Kondisi Obyektif
Memasuki bulan Rabi’ul Awal 1431 Hijriyah ini, di berbagai daerah di Indonesia sudah mulai menjadwalkan pelaksanaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fenomena ini merupakan tradisi yang sudah melekat dalam diri umat Islam di Indoensia, baik yang memperingatinya dengan mengundang penceramah maupun dengan tradisi mengumandangkan Zikir Mulud secara berjama’ah. Yang terakhir ini sudah merupakan upacara rutin sebagian besar umat Islam Indonesia dari generasi ke generasi.
Kalau kita mencari sumber bagaimana upacara peringatan kelahiran Nabi di Yogyakarta dan Cirebon dilaksanakan, mungkin kita tidak terlalu sulit menemukan sumber-sumbernya. Tetapi, bagaimana upacara Muludan di Banten, atau lebih khusus lagi Cilegon, kita dipaksa harus melihat dan mengamati sendiri di masjid-masjid tertentu. Untungnya, masih banyak masyarakat yang melaksanakan Muludan ini. Sehingga kita tidak terlalu sulit menemukan upacara ini di masjid-masjid yang ada di Cilegon.
Supaya tidak terjebak pada pen-generalisasi-an masalah saya membatasi obyek tulisan ini pada upacara-upacara Muludan di sekitar tempat tinggal saya, tepatnya di Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon.
Keduanya mempunyai kesamaan tujuan yaitu menghormati dan menjunjung tinggi kepribadian Nabi.
Muncul pertanyaan. Kenapa hanya ”hari kelahiran” yang diperinagati, bukan ”hari kematiannya”? Bukankah dalam tradisi Islam Indonesia, kita mengenal istilah haul untuk ulang tahun kematian? Kenapa istilah tersebut tidak berlaku untuk Nabi Muhammad SAW?
Dalam sebuah tulisannya di website Departemen Agama Republik Indoensia, Hamzah Sahal, mengutip pendapat gurunya tentang masalah ini bahwa sebab kenapa hanya muludan (ulang tahun kelahiran) yang diperingati, bukan haul (ulang tahun kematian) adalah kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira. Dan, cahaya yang sudah terpancar, menerangi kehiduapan alam ini tidak boleh padam dengan meninggalnya beliau. Singkatnya bahwa memperingati hari kelahirannya mengingatkan kita akan fungsi kenabian yang telah dilaksanakan dengan sempurna oleh beliau.
Fungsi Kenabian
Tidak bisa dibantah bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat. Tetapi, ajaran dan tauladan sepanjang kehidupanya harus tetap hidup. Ada hadis mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Pewaris bukan dalam hal kedudukan sebagai nabi, tetapi pewaris fungsinya di tengah-tengah umat. Untuk melakoni fungsi itu dibutuhkan sosok yang dalam isitilah Ali Syariati, disebut sosok tercerahkan. Artinya, sosok itu tidak harus orang yang bergelar kesarjanaan tetapi orang yang sadar betul akan keberadaannya di tengah-tengah umat sebagai penggerak arah perubahan sosial. Dia harus memfungsikan dirinya sebagai ”nabi”, meskipun dirinya bukan Nabi. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan kepada masyarakat yang mungkin bodoh, miskin dan mandek.
Masalahnya sekarang, apakah gema salawat atas nabi yang begitu riuh reda terdengar dari masjid-masjid pada bulan Rabiul Awal ini, diikuti dengan pelaksanaan anjuran-anjuran beliau sepanjang kehidupan belaiau. Atau, kita hanya terjebak pada sebuah upacara seremoni belaka. Sementara anjuran-anjuran Nabi (hadis) kita abaikan dari keseharian kita. Kalau demikian yang terjadi sangat ironis. Apakah ini yang diharapkan oleh Rasul? Upacara pengormatan yang akbar. Bukan kesungguhan umatnya melaksanakan seluruh anjuran-anjuran beliau. Tentu, jawabanya bukan atau tidak. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi hendaknya menjadi daya ungkit untuk mengevaluasi diri, umat dan bangsa dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang pernah ”dilahirkan” dan ”dibesarkan” oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.
