*)Tulisan ini dimuat di kolom Gagasan Banten Raya Post, Kamis, 4 November 2010
Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang diluncurkan oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat Syafaat), Honor Daerah (Honda) dan Beasiswa Keluarga Miskin (Gakin). Program ini bisa membantu peningkatan kualitas pendidikan, terutama di madrasah swasta. Dan, sebagai program unggulan daerah, Honda dan Gakin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, Tb. Iman Aryadi dan Edi Aryadi. Ini patut mendapat apresiasi dari kalangan pesantren dan madrasah swasta di Kota Cilegon. Bagaimana tidak, program ini telah mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kegelisahan civitas dan wali siswa di madrasah, tidak mampu mengganti kelelahan tenaga pengajar, dan oprasional pendidikan, sebab kondisi ekonomi peserta didiknya.
Tetapi, dalam program 100 hari kerja Walikota dan Wakil Walikota yang baru, Tb. Iman Ariyadi dan Edi Aria, kalangan madrasah swasta terhenyak “menahan nafas” dan “mengurut dada”, ketika program 100 hari itu berlalu, tidak satupun program yang berpihak kepada madrasah swasta. Siapa yang tidak pilu, melihat saudara “sekandungnya” menerima nafkah dari “bapaknya”, sementara dia tidak. Inilah yang dirasakan oleh madrasah swasta di Cilegon, ketika “menonton” dua program untuk pendidikan dalam 100 hari kerja Walikota Cilegon ini.
100 hari, 2 Program untuk Pendidikan
Ada dua program (katanya populis) yang sasarannya lembaga pendidikan, tetapi tidak menyentuh secara merata lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon.
Pertama, program SPP gratis untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Jumlah Madrasah Aliyah Negeri di kota ini hanya 2 madrasah. Sementara jumlah madrasah swasta berpuluh kali lipat dari MAN. Selisih yang sangat jauh berimbang. Dengan kata lain, sebagian besar anak bangsa ini berada di madrasah-madrasah dan sekolah swasta.
Yang kedua, program bantuan buku Ujian Nasional (UN) gratis. Program yang kedua ini merupakan implentasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon (BUMD). Hanya saja yang merasakan program ini, sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan –untuk tidak menyebut sekolah umum-- di Kota Cilegon. Sementara lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI di Cilegon, tidak turut merasakan manfatnya.
Bagaimana dengan Madrasah Swasta? Apakah tidak masuk dalam agenda 100 hari kerja Walikota itu? Sangat ironis memang, program pemberdayaan dunia pendidikan yang seharusnya bisa menyentuh lembaga pendidikan di kota ini secara keseluruhan, tetapi kenyataannya hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecilnya saja. Bukankah kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa yang diamanatkan oleh UUD ’45, tidak disertai oleh klasifikasi jenis sekolah maupun tingkatannya? Tetapi, kenapa yang terjadi demikian halnya?
Nampaknya ada dikotomi antara keduanya. Dikotomi sekolah dan madrasah semakin dikuatkan oleh kebijakan ini. Dikotomi yang seharusnya sudah harus segera dilenyapkan ketika bangsa kita sudah bisa memerintah sendiri. Paling tidak, penghilangan dikotomi itu ditempuh dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merata, tidak memandang perbedaan yang ada pada madrasah dan sekolah, melainkan melihat persamaannya sebagai lembaga yang sama-sama berkewajiban mencercaskan anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, saya teringat dengan pemaparan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, seorang Sejarawan dari Universitas Padjajaran, yang memaparkan dalam bukunya, Api Sejarah, bahwa dulu Penjajah Belanda memecah belah melalui Sekolah. Bagaimana sikap Penjajah Belanda terhadap sekolah-sekolah rakyat pribumi yang sengaja dibuat oleh Belanda, dibedakan dengan sekolah-sekolah yang dibuat untuk kalangan anak Eropa dan pribumi bangsawan. Tidak hanya kelas sosialnya, sampai dengan anggaran yang dialokasikan juga jauh berbeda.
Menurut Pak Mansur, diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Untuk Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000,- sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.
Disamping sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, ada lembaga pendidikan yang usianya lebih tua, tetapi tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial, yakni pesantren. Pesantren adalah basis pendidikan Agama Islam yang dimotori oleh para Kyai dan Haji. Dan lembaga pendidikan yang terakhir ini tidak mendapat anggaran sedikitpun dari pemerintahan Belanda.
Zaman berganti, dari bangsa yang terjajah, menjadi bangsa yang merdeka, sudah 65 tahun. Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas sudah tidak ada, berganti dengan SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum. Disamping itu ada Pesantren, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Agama. Namun, pergantian zaman tersebut tidak merubah pandangan pemerintahan yang merdeka ini terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Pembedaan itu masih terasa.
Dikotomisasi sangat kental terasa dalam setiap kebijakan yang lahir. Masalah anggaran subsidi pendidikan, pengangkatan tenaga pengajar, belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, sangat jauh dari keseimbangan antara Madrasah dengan Sekolah. Kondisi ini juga terjadi pada penerimaan peluang kerja, cendrung lulusan Madrasah tidak sejajar kesempatannya untuk mengisi peluang yang ada, meskipun mungkin secara kompetensi sama. Situasi ini mengganggu pikiran, perasaan dan mental “penghuni” pesantren dan madrasah. Dan harus diakui “penghuni” tersebut adalah bagian terbesar dari orang-orang yang harus “diproteksi” secara ekonomi oleh negara.
Seharusnya setelah Kolonial Belanda hengkang, Indonesia merdeka, pembedaan itu sudah tidak ada. Semua warga negara dipandang sama kedudukannya bukan hanya dalam kewajiban, namun juga haknya. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dari negara.
Fakta di atas cukup relevan "perenungan mendalam" untuk pemerintahan yang mau belajar dari sejarah, pemerintah yang menginginkan pemerataan kekayaan negara merata kepada seluruh rakyatnya. Karena pemerintah adalah "bapak" yang berkewajiban bersikap adil terhadap semua "anak-anaknya." Wallahu 'alam!
**)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumnus IAIN ‘SGD’ Bandung.
Oleh: Ayatulloh Marsai**
Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang diluncurkan oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat Syafaat), Honor Daerah (Honda) dan Beasiswa Keluarga Miskin (Gakin). Program ini bisa membantu peningkatan kualitas pendidikan, terutama di madrasah swasta. Dan, sebagai program unggulan daerah, Honda dan Gakin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, Tb. Iman Aryadi dan Edi Aryadi. Ini patut mendapat apresiasi dari kalangan pesantren dan madrasah swasta di Kota Cilegon. Bagaimana tidak, program ini telah mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kegelisahan civitas dan wali siswa di madrasah, tidak mampu mengganti kelelahan tenaga pengajar, dan oprasional pendidikan, sebab kondisi ekonomi peserta didiknya.
Tetapi, dalam program 100 hari kerja Walikota dan Wakil Walikota yang baru, Tb. Iman Ariyadi dan Edi Aria, kalangan madrasah swasta terhenyak “menahan nafas” dan “mengurut dada”, ketika program 100 hari itu berlalu, tidak satupun program yang berpihak kepada madrasah swasta. Siapa yang tidak pilu, melihat saudara “sekandungnya” menerima nafkah dari “bapaknya”, sementara dia tidak. Inilah yang dirasakan oleh madrasah swasta di Cilegon, ketika “menonton” dua program untuk pendidikan dalam 100 hari kerja Walikota Cilegon ini.
100 hari, 2 Program untuk Pendidikan
Ada dua program (katanya populis) yang sasarannya lembaga pendidikan, tetapi tidak menyentuh secara merata lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon.
Pertama, program SPP gratis untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Jumlah Madrasah Aliyah Negeri di kota ini hanya 2 madrasah. Sementara jumlah madrasah swasta berpuluh kali lipat dari MAN. Selisih yang sangat jauh berimbang. Dengan kata lain, sebagian besar anak bangsa ini berada di madrasah-madrasah dan sekolah swasta.
Yang kedua, program bantuan buku Ujian Nasional (UN) gratis. Program yang kedua ini merupakan implentasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon (BUMD). Hanya saja yang merasakan program ini, sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan –untuk tidak menyebut sekolah umum-- di Kota Cilegon. Sementara lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI di Cilegon, tidak turut merasakan manfatnya.
Bagaimana dengan Madrasah Swasta? Apakah tidak masuk dalam agenda 100 hari kerja Walikota itu? Sangat ironis memang, program pemberdayaan dunia pendidikan yang seharusnya bisa menyentuh lembaga pendidikan di kota ini secara keseluruhan, tetapi kenyataannya hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecilnya saja. Bukankah kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa yang diamanatkan oleh UUD ’45, tidak disertai oleh klasifikasi jenis sekolah maupun tingkatannya? Tetapi, kenapa yang terjadi demikian halnya?
Nampaknya ada dikotomi antara keduanya. Dikotomi sekolah dan madrasah semakin dikuatkan oleh kebijakan ini. Dikotomi yang seharusnya sudah harus segera dilenyapkan ketika bangsa kita sudah bisa memerintah sendiri. Paling tidak, penghilangan dikotomi itu ditempuh dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merata, tidak memandang perbedaan yang ada pada madrasah dan sekolah, melainkan melihat persamaannya sebagai lembaga yang sama-sama berkewajiban mencercaskan anak bangsa.
Melihat kenyataan ini, saya teringat dengan pemaparan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, seorang Sejarawan dari Universitas Padjajaran, yang memaparkan dalam bukunya, Api Sejarah, bahwa dulu Penjajah Belanda memecah belah melalui Sekolah. Bagaimana sikap Penjajah Belanda terhadap sekolah-sekolah rakyat pribumi yang sengaja dibuat oleh Belanda, dibedakan dengan sekolah-sekolah yang dibuat untuk kalangan anak Eropa dan pribumi bangsawan. Tidak hanya kelas sosialnya, sampai dengan anggaran yang dialokasikan juga jauh berbeda.
Menurut Pak Mansur, diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Untuk Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000,- sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.
Disamping sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, ada lembaga pendidikan yang usianya lebih tua, tetapi tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial, yakni pesantren. Pesantren adalah basis pendidikan Agama Islam yang dimotori oleh para Kyai dan Haji. Dan lembaga pendidikan yang terakhir ini tidak mendapat anggaran sedikitpun dari pemerintahan Belanda.
Zaman berganti, dari bangsa yang terjajah, menjadi bangsa yang merdeka, sudah 65 tahun. Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas sudah tidak ada, berganti dengan SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum. Disamping itu ada Pesantren, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Agama. Namun, pergantian zaman tersebut tidak merubah pandangan pemerintahan yang merdeka ini terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Pembedaan itu masih terasa.
Dikotomisasi sangat kental terasa dalam setiap kebijakan yang lahir. Masalah anggaran subsidi pendidikan, pengangkatan tenaga pengajar, belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, sangat jauh dari keseimbangan antara Madrasah dengan Sekolah. Kondisi ini juga terjadi pada penerimaan peluang kerja, cendrung lulusan Madrasah tidak sejajar kesempatannya untuk mengisi peluang yang ada, meskipun mungkin secara kompetensi sama. Situasi ini mengganggu pikiran, perasaan dan mental “penghuni” pesantren dan madrasah. Dan harus diakui “penghuni” tersebut adalah bagian terbesar dari orang-orang yang harus “diproteksi” secara ekonomi oleh negara.
Seharusnya setelah Kolonial Belanda hengkang, Indonesia merdeka, pembedaan itu sudah tidak ada. Semua warga negara dipandang sama kedudukannya bukan hanya dalam kewajiban, namun juga haknya. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dari negara.
Fakta di atas cukup relevan "perenungan mendalam" untuk pemerintahan yang mau belajar dari sejarah, pemerintah yang menginginkan pemerataan kekayaan negara merata kepada seluruh rakyatnya. Karena pemerintah adalah "bapak" yang berkewajiban bersikap adil terhadap semua "anak-anaknya." Wallahu 'alam!
**)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumnus IAIN ‘SGD’ Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar