Jumat, 29 Oktober 2010
Bencana alam datang silih berganti di negeri ini, belum juga beres kita mencari sebab-akibat serta solusi bagi bencana banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat; sekarang Gunung Merapi meletus menggemparkan tanah Yogyakarta; Tsunami menghantam daratan Sikakap, kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Sudah selayaknya musibah beruntun itu berhikmah bagi bangsa kita. Hikmah yang bisa membawa bangsa kita lebih baik, tanggap terhadap bencana. Bergegas tidak hanya ketika sudah terjadi, namun juga siap siaga sebelum musibah datang.
Sebagai bangsa beragama, kita juga harus “menyelami” keinginan Tuhan dengan bencana alam yang datang. Sebab, pasti ada korelasi yang erat antara bencana alam dengan perbuatan manusia secara pribadi maupun kolektif. Termasuk, pasti ada kaitan antara bencana alam yang datang dengan kebijakan dan peraturan pemerintah yang lahir dan dilakukan oleh bangsa kita.
Menyelami keinginan Tuhan tidak se-repot menuruti keinginan manusia. Tuhan sudah jauh-jauh hari menjelaskan keinginan-keinginannya dalam Kitab-Nya. Keinginan Tuhan tidak keluar dari nalar manusia, sebab kelebihan manusia atas makhluk yang lain hanya sebatas di nalar itu. Maka selayaknya kita sekarang, dengan musibah bencana alam yang datang beruntun ini, mencari hikmah atau solusinya dengan nalar yang kita miliki.
Manusia berkewajiban mencari hikmah atas semua musibah itu. Sayangnya, ada sedikit masalah dengan pemahaman sebagian orang tentang hikmah ini. Sebagian orang memahami hikmah secara dangkal. Hikmah bagi mereka adalah keburukan berganti “kebaikan” pada diri yang terkena musibah. Sebagai contoh, banyak orang yang berpendapat “hikmah tsunami di Aceh adalah bersatunya kembali rakyat Aceh dan mau mengaku sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara, tsunami-tsunami di daerah lain masih berdatangan tanpa bisa di temukan jalan keluarnya. Bagaimana supaya tsunami tidak memakan korban?, itu tidak bisa ditemukan solusinya. Apakah bangsa yang “terjatuh pada lubang yang sama” ini, bangsa yang mau mengambil hikmah dari semua kejadian? Tentu, jawabannya, tidak. Bangsa kita belum menemukan hikmah dari semua musibah bencana alam yang datang.
Hikmah itu Solusi
Pertanyaan selanjutnya, apakah bangsa ini tidak ada kemauan untuk merubah nasib, dari bangsa yang penuh musibah menuju bangsa yang penuh berkah. Kalau mau, paling tidak ada dua hal yang bisa lakukan. Pertama, menghentikan eksploitasi alam, dengan dalih apapun, sambil memperbaiki yang rusak secara sistemik oleh pemerintah. Dalih yang paling sering merusak alam Indonesia adalah investasi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menambah pendapatan negara. Sungguh bangsa yang tidak cerdas, bergantung pada modal asing, hutang yang melimpah, semua yang berujung pada kemajuan semu. Sedangkan, rakyat yang menjadi sandaran investasi tadi, tidak hanya tetap nganggur tapi juga terkena “amukan” alam yang dieksploitasi.
Keuntungannya? hanya untuk sebagian orang saja. Tidak rumit untuk me-logika-kan kondisi terakhir ini, cukup dengan membandingkan rumah pejabat dengan rumah rakyatnya. Silahkan Anda teliti di daerah masing-masing. Mungkin, hasilnya jauh dari contoh pemimpin-pemimpin yang adil misal, Muhammad Rasulullah, Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz.
Hal kedua yang bisa kita lakukan untuk merubah nasib bangsa kita adalah memaksimalkan peran para ahli yang berkaitan dengan alam. Karena hanya mereka yang bisa melihat gejala-gejala alam secara ilmiah sekaligus memberi solusi secara ilmiah juga. Ini solusi yang saya pahami dari ayat al-qur’an (2:269), “Allah menganugrahi al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak dan hanya ulul albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”
Dalam ayat ini jelas, ulul albab atau ilmuan yang menjadi kunci hikmah atau solusi dari semua masalah, termasuk musibah-musibah yang menimpa bangsa kita. Pemerintah harus memberi kesempatan yang fair dan fasilitas yang memadai untuk ulul albab, meneliti, menyelidik gejala dan seterusnya, kemudian memberi solusi. Mungkin pemerintah akan berkilah, “sudah, sudah kami lakukan!”, dengan menyediakan alat peringatan tsunami, gempa, bahkan gunung api, nyatanya belum bisa mengurangi korban yang jatuh.
Masalahnya, mungkin pemerintah belum memberikan tempat yang layak untuk para ahli itu di negara ini. Selama ini, lebih baikkah posisinya ketimbang investor?! (Dukumalang, 29 Jum’at 2010: Ayatbanten)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar