Sabtu, 17 Maret 2012

Menjelang UN, Menulislah!


Sumber Foto: Ujiannasional.biz

Oleh Ayatulloh Marsai*

Judul di atas terbersit begitu saja dalam pikiran saya. Tidak terasa Ujian Nasional sudah dekat, tinggal beberapa minggu saja. Ya, mulai pertengahan April nanti Ujian Nasional akan digelar oleh seluruh sekolah di Indonesia, dari tingkat dasar sampai sekolah tingkat atas. Tidak peduli letak sekolah, di pinggir atau di pusat kota. Tidak peduli fasilitas belajar di sekolah, lengkap atau minim. Tidak peduli status sekolah, negeri atau pun swasta. Juga tidak peduli sekolah umum atau madrasah. Pokonya semua harus Ujian Nasional, bagaimana pun keadaannya. Dan, hasilnya harus sama, mencapai standar nilai yang ditentukan oleh pemerintah.

Menjelang Ujian Nasional, menulislah. Kalimat ini semacam intruksi kepada saya untuk menulis lagi mengenai posisi madrasah swasta, khususnya di Kota Cilegon, berkaitan dengan apa yang sudah diberikan oleh Pemkot Cilegon kepada sekolah umum, namun tidak kepada madrasah. Yakni, buku pegangan UN. Sudah dua kali UN lho! Artinya sudah dua tahun setelah program buku UN gratis itu dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon. Dua tahun juga madrasah menjadi penonton yang baik untuk program itu.

Dua kesempatan saya menanyakan kepada dinas terkait. Kesempatan pertama, ketika saya menjadi peserta Seminar Pendidikan yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Cilegon Jakarta, Februari 2011, di aula gedung DPRD Cilegon. Kesempatan kedua, ketika Dinas Pendidikan Kota Cilegon diundang oleh peserta Kukerta IAIN Sunan Maulana Hasanudin Banten ke madrasah kami, untuk mencerahkan pikiran kelas XII, calon peserta UN tahun pelajaran 2010-2011.

Dalam dua kesempatan itu, Dinas Pendidikan Kota Cilegon, konsisten dengan jawabannya, bahwa madrasah akan mendapatkan gilirannya nanti kalau pendapatan daerah sudah bisa mencukupi. Sepertinya logis. Tapi, tidak! Karena posisi madrasah – sekolah bukan zamannya lagi ditempatkan pada posisi stratatifikasi sosial (pendekatan kelas). Kecuali pemerintah mau mengambil posisi melanjutkan pemerintahan pra kemerdekaan.

Perbedaan madrasah – sekolah dalam Negara yang sudah merdeka mestinya dipandang sebagai keberagaman lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan pengkelasan, yang satu lebih tinggi, lebih baik daripada yang lain. Posisi yang mengakibatkan perbedaan distribusi hak lembaga pendidikan oleh pemerintah. Termasuk masalah prioritas, sekolah dulu, baru madrasah. Seperti iklan: ini dulu, baru itu!

Sampai di sini, bukankah jelas ada perbedaan (baca: pengkelasan)? Sementara, Ujian Nasional membabat habis semua sekolah atau madrasah untuk sampai pada standar nilai yang ditentukan. Namun, dari sisi hak yang diberikan Negara/pemerintah kepada sekolah dan madrasah, baik oleh pusat maupun daerah, jelas belum mencapai standar yang sama. Belum juga terpecahkan masalah pemerataan hak ini, muncul berbagai macam konsep tentang peningkatan status sekolah, misal sekolah berstandar internasional.

Tulisan ini hanya sebagai pelipur lara saya saja yang berkecimpung di madrasah swasta. Atau sebagai curhat saja kepada publik supaya perasaan dan pikiran saya plong menghadapi Ujian Nasional. Dan, ikhlas melihat anak didik saya Ujian Nasional dengan “persenjataan” yang dibedakan oleh pemerintah dari sekolah.


Sesuai dengan saran para psikolog, kalau ingin menghilangkan rasa gundah, was-was, dan semacamnya, maka kita harus tumpahkan perasaan itu keluar. Dan menurut penelitian, menuliskannya merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan pikiran positif dan lebih fokus dalam pekerjaan. Dan harus diingat, menulis adalah cara paling merdeka untuk menumpahkan perasaan kita, tanpa takut dan malu saat mencurahkannya. Disamping pikiran kita juga plong karenanya.

Gambar: summer-lock.blogspot.com
Oleh karena itu, disamping tulisan ini untuk mengobati kesal saya kepada kondisi di atas, juga saya menyarankan kepada para siswa se-Indonesia untuk menumpahkan perasaan apa saja yang berkecamuk dalam benaknya menjelang Ujian Nasional. Supaya, apa saja yang kalian rasakan itu tumpah di atas kertas. Dijamin itu akan melegakan perasaan ketertekanan anda menghadapi UN ini. Dan, tidak hanya pada saat menjelang UN ini saja, pada momen-momen menegangkan lainnya, jurus menulis ini bisa dipakai. Rasakan hasilnya, plong! Maka sangat dianjurkan, kalian punya buku catatan harian atau yang dikenal dengan diary. Bagi yang sudah punya, maksimalkan diary itu menjelang UN.

Sumber: datakudatamu.wordpress.com
Seorang ahli pernah mengadakan penelitian tentang masalah ini. Dia meminta relawan dari sebuah kampus untuk menjadi responden dalam penelitiannya. Dia membagi responden itu menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diminta untuk menuliskan apa saja yang dirasakan, terutama yang berkaitan dengan rasa was-was, gelisah dan traumatis, beberapa minggu sebelum ujian semester, setiap hari. Kelompok kedua, tidak diminta menulis. Hanya dianjurkan kepada mereka untuk belajar menjelang ujian semester.

Hasilnya, kelompok relawan yang diperintahkan menulis tadi, nilainya lebih unggul daripada kelompok yang dianjurkan belajar saja menjelang ujian.

Lebih lanjut, selain manfaat di atas, diary bisa melatih kita untuk menyampaikan pikiran dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan multak fardu ‘ain bagi insan akademik. Dalam setiap jenjang pendidikan formal, kita dituntut untuk lihai membuat karya tulis. Tentu saja kegiatan menulis di atas, --yang awalnya diniatkan untuk mencurahkan perasaan saja--- nanti akan menjadi keterampilan berharga pada jenjang pendidikan selanjutnya. Jangan sampai insan pendidikan gagap menulis gagasannya, kemudian terjerumus pada lembah dosa plagiat-isme. Kecanggihan teknologi, disambut dengan pesta copy-paste. Amit-amit cabang bayi! Wassalam.
*Penulis adalah guru madrasah, peserta kelas menulis Rumah Dunia, angkatan 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar