Oleh Ayatulloh Marsai*
Seorang penceramah di radio lokal mengelu-elukan tahun baru hijriyah yang cendrung sepi bila dibandingkan dengan tahun baru masehi. Kiai itu bilang, “pemuda-pemudi biasanya ramai pergi ke pantai untuk menyaksikan dan merayakan pergantian tahun masehi. Tetapi, di tahun baru hijriyah tidak ada yang merayakannya”.
Dari perkataannya, apakah ada keinginan dari penceramah itu tahun hijriyah dirayakan sama halnya dengan merayakan tahun masehi. Tentu saja tidak. Sebaliknya, doktrin Islam mengajarkan kehidmatan dalam melalui pergantian tahun ini. Bahkan, Nabi menganjurkan untuk melakukan puasa pada dua hari berturut-turut, yakni hari terakhir tahun dan hari awal tahun.
Yang menjadi keluhan penceramah di atas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap titik awal dan titik akhir tahun hijriyah. Mereka menyandarkannya lebih pada perhitungan tahun masehi daripada tahun hijriyah. Tahun baru masehi lebih popular darpada tahun hijriyah.
Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan tahun baru masehi lebih popular dibanding dengan hijriyah.
Pertama, faktor nasionalisasi tahun masehi. Negara memakai penanggalan masehi sebagai penanggalan nasional. Sementara penanggalan hijriyah hanya berlaku untuk interen umat Islam. Artinya, segala aspek kerja nasional dihitung dengan penanggalan masehi. Putaran tahun dihitung dari Januari sampai Desember. Bukan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Putaran satu pekan dihitung dari hari Senin sampai Minggu, bukan dari Ahad sampai hari Sabtu. Konsekwensinya, hari libur dalam sepekan juga dijatuhkan pada hari Minggu, bukan hari Jum’at. Akhirnya, kita umat muslim juga kerepotan untuk “memuliakan” hari Jum’at sebagai “sayidul ayyam” bagi kita.
Memang, negara pada sisi yang lain, menjadikan hari-hari besar agama menurut penanggalannya masing-masing, sebagai hari libur nasional. Termasuk didalamnya hari-hari besar Islam yang dilandaskan pada perhitungan hijriyah.
Tetapi, sadarkah kita, penanggalan mana yang seharusnya “dinasionalisasi” jika kita melihat fakta 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim? Dan, penanggalan mana yang seharusnya menjadi “tuan rumah”, jika kita melihat sejarah panjang penjajahan atas bumi Nusantara ini. Siapa yang menjajah? Dan, siapa yang berjuang melawannya? Citra kebudayaan Islam tertindas dalam kemayoritasannya, menjadi tamu di negara yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri!
Kedua, media massa. Media massa, terutama televisi, sangat besar pengaruhnya dalam mempopulerkan segala hal, termasuk Tahun Baru Masehi yang biasa diucapkan satu paket dengan Hari Natal, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, misalnya. Iklan layanan sosial, sponsorsip industri besar, yang mengucapkan hari natal dan tahun baru masehi ini biasanya sudah mulai marak ketika memasuki pertengahan bulan Desember. Sehingga, perayaan tahun baru masehi menjadi “perilaku massif” di semua kalangan, tidak hanya pemuda-pemudi (yang disebukan penceramah di atas), anak-anak dan orang tua juga merayakannya.
Sebaliknya, coba perhatikan televisi di rumah Anda, apakah hal yang sama terjadi di Tahun Baru Hijriyah? Tentu, tidak. Kalau pun ada ucapan selamat itu dari ormas Islam atau pemerintah, pada hari H-nya saja. Hari H lewat, selesai. Sebab, budaya Islam kalah popular dibanding budaya masehi. Juga sudah menjadi “budaya pesakitan” di kalangan umat muslim sendiri. Tidak hanya berkaitan dengan budaya penanggalan saja tetapi juga pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti, berpakaian, gaya hidup, pandangan hidup, akhlak keseharian, dll. Kalau asepk-aspek wajib saja tidak terpenuhi, apalagi mau repot-repot merayakan Tahun Baru Hijriyah yang hanya refleksi budaya semata.
Sebetulnya, media massa tidak lepas fungsinya sebagai media. Media siapa saja untuk masuk ke dalamnya sebagai subyek yang berkepentingan tampil di depan massa (masyarakat jangkaun teve tersebut). Kepentingan televisi sebagai perusahaan adalah profit. Artinya, siapapun yang tampil harus mendatangkan profit sebesar mungkin kepada perusahaan, terlepas datangnya dari subyek yang berkepentingan tampil atau dari sponsor. Sponsor berkepentingan terhadap “rating”. Tayangan mana yang menyedot perhatian masyarakat, tayangan itulah yang mendapat sponsor paling banyak. Dan, seperti disebutkan di atas, televisi mengejar profit, maka televisi memilih tampilan yang banyak sponsornya. Sponsor memilih tayangan yang banyak penontonnya.
Salah satu doktrin Islam yang berhasil merubah wajah televisi di Indonesia adalah Puasa pada Bulan Ramadhan. Aroma Ramadhan sudah tercium harum jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadhan tiba. Ucapan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, bisa kita temukan setiap saat di sembarang stasiun televisi. Hampir semua produk merubah tayangan iklannya menjadi “beraroma” Ramadhan dan Lebaran. Tidak terlewatkan, produk-produk itu membidik waktu Sahur dan Berbuka Puasa: “Selamat Menikmati Makan Sahur Anda” dan “Selamat Berbuka Puasa”. Tidak berhenti sampai disitu, sinetron-sinetron mendadak bernuansa religious (islami).
Dapat disimpulkan, bahwa ketaatan umat Islam Indonesia terhadap Ibadah Ramadhan cukup kuat. Atau, Ibadah Ramadhan dan Lebaran sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hingga mampu “menyulap” wajah tayangan televisi Indonesia pada sekitar bulan Ramadhan.
Kalau benar demikian, menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai kesadaran umat Islam yang massif harus menjadi agenda serius bagi kita. Terutama bagi ormas-ormas Islam, partai-partai Islam atau juga politisi muslim yang ada di partai nasional, cendikiawan muslim, lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam. Supaya, Tahun Baru Hijriyah layaknya Ramadhan, menjadi tradisi yang meng-indonesia. Lebih lanjut, menjadi Tahun Baru-nya Indonesia. Selamat Tahun Baru 1432 [*]
*)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah. Tinggal di Link. Dukumalang, RT/RW 08/04 Tegal Bunder-Purwakarta Kota Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar