Selasa, 05 Oktober 2010

MASYARAKAT MADANI TANPA ”PIAGAM MADINAH”

Oleh: Ayatulloh, S. Hum

Pada konteks pembangunan Pelabuhan Kubangsari, Pemerintah Kota Cilegon dalam beberapa kesempatan, menyebutkan bahwa keterpaduan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah adalah bentuk dari pelaksanaan konsep Masyarakat Madani.

Pernyataan ini mengingatkan penulis pada konsep-konsep civil society yang sejauh ini merupakan akar dari konsep Masyarakat Madani yang berkembang di Indonesia. Sementara, walaupun sering dilontarkan ke publik, tetapi Masyarakat Madan sebagai sebuah konsep masih dalam perdebatan di kalangan intelektual Indonesia.

Terdapat dua pijakan historis lahirnya konsep masyarakat madani di Indonesia. Pertama, dari perkembangan masyarakat Eropa dimana elemen-elemen masyarakat: organisasi profesi, pelajar, mahasiswa bahkan organisasi keagamaan mewujud menjadi kekuatan publik dan berfungsi sebagai pengontrol dari kebijakan-kebijakan penguasa. Pada tataran ini juga, pendapat berkembang menjadi beberapa perspektif. Ada yang Hegelian, Gramscian dan Tocquevellian.

Yang Hegelian mengatakan bahwa civil society menekankan pentingnya kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil society yang kuat. Yang Gramscian, menekankan penguatan civil society untuk menghadapi hegomoni ideologi penguasa. Pendapat yang satu ini menyatakan bahwa civil society adalah sebuah arena tempat para intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung proyek hegomoni tandingan. Sementara yang Tocquevellian, menekankan penguatan organisasi-organisasi independen dalam masyarakat untuk membangun jiwa demokratis.

Yang kedua, sebagian orang memijakan konsep Masyarakat Madani pada masa pemerintahan Rasulullah Muhammad di Madinah. Olaf Scuman, seorang Guru Besar Islamologi pada Universitas Hamburg, Jerman, ketika Masyarakat Madani dilandaskan pada kehidupan masyarakat Madinah pada masa Nabi, menyimpulkan bahwa Masyarakat Madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah (aturan-aturan) yang disepakati melalui dialog sosial-kemasyarakatan --sehingga aturan itu menjadi inklusif—dan berlaku bagi semua yang tinggal dalamnya.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis melihat bahwa konsepsi Masyarakat Madani Pemerintah Kota Cilegon lebih kepada pendapat yang kedua, yakni seluruh elemen masyarakat menjunjung tinggi aturan-aturan yang sudah ada, baik dalam bentuk Undang-undang maupun Peraturan-peraturan daerah, sebagai cita-cita bersama dalam pembangunan Kota Cilegon. Kalau dugaan ini benar, maka tidak heran kalau dalam beberapa kesempatan Pemerintahan Kota Cilegon selalu menyatakan keterpaduan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam pembangunan pelabuhan kubangsari adalah bagian dari pelaksanaan Masyarakat Madani.

Persoalannya, apakah pemerintah sudah memberikan ruang dialogis sosio-kemasyarakatan yang fair di kota ini sebagai prasyarat terbentuknya Masyarakat Madani? Sudahkah Pemerintah Kota dapat menangkap nilai-nilai atau pesan-pesan dialog sosio-kemasyarakatan itu menjadi qaidah-qaidah kompromi dari semua elemen masyarakat? Kalau jawaban yang dituntut dari pertanyaan ini sudah diberikan oleh pemerintah kepada ruang publik maka sah-lah bahwa pembangunan Pelabuhan Kubangsari harus dijunjung tinggi sebagai program bersama seluruh masyarakat Cilegon. Karena sudah melalui dialog sosio-kemasyarakatan seluruh unsur Masyarakat Madani.



Dialog Sosio-Kemasyarakatan Pelabuhan Kubangsari Dimulai
Setelah beberapa kali usaha formal Pemerintah Kota Cilegon gagal untuk mendapatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kubangsari, maka muncul suara publik melalui simpul-simpul organisasi atau paguyuban untuk mendukung dan mendanai proyek pembangunan pelabuhan kubangsari. Fenomena ini muncul pada 10 September 2009. Organisasi yang memulai dalam proses dialog ini adalah Forum Silaturrahmi Ulama Kota Cilegon yang menjanjikan 100 juta untuk pembangunan pelabuhan kubangsari; Forum Pengusaha Cilegon, 5 miliar; Forum Komunikasi BUMD, 2 miliar; Remaja Islam Masjid se-Cilegon, 100 juta; peguron pencak silat, 100 juta; Korpri Kota Cilegon, 15 miliar; Komite Nasional Pemuda Indonesia, 30 juta. (Banten Raya Post, 11 September 2009)

Sebagai sebuah keinginan yang mewakili masyarakat tertentu di Cilegon, itu sah dalam pandangan demokrasi. Dan ini langsung ditanggapi pemerintah dengan mengagendakan pembangunan Kubangsari dimulai tanggal 5 Oktober 2009. Dalam agenda itu direncanakan tahapan pertama dengan membangun trustle (jembatan pancang), penggalangan modal public dan APBD 2010. Tidak berhenti sampai disini, Pemkot telah membentuk Tim Pengkaji yang meliputi: analisis kelembagaan, analisis keuangan dan perbankan serta analisis teknis. Tim diharapkan memberikan rekomendasi penerbitan Perwal (Peraturan Walikota) perihal pembangunan Kubangsari melalui dukungan partisipasi masyarakat.

Tidak hanya itu, Pemkot juga ternyata sudah mempersiapkan prasarana pendukung seperti, akses jalan masuk ke kawasan pelabuhan, pematangan lahan, reklamasi, pemagaran areal pelabuhan, serta dokumen perencanaan yang menjadi prasyarat pembangunan fisik pelabuhan. (Banten Raya Post, 29 September 2009).

Pada tanggal 29 September 2009 muncul lawan dialog dari elemen masyarakat yang lain, yakni Aliansi LSM Kota Cilegon. Aliansi LSM Kota Cilegon meminta Pemkot tidak melanjutkan pembangunan kubangsai sampai mendapatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL)dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Lawan dialog ini ingin mengembalikan masalah pembangunan pelabuhan kubangsari pada prosedur yang harus dilalui oleh pemerintah, yakni Hak Pengelolaan Lahan (HPL)dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Prosedur ini harus dilalui oleh pemerintahan kota cilegon supaya niat baik pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat cilegon tidak mendatangkan masalah hukum di kemudian hari.

Berbeda dengan suara yang muncul dari elemen masyarakat sebelumya (Forum Silaturrahmi Ulama Kota Cilegon, Forum Pengusaha Cilegon, Forum Komunikasi BUMD, Remaja Islam Masjid se-Cilegon, Peguron Pencak Silat, Korpri Kota Cilegon dan Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang langsung mendapatkan sambutan, elemen masyarakat yang kedua tidak mendapatkan harapannya sedikitpun. Sampai akhirnya waktu yang diagendakan (tanggal 5 Oktober 2009) untuk peletakan batu pertama pembagunan pelabuhan kubangsari pun tiba. Dan pemerintah tetap dengan rencananya semula, melanjutkan pembangunan Pelabuhan Kubangsari. Hingga agaknya elemen yang belum tercaver keinginannya ini akan terus menyuarakan harapan itu kedepan.

Sampai disini jelas bahwa Pemerintah Kota Cilegon, dalam konteks pembangunan Pelabuhan Kubangsari, belum membuka ruang yang bebas untuk terjadinya dialog sosio-kemasyarakatan. Sehingga qaidah-qaidah yang harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kompromi dari proses dialog sosio-kemasyarakatan dalam Masyarakat Madani, belum terbentuk.

Untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang dicita-citakan, keinginan seluruh masyarakat, keinginan seluruh pengusaha harus mampu didialogkan oleh pemerintah. Hasilnya adalah qaidah-qaidah kompromi yang harus diakui bersama seluruh elemen masyarakat. Qaidah-qaidah inilah dalam konteks masyarakat Madinah disebut Piagam Madinah.


Cilegon, 15 November 2009

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah-Pabean

Tidak ada komentar:

Posting Komentar