Memasuki bulan Rabi’ul Awal 1431 Hijriyah ini, di berbagai daerah di Indonesia sudah mulai menjadwalkan pelaksanaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fenomena ini merupakan tradisi yang sudah melekat dalam diri umat Islam di Indoensia, baik yang memperingatinya dengan mengundang penceramah maupun dengan tradisi mengumandangkan Zikir Mulud secara berjama’ah. Yang terakhir ini sudah merupakan upacara rutin sebagian besar umat Islam Indonesia dari generasi ke generasi.
Kalau kita mencari sumber bagaimana upacara peringatan kelahiran Nabi di Yogyakarta dan Cirebon dilaksanakan, mungkin kita tidak terlalu sulit menemukan sumber-sumbernya. Tetapi, bagaimana upacara Muludan di Banten, atau lebih khusus lagi Cilegon, kita dipaksa harus melihat dan mengamati sendiri di masjid-masjid tertentu. Untungnya, masih banyak masyarakat yang melaksanakan Muludan ini. Sehingga kita tidak terlalu sulit menemukan upacara ini di masjid-masjid yang ada di Cilegon.
Supaya tidak terjebak pada pen-generalisasi-an masalah saya membatasi obyek tulisan ini pada upacara-upacara Muludan di sekitar tempat tinggal saya, tepatnya di Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon.
Keduanya mempunyai kesamaan tujuan yaitu menghormati dan menjunjung tinggi kepribadian Nabi.
Muncul pertanyaan. Kenapa hanya ”hari kelahiran” yang diperinagati, bukan ”hari kematiannya”? Bukankah dalam tradisi Islam Indonesia, kita mengenal istilah haul untuk ulang tahun kematian? Kenapa istilah tersebut tidak berlaku untuk Nabi Muhammad SAW?
Dalam sebuah tulisannya di website Departemen Agama Republik Indoensia, Hamzah Sahal, mengutip pendapat gurunya tentang masalah ini bahwa sebab kenapa hanya muludan (ulang tahun kelahiran) yang diperingati, bukan haul (ulang tahun kematian) adalah kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira. Dan, cahaya yang sudah terpancar, menerangi kehiduapan alam ini tidak boleh padam dengan meninggalnya beliau. Singkatnya bahwa memperingati hari kelahirannya mengingatkan kita akan fungsi kenabian yang telah dilaksanakan dengan sempurna oleh beliau.
Fungsi Kenabian
Tidak bisa dibantah bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat. Tetapi, ajaran dan tauladan sepanjang kehidupanya harus tetap hidup. Ada hadis mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Pewaris bukan dalam hal kedudukan sebagai nabi, tetapi pewaris fungsinya di tengah-tengah umat. Untuk melakoni fungsi itu dibutuhkan sosok yang dalam isitilah Ali Syariati, disebut sosok tercerahkan. Artinya, sosok itu tidak harus orang yang bergelar kesarjanaan tetapi orang yang sadar betul akan keberadaannya di tengah-tengah umat sebagai penggerak arah perubahan sosial. Dia harus memfungsikan dirinya sebagai ”nabi”, meskipun dirinya bukan Nabi. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan kepada masyarakat yang mungkin bodoh, miskin dan mandek.
Masalahnya sekarang, apakah gema salawat atas nabi yang begitu riuh reda terdengar dari masjid-masjid pada bulan Rabiul Awal ini, diikuti dengan pelaksanaan anjuran-anjuran beliau sepanjang kehidupan belaiau. Atau, kita hanya terjebak pada sebuah upacara seremoni belaka. Sementara anjuran-anjuran Nabi (hadis) kita abaikan dari keseharian kita. Kalau demikian yang terjadi sangat ironis. Apakah ini yang diharapkan oleh Rasul? Upacara pengormatan yang akbar. Bukan kesungguhan umatnya melaksanakan seluruh anjuran-anjuran beliau. Tentu, jawabanya bukan atau tidak. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi hendaknya menjadi daya ungkit untuk mengevaluasi diri, umat dan bangsa dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang pernah ”dilahirkan” dan ”dibesarkan” oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar