Monday, January 23, 2012
Bismillahirahmanirrahim.
Dua hari ini,
saya dan beberapa anak didik saya mencoba mendekati mimpi kami. Menjadi
penulis. Kami ke Gol A Gong, Rumah Dunia, tempatnya para menulis hebat. Sebab,
ada yang bilang “kalau mau jadi orang sukses, bergaulah dengan orang-orang
sukses”. Baik itu orangnya, buku-bukunya, lingkungannya dan seterusnya.
Mimpi ini,
bagi saya bukan mimpi baru. Ini mimpi lama. Lama sekali. Tepatnya, seingat saya
kelas 1 Aliyah. Saya berkesempatan bertemu dengan seseorang dalam sebuah acara Diklat
Dakwah di sekolah, namanya Pak Anis. Dia memberi harapan kepada saya, atau
kepada semua peserta yang tidak pandai berolah lisan, untuk berdakwah dengan
tulisan. Yang sudah pandai, apalagi, lebih bagus lagi bila mendapat keduanya.
Ber-olah lisan mantap, menulis juga oke.
Pertemuan
dengan Pak Anis membawa perubahan besar dalam gaya kehidupan saya. Saya menjadi
orang paling aneh di lingkungan pertemanan saya di sekolah. Teman-teman yang
lain pagi pergi dari rumah ke sekolah langung, saya dari rumah keliling dulu ke
Simpang Tiga hanya sekedar membeli Koran Republika. Baru setelah dapat Republika
saya ke sekolah. Di sekolah, teman asyik ngobrol, saya hanyut dalam halaman
perhalaman Republika. Saya paling aneh di sekolah ini.
Kelas 2, tahun
1997, seorang teman mengabari kalau di IAIN “SGD” Serang mau ada Pelatihan Jurnalistik Abu-abu Se-Banten.
Teman itu ngajak saya untuk ikut dalam acara itu. Saya sama sekali tidak
berfikir panjang, saya langsung ayo. Tapi, baiayanya mahal sekali untuk ukuran
saat itu, Rp. 20.000,-. Saya berjuang menjadi pelobi paling berhasil untuk
menaklukan orang tua, supaya rela mengeluarkan biaya untuk pendidikan tambahan
ini. Akhirnya berhasil.
Kami
berangkat. O ya, teman yang lain saya itu ikut serta bersama saya adalah Urip,
dan Hasanudin. Di sana saya tercengang mendengar, melihat para penulis ini. Gol
A Gong, subhanallah, menjadi
pembicara dalam acara ini. Ada Toto S Radik. Saya terbakar, tapi saya tetap
orang yang tidak pandai mengolah lisan, saya tidak bisa bicara dan berdialog
dengan mereka karena grogi.
Dari pelatihan
abu-abu ini, disamping saya bertemu dengan banyak penulis besar tadi, saya juga
bertemua dengan teman-teman hebat, kakak senior “mahapelajar”, saya bisa ke
ANTV, Majalah HAI dan Majalah Bola. Semakin panas motor jurnalistik saya
karenanya.
Terus.
Berlanjut di bangku kuliah, jurusan Ilmu
Jurnalistik sempat melambaikan tangannya kepadaku. Saya juga diperkenalkan
jurusan Pendidikan Agama Islam oleh kakak-kakak senior. Modal saya dari rumah,
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, saya konsisten dengan pilihan saya dan
lulus. Mengenai jurnalistik saya melampiaskannya dalam pelatihan-pelatihan
jurnalistik di kampus.
Mimpi besar
saya agak menemukan titik terang ketika bertemu dengan “Mengikat Makna”,
Hernowo, dan “Menulis dengan Emosi”, dari Kaifa, Mizan. Saya menadapat kesan
dari keduanya menulis itu mudah. “Lepaskan saja emosimu, kau akan bias menulis”.
Kurang lebih begitu semangat yang bisa saya petik dari dua buku tersebut. Dan, inilah
gaya kepenulisan saya sampai saat ini. Melepas emosi dalam diri.
Saya lulus
kuliah, saya tidak jadi apa-apa. Malah saya gelisah dengan urusan pekerjaan dan
penghasilan ekonomi. Saya mulai mencari bisnisan apa yang bias mengasilkan uang
untuk pertahanan hidup, gengsi sarjana dan jenjang kehidupan. Sampai sekarang
tidak ada yang bisa betul-betul membahagiakan saya.
Era Facebook,
mempertemukan saya dengan beberapa teman lama, dulu waktu kuliah. Mereka sudah
pada sukses menulis. Ahmad Sahidin, sudah menerbitkan buku, kerja di Penerbit
Salamadani. Dani, meskipun sibuk ngajar di sekolah, dia menulis buku. Buku-buku
pendidikan. Dua teman ini, adik kelas saya, yang dulu setahu saya kemampuannya
kurang lebih sama dengan saya. Sekarang mereka sudah berkarya.
Satu lagi,
Heri Ruslan, tetangga kost saya, mahasiswa jurnalistik saya, ternyata sudah jadi wartawan beneran, senior
lagi. Agaknya, waktu dia magang dulu di Koran Republika waktu PPL,
berkelanjutan sampai menjadi pekerjaan.
Semua itu,
saya ketahui dari fb. Dan membangunkan aku dari “tidur nyaman di sekolah”,
menyadarkan saya pada mimpi lamaku. Saya harus mencobanya. Saya mulai rajin
membaca Koran-koran local. Setiap isu yang menarik saya tulis dan saya
beranikan diri mengirimkannya di media. Dan ternyata saya bisa, tulisan saya
dimuat!!! Tapi tidak tahu menurut Gol A Gong tulisan saya itu layak muat atau
tidak?
Tulisan saya
di Banten Raya Post, Sinergisitas Ulama & Umara, Kemana Efek
Sosial Ibadah Haji, Amnesia Sejarah, Potret Semu Penerimaan CPNS, 100 Hari
Kerja Walikota & Nasib Madrasah Swasta, Aspirasi dan Media Massa, Selamat
Tahun Baru Indonesia, Menata Banten Lama dari Sekolah, Golput Juga Suara
Rakyat, Ketika Santri Berkuasa, dan Menunggu Jawaban Untirta. Di Radar Banten satu tulisan, Guru & Korupsi.
Sampai
sekarang, saya tetap mencintai mimpi saya, cita-cita saya menjadi seorang
menulis. Dan sekarang saya sadar saya harus menjaga mimpi ini. Untuk menjaga
mimpi itu lingkungan saya tidak boleh kena polusi, harus bersih sehat buat
pohon mimpi menulis saya. Maka saya harus bergaul, bergelut dengan para
penulis.
Alasan inilah
diantaranya yang membawa saya ke Rumah Dunia, menyatu dengan para penulis
hebat, di usia saya yang tidak remaja lagi, 33 tahun, tahun 2012.
_Ayatulloh Marsai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar