ISLAMISASI BAND INDONESIA
(Menatap Masa Depan Bersama “Wali”)
Oleh Ayatulloh, S. Hum
Lagu bagian dari seni. Seni adalah kreativitas yang halus, lembut indah dan universal. Karena keuniversalannya, maka siapapun yang mendengarkan, tanpa harus mengerti artinya, akan merasa nyaman. Karena keuniversalannya lagu bisa dinikmati lintas agama, suku, bangsa dan negara.
Maka tidak heran kalau dulu Walisongo menggunakan saluran seni sebagai media dakwah mereka. Sunan Kalijaga dengan wayangnya, Sunan Bonang dengan musiknya dan Sunan Giri dengan Gurindamnya. Karena seni bisa masuk ke semua hati pendengarnya.
Sekarang, nama Band “Wali” agaknya mulai menunjukkan eksistensi namanya. Wali mulai membidani beberapa lagu religius seperti, “Tomat”, “Mari Selawatan” dan “Kekasih Hati”. Dia adalah agen of chang (pembawa perubahan) untuk masyarakat Islam Indonesia. Sebagai alumni UIN Jakarta, karirnya merupakan hal yang jarang terjadi pada alumni-alumni perguruan Islam. Dia telah menambah daftar musik religius dalam bentuk “Band” di Indonesia.
Saya bergembira, karena akhirnya generasi Islam memenuhi panggilan “pasar” musik Inonesia. Bisa mewarnai musik Indonesia, yang digandrungi pemuda dan remaja, dengan warna Islam. Dengan begitu, kehawatiran saya berkurang, kebudayaan Indoensia (musik di dalamnya), akan diwarnai dengan warna yang lain. Karena bagi saya, kita sesungguhnya sedang berebut ruang dalam jagad ini. Apakah ruang itu akan diisi oleh kreativitas positif atau negative. Ruang itu tidak pernah kosong. Kalau tidak diisi dengan kreativitas positif maka isinya sudah pasti kreatifitas negative. Selaras dengan sifat otak manusia. Menurut Jalaludin Rummi, bahwa otak manusia tidak pernah kosong. Kalau tidak pikiran baik, maka pikiran buruklah yang ada pada otak manusia. Menurut saya, jagad inipun seperti itu keadannya.
Nah, group Band Wali, dengan lagu-lagu religiusnya adalah kreatifitas positif yang telah mempersempit ruang gerak kreatifitas negative di jagad raya ini.
Tegal Bunder, 24 January 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar