Jumat, 16 Maret 2012

Menjaga Mimpi

Monday, January 23, 2012

Bismillahirahmanirrahim.

Dua hari ini, saya dan beberapa anak didik saya mencoba mendekati mimpi kami. Menjadi penulis. Kami ke Gol A Gong, Rumah Dunia, tempatnya para menulis hebat. Sebab, ada yang bilang “kalau mau jadi orang sukses, bergaulah dengan orang-orang sukses”. Baik itu orangnya, buku-bukunya, lingkungannya dan seterusnya.

Mimpi ini, bagi saya bukan mimpi baru. Ini mimpi lama. Lama sekali. Tepatnya, seingat saya kelas 1 Aliyah. Saya berkesempatan bertemu dengan seseorang dalam sebuah acara Diklat Dakwah di sekolah, namanya Pak Anis. Dia memberi harapan kepada saya, atau kepada semua peserta yang tidak pandai berolah lisan, untuk berdakwah dengan tulisan. Yang sudah pandai, apalagi, lebih bagus lagi bila mendapat keduanya. Ber-olah lisan mantap, menulis juga oke.

Pertemuan dengan Pak Anis membawa perubahan besar dalam gaya kehidupan saya. Saya menjadi orang paling aneh di lingkungan pertemanan saya di sekolah. Teman-teman yang lain pagi pergi dari rumah ke sekolah langung, saya dari rumah keliling dulu ke Simpang Tiga hanya sekedar membeli Koran Republika. Baru setelah dapat Republika saya ke sekolah. Di sekolah, teman asyik ngobrol, saya hanyut dalam halaman perhalaman Republika. Saya paling aneh di sekolah ini.

Kelas 2, tahun 1997, seorang teman mengabari kalau di IAIN “SGD” Serang mau ada Pelatihan Jurnalistik Abu-abu Se-Banten. Teman itu ngajak saya untuk ikut dalam acara itu. Saya sama sekali tidak berfikir panjang, saya langsung ayo. Tapi, baiayanya mahal sekali untuk ukuran saat itu, Rp. 20.000,-. Saya berjuang menjadi pelobi paling berhasil untuk menaklukan orang tua, supaya rela mengeluarkan biaya untuk pendidikan tambahan ini. Akhirnya berhasil.

Kami berangkat. O ya, teman yang lain saya itu ikut serta bersama saya adalah Urip, dan Hasanudin. Di sana saya tercengang mendengar, melihat para penulis ini. Gol A Gong, subhanallah, menjadi pembicara dalam acara ini. Ada Toto S Radik. Saya terbakar, tapi saya tetap orang yang tidak pandai mengolah lisan, saya tidak bisa bicara dan berdialog dengan mereka karena grogi.

Dari pelatihan abu-abu ini, disamping saya bertemu dengan banyak penulis besar tadi, saya juga bertemua dengan teman-teman hebat, kakak senior “mahapelajar”, saya bisa ke ANTV, Majalah HAI dan Majalah Bola. Semakin panas motor jurnalistik saya karenanya.

Terus. Berlanjut di bangku kuliah,  jurusan Ilmu Jurnalistik sempat melambaikan tangannya kepadaku. Saya juga diperkenalkan jurusan Pendidikan Agama Islam oleh kakak-kakak senior. Modal saya dari rumah, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, saya konsisten dengan pilihan saya dan lulus. Mengenai jurnalistik saya melampiaskannya dalam pelatihan-pelatihan jurnalistik di kampus.

Mimpi besar saya agak menemukan titik terang ketika bertemu dengan “Mengikat Makna”, Hernowo, dan “Menulis dengan Emosi”, dari Kaifa, Mizan. Saya menadapat kesan dari keduanya menulis itu mudah. “Lepaskan saja emosimu, kau akan bias menulis”. Kurang lebih begitu semangat yang bisa saya petik dari dua buku tersebut. Dan, inilah gaya kepenulisan saya sampai saat ini. Melepas emosi dalam diri.

Saya lulus kuliah, saya tidak jadi apa-apa. Malah saya gelisah dengan urusan pekerjaan dan penghasilan ekonomi. Saya mulai mencari bisnisan apa yang bias mengasilkan uang untuk pertahanan hidup, gengsi sarjana dan jenjang kehidupan. Sampai sekarang tidak ada yang bisa betul-betul membahagiakan saya.

Era Facebook, mempertemukan saya dengan beberapa teman lama, dulu waktu kuliah. Mereka sudah pada sukses menulis. Ahmad Sahidin, sudah menerbitkan buku, kerja di Penerbit Salamadani. Dani, meskipun sibuk ngajar di sekolah, dia menulis buku. Buku-buku pendidikan. Dua teman ini, adik kelas saya, yang dulu setahu saya kemampuannya kurang lebih sama dengan saya. Sekarang mereka sudah berkarya.

Satu lagi, Heri Ruslan, tetangga kost saya, mahasiswa jurnalistik saya,  ternyata sudah jadi wartawan beneran, senior lagi. Agaknya, waktu dia magang dulu di Koran Republika waktu PPL, berkelanjutan sampai menjadi pekerjaan.

Semua itu, saya ketahui dari fb. Dan membangunkan aku dari “tidur nyaman di sekolah”, menyadarkan saya pada mimpi lamaku. Saya harus mencobanya. Saya mulai rajin membaca Koran-koran local. Setiap isu yang menarik saya tulis dan saya beranikan diri mengirimkannya di media. Dan ternyata saya bisa, tulisan saya dimuat!!! Tapi tidak tahu menurut Gol A Gong tulisan saya itu layak muat atau tidak?

Tulisan saya di Banten Raya  Post, Sinergisitas Ulama & Umara, Kemana Efek Sosial Ibadah Haji, Amnesia Sejarah, Potret Semu Penerimaan CPNS, 100 Hari Kerja Walikota & Nasib Madrasah Swasta, Aspirasi dan Media Massa, Selamat Tahun Baru Indonesia, Menata Banten Lama dari Sekolah, Golput Juga Suara Rakyat, Ketika Santri Berkuasa, dan Menunggu Jawaban Untirta.  Di Radar Banten satu tulisan, Guru & Korupsi. 

Sampai sekarang, saya tetap mencintai mimpi saya, cita-cita saya menjadi seorang menulis. Dan sekarang saya sadar saya harus menjaga mimpi ini. Untuk menjaga mimpi itu lingkungan saya tidak boleh kena polusi, harus bersih sehat buat pohon mimpi menulis saya. Maka saya harus bergaul, bergelut dengan para penulis.

Alasan inilah diantaranya yang membawa saya ke Rumah Dunia, menyatu dengan para penulis hebat, di usia saya yang tidak remaja lagi, 33 tahun, tahun 2012.

_Ayatulloh Marsai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar