Rabu, 10 November 2010

Haji, Kaum Terpelajar & Sumpah Pemuda

Oleh: Ayatulloh Marsai*

Dalam buku, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Penerbit Gramedia Jakarta, 1989), Mohammad Roum, menceritakan bahwa keberadaan kaum terpelajar yang belajar di Nederland, setelah pulang membawa perubahan besar dalam arah perjuangan Indonesia. Selanjutnya, yang juga terbukti kuat melakukan usaha sistematis terhadap kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia adalah para Haji.

Apakah hubungannya dengan Sumpah Pemuda? Tentu saja erat sekali, sebab, peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 berasal dari mata rantai dari semangat juang para pelajar dan Haji jauh-jauh hari sebelumnya. Pangkalnya adalah tahun 1905, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam; tahun 1913 Tiga Serangkai (Setiabudi, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjiptomangunkusumo) mendirikan National Indische Partij; tahun 1925 berdiri Nederland Indonesische Vereniging dan Jong Islamieten Bond; tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Jong Indonesia. Kesemuanya, menurut Pak Roem, mempunyai kesadaran: Bangsa satu, Tanah Air satu dan Bahasa satu.

Dari sekian banyak pribumi, petani dan pedagang, maka kaum terpelajar dan Hajilah yang terusik kesadarannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, sekaligus mampu mengambil langkah sistematis dalam rangka pemerdekaan Indonesia. Namun demikian dari sekian banyak kaum terpelajar dan Haji tidak serta merta semuanya punya kesadaran untuk bergerak, berupaya menuju Indonesia merdeka. Indonesia yang memerintah dan mengatur bangsanya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terpelajar, menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk bekerja kepada Belanda. Sementara yang terjadi dikalangan sejumlah Haji yang berangkat ke Tanah Suci, hanya untuk memenuhi panggilan kewajiban agamanya, tidak lebih.

Pandangan yang jauh ke depan, visi Indonesia bersatu hanya mampu dilihat oleh segelintir kaum terpelajar,dan sedikit para Haji saja. Sementara yang lain bersikap masa bodoh dan tidak peduli terhadap nasib bangsanya di genggaman tangan penjajah.
Sebetulnya kesadaran nasional berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Indonesia, tidak cukup lahir dari pemuda yang berstatus terpelajar semata dan Haji semata. Tetapi itu lahir dari siapa saja yang tercerahkan dan dilengkapi dengan instrument yang dibutuhkan.

Orang yang tercerahkan, menurut Ali Syariati, adalah individu yang sadar dan bertanggungjawab untuk membangkitkan kesadaran diri dan rakyat jelata. Dalam hal ini, pemuda yang punya daya ubah, daya dorong, daya kendali untuk berperan aktif dalam menentukan arah perubahan. Itulah pemudah yang tercerahkan. Seperti yang dilakukan oleh para pelajar Stovia dan juga para Haji, yang tidak hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelajar dan jama’ah haji, lebih dari itu berperan aktif dalam menentukan arah perjuangan, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan.

Semangat perubahan itu semakin bertenaga ketika mereka mengetahui bahwa Belanda adalah negara kecil, namun cukup lama menjadi tuan rumah di Indonesia. Ini sangat mengganggu pikiran dan perasaan para pelajar. Negara yang kecil bisa menguasai negara besar, Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Faktor ini, tidak bisa dipungkiri, turut menyemangati bangsa Indonesia yang beragam suku, bahasa dan kepulauan, untuk menjadikan negara masa depan mereka menjadi negara kesatuan.

Kaum Terpelajar Indonesia Kini

Yang pasti, secara kuantitas pelajar sekarang jauh lebih banyak dari jaman penjajahan. Sekolah-sekolah sudah tersebar ke seluruh pelosok negeri, perguruan-perguruan tinggi merata ada di setiap kota, membuka kesempatan lebar kepada seluruh generasi muda Indonesia untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan, beberap pemuda yang punya kocek lebih, bisa menikmati pendidikannya di negera-negara maju. Yang terakhir ini, bisa menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan yang lebih modern dibanding dengan fasilitas yang ada di perguruan tinggi yang pertama disebutkan.

Melihat kenyataan ini, tentunya kita patut bergembira bahwa pemuda sekarang mayoritas adalah kaum terpelajar. Timbul pertanyaan kemudian, apakah keberadaan mereka merupakan jaminan untuk terwujudnya Indonesia lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, dan berkeadilan. Apakah para terpelajar itu bisa mewujudkan kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh Pancasila dan UUD ’45.

Jawabannya tentu saja tidak jaminan keberadaan mereka bisa membawa bangsa ini lemih maju. Hanya sedikit dari mereka (kaum terpelajar) yang akan menjadi aktor penggerak kemajuan. Sebagaimana sejarah mengajarkan kepada kita, hanya sedikit orang yang mampu melihat permasalahan dengan kesadaran, dengan tanggungjawab sosialnya untuk mencerahkan rakyat jelata. Mengahrumkan nama bangsa di pentas internasional. Seperti, 5 pemuda Indonesia yang akan berangkat ke London untuk bergabung dengan 1500 pemuda dunia dari 192 negara. Kegiatan yang punya nama “One Young Word” ini akan membahas persoalan-persoalan dunai, dari politik, ekonomi social dan masalah-masalah penting lain di dunia internasional.

Dengan tidak bermaksud` mengecilkan arti penting keberadaan mereka yang berprestasi, namun sebagian terbesar dari kaum terpelajar kita bersikap masa bodoh dengan perkembangan bangsa, malah banyak yang terjerumus pada “dunia-dunia muda” yang cendrung negatif. Lihat saja, “label” yang melekat pada kaum pelajar Indonesia sekarang nampak jelas terlihat di media-media, baik cetak maupun elektronik. Tawuran pelajar sering sekali terjadi, dari jalanan sampai ke lapangan Sepak Bola. Bahkan tawuran ini bisa dilihat sekarang sudah “kuliah” di perguruan-perguruan tinggi. Tidak sedikit perguruan tinggi luntur wibawanya sebagai lembaga pendidikan tinggi oleh “budaya” kekerasan ini; ketika kita melihat pelaku seks bebas tertangkap polisi, dia adalah pemuda dan kaum terpelajar; minum-minuman keras, judi, ngebut di jalanan raya, penyalahgunaan narkoba, sampai pembajak VCD, pelakunya adalah pemuda dan kaum terpelajar.

Belum lama ini, kita juga malu dengan pola protes pemuda dan kaum terpelajar Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia, dengan menggunakan kotoran manusia sebagai media protesnya. Terlepas dengan siapa kita berhadapan, tetapi pola yang digunakan tidak menggambarkan perjuangan kaum terpelajar. Kecendrungan perjuangan kaum terpelajar adalah menggugat, menyalurkan rasa nasionalismenya dengan cara-cara rasional dan sistematis.

Pantaskah pemuda-pemuda dengan “label” di atas nantinya memegang kendali bangsa ini. Jawabanya tentu sudah jelas, tidak. Negara kesatuan bangsa, tanah air dan kesatuan bahasa ini akan menjadi petaka jika pewarisnya berprilaku menyimpang seperti itu. Sementara, PR (pekerjaan Rumah) bangsa ini makin bertumpuk. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, putus sekolah, moralitas, masalah lingkungan, pembalakan liar dan trauma akibat bencana. Kesemuanya merupakan pekerjaan besar yang menunggu kebangkitan nasional jilid II yang dipelopori oleh pemuda dan kaum terpelajar yang tercerahkan.

Kesadaran Yang Harus Dibangun

Usia Sumpah Pemuda itu sekarang sudah 82 tahun. Dengan semangat kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, marilah kita berkarya, menciptakan sesuatu yang baru (kreatif). Kita bikin bangga orang-orang yang 82 tahun lalu, dengan susah menyatukan suku yang berbeda, wilayah kepualauan dengan berbagai bahasa. Kita punya potensi, alam yang kaya, subur, budaya timur yang ramah, etis, terbuka, toleran, damai, adalah identitas yang sudah lama kita miliki.

Ada dua kesadaran yang harus dibangun untuk mengembalikan semangat Sumpah Pemuda. Pertama, kesadaran eksternal, membangun kesadaran bahwa bangsa ini sedang berada dalam ancaman-ancaman bangsa asing. Atau dalam bahasa yang lebih halus, sedang berkompetisi dengan bangsa lain. Kesadaran ini kedengarannya klasik. Namun terbukti ampuh untuk membangun nasionalisme pada tingkatan awal. Seperti, beberapa kasus kita dengan Malaysia, mulai dari masalah-masalah adat kebudayaan sampai batas wilayah, terbukti telah membangkitkan kecintaan kita terhadap Indonesia yang lama terlupakan. Jadi, kesadaran atas ancaman faktor asing ini penting, bukan ancaman perpecahan bangsa, tanah air atau bahasa, melainkan membuyarkan tujuan pembangunan nasional menjadi pembangunan golongan dan pribadi. Paling tidak, ancaman itu kita pahami secara positif dengan semangat kompetisi dalam segala bidang dengan bangsa lain. Sambil belajar dari mereka yang sudah maju.

Kedua,kesadaran internal. Pemuda tercerahkan harus punya kesadaran, bangsa ini merdeka untuk ditumbuhkembangkan menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan sosial. Bangsa yang lahir atas nama rakyat, harus mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan untuk segelintir orang atau golongan. Oleh karenanya, kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa dalam Sumpah Pemuda 1928 harus disertai, dalam bahasa Es Ito (Novel Negara Kelima), kesatuan jiwa.

*) Penulis adalah Guru Sertifikasi SKI
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Tinggal di Dukumalang, Kel. Tegal Bunder, Purwakarta – Kota Cilegon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar