Kamis, 21 Maret 2013

Persekongkolan, Teror dan Indoktrinasi dalam Sejarah Banten

Foto ayatulloh_marsai

Oleh Ayatulloh Marsai

“Malam Senin kinten kinten tabuh opat subuh aya karaman ti Beji ngarampog para priantun lebur papan kalayan tulis para menak di Cilegon.”

Kutipan pangkur ini saya temukan dalam buku “Bung Karno: Wahai Putra-putra Banten… Siapa Dia?: Riwayat Hidup Kiyai H. Mas Muchammad Arsyad Thawil,” karya H.M. Yoesoef Effendi SH, penerbit Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Manado, 1983.

Pangkur, sebagaimana artinya, komposisi tentang kemarahan, perkelahian, dan peperangan, pun pangkur di atas mengkisahkan peristiwa Geger Cilegon 1888. Tentu kemarahan Belanda terhadap pelaku-pelaku Geger Cilegon. Maka gambaran Geger Cilegon dalam pangkur tersebut adalah perspektif kolonial Belanda. Hingga para “pejuang” dalam perspektif kita, menjadi “perampok” dalam perspektif mereka. Inilah subyektifitas sejarah: pahlawan bagi bangsa kita adalah musuh untuk bangsa lain. Pilihan kata “perjuangan”, “perlawanan,” dan “pemberontakan,” menjadi tanda bagi kita untuk melihat ke dalam, kepentingan atau situasi kepenulisan sejarah.

Misalnya, kita bisa bandingkan karya Sartono Kartodirdjo, yang notabene lulusan Belanda, menulis judul disertasi “Pemberontakan Petani Banten” atas penelitiannya terhadap peristiwa Geger Cilegon, dengan karya Adjid Tohir (asal Pontang) yang lulusan Indonesia, memilih judul untuk bukunya, “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa,” atas peristiwa sama.

Kembali ke persoalan pangkur di atas, Yoesoef Effendi, menceritakan bahwa pangkur tersebut dinyanyikan di sekolah-sekolah. Setelah dinyanyikan, guru menceritakan peristiwa yang dimaksud dalam pangkur. Dan, itu sangat subyektif. Bagus kalau tidak dijungkitbalikan. Tetapi, dalam situasi penjajahan kemungkinan indoktrinasi lebih masuk akal ketimbang membesar-besarkan bangsa yang sedang dijajah.

Penjungkirbalikan fakta sejarah itu berlangsung di sekolah dasar (sekolah rakyat) di Banten (mungkin seluruh tanah jajahan). Dimana generasi bangsa ini mendulang apa saja yang diberikan guru. Di kepala generasi lulusan sekolah Belanda itu terlukis gambar suram Banten: nenek moyangnya seorang perampok, pengacau, begal dan seterusnya. Cerita-cerita miring tentang peristiwa Geger Cilegon pun bermunculan. Setidaknya ada tiga yang berhasil dihimpun penulis buku ini. Pertama, sebab Ki Wasyid (sebagai tokoh sentral Geger Cilegon) melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah karena dia dilarang menebang pohon Kepuh besar oleh Asisten Residen. Ki Wasyid berkeinginan menebang pohon Kepuh karena pohon itu disucikan oleh masyarakat sekitarnya.

Kedua, masih tentang sebab, Ki Wasyid melawan Belanda karena dilarang melakukan azdan keras di Masjid Beji. Takut masjidnya dibongkar, Ki Wasyid menyerang Belanda.

Ketiga, cerita yang menjelek-jelekan gerakan Geger Cilegon, menurut penulis buku ini kemungkinan berasal dari keluarga orang-orang yang berkomplot dengan kolonial Belanda. Karena tidak bisa dipungkiri, tidak semua rakyat pro perjuangan. Ada saja orang-orang atau kelompok-kelompok yang justru mengambil keuntungan dari pihak penjajah. Sikap sebagian kelompok inilah yang merusak perjuangan bangsa sepanjang sejarah Indonesia (Banten). Sultan Haji adalah bukti nyata. Dia bersekongkol dengan Belanda melawan ayahnya sendiri, Sultan Agung Tirtayasa, demi mendapatkan kekuasaan penuh atas Kesultanan Banten. Meskipun untuk fakta ini beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa yang melakukan persekongkolan dengan Belanda itu Sultan Haji Palsu. Ini pekerjaan rumah bagi peneliti kesusastraan Banten karena kedatangan Belanda yang keduakalinya di Banten, 23 Desember 1948, menurut catatan buku ini, melakukan perusakan dan penghilangan terhadap cagar sejarah dan seni. Tidak menutup kemungkinan perdebatan tentang Sultan Haji asli atau palsu disebabkan oleh sumber yang sudah direkayasa atau disadur oleh Belanda. Hoesein Djajadiningrat saja yang melakukan penelitian terhadap sumber Sejarah Banten tahun 1918 menemukan naskah Babad Banten yang beragam versinya (asli?).

Sejarah lisan, florklor, cerita rakyat atau sejenisnya, yang menggambarkan suramnya pandangan masyarakat terhadap peristiwa Geger Cilegon, saya sendiri pernah mendengarnya di pesantren: perjuangan Ki Wasyid itu tidak sejalan dengan ulama-ulama Banten yang ada di Mekah. Terlalu gegabah, oleh karenanya perjuangan itu gagal. Dan, masih menurut cerita rakyat (sejarah lisan), oleh ulama-ulama Banten yang ada di Mekah Ki Wasyid dijuluki Ki Fasad. Orang Banten akan sakit hati mendengar ini, karena kita tahu “fasad” artinya rusak. Maka Ki Fasad maksudnya: kiai yang rusak (merusak perjuangan Banten).

Geger Cilegon dalam Misteri
Yoesoef Effendi mengisahkan penelusuran sumber-sumber lisan untuk menyusun buku ini. Dia merasakan kesulitan yang amat sangat. Sebab, hanya segelintir orang yang (berani dan) mau menceritakan pengalamannya, kesaksiannya, atau setidaknya cerita-cerita yang pernah didengarnya mengenai Geger Cilegon. Peristiwa Geger Cilegon terkubur rapih dalam benak para pelaku, saksi, anak cucunya dan segenap rakyat pada zamannya.

Para saksi kunci memilih diam. Ada beberapa alasan: karena sumpah, sakralisasi terhadap bukti sejarah. Yang dominan menjadi masalah bagi Yoesoef Effendi adalah sumpah. Kebanyakan informan sudah bersumpah kepada orang tuanya, nenek moyangnya untuk tidak menceritakan apa-apa yang berkaitan dengan peristiwa Geger Cilegon. Karena sumpah inilah, peristiwa heroik itu tidak sampai kepada generasi berikutnya. Punah.

Sakral. Benda-benda sejarah, baik tulisan maupun pusaka atau dalam bentuk gambar sedapat mungkin ditutupi atau dimusnahkan. Tidak boleh disentuh, lebih-lebih dibaca oleh orang sembarangan. Sikap ini, menurut saya, erat kaitannya dengan sikap Belanda yang merusak dan memburu sumber-sumber atau benda-benda sejarah Banten pada kedatangannya yang terakhir. Hingga masyarakat Banten, secara umum bersikap tertutup dan memilih diam tentang patriotismenya di masa lalu.

Bahkan, di pesantren tempat saya pernah belajar di kampung, berkembang cerita kalau pendiri pesantren ini, yang tidak lain teman dan murid Ki Yasin, Beji (putera Ki Wasyid), beliau tidak bisa difoto. Tidak ada satu pun gambar tentang dia. Dalam perspektif tarekat hal ini bukan sesuatu yang aneh. Bisa saja memang demikian. Alasan yang menjadi legitimasi biasanya adalah ketawadu’an seorang kiai yang berjuang di jalan Allah. Jasa-jasanya tidak mau diketahui oleh sesama manusia. Cukup Allah yang tahu. 

Tetapi sikap tertutup itu agak menemukan jalan maklum ketika kita membaca buku ini. Usaha pengejaran terhadap pelaku-pelaku Geger Cilegon sangat keji dilakukan oleh pihak Belanda. Pengejaran, penggantungan yang disertai mutilasi, pembunuhan masal terhadap pelaku mungkin mejadikan semua “kunci peristiwa” tertutup rapat. Baik dengan alasan rasional, demi keselamatan anak cucu, sampai alasan kesakralan dan sumpah setia kerahasiaan. Kemungkinan besar, sebetulnya mereka terteror oleh sikap Belanda. Bagaimana tidak, tahun 1889, Belanda menangkap 204 orang yang dianggap terlibat. Diantaranya 11 diagantung, 94 dibuang ke luar Banten dan 89 dihukum kerja paksa.

Di sisi lain, Belanda melakukan indoktrinasi di sekolah-sekolah kepada generasi berikutnya dari bangsa ini. Bukankah ini sebuah usaha untuk memotong generasi bangsa?

Usaha Belanda untuk menghapus jejak patriotisme rakyat Banten itu akan gagal, jika kita mau menekuni kembali sumber-sumber sejarah maupun kesusastraan versi kita sendiri, semisal karya Yoesoef Effendi ini. Niatan penulisan buku tidak muluk-muluk: hanya ingin mencatat bagian penting sejarah Banten; membangkitkan semangat putera-putera Banten untuk melakukan perubahan, sebagaimana pendahulu-pendahulunya telah mencontohkan itu; dan melalui catatan ini berharap ada orang, putera Banten khususnya, yang melanjutkan penulisan sejarah Banten lebih serius lagi.

Di Manado, tokoh Geger Cilegon yang dibuang ke sana telah terbukti berpengaruh besar dalam membangun peradaban Islam di sana. Tokoh yang dimaksud buku ini adalah Kiyai H. Mas Muchammad Arsyad Thawil. Itulah mungkin sisi positif kebijakan Belanda membuang kiai-kiai Banten ke pelosok Hindia (Indonesia). Mendapati ini, saya teringat Kuntowijoyo yang kurang lebih berpendapat: sekuat apapun politik meminggirkan umat Islam, selalu saja umat akan menemukan jalannya sendiri untuk eksis, bahkan tampil lebih matang.


[Terbit di halaman Sastra & Budaya, Banten Raya, 16 Maret 2013]

Penulis adalah Guru Sejarah/Kebudayaan Islam di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon. Pendiri Rumah Baca Damar26.

1 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum pak Ayatulloh Marsai, izin memperkenalkan diri. Saya adalah salah satu putra dari Penulis buku WAHAI PUTRA PUTRA BANTEN.....SIAPA DIA?.

    Sedikit koreksi terkait keberadaan lokasi penerbit tertulis di Blog bapak adalah "Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Manado, 1983.", seharusnya "Yayasan Pendidikan Al-Chasanah, Jakarta, 1983."

    Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan permohonan maaf dan rasa terima kasih atas bedah bukunya orangtua kami.

    semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya kepada kita sebagai ummat Rasulullah SAW. Aamiin

    Wassalaam.



    BalasHapus