Oleh Ayatulloh Marsai
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli. “Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel. “Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan. [bisa dilihat di cover belakang “Sang Pencerah”]
Paragraph di atas adalah penggalan cerita dari novel “Sang Pencerah”, karya Akmal Nasery Basral. Isinya jelas, mendobrak pemahaman awam tentang alat2 yang diproduksi barat [kafir] yang dianggap ‘haram’. Ahmad Dahlan justru memakai alat music Biola, bikinan Eropa. Tindakan ini jelas sebagai jawaban bahwa tidak haram hukumnya memakai produksi-produksi orang kafir, selagi itu bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
Hal Biola, urusannya bukan hanya alat, tetapi ini juga berkaitan dengan music yang juga menjadi masalah hilafiyah dalam ajaran fiqih. Jadi, tindakan Ahmad Dahlan sekaligus menjawab dua masalah sekaligus: masalah alat-alat yang diproduksi kafir dan musik. Dua-duanya diperbolehkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. *
Saya jadi ingat cerita Kiai saya, KH. Hasbullah Qomar, bahwa ayahnya, Kiai Qomaruddin juga mengalamai hal yang sama secara umum. Tapi, kali ini alatnya adalah spiker [alat pengeras suara]. Konon, dulu dilingkungan saya [Kecamatan Purwakarta sekarang], ada perbedaan pendapat tentang pemakaian pengeras suara ini: ada kiai yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiai yang melarang beralasan sama dengan kasus Ahmad Dahlan di atas, spiker adalah alat yang diproduksi oleh orang kafir, jadi hukumnya haram. Dalilnya, antara lain, ‘tidak ada dalam tuntunan Rasulullah’. Satu lagi, pengeras suara juga biasa digunakan untuk hal yang maksiat, daripada maslahat.
Sementara kiai yang membolehkan, Kiai Qomarudin, beralasan bahwa pengeras suara jelas sangat bermanfaat untuk menyambung suara supaya suara dakwah [urusan ibadah] bisa didengar oleh banyak orang secara efektif.
Perdebatan tidak bisa dielakkan, masing-masing teguh dengan pendapatnya, masing-masing punya pengikut, hingga masyarakat pun terpecah dalam sekte-sekte. Walaupun di masyarakat adanya sekte itu tidak terlalu tegas adanya.
Alhamdulillah, kiai yang tidak sepakat dengan spiker tadi kuasa melaksanakan rukun Islam ke-5, haji. Di sana rupanya dia mengalami hal yang selama ini di kampungnya dia tentang. Di Mekah, spiker dipakai untuk segala aktifitas haji, mulai azan, solat, hutbah, hingga pengumuman-pengumuman. Kiai itu tersentak kaget, dan tersadar bahwa memang spiker sangat bermanfaat untuk fasilitas ibadah kepada Allah swt. **
Dari dua kasus diatas, di dua daerah yang berbeda, terdapat persamaan fenomena yang orang menyebutnya ‘semangat pembaharuan’. Jiwa zaman yang sama, antara Yogyakarta dengan Banten, “jiwa pembaharuan” Islam, yang mengalir dari Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, baik langsung maupun tidak langsung. Tetapi jelas, wasilah-nya ibadah haji. Karena dulu, ibadah haji tidak sekedar haji, tetapi dibarengi dengan menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar seluruh penjuru dunia, rata-rata sampai 5 tahun. Dari sinilah perubahan pemahaman agama serta gerakan sosial di Nusantara bermula. Perubahan dan Gerakan itu sampai juga di kampung saya, lewat tangan Kiai Qomarudin. Wallahu ‘alam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar