti di tempat-tempat lain
kepulauan ini, mereka menebang hutannya, bukan pohonnya. Musnah. Itulah bedanya
orang kampung dengan orang kota. Kalau orang kampung hanya menebang pohon untuk
keperluan hidup sehari-hari mereka. Sementara orang kota menebang hutannya
untuk memenuhi keperluan nafsunya. Ah, biadab.
Garudaku hilang. Hanya ada
di kanvas guru-guru melukis imaji, hanya ada dalam cerita guru sejarah yang
sebetulnya harus jujur belum pernah melihat Garuda sekuat itu, dalam rumus kode
buntut guru matematika.
Aku kecewa, buat apa aku
bisa terbang kalau aku tidak bisa memenuhi hasrat masa kecilku melihat dan
bercengkrama dengan Garuda. Garuda tinggal namanya saja. Dalam mimpi pengusaha
penerbangan, dia ingin mempunya pesawat terbang sekuat Garuda. Pengusaha kacang
tanah kemasan, dia ingin kacangnya besar sebesar Garuda dibandingkan kelinci.
Garuda, terlanjur menjadi gambar, terlanjur menjadi simbol, terlanjur menjadi
lambang, artinya sebagai identitas wilayah berkapasitas Negara Kesatuan. Garuda,
burung yang kuat, negara lemah, tak ada hubungan, tidak nyambung.
Dalam pertandingan sepak bola, Tim Garuda Muda
memang kuat. Tapi, menang juga tidak hubungan dengan burung garuda, bukan
karena burung garuda yang tangguh. Tapi karena keuletan tim itu.
Ah, buat apa aku
gantungkan mimpiku pada keinginan bertemu garuda. Lebih baik aku pergunakan
kemampuan terbangku untuk berkeliling menebarkan benih-benih hutan baru, sambil
memata-matai orang kota agar tak mengganggu hutan baruku. Dan, orang kampung,
orang desa bisa menebang hutan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Orang kota
berani bayar mahal hanya untuk melihat hutan. Hutan asli lho, bukan sekedar
lukisan hutan yang ada di tengah kota itu.
Seperti sudah aku jelaskan,
terbangku hanya mimpi masa kecil, dalam tidur nyenyakku setelah puas bermain
dalam hutan, bersama teman-temanku. Sekarang, teman-temanku itu ada yang
menjadi menteri, ada yang menjadi dosen, pemimpin partai, menjadi DPRD di Kota,
ada juga yang mau jadi presiden. Semoga memori tentang hutan masih tersimpan
rapih dalam bawah sadar mereka.
Aku berharap temanku itu
bisa mewujudkan mimpi-mimpi masa kecilku, mimpi orang kecil, tentang garuda
yang perkasa, tentang hutan dimana garuda bisa memelihara keperkasaan dan
eksistensinya dan tentang kebebasan bermimpi tanpa batas, orang besar atau
kecil, kaya atau miskin. Satu yang wajib ada: dia layak bermimpi.
Ayatulloh Marsai
28 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar