Oleh Ayatulloh Marsai
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”. (Bung Karno).
Kata-kata bijak di atas mengandaikan bangsa kita untuk mengenal sejarah bangsanya secara utuh, bukan sempalan-sempalan. Karena bangsa kita terdiri dari daerah-daerah, suku bangsa, maka dalam mengenalkan sejarah nasional terhadap generasi muda hendaknya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dalam buku pelajaran Sejarah tingkat SLTA misalnya, sejumlah pahlawan Banten seperti, Ki Wasyid, Ki Sam’un, Syafrudin Prawiranegara, tidak mendapatkan tempat yang sama dengan pahlawan-pahlawan nasional dari Jawa pada umumnya. Seperti, Pangeran Diponegoro, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari.
Jangan anggap porsi penyajian sejarah yang berbeda ini masalah sepele. Karena perbedaan porsi penyajian akan menentukan “brain” anak didik, juga karakter generasi kita sebagai pemegang kendali masa depan. dalam pentas politik nasional, seolah-olah Banten daerah yang kecil peranannya dalam perjuangan nasional. Hingga nantinya tidak layak menjadi pemimpin nasional. Seperti yang pernah menimpa calon presiden, Yusuf Kalla. Dia, karena dari Sulawesi, dianggap belum saatnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ironisnya, pernyataan itu keluar dari orang Sulawesi sendiri, Andi A Mallarangeng (Kemenpora sekarang).
Sementara, orang Jawa, dengan keberhasilannya menghargai sejarahnya, membesarkan para pahlawannya, selalu layak menjadi presiden Indonesia. Hitung saja dari 6 Presiden RI, 5 dari mereka adalah orang Jawa. Sebabnya, karena mereka menghargai sejarah dan para pahlawannya. Bentuk penghargaan itu paling tidak mereka tunjukan lewat perawatan secara fisik terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan propaganda pemikiran lewat karya-karya penelitian yang diterbitkan oleh penerbit besar atau pun kecil di daerah.
Agaknya kita harus banyak belajar dari orang Jawa, dalam hal menghargai sejarah kita. Banten punya Istana Surosowan, Kaibon, Masjid Agung Banten dan peninggalan sejarah yang melimpah. nasibnya, nyaris terlupakan dari hingar bingar pembangunan di Provinsi Banten. Baik secara fisik maupun pengembangan penelitian oleh para akademisi.
Banten punya peristiwa-peristiwa heroik. Semangat perlawanan Ki Wasyid melawan Belanda tidak kalah penting dengan perlawanan Pangeran Diponogoro; peranan Kiai Syam’un tidak kalah penting dengan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari dalam memajukan pendidikan di Indonesia; dan yang menyambung nyawa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ketika Soekarno dan Hatta dipenjara oleh Belanda, adalah Syafrudin Prawiranegara (Wong Banten). Dialah yang memproklamasikan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk kemudian diserahkan kembali sesudah Seokarno-Hatta dibebaskan. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Untuk menghadirkan peranan Banten dalam sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonsia, pemerintah daerah berkewajiban menekan, mengawasi atau memberikan muatan sejarah lokal Banten di sekolah-sekolah. Dari SD-SLTA.
Sebab, salah satu tujuan pembelajaran sejarah adalah untuk menanamkan identitas diri daerah atau bangsa kepada generasi muda. Ini sangat penting. Dan tujuan ini bisa efektif dilakukan lewat pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah.
Nah, kalau ternyata di buku pelajaran sejarah ada dominasi pahlawan dari daerah lain, sementara pahlawan daerah sendiri tidak mendapatkan pembahasan yang berimbang, maka saya rasa perlu ada langka khusus dari pemerintah daerah untuk memberikan ruang penuh atas sejarah lokal di sekolah. Ini hal mendesak yang harus diagendakan baik oleh Provinsi Banten maupun oleh kabupaten/kotanya.
Karena kalau tidak segera diagendakan maka generasi kita tidak akan mengenal sejarahnya, apalagi identitas bangsanya. Bangsa yang tidak mengenal identitas bangsanya maka akan mudah “ngebuntut” kepada keinginan-keinginan bangsa luar. Karena bangsa yang lupa identitas dirinya tidak lebih seperti orang yang terkena penyakit “amnesia”. Yang namanya amnesia, ditanya nama, alamat, orang tua, dan identitas yang lain pasti bingung. Lebih lanjut, orang amnesia, diberi identitas baru, nama baru, orang tua baru dan juga alamat baru, sangat mudah.
Orang amnesia adalah gambaran utuh sebuah daerah atau bangsa yang lupa atau tidak tahu sejarah bangsanya (identitas diri). Dan sekaligus bangsa yang gampang diarahkan oleh bangsa lain dalam segala bidang pembangunan.
Lihat saja, kecendrungan masyarakat kita terhadap segala sesuatu yang datang dari luar negeri. Mereka bangga. Pakaian impor, makanan-minuman merek luar hingga gaya hidup. Sementara kekayaan pakaian khas daerah hanya ada di acara seremoni, makanan daerah hanya ada di warung yang digagas pemerintah, dan gaya hidup berpedoman pada acara TV yang kapitalis.
Dalam kasus nasional, kita patut bersyukur, gara-gara klaim Malaisya atas salah satu kebudayaan Indonesia (reog dan tari pendet), negara kita terbangun dari mimpi buruk mengejar kemoderenan buta. Negara Indonesia sadar bahwa dirinya kaya, dirinya punya identitas sendiri. Dan sekarang identitas itu mau diakuisi oleh sudara serumpunnya.
Indonesia tergugah, dan segera mengambil dan merawat kekayaan budaya yang selama ini ditelantarkan. Mempromosikannya ke mancanegara sebagai kekayaan khas Indoensia yang sudah dipatenkan. Antara lain: batik, dan angklung.
Belajar dari kasus nasional, dimana yang berseteru dalam kasus ini antar negara, maka daerah juga harus rajin menggali kekayaan budaya daerahnya. Dan juga menanamkan kesadaran budaya itu kepada generasi muda. Antara lain lewat muatan lokal di sekolah. Kekayaan daerah secara otomatis menjadi kekayaan nasional. Jadi, ketika daerah banyak mengukuhkan budaya daerahnya dengan sendirinya negara juga akan kaya dengan budaya bangsanya. Dengan kata lain jika pengembangan sejarah lokal dan tradisi lokal dilakukan di daerah maka penyakit “amnesia” tidak akan pernah menjangkiti generasi kita secara lokal maupun nasional, juga Indonesia akan memiliki jati diri bangsa yang kokoh.
Di akhir tulisan ini, lagi-lagi Bung Karno, memberikan pelajaran berharga kepada kita dengan slogan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Wa Allahu ‘alam.
*)Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post, Kolom Gagasan, 20 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar