Rabu, 30 November 2011

Bicaralah!

Aku ingat waktu kecil aku sangat pemalu. Apalagi untuk tampil di depan orang banyak. Ketika ihtifalan di sekolah sore, aku gemetar. Keringat seolah nyumber dari seluruh pori-pori kulitku. “Keringete ning silit-silit”, kata istilah kampungku. Artinya, keringat sampai ke pantat. Entah, kenapa itu terjadi pada diriku. Tidak dengan teman-temanku, mereka aku lihat berani dan percaya diri tampil di depan umum. Sementar aku tidak.

Termasuk komunikasi, aku suka gemetaran. Tidak hanya itu, aku tidak berani menatap mata lawan bicaraku. Sampai sekarang, jarang. Padahal dalam buku “Bahasa Tubuh”, salah satu etika dan sekaligus gambaran kepribadian yang baik adalah ketika seseorang berkomunikasi verbal dengan menatap mata lawan bicaranya. Dan juga dengan badan berhadapan. Aku tidak bisa melakukanya. Aku sangat lemah.

Di kelas, di rapat-rapat, di komunitas kelompok, tetap saja begitu kesimpulannya, aku tidak pandai dan tidak cakap berbicara. Orang juga mengenalku ‘si pendiam’. Ah, sebenarnya aku tidak mau seperi itu. Aku ingin sekali berbicara lantang, menggebu-gebu. Saking keinginan itu bukan sekedar keinginan, aku sering berlatih di depan kaca. Cara ini sesuai dengan anjuran kakak Pembina dakwah di pesantren. Dia menjelaskan, salah satu cara untuk berlatih bicara di hadapan orang banyak adalah dengan cara berbicara di depan cermin, yang besar bila perlu. Aku menurutinya.

Disaat aku sedang berlatih, pernah tetanggaku mengintip, tahu-tahu ketika aku selesai latihan, dia menjawab salamku pada saat aku menutup pembicaraan. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, pungkasku. Dan, “walaikum salam”, jawab tetanggaku itu. Sontak aku kaget. Malu, ternyata dari tadi ada yang mendengar latihan bicaraku. Ah, biarin. Aku juga bangga kok, termasuk menambah kualitas latihanku.

Latihan demi latihan, pengalaman demi pengalaman, tidak membuatku merasa sempurna. Meski demikian, aku bukan yang paling jelek. Aku adalah orang biasa, yang tidak sempurna juga tidak terlalu minim kemampuan. Beberapa temanku di SLTA ada saja yang memujiku pintar. Kalau itu sebuah kejujuran, mungkin iya. Kalau itu juga sebuah basa-basi, aku juga memang merasa seperti itu, singkatnya aku tidak merasa sempurna.

Perasaan ini, baiknya membuat aku ingin terus belajar. Tetapi satu sisi, kadang-kadang, membuat aku tidak berani tampil dalam kesempatan-kesempatan penting, dimana disitu ada peluang. Padahal, sepintar apapun aku, kalau tidak berusaha menampakan kepintaran kita dalam tempat yang tepat, aku tidak bisa mendapatkan apa-apa dari kepintaranku itu. Kecuali untuk diri sendiri. Padahalkan, orang terbaik di dunia ini, kata Nabi, adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain. Jadi, jika aku berani tampil, aku akan manfaat buat yang lain. Tetapi kalau diam saja, tidak ada eksternalisasinya, ya beku deh.

Sadar diri dengan kelemahanku, terbersit dalam dalam benakku tidak akan mencari profesi yang membutuhkan kemampuan bicara. Dua pekerjaan yang aku hindari dalam pikirku, yaitu menjadi guru dan penceramah. Aku tidak akan menjadi keduanya.

Tahukah anda yang terjadi dalam hidupku kemudian? Jalan hidup membawaku ke pekerjaan-pekerjaan yang paling aku hindari tadinya. Sekarang, aku seorang guru. Sekarang, aku juga seorang yang suka dipercaya menjadi khatib di mesjid kampungku, suka diminta mewakili kata sambutan, baik dalam hajat masyarakat maupun hajat walimatul arus, bahkan kematian. Yang aku takutkan, justru terjadi. Ya, inilah hidup.

Masih karena alasan yang sama, karena tidak bisa bicara aku kemudian menggantungkan mimpiku kepada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan tulis-menulis. Pahamku waktu itu, aku harus tetap berguna untuk orang lain, aku harus menunaikan kewajiban dakwahku sebagai muslim, tapi tidak dengan lisan. Aku yakinkan diriku menjadi seorang da’i bil kitab.

Kelas 2 Aliyah, aku mendaftar menjadi salah satu peserta pelatihan jurnalistik abu-abu di IAIN SGD Serang. Di sana aku sangat berminat, penuh semangat, mengikuti acara demi acara. Yang paling berkesan adalah acara malam itu, diakhir acara kami dibentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok itu diibaratkan sebuah perusahaan penerbitan media, atau tepatnya tim redaksi. Kami berlomba mencari berita, mencari ide bergerak pada segmen apa media yang akan dibuat, lembar apa saja yang harus ada. Paling seru investigasi, mencari berita focus pada satu masalah. Waktu itu reporter media kami memotret para bapak pengais becak di malam hari. Menarik. Sepertinya inilah duniaku.

Tidak, kehidupan membawaku kepada keduanya, sesuatu yang aku benci, maupun sesuatu yang aku sukai, kalau harus terjadi, terjadilah. Ternyata kita harus mempersiapkan segala kemungkinan, harus belajar semua. Banyak hal, apa saja. Yang penting jangan diam. Bergeraklah, meski hanya dalam fikiran.

“Aku berfikir maka aku ada”, kata filosofi Yunani. Oleh Karl Marx, kalimat itu ditindaklanjuti menjadi, “aku bekerja maka aku ada”. Nah, boleh dong untuk kepentingan eksistensi, aku juga melakukan hal yang sama, menindaklanjuti kalimat itu berdasarkan kepentinganku di sini. Merubah kalimat tersebut menjadi, “aku bicara maka aku ada, aku menulis maka aku ada, aku harus bicara dan aku harus menulis”. Ah, semua kalimat-kalimat terakhir hanya pengembangan saja. Tetap saja orang yang punya hak paten atas konsep itu adalah filosof Yunani. Terimakasih Bang Yunanian.

Ayatulloh Marsai
28 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar