Oleh: Ayatulloh
*Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, 15 Oktober 2010
Tanggal 6 Oktober , hadline Harian Banten Raya Post, menulis judul, “KPA Gagas Outlet Kondom”. Isinya keinginan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Cilegon membuka outlet pelayanan kondom di tempat yang rawan transaksi seks.
Terus terang ketika pertama kali membaca berita ini, yang pertama kali saya “gerayangi” adalah cara berfikir KPA. Faktor apa yang membuat KPA terdorong pada kesimpulan ini. Kemudian yang kedua, saya menunggu reaksi Ulama Kota Cilegon, baik yang terlembaga (MUI) maupun yang tidak terlembaga, yang tersingkir/terhempas di pojok-pojok sejarah. Kemudian ketiga DPRD Kota Cilegon. Kepada yang satu ini saya kurang begitu berharap, walaupun jalur mereka sebenarnya lebih berwenang dan berhak mengawasi jalannya pemerintahan. Tetapi, pada sisi kepentingan politik mereka jelas lahir dari partai politik yang bersaing, sehingga suaranya sarat kepentingan. Kemudian terakhir, Kepolisian. Polisi bergerak berdasar laporan masyarakat atau kordinasi/intruksi pemerintah.
Dalam tulisan ini tumpuan saya tertuju pada Pemerintah dan Ulama menjadi subyek yang mempunyai daya ubah agar umat hidup dalam kemaslahatan bukan kemafsadatan. Atau, kalau subjek-subjek itu telah menjadi tak bertenaga, tunggu saja solusi dari umat sebagai kekuatan sejarah. Atau, umatnya juga buta dan masabodoh terhadap penyakit-penyakit sosial?, Allah Maha Kaya akan jalan keluar, peringatan ataupun hukuman.
Sekretaris KPA, Priyo Wahyuana, mengatakan bahwa tujuan pengadaan outlet kondom di tempat-tempat rawan itu untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit AIDS di Kota Cilegon. Karena berdasarkan hasil rapat Pansus DPRD Banten dengan Komisi II DPRD Kota Cilegon dan Dinkes Kota Cilegon, jalur penyebaran AIDS 40 persen diakibatkan oleh hubungan seks bebas termasuk oleh PSK dengan pelanggannya. (Banten Raya Post, Rabu, 6 Oktober 2010).
Ini artinya, KPA mau memfasilitasi para pelanggan bagaimana supaya mereka tetap melakukan aktifitasnya dengan aman tanpa takut terjangkit HIV. Solusi ini selain tidak menghentikan aktivitas seks bebas (perzinahan) yang sudah berlangsung, juga akan berakibat bertambahnya para pelanggan seks, dalam bahasa KPA, orang kebelet, kebelet baru baru, karena merasa dilegitimasi oleh pemerintah. Kalau bukan legitimasi, apa namanya? Tidak hanya berhenti disini, masyarakat umum (remaja misalnya) yang selama ini sudah masuk pada lingkaran pergaulan bebas (ingat gambar porno pasangan pelajar salah satu SMA Kota ini beberapa tahun yang lalu), juga dimudahkan dengan keberadaan outlet itu.
KPA harus belajar dari Julia Perez. Rakyat Indonesia pernah protes melalui media masa ketika dalam setiap pembelian album Julia Peres, terdapat hadiah langsung berupa kondom. Ini artinya, masyarakat tidak akan pernah mentolerir perbuatan perzinahaan karena masyarakat Indonesia beragama dan berbudaya timur. Kepekaan masyarakat terhadap norma susila ini juga terbukti ketika mereka menyikapi kasus Ariel-Luna-Cut Tari. Singkatnya, perilaku asusila dalam hal ini, hubungan seks tidak sehat (perzinahan) tidak boleh berkembang biak di Kota Cilegon dengan difasilitasinya kegiatan mereka dengan outlet-outlet kondom terdekat.
Harapan Tertumpu pada Ulama
Saya yakin tidak ada perdebatan pada golongan dan agama apapun apalagi ulama bahwa perilaku yang dalam bahasa KPA seks tidak sehat itu adalah perilaku terlarang --zina. Dan, sebenarnya bisa terjadi dimana saja, tidak hanya di tempat hiburan. Oleh karena sek tidak sehat itu mutlak salah dilihat dari mana saja, baik agama, sosial, maupun budaya, maka peran ulama cukup jelas: amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan melarang/melawan kejahatan).
Idealnya pemerintah (umara) dan ulama sama-sama menghendaki kemaslahatan umat. Alasan ini yang mengharuskan ulama mesti bergandengan tangan dengan umara. Ulama Kota Cilegon adalah komponen masyarakat yang penting di mata Pemerintah yang nanti pada 27 Oktober 2010, akan diajak bicara mengenai masalah HIV/AIDS. Ini kesempatan buat ulama untuk memberikan solusi yang benar, solusi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam (yang sudah pasti maslahat). Ulama harus menentang solusi yang dilandaskan pada kepentingan politik semata dan uang semata. Posisikan diri sebagai ulama yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik dan uang.
Menurut saya, ulama harus berani mengatakan bahwa kalau pemerintah mau memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS maka satu-satunya jalan adalah menghilangkan dan tidak mentolerir perilaku seks tidak sehat itu. Karena dalam ajaran Islam hukum zina jelas sekali, jangankan melakukannya, mendekatinya saja sudah tidak diperbolehkan (al-Isra’: 32), kita harus pegang erat ajaran ini, karena sebagaimana kita ketahui ajaran Islam tidak bertentangan dengan tujuan kemaslahatan seluruh umat. Jangan kemudian ulama menjadi bagian dari komponen yang memfasilitasi perzinahan supaya aman dan tidak menimbulkan penyakit, sementara perzinahannya sendiri membudaya di masyarakat. Penyakit fisik diputus mata rantainya, sementara penyakit sosial direstui memasyarakat. Ini persis bagian dari kejahiliyaan.
Ulama adalah pewaris para nabi. Mewarisi al-quran dan al-hadis serta semangat kenabian Nabi Muhammad SAW. Semangat kenabian seperti dicontohkan oleh peran Nabi Muhammad SAW dalam merubah masyarakat Arab dan sekitarnya yang jahil (biadab) menjadi tercerahkan (berperdaban --tamadun). Mewujudkan masyarakat madinah yang berwawasan kemaslahatan bersama.
Masyarakat Kota Cilegon juga semoga tidak lupa dengan peristiwa Geger Cilegon 1888. Tokoh peristiwa ini adalah seorang ulama bernama KH Wasyid. Beliau bergerak bersama ulama-ulama se-Banten untuk melawan Kolonial Belanda yang telah sewenang-wenang terhadap para petani melalui programnya kultur stelsel (kerja paksa). KH Wasyid dan santrinya bergerak, tidak hanya membunuh petinggi-petinggi Belanda tetapi juga pejabat pribumi yang diuntungkan dan berpihak kepada penjajah. Inilah identitas ulama Kota Cilegon seharusnya.
Giliran ulama Cilegon generasi kita, membuktikan semangat kenabian Muhammad SAW dan mewarisi keberanian KH Wasyid untuk membendung, menghilangkan kejahiliyaan di Kota ini. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan melarang/melawan kejahatan) sepenuhnya. Tidak setengah-setengah, hanya diambil amar ma’ruf-nya saja, sedangkan nahi mungkar-nya tidak dilakukan. Dan tidak juga sebaliknya, hanya mengambil nahi mungkar, sedang amar ma’ruf diabaikan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan penuh dan konsisten. “Siapa suka, ayo ikut!”, begitu kata syair sebuah lagu. Dan siapa menghalangi menjadi lawan kekuatan sejarah (umat).
Mendirikan Outlet Kondom Menguji Sinergisitas atau Keislaman Ulama dan Umara?
Pada tanggal yang ditentukan, 27 Oktober 2010 nanti, Ulama akan ditanya oleh KPA, kemudian Ulama angkat bicara. Apakah sikap ulama nanti ada pada wilayah sinergisitas dengan gagasan KPA mendirikan outlet kondom itu? Atau, apakah Ulama dan Umara membawa Keislaman (kemaslahatan) mereka dalam “menelurkan” program terkait masalah ini. Semoga Ulama dan Umara Kota Baja ini sekuat baja dalam mempertahankan keberpihakan terhadap kemanusiaan dan masyarakat –bukan berpihak pada kuasa dan uang.
Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah.
Tinggal di Kec. Purwakarta-Kota Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar