Jumat, 22 Oktober 2010

Kemana Efek Sosial Ibadah Haji?

Oleh: Ayatulloh Marsai
*)dimuat di Banten Raya Post, Jum'at 22 Oktober 2010

Haji adalah rukun Islam yang kelima. Secara berurutan rukun Islam mencakup syahadat, shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji. Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji menggambarkan kesempuraan ibadah seorang muslim. Tidak heran bila setiap muslim memimpikan ibadah yang satu ini sebagai cita-cita satu kali seumur hidup. Karena setiap muslim ingin menyempurnakan ibadahnya dengan melaksanakan haji, maka orang yang mendaftar haji berjubel saking banyaknya. Sebagai konsekwensinya harus ada yang rela masuk dalam daftar tungg dan baru bisa diberangkatkan 3-4 tahun mendatang. Sungguh suatu prestasi yang membanggakan bagi kita umat Islam di Indonesia.

Perkembangan Jama’ah Haji Indonesia dari tahun 2003-2008 saja meningkat 1,7%. Tahun 2003 berjumlah 179.646, tahun 2004 berjumlah 192.330, tahun 2005 berjumlah 181.706, tahun 2006 berjumlah 189.299, tahun 2007 berjumlah 188.569, dan tahun 2008 jama’ah berjumlah 191.823. (http://www.kemenag.go.id) Dan, tahun 2010 ini 224.000 calhaj termasuk petugas akan diberangkatkan menunaikan rukun Islam kelima ini, berangkat dari 11 embarkasi yaitu, Aceh, Medan, Padang, Batam, Palembang, Jakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan dan Makassar. (http://www.kemenag.go.id).

Jumlah ini belum ditambah dengan jama’ah yang berangkat lewat jasa swasta, yang biasanya setiap tahun terjadi. Dari perkembangan ini, dengan mudah bisa kita bayangkan bahwa calon jama’ah haji dari tahun ke tahun akan terus meningkat.
Tentu kondisi diatas, secara kasat mata, membanggakan kita sebagai umat Islam, jika dijadikan sebagai tolak ukur peningkatan keimanan dan ketakwaan umat Islam Indonesia. Sayangnya, anggapan ini akan segera luntur ketika kita “menimbangnya” dengan kenyataan sosial masyarakat Indonesia, dimana penyakit sosial meningkat (kurang lebih) sebanding dengan minat terhadap ibadah haji. Kebodohan, kemiskinan, kezaliman, kemakisatan, terlebih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Dalam hal korupsi kita bisa lihat kasus-kasus yang menggantung pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Misal, kasus yang berkenaan dengan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan 7 yayasan miliknya, sebesar 1,4 trilyun; kasus korupsi di PERTAMINA, tahun 1993, kerugian negara sebesar US $ 24.8 juta; Korupsi di BAPINDO oleh Eddy Tanzil tahun 1993, kerugian sebesar 1.3 Triliun; 15 kasus korupsi HPH dan Dana Reboisasi, kerugian negara Rp 15,025 triliun; dan terakhir, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun. (http://www.tempointeraktif.com).

Kasus-kasus tersebut bisa dibilang kasus kelas kakap yang melibatkan para petinggi negara masa Orde Baru, yang tidak sedikit diantara mereka sudah melaksanakan ibadah haji.

Sementara pada Era Reformasi, menurut Moeflich Hasbullah, dalam Korupsi dan Jiwa, Opini Republika, 12 Juli 2010, kondisinya lebih parah dibandingkan dengan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru korupsi dilakukan oleh orang-orang pusat, sementara pada masa Era Reformasi sekarang ini dilakukan oleh pejabat-pejabat antardepartemen. Menurutnya, korupsi sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, baik pejabat pemerintah maupun swasta bahkan rakyat biasa. Rakyat bawah merampok gaji guru di jalanan, mengurangi timbangan di pasar, mengoplos dagangan, bahkan mencampur daging segar dengan daging busuk. Hatta terasi pun-seperti terjadi di Cirebon-dioplos dengan belatung dan nasi busuk. Hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia memiliki mentalitas korupsi. Semuanya melakukan kejahatan dengan modus dan bentuknya masing-masing. Semua tujuannya sama ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara.

Kemiskinan, kebodohan adalah sisi buruk yang lain dari bangsa ini, yang mungkin saja berkaitan dengan fenomena korupsi tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, yang jelas kemiskinan dan kebodohan hadir disekitar ruang lingkup haji-haji Indonesia. Selayaknya mereka peduli. Bukankah ibadah haji mengajarkan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh, sebuah kisah yang beredar di pesantren, sebut saja namanya Ki Muafaq, yang sudah berniat melaksanakan ibadah haji tetapi kemudian mengurungkan niatnya ketika melihat tetangganya memakan bangkai kambing karena kelaparan. Kemudian seorang muslim yang lain bermimpi tentang Ki Muafaq. Dalam mimpinya, orang itu mendengar suara bahwa yang diterima hajinya (haji mabrur) pada musim ini adalah Ki Muafaq. Dia sangat heran terhadap isi mimpi itu, sebab dia tahu betul nama yang disebutkan dalam mimpi itu, Ki Muafaq, tidak jadi melaksanakan haji.

Dari kisah ini jelas, kepedulian sosial, menolong saudara yang kelaparan adalah bagian dari pesan ibadah haji yang apabila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ibadah hajinya akan diterima oleh Allah SWT. Tidak hanya itu, secara sosial tentunya akan turut menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan di negeri ini.

Masalah sosial kita selanjutnya adalah maraknya kezaliman, kemungkaran dan kemaksiatan di negara yang notabene mayoritas muslim. Pemabalakan hutan yang liar dan rakus, terbukti semakin menambah penderitaan rakyat kecil (banjir di Papua). Kemaksiatan dilindungi, minuman keras terus beredar, pelacuran dan usaha-usaha sebagian oknum yang melindunginya atas nama hiburan dan pariwisata, nampak jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Ironisnya, fenomena itu berlangsung aman di negeri “sejuta Haji” ini.

Kenyataan ini selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama sebagai umat Islam khususnya, masyarakat Indonesia umumnya. Menjadi tanda tanya besar bagi kita, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pemahaman muslim Indonesia terhadap ibadah haji. Sehingga ibadah haji tidak banyak berefek dalam arah perubahan sosial, politik dan budaya masyarakat kita menjadi lebih baik.

Panggilan Suci dan Semangat Pembebasan

Banyak orang percaya bahwa kesempatan berhaji adalah panggilan suci yang tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan serupa. Panggilan suci menuntut kepasrahan untuk melepas segala atribut materi: suku, bangsa, jabatan, keturunan, harta dan semua yang berbau status sosial. Pakaian ihram berwarna putih tanpa jahitan, menggambarkan dengan sempurna bentuk kepasrahan tersebut.

Wukuf di Arafah mengandung pesan betapa kecil manusia di hadapan Sang Pencipta, seperti sebutir pasir di hamparan gurun yang luas, air di bentangan samudera. Maka, tidak ada alasan manusia untuk menyombongkan diri apalagi menindas satu sama lain.
Tawaf, mengelilingi satu pusaran Ka’bah, memberi makna persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT. Tak satu orang pun lebih dari yang lain, kecuali dari sisi ketakwaanya kepada Allah SWT. Sementara Sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah (dalam sejarahnya menunjukan tanggungjawab seorang ibu atas kewajibannya), mengisyaratkan manusia bertanggungjawab atas sesamanya. Orang kaya punya tanggungjawab terhadap orang miskin. Penguasa bertanggungjawab terhapa yang dipimpinnya.

Dengan ritual haji yang syarat makna persamaan derajat manusia tersebut, jamaah haji yang pulang ke tanah air, bukan untuk menjadikan gelar hajinya sebagai kelompok kelas sosial baru, yang memicu kesenjangan sosial baru. Melainkan menjadikan pesan haji sebagai bahan bakar semangat pembebasan di masyarakat. Membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan.
Semangat pembebasan ini pernah dimiliki oleh para haji kepulauan Nusantara ini pada abad ke-19. Mereka bergerak melawan kolonial Belanda yang menindas petani dan rakyat jelata.

Ibnu Qoyim, Ulama di Indonesia Pada Akhir Abad IXI dan Awal Abad XX, dalam Jurnal Sejarah 3, hal. 26, MSI bekerjasama dengan Gramedia, Jakarta: 1995, memaparkan bahwa peristiwa kekerasan adalah gejala umum yang menampakan diri di hampir seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19. Setelah perang-perang besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan perang Padri (1821-1837), berbagai pemberontakan lain meletus. Jihad di Cilegon atau pemberontakan Petani Banten (1888), peristiwa Nyi Aciah (1870-1871), gerakan Amat Ngaisa dan gerakan Kobra (1871). Peristiwa Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1888), dan di daerah Sumatera dan Kalimantan (1821-1838), Perang Banjarmasin (1857-1862), dan perlawanan lainnya, mewarnai isi kalender sejarah abad ke-19. Kesemuanya adalah penentangan terhadap kekuasaan atau dominasi Belanda.

Sejak saat itu keberangkatan umat Islam Nusantara naik haji dibatasi oleh Belanda. Belanda mengutus seorang ilmuwan, Snouck Horgronje, untuk mempelajari keberadaan kegiatan jama’ah haji di Mekah. Langkah Belanda ini menegaskan kepada kita bahwa mereka menganggap kegiatan ibadah hajilah yang telah menumbuhkan semangat perlawanan di dada para Haji yang Ulama di Indonesia.

Tentu saja fakta sejarah tersebut harus “diterjemahkan” dalam konteks kekinian. “Musuh” yang menanti jama’ah haji Indonesia sekarang bukan lagi penjajah Belanda, tetapi semua bentuk ketidakadilan, keserakahan, kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan, baik yang berada di dalam dirinya maupun di lingkungan sosialnya. Kesemuanya menanti agresifitas dan progresifitas para Haji yang terpancar dari “kesempurnaan” ibadah haji mereka. Semoga!

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumni IAIN “SGD” Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar