Oleh Ayatulloh Marsai*
Sumber Foto: Ujiannasional.biz |
Oleh Ayatulloh Marsai*
Judul di atas
terbersit begitu saja dalam pikiran saya. Tidak terasa Ujian Nasional sudah
dekat, tinggal beberapa minggu saja. Ya, mulai pertengahan April nanti Ujian
Nasional akan digelar oleh seluruh sekolah di Indonesia, dari tingkat dasar
sampai sekolah tingkat atas. Tidak peduli letak sekolah, di pinggir atau di
pusat kota. Tidak peduli fasilitas belajar di sekolah, lengkap atau minim.
Tidak peduli status sekolah, negeri atau pun swasta. Juga tidak peduli sekolah
umum atau madrasah. Pokonya semua harus Ujian Nasional, bagaimana pun
keadaannya. Dan, hasilnya harus sama, mencapai standar nilai yang ditentukan
oleh pemerintah.
Menjelang Ujian
Nasional, menulislah. Kalimat ini semacam intruksi kepada saya untuk menulis
lagi mengenai posisi madrasah swasta, khususnya di Kota Cilegon, berkaitan
dengan apa yang sudah diberikan oleh Pemkot Cilegon kepada sekolah umum, namun
tidak kepada madrasah. Yakni, buku pegangan UN. Sudah dua kali UN lho! Artinya
sudah dua tahun setelah program buku UN gratis itu dilaksanakan oleh Pemkot Cilegon.
Dua tahun juga madrasah menjadi penonton yang baik untuk program itu.
Dua kesempatan
saya menanyakan kepada dinas terkait. Kesempatan pertama, ketika saya menjadi
peserta Seminar Pendidikan yang digelar oleh Keluarga Mahasiswa Cilegon
Jakarta, Februari 2011, di aula gedung DPRD Cilegon. Kesempatan kedua, ketika
Dinas Pendidikan Kota Cilegon diundang oleh peserta Kukerta IAIN Sunan Maulana
Hasanudin Banten ke madrasah kami, untuk mencerahkan pikiran kelas XII, calon
peserta UN tahun pelajaran 2010-2011.
Dalam dua
kesempatan itu, Dinas Pendidikan Kota Cilegon, konsisten dengan jawabannya,
bahwa madrasah akan mendapatkan gilirannya nanti kalau pendapatan daerah sudah
bisa mencukupi. Sepertinya logis. Tapi, tidak! Karena posisi madrasah – sekolah
bukan zamannya lagi ditempatkan pada posisi stratatifikasi sosial (pendekatan
kelas). Kecuali pemerintah mau mengambil posisi melanjutkan pemerintahan pra
kemerdekaan.
Perbedaan
madrasah – sekolah dalam Negara yang sudah merdeka mestinya dipandang sebagai
keberagaman lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan pengkelasan, yang satu lebih
tinggi, lebih baik daripada yang lain. Posisi yang mengakibatkan perbedaan
distribusi hak lembaga pendidikan oleh pemerintah. Termasuk masalah prioritas,
sekolah dulu, baru madrasah. Seperti iklan: ini dulu, baru itu!
Sampai di sini,
bukankah jelas ada perbedaan (baca: pengkelasan)? Sementara, Ujian Nasional
membabat habis semua sekolah atau madrasah untuk sampai pada standar nilai yang
ditentukan. Namun, dari sisi hak yang diberikan Negara/pemerintah kepada
sekolah dan madrasah, baik oleh pusat maupun daerah, jelas belum mencapai
standar yang sama. Belum juga terpecahkan masalah pemerataan hak ini, muncul
berbagai macam konsep tentang peningkatan status sekolah, misal sekolah
berstandar internasional.
Tulisan ini
hanya sebagai pelipur lara saya saja yang berkecimpung di madrasah swasta. Atau
sebagai curhat saja kepada publik supaya perasaan dan pikiran saya plong menghadapi Ujian Nasional. Dan, ikhlas
melihat anak didik saya Ujian Nasional dengan “persenjataan” yang dibedakan
oleh pemerintah dari sekolah.
Sesuai dengan
saran para psikolog, kalau ingin menghilangkan rasa gundah, was-was, dan
semacamnya, maka kita harus tumpahkan perasaan itu keluar. Dan menurut
penelitian, menuliskannya merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan pikiran
positif dan lebih fokus dalam pekerjaan. Dan harus diingat, menulis adalah cara
paling merdeka untuk menumpahkan perasaan kita, tanpa takut dan malu saat
mencurahkannya. Disamping pikiran kita juga plong
karenanya.
Gambar: summer-lock.blogspot.com |
Oleh karena itu,
disamping tulisan ini untuk mengobati kesal saya kepada kondisi di atas, juga
saya menyarankan kepada para siswa se-Indonesia untuk menumpahkan perasaan apa
saja yang berkecamuk dalam benaknya menjelang Ujian Nasional. Supaya, apa saja
yang kalian rasakan itu tumpah di atas kertas. Dijamin itu akan melegakan
perasaan ketertekanan anda menghadapi UN ini. Dan, tidak hanya pada saat
menjelang UN ini saja, pada momen-momen menegangkan lainnya, jurus menulis ini
bisa dipakai. Rasakan hasilnya, plong!
Maka sangat dianjurkan, kalian punya buku catatan harian atau yang dikenal
dengan diary. Bagi yang sudah punya,
maksimalkan diary itu menjelang UN.
Sumber: datakudatamu.wordpress.com |
Seorang ahli
pernah mengadakan penelitian tentang masalah ini. Dia meminta relawan dari sebuah
kampus untuk menjadi responden dalam penelitiannya. Dia membagi responden itu
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diminta untuk menuliskan apa saja yang
dirasakan, terutama yang berkaitan dengan rasa was-was, gelisah dan traumatis,
beberapa minggu sebelum ujian semester, setiap hari. Kelompok kedua, tidak
diminta menulis. Hanya dianjurkan kepada mereka untuk belajar menjelang ujian
semester.
Hasilnya,
kelompok relawan yang diperintahkan menulis tadi, nilainya lebih unggul
daripada kelompok yang dianjurkan belajar saja menjelang ujian.
Lebih lanjut,
selain manfaat di atas, diary bisa
melatih kita untuk menyampaikan pikiran dengan bahasa tulisan. Bahasa tulisan
multak fardu ‘ain bagi insan akademik.
Dalam setiap jenjang pendidikan formal, kita dituntut untuk lihai membuat karya
tulis. Tentu saja kegiatan menulis di atas, --yang awalnya diniatkan untuk
mencurahkan perasaan saja--- nanti akan menjadi keterampilan berharga pada
jenjang pendidikan selanjutnya. Jangan sampai insan pendidikan gagap menulis
gagasannya, kemudian terjerumus pada lembah dosa plagiat-isme. Kecanggihan teknologi,
disambut dengan pesta copy-paste. Amit-amit
cabang bayi! Wassalam.
*Penulis adalah guru madrasah, peserta kelas
menulis Rumah Dunia, angkatan 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar