Jumat, 04 Maret 2011

Cilegon, Kota Santri Terampil Industri

Oleh Ayatulloh Marsai*
“Peta Pendidikan Kota Cilegon”. Inilah tema yang terpampang pada spanduk Seminar Pendidikan yang diadakan oleh Keluarga Mahasiswa Cilegon (KMC) Jakarta di Gedung DPRD Cilegon.
Hadir sebagai pembicara, Prof. Amin Suma, Prof. Yoyo Mulyana, Mukhtar Ghozali (Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon), dan Isomudin (Kepala Mapenda Kemenag Kota  Cilegon). Masing-masing pembicara memetakan pendidikan Kota Cilegon, menurut sudut pandangnya masing-masing. Tetapi, pada gilirannya sudut pandangan tersebut membentuk gambaran utuh peta pendidikan di kota ini.
Mukhtar Gozali dan Isomudin, sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Mapenda Kota Cilegon, lebih membicarakan program-program pendidikan, baik berkaitan dengan fasiltas pendidikan maupun tunjangan yang diterima guru. Diantara fasilitas yang menjadi kebanggaan pemda saat ini adalah SPP gratis dan buku UN gratis yang berikan kepada SD, SMP dan SMU. Begitu juga tunjangan yang diterima oleh guru sekolah tersebut.
Dengan kehadiran Mapenda Kemenag Kota Cilegon, panitia agaknya ingin meng-caver semua jenis pendidikan di Kota Cilegon, termasuk madrasah. Jumlah madrasah menurut Isomudin, masih sangat terbatas, terutama negeri. Jumlah yang terbatas ini, juga diikuti dengan fasilitas yang terbatas, terutama madrasah swasta. Misal, buku UN.
Saat ini yang sudah menerima program buku UN gratis ini hanya sekolah-sekolah umum saja. Maka, satu kewajaran bila madrasah merasa “dianaktirikan” oleh Pemda. Memang betul, madrasah sudah menerima SPP gratis. Namun, itu hanya MAN negeri saja. Dan jumlahnya hanya dua madrasah, MAN Pulomerak dan MAN Cilegon. Tidak sebanding dengan sekolah-sekolah umum, tak pandang negeri atau swasta, yang telah menerima buku UN gratis ini.
Sehingga kita patut bertanya, apa arti program-program Pemda ini, jika hanya akan melahirkan diskriminasi sosial? Akan menciptakan kesenjangan antara pendidikan umum dengan pendidikan Agama? Padahal, pemerintah memberikan standar yang sama untuk kelulusan ujian nasional. Jawaban yang muncul dari sambutan Kepala Dinas Pendidikan, untuk menganggap ini bukan masalah adalah ‘tidak ada kewenangan’ Pemda untuk masuk ke dalam “dapur”-nya Mapenda Kemenag. Atau alasan yang lainnya, “nanti akan kebagian semua, tapi bertahap. Sekarang sekolah umum dulu”. Apakah pengertian bertahap ini bergantian. Artinya, setelah sekarang sekolah umum, nanti madrasah. Pada saat madrasah kebagian buku UN gratis itu, sekolah umum tidak kebagian. Inilah “bertahap” dalam pengertian bergantian.
Atau, apakah bertahap dalam pengertian jenjang tahapan pemberian. Sekarang sekolah umum dulu, baru nanti sekolah umum dan madrasah. Kalau pengertiannya demikian, tetap madrasah menjadi “anak tiri yang kesepian” (istilah Iwan Fals untuk pendidikan). Inilah menurut saya peta pendidikan Kota Cilegon, “peta kesenjangan, sekolah umum dan madrasah”.
SUDAHKAH PENDIDIKAN DI CILEGON BERKARAKTER?
Prof. Yoyo Mulyana, menelisik makna dari semua yang nampak di permukaan. Bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari, memberi makna pada segala sesuatu. Maka, menurutnya, kita patut bertanya kepada Pemda, “apa makna dari semua ini”, apa hasil yang didapat dari semua program pendidikan Pemda Cilegon untuk tujuan pendidikan itu sendiri. Apakah dengan memberikan tunjangan yang lebih kepada guru, memberi SPP gratis, memberi buku UN gratis, linear dengan prestasi guru dan kualitas pendidikan di Cilegon?.

Kita banyak menemukan manusia-manusia mesin hasil dari pendidikan kita. Dalam konteks nasional, korupsi menggurita, tawuran, demonstrasi yang anarkis, fanatisme radikal, merajalela. Semua itu adalah produk pendidikan yang gagal, melahirkan manusia yang pintar, tapi tidak berkarakter, tidak bermoral. Bagaimana dengan potret produk pendidikan di Cilegon?
Seorang guru bercerita kepada forum seminar, bahwa dia kewalahan menghadapi anak didiknya. Ketika guru memberi nasehat, anak itu malah mendoakan yang tidak-tidak kepada gurunya: “jejake tue, menawe ore payu, ore ole rabi sampe mati!” ; Beberapa waktu yang lalu ada kasus pembunuhan di sekitar wilayah Panggung Rawi (kasus yang jarang terjadi di Cilegon sebelumnya). Sebabnya, rebutan pacar. Mereka berusia belia, baru lulus SMA/SMK, berstatus sebagai karyawan perusahaan di Cilegon; kita juga bisa melihat efek negatif yang ada di Jalan Lingkar Selatan dan bendungan Ciwaduk, bagaimana aksi mereka yang tidak pantas dilakukan pasangan yang tidak sah, apalagi diumbar di ruang terbuka. Masih ditempat yang sama, juga banyak aksi balapan liar. Dan, lebih marak lagi pemandangan-pemandangan  asusila bila kita tengok tempat-tempat khusus berkedok hiburan. Inilah peta produk pendidikan kita, kontradiktif antara biaya besar yang dikeluarkan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak bisa menciptakan manusia yang berbudi pekerti luhur, berakhlak dan berkarakter, seperti yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara.
Masukan Prof.  Yoyo Mulyana dalam hal ini kepada Dinas Pendidikan Kota Cilegon segera menerapkan pendidikan berkarakter, tanpa merubah kurikulum yang ada. Melainkan, dengan cara memasukan segi akhlak dan budi pekerti pada setiap mata pelajaran. Ini harus segera dilakukan karena sudah  merupakan keputusan Presiden RI, Susilo Bangbang Yudoyono.
Prof. Amin Suma, menambahkan, urusan akhlak bukan hanya urusan sekolah. Tapi keluarga dan masyarakat turut bertanggungjawab. Dia berharap Cilegon menjadi kota industri yang santri, dan kota santri yang mahir industri. Sehingga kehidupan masyarakat yang santri menjadi teladan bagi pelajar di tengah aktivitas kota industri.
Dalam hal ini penulis berharap besar kepada Walikota Cilegon bisa komitmen terhadap status Kota Santri ini. Apalagi secara pribadi, nilai-nilai kesantrian, seharusnya melekat erat dalam pribadi Walikota karena dia seorang santri tulen. Sehingga dalam mendesain tata kehidupan kota tidak terlepas dari visi kesantrian. Efeknya akan sangat baik terhadap pendidikan, jika anak didik tidak lagi menemukan aktifitas sosial kemasyarakatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ditanamkan di sekolah.

PELAJARAN SEJARAH LOKAL
Ada tawaran menarik dari peserta untuk menciptakan pendidikan berkarakter di Kota Cilegon, yaitu dengan memberikan pelajaran Sejarah Pahlawan-pahlawan Cilegon. Tawaran ini di sepakati oleh Prof. Amin Suma, sekaligus mendorong agar penyusunan buku sejarah pahlwan-pahlawan Cilegon ini segera dilakukan oleh sejarawan Cilegon, secara individu atau kerja tim. “mumpung saya masih mengenal beberapa tokoh Cilegon yang masih hidup”, ujar Profesor.

Salah satu fungsi sejarah adalah memberi pelajaran (education). Buku sejarah kepahlawanan tokoh-tokoh Cilegon akan memberikan pelajaran moral, patriotisme, rasa memiliki kepada kota tercinta, dan sekaligus memberikan identitas kota Cilegon sebagai kota pahlawan yang santri. Dan, pada akhirnya mudah-mudahan bisa menghasilkan lulusan yang berkarakter, budi pekerti tinggi, sekaligus terampil industri. Wallahu’alam.
*Penulis adalah Peserta Seminar, utusan Madrasah Karangtengah, aktif di Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar