Oleh Ayatulloh Marsai
“Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer)
Begitulah seorang Pram menulis. Dia seolah berkata: “menulislah, maka engkau akan abadi!” karena memang dengan menulis kita akan mampu mengabadikan diri sepanjang zaman, meski jasad kita sudah menjadi tanah. Buktinya, kita masih bisa berguru pada ‘orang-orang hebat’ yang sudah lama meninggal seperti, Plato, Aristoteles, Ibnu Ishak, Ibnu Kasir, al-Khawarizm, Umar Khayam. Dari Imam Nawawi al-Bantany, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi. Karya-karya mereka masih setia membimbing umat manusia hingga sekarang.
Maka benar pepatah, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Nama mereka sampai kapanpun akan selalu disebut dalam kancah keilmuan mereka. Pendapat mereka akan terus dikutip dan terus dikutip dalam setiap kesempatan yang sesuai. Nama dan karya mereka tetap bertebaran memberikan manfaat pada kehidupan ini meskipun secara fisik mereka sudah menjadi tanah.
Tidak mustahil, bahkan biasa terjadi, tulisan memberikan kekuatan perlawanan terhadap sebuah keadaan. Kekuatannya lebih dari senjata M-16 maupun AK-47. Seperti Hitler bisa menguasai Jerman dan menggerakan Otto Bismarch untuk menguasai Eropa, dengan ide-ide yang dituliskan dalam “Mein Keimph”.
Dalam sejarah panjang perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda, juga tidak sepi dari para pejuang pena. Diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara, dia menulis, “Seandainya Aku Orang Belanda”, pada saat Belanda melaksanakan pesta ulang tahun ke-100 di Indoneisa. Tulisannya mendapat sambutan hangat dari kaum humanis Belanda dan menjadi kegelisahan tersendiri bagi kerajaan Belanda. Dan, tidak lama setelah tulisan itu beredar, kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan politik balas budi (politik etis). Isinya adalah transmigrasi, irigasi dan edukasi. Dengan ketiga program ini, kerajaan Belanda bermaksud memberikan atau mengembalikan sedikit keuntungan mereka untuk penduduk “boemi poetra” melalui program yang berorientasi pribumi. Perubahan orientasi politik kerajaan Belanda ini, sekali lagi akibat sebuah karya tulis seorang Ki Hajar Dewantara, yang patut dipegang sampai sekarang.
Semua Orang Bisa Menulis
Apakah setiap orang bisa menulis? Tentu saja bisa, asalkan mau berlatih setiap hari. Menulis bukan pengetahuan melainkan keterampilan, siapa pun yang rutin berlatih maka dia akan terbiasa dan bisa. Setelah terbiasa dan bisa, seseorang akan sampai pada tahapan memperbaiki kualitas tulisan tersebut.
Menulislah, diary atau catatan harian sekalipun. Banyak contoh karya besar yang merupakan diary atau catatan harian seseorang. Misalnya, “Catatan Harian Ahmad Wahib”, diterbitkan LP3ES, Jakarta, merupakan catatan-catatan singkat Ahmad Wahib. Juga surat-surat Kartini yang kemudian dibukuan oleh Armin Pane dengan judul, “Dari Gelap Terbitlah Terang”. Dua karya ini pada zaman yang melampaui penulisnya sendiri, telah merubah pandangan dunia tentang Islam dan perempuan. Karya Ahmad Wahib berpengaruh besar menggeser tradisi berfikir Islam Indonesia, dari cara berfikir dogmatis menjadi berfikir merdeka. Lebih besar lagi pengaruhnya terhadap organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hidup Ahmad Wahib yang singkat tidak mengakhiri pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam Indonesia, ternyata tulisannya abadi menjadi inspirasi generasi muda muslim, baik Indonesia maupun dunia.
Sementara, karya Kartini, telah merubah nasib perempuan Indonesia pada masa jauh setelah Kartini meninggal. Tulisan-tulisan Kartini telah mengentaskan perempuan Indonesia dari diskriminasi gender, menuju kesetaraan gender di Indonesia. Inilah kekuatan tulisan, menembus ruang dan waktu.
Bagaimana seseorang bisa menulis?
Bagaimana seseorang bisa menulis? Dia harus membaca. Kegiatan menulis tidak bisa dipisahkan dengan membaca. Ada yang mengatakan menulis adalah saudara kembar membaca. Seseorang bisa menulis kalau dia sudah sukses membaca. Tentu membaca dalam pengertian yang sangat luas. Membaca dalam pengertian yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas membaca teks tulisan, namun juga termasuk merenungkan alam dan segala isinya, sesuatu yang ada dan mungkin ada, dari yang konkret hingga yang abstrak.
Membaca, menurut Quraish Shihab, “menghimpun” makna dari tercerai berai kemudian dihimpun menjadi suatu pembacaan dan pemahaman. Tidak jauh dengan pendapat Hernowo, bahwa membaca adalah ‘megikat makna’ dari paparan teks yang dibaca. Bagaimana seseorang bisa mengambil “nyawa” dari lembar per lembar bacaan yang dibacanya, itulah mengikat makna.
Sedangkan kegiatan menulis adalah bentuk akumulasi dari kemampuan membaca, kemudian dituangkan hasil pembacaannya itu lewat tulisan. Di sini, seorang penulis sukses pasti seorang pembaca yang sukses. Misalnya, seorang Hernowo, pekerjaan rutinnