Oleh: Ayatulloh, S. Hum
Dalam buku “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, KH. Drs. Badruddin Hsubky, saya menemukan kutipan hadist: “sebagian tanda-tanda kimat adalah diangkatnya ilmu, dikokohkannya kebodohan, diminumnya minuman keras, dan dikembangkannya pelcuran”. (HR Muslim dan Anas bin Malik).
Saya pikir, hadist ini bisa kita gunakan untuk memotret kondisi kita kini, disini, dilingkungan kita sendiri, tidak jauh-jauh. Kita bisa mengevaluasi fenomena sosial yang nampak di depan mata kita yang “telanjang” sekalipun. Apalagi kalau kita lihat dengan “Kacamata Sidiq”, seperti judul sebuah buku kumpulan Cerpen, karya Gola A Gong. Maka akan nampak, sebagian besar yang disebutkan oleh hadist tersebut, sudah dan sedang berlangsung di sekitar kita. Lalu apa yang akan kita perbuat. Jawabannya jelas, kita harus menghentikan itu semua apapun tantangannya, kita harus berusah mengehentikannya. Kalau bisa dengan sistematis, dipelopori oleh ulama. Sosok yang punya kapasitas keilmuan yang tinggi dan mendalam, berwawasan luas, juga punya tenaga spiritual yang kuat.
Hal yang pertama disebutkan oleh hadist, diangkatnya ilmu, adalah biang keladi kemungkaran-kemungkaran selanjutnya. Biangnya, adalah kejahiliyaan. Kejahiliyaan, jangan dipahami buta pengetahuan tekhnologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Meraka mahir dalam hal ini. Tetapi, kejahiliyaan dari awal sejarah Islam mempunyai arti bodoh dalam hal kesadaran ketuhanan, dalam hal menghadirkan pesan-pesan tuhan dalam semua geraknya (ketauhidan).
Setelah ilmu dicabut, maka yang jadi pemimpin adalah "orang-orang jahil", yang dipilih dengan alasan yang "ngawur" pula, bukan kebaikan sebagai ukuran, tetapi jasa “sumbangan” materi untuk sarana paling umum, seperti tempat ibadah, pakaian tim olahraga, juga busana pengajian dan sebagainya. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin jahil. Dari pemimpin yang "jahil" itu lahir pula kebijakan, peraturan yang mendukung kemungkaran, kemaksiatan, dan seterusnya. Dan, paling pamungkas (mungkin fenomena paling parah) sebagai syarat kehancuran adalah pelacuran yang dikukuhkan oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, dukungan, fasilitasi, dan membiarkan fenomena terakhir ini. “Sempurnalah” sudah syarat untuk terjadinya sebuah kehancuran dunia. Bukankah zaman ini sudah memenuhi syarat ini: diangkatnya ilmu, kokohnya kejahilan, minum minuman keras, dan pengembangan pelacuran. Sekedar menilai fenomena sekarang, “manusia biasa” yang masih “hidup” hati dan pikirannya pasti sudah bisa menyimpulkan dengan benar. Tetapi, adalah ulama yang yang punya kapasitas keilmuan yang berhak sekaligus berkewajiban menghentikan ini semua. Kalau tidak, berarti benar, ilmu sudah benar-benar diangkat oleh Allah ke langit. Sebab, fenomena ini jelas sebuah kemungkaran. Wallahu ‘alam.
Perpus Baitul Hikmah MA/MTs Karangtengah, 26 Oktober 2010
Penulis: Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah, tinggal di kampong Dukumalang, 008/004 Tegal Bunder, Purwakarta – Cilegon. Alumni SPI-ADAB IAIN ‘SGD’ Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar