Foto ayatulloh_marsai |
Oleh Ayatulloh Marsai
“Malam
Senin kinten kinten tabuh opat subuh aya karaman ti Beji ngarampog para
priantun lebur papan kalayan tulis para menak di Cilegon.”
Kutipan pangkur ini saya temukan dalam buku “Bung
Karno: Wahai Putra-putra Banten… Siapa Dia?: Riwayat Hidup Kiyai H. Mas
Muchammad Arsyad Thawil,” karya H.M. Yoesoef Effendi SH, penerbit Yayasan
Pendidikan Al-Chasanah, Manado, 1983.
Pangkur, sebagaimana artinya, komposisi tentang
kemarahan, perkelahian, dan peperangan, pun pangkur di atas mengkisahkan peristiwa
Geger Cilegon 1888. Tentu kemarahan Belanda terhadap pelaku-pelaku Geger
Cilegon. Maka gambaran Geger Cilegon dalam pangkur tersebut adalah perspektif
kolonial Belanda. Hingga para “pejuang” dalam perspektif kita, menjadi
“perampok” dalam perspektif mereka. Inilah subyektifitas sejarah: pahlawan bagi
bangsa kita adalah musuh untuk bangsa lain. Pilihan kata “perjuangan”,
“perlawanan,” dan “pemberontakan,” menjadi tanda bagi kita untuk melihat ke
dalam, kepentingan atau situasi kepenulisan sejarah.
Misalnya, kita bisa bandingkan karya Sartono
Kartodirdjo, yang notabene lulusan Belanda, menulis judul disertasi
“Pemberontakan Petani Banten” atas penelitiannya terhadap peristiwa Geger
Cilegon, dengan karya Adjid Tohir (asal Pontang) yang lulusan Indonesia,
memilih judul untuk bukunya, “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis
Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau
Jawa,” atas peristiwa sama.
Kembali ke persoalan pangkur di atas, Yoesoef Effendi,
menceritakan bahwa pangkur tersebut dinyanyikan di sekolah-sekolah. Setelah dinyanyikan,
guru menceritakan peristiwa yang dimaksud dalam pangkur. Dan, itu sangat
subyektif. Bagus kalau tidak dijungkitbalikan. Tetapi, dalam situasi penjajahan
kemungkinan indoktrinasi lebih masuk akal ketimbang membesar-besarkan bangsa
yang sedang dijajah.
Penjungkirbalikan fakta sejarah itu berlangsung di
sekolah dasar (sekolah rakyat) di Banten (mungkin seluruh tanah jajahan).
Dimana generasi bangsa ini mendulang apa saja yang diberikan guru. Di kepala
generasi lulusan sekolah Belanda itu terlukis gambar suram Banten: nenek
moyangnya seorang perampok, pengacau, begal dan seterusnya. Cerita-cerita
miring tentang peristiwa Geger Cilegon pun bermunculan. Setidaknya ada tiga
yang berhasil dihimpun penulis buku ini. Pertama, sebab Ki Wasyid (sebagai tokoh
sentral Geger Cilegon) melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah karena dia
dilarang menebang pohon Kepuh besar oleh Asisten Residen. Ki Wasyid
berkeinginan menebang pohon Kepuh karena pohon itu disucikan oleh masyarakat
sekitarnya.
Kedua, masih tentang sebab, Ki Wasyid melawan
Belanda karena dilarang melakukan azdan keras di Masjid Beji. Takut masjidnya
dibongkar, Ki Wasyid menyerang Belanda.
Ketiga, cerita yang menjelek-jelekan gerakan Geger
Cilegon, menurut penulis buku ini kemungkinan berasal dari keluarga orang-orang
yang berkomplot dengan kolonial Belanda. Karena tidak bisa dipungkiri, tidak
semua rakyat pro perjuangan. Ada saja orang-orang atau kelompok-kelompok yang
justru mengambil keuntungan dari pihak penjajah. Sikap sebagian kelompok inilah
yang merusak perjuangan bangsa sepanjang sejarah Indonesia (Banten). Sultan
Haji adalah bukti nyata. Dia bersekongkol dengan Belanda melawan ayahnya
sendiri, Sultan Agung Tirtayasa, demi mendapatkan kekuasaan penuh atas
Kesultanan Banten. Meskipun untuk fakta ini beberapa sumber yang lain menyebutkan
bahwa yang melakukan persekongkolan dengan Belanda itu Sultan Haji Palsu. Ini
pekerjaan rumah bagi peneliti kesusastraan Banten karena kedatangan Belanda
yang keduakalinya di Banten, 23 Desember 1948, menurut catatan buku ini,
melakukan perusakan dan penghilangan terhadap cagar sejarah dan seni. Tidak
menutup kemungkinan perdebatan tentang Sultan Haji asli atau palsu disebabkan
oleh sumber yang sudah direkayasa atau disadur oleh Belanda. Hoesein
Djajadiningrat saja yang melakukan penelitian terhadap sumber Sejarah Banten
tahun 1918 menemukan naskah Babad Banten yang beragam versinya (asli?).
Sejarah lisan, florklor, cerita rakyat atau
sejenisnya, yang menggambarkan suramnya pandangan masyarakat terhadap peristiwa
Geger Cilegon, saya sendiri pernah mendengarnya di pesantren: perjuangan Ki
Wasyid itu tidak sejalan dengan ulama-ulama Banten yang ada di Mekah. Terlalu
gegabah, oleh karenanya perjuangan itu gagal. Dan, masih menurut cerita rakyat
(sejarah lisan), oleh ulama-ulama Banten yang ada di Mekah Ki Wasyid dijuluki
Ki Fasad. Orang Banten akan sakit hati mendengar ini, karena kita tahu “fasad”
artinya rusak. Maka Ki Fasad maksudnya: kiai yang rusak (merusak perjuangan
Banten).
Geger Cilegon dalam Misteri
Yoesoef Effendi mengisahkan penelusuran sumber-sumber
lisan untuk menyusun buku ini. Dia merasakan kesulitan yang amat sangat. Sebab,
hanya segelintir orang yang (berani dan) mau menceritakan pengalamannya, kesaksiannya,
atau setidaknya cerita-cerita yang pernah didengarnya mengenai Geger Cilegon.
Peristiwa Geger Cilegon terkubur rapih dalam benak para pelaku, saksi, anak
cucunya dan segenap rakyat pada zamannya.
Para saksi kunci memilih diam. Ada beberapa alasan:
karena sumpah, sakralisasi terhadap bukti sejarah. Yang dominan menjadi masalah
bagi Yoesoef Effendi adalah sumpah. Kebanyakan informan sudah bersumpah kepada
orang tuanya, nenek moyangnya untuk tidak menceritakan apa-apa yang berkaitan
dengan peristiwa Geger Cilegon. Karena sumpah inilah, peristiwa heroik itu
tidak sampai kepada generasi berikutnya. Punah.
Sakral. Benda-benda sejarah, baik tulisan maupun
pusaka atau dalam bentuk gambar sedapat mungkin ditutupi atau dimusnahkan.
Tidak boleh disentuh, lebih-lebih dibaca oleh orang sembarangan. Sikap ini,
menurut saya, erat kaitannya dengan sikap Belanda yang merusak dan memburu
sumber-sumber atau benda-benda sejarah Banten pada kedatangannya yang terakhir.
Hingga masyarakat Banten, secara umum bersikap tertutup dan memilih diam tentang
patriotismenya di masa lalu.
Bahkan, di pesantren tempat saya pernah belajar di
kampung, berkembang cerita kalau pendiri pesantren ini, yang tidak lain teman dan
murid Ki Yasin, Beji (putera Ki Wasyid), beliau tidak bisa difoto. Tidak ada
satu pun gambar tentang dia. Dalam perspektif tarekat hal ini bukan sesuatu
yang aneh. Bisa saja memang demikian. Alasan yang menjadi legitimasi biasanya
adalah ketawadu’an seorang kiai yang berjuang di jalan Allah. Jasa-jasanya
tidak mau diketahui oleh sesama manusia. Cukup Allah yang tahu.
Tetapi sikap tertutup itu agak menemukan jalan
maklum ketika kita membaca buku ini. Usaha pengejaran terhadap pelaku-pelaku
Geger Cilegon sangat keji dilakukan oleh pihak Belanda. Pengejaran,
penggantungan yang disertai mutilasi, pembunuhan masal terhadap pelaku mungkin
mejadikan semua “kunci peristiwa” tertutup rapat. Baik dengan alasan rasional,
demi keselamatan anak cucu, sampai alasan kesakralan dan sumpah setia
kerahasiaan. Kemungkinan besar, sebetulnya mereka terteror oleh sikap Belanda. Bagaimana
tidak, tahun 1889, Belanda menangkap 204 orang yang dianggap terlibat.
Diantaranya 11 diagantung, 94 dibuang ke luar Banten dan 89 dihukum kerja
paksa.
Di sisi lain, Belanda melakukan indoktrinasi di
sekolah-sekolah kepada generasi berikutnya dari bangsa ini. Bukankah ini sebuah
usaha untuk memotong generasi bangsa?
Usaha Belanda untuk menghapus jejak patriotisme
rakyat Banten itu akan gagal, jika kita mau menekuni kembali sumber-sumber
sejarah maupun kesusastraan versi kita sendiri, semisal karya Yoesoef Effendi
ini. Niatan penulisan buku tidak muluk-muluk: hanya ingin mencatat bagian
penting sejarah Banten; membangkitkan semangat putera-putera Banten untuk
melakukan perubahan, sebagaimana pendahulu-pendahulunya telah mencontohkan itu;
dan melalui catatan ini berharap ada orang, putera Banten khususnya, yang
melanjutkan penulisan sejarah Banten lebih serius lagi.
Di Manado, tokoh Geger Cilegon yang dibuang ke sana
telah terbukti berpengaruh besar dalam membangun peradaban Islam di sana. Tokoh
yang dimaksud buku ini adalah Kiyai H. Mas Muchammad Arsyad Thawil. Itulah mungkin
sisi positif kebijakan Belanda membuang kiai-kiai Banten ke pelosok Hindia
(Indonesia). Mendapati ini, saya teringat Kuntowijoyo yang kurang lebih berpendapat:
sekuat apapun politik meminggirkan umat Islam, selalu saja umat akan menemukan
jalannya sendiri untuk eksis, bahkan tampil lebih matang.
[Terbit di halaman Sastra & Budaya, Banten Raya, 16 Maret 2013]
Penulis
adalah Guru Sejarah/Kebudayaan Islam di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah –
Cilegon. Pendiri Rumah Baca Damar26.
Assalaamu'alaikum pak Ayatulloh Marsai, izin memperkenalkan diri. Saya adalah salah satu putra dari Penulis buku WAHAI PUTRA PUTRA BANTEN.....SIAPA DIA?.
BalasHapusSedikit koreksi terkait keberadaan lokasi penerbit tertulis di Blog bapak adalah "Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Manado, 1983.", seharusnya "Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Jakarta, 1983."
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan permohonan maaf dan rasa terima kasih atas bedah bukunya orangtua kami.
semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya kepada kita sebagai ummat Rasulullah SAW. Aamiin
Wassalaam.