19/11/2010 23:09
Oleh Ayatulloh Marsai
[Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, Jum'at 26 November 2010]
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan biasanya baru bisa dicapai setelah melalui pembuktian secara objektif. Objektifitas ini hanya dimiliki oleh ilmu penegtahuan rumpun eksak saja, yang objeknya berupa benda atau alam. Sementara bagaimana dengan ilmu social, yang objeknya adalah manusia itu sendiri?
Sartono Kartodirjo, mempunyai rumusan bahwa kebenaran dalam ilmu sosial bisa dilandaskan kepada pembuktian intersubyektif. Pembuktian intersubyektif adalah kebenaran yang dakui, disepakati, oleh subyek –subyek hingga menjadi kebenaran yang diakui secara kolektif. Subyek-subyek itu (manusia atau masyarakat umum) kemudian oleh Sartono disebut sebagai pembuktian intersubyektif. Setara dengan obyektif dalam ilmu eksak. Maka kebenaran dalam ruang lingkup ilmu sosial bisa dicapai dengan cara pembuktian intersubyektif ini.
Penulis ingin menggunakan lensa kebenaran intersubyektif ini untuk memotret fenomena penerimaan CPNS di negeri ini, yang sedang dan akan berlangsung bulan ini. Sering kita mendengar istilah dari masyarakat, “rahasia umum”, “tradisi”, “budaya”, atau bahkan “bukan rahasia lagi”, bahwa penerimaan CPNS yang berlangsung hanya formalitas belaka. Sebab, orang-orang yang akan mengisi formasi yang dibutuhkan sudah ada. Mereka masuk melalui jalur yang sama dengan calon peserta tes lainnya, namun dengan “modal berbeda” dari kebanyakan calon peserta lainnya. “Modal berbeda” itu, dalam istilah yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat umum, disebut “jatah”, “titipan”, “jual-beli” dan sebagainya.
“Jatah”, “titipan” dan “jual-beli” dalam penerimaan CPNS, awalnya mungkin dari satu-dua subyek, kemudian terjadi persamaan pengalaman antar subyek satu dengan yang lain. Maka, pengalaman yang sama antar subyek ini menjadi pengalaman intersubyektif. Dan, dalam komunikasi sehari-hari, pengalaman intersubyektif itu muncul dengan istilah “sudah rahasia umum, tradisi, dan sudah budaya, dalam penerimaan CPNS ada jatah si A, ada titipan si B dan sudah di beli si C”.
Sudah jelas, kalau kita sepakat dengan konsep intersubyektif untuk mengukur sebuah kebenaran, maka kecurangan dalam penerimaan CPNS jelas telah menjadi fenomena. Hanya saja untuk membuktikan secara administrasi dan hukum, tentu saja sangat sulit.
Fenomena kecurangan penerimaan CPNS belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Buktinya, ngara kita baru punya satu KPK. Seharusnya, pemerintah membuat dua komisi lagi untuk menuntaskan agenda reformasi ’98, yakni KPK yang K-nya singkatan dari kolusi dan KPN, N-nya singkatan dari nepotisme. Dengan dua komisi baru ini mungkin fenomena kecurangan penerimaan CPNS akan tertangani secara khusus dan sistematis.
Setelah ujian CPNS selesai, hasilnya diumumkan lewat media, maka pengalaman yang memperkuat fenomena kecurangan itu “bergentayangan”. Misalnya, si A, lulus. Dia anaknya Pak Anu (wong gede); si D, tidak lulus, ananya Mang fulan (wong biase, cilik). Padahal secara keilmuan dan kompetensi, misalnya si A jauh dibawah si D pada bidang yang sama.
Kepuasan batin peserta ujian CPNS tidak terpenuhi
Dalam sebuah kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Begitu juga dalam penerimaan CPNS, ada yang diterima dan yang tidak diterima (baca: lulus dan ada yang tidak lulus). Yang lulus harus bersyukur dengan cara bertanggungjawab penuh melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Yang tidak lulus harus menerima dengan legowo.
Menerima dengan legowo terhadap hasil tes ini hanya terjadi ketika ulangan harian di sekolah. Yang nailainya besar puas, dan yang nilainya kecil menerima dengan ikhlas. Rahasianya adalah lembar jawaban masing-masing siswa dikembalikan dan kunci jawaban di simak secara bersama-sama. Dengan begitu semua siswa bisa melihat sendiri dimana letak kesalahan jawaban yang mereka berikan pada saat tes/ujian.
Seandainya saja proses penerimaan CPNS seperti ulangan di sekolah, tentu tidak akan muncul gunjingan bahkan kesaksian kecurangan setelah hasil tes diumumkan. Apalagi gunjingan dan kesaksian yang berifat kolektif dan intersubyektif seperti disebutkan di atas. Pengandaian ujian ala anak sekolah ini secara teknis mungkin terlalu naïf, dan akan segera dijawab tidak mungkin bisa dilakukan!
Di era teknologi informatika, transparansi di segala bidang bisa dilakukan, termasuk ihwal penerimaan CPNS. Penggunaan teknologi sejak sosialisasi formasi yang tersedia, pendaftaran, tes, hingga pengumuman hasil tes, sangat mungkin dilakukan. Andai saja ada kemauan serius dari seluruh pemangku kebijakan di negeri ini. Atau, para menagku kebijakan diuntungkan oleh sistem yang ada hingga tidak mau berfikir bajik!
Sekedar ide sederhana, kita bisa mengunakan jasa Pos untuk memberi balasan (--pasca tes) yang berisi nilai dan kunci jawaban. Atau kunci jawaban dan nilai disertakan dalam pengumuman di media. Lebih canggih, dengan komputerisasi atau internetisasi data hasil ujian yang disertai kunci jawaban, diurutkan berdasar ranking. Dengan demikian publik bisa mengaksesnya dan legowo bukan?
Akhirnya semua kembali kepada para penentu kebijakan, apakah ada hasrat untuk memuaskan “batin publik”, dengan transparansi penerimaan CPNS ini dari “A” sampai “Z”.
*)Penulis adalah Guru Honorer, Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam, di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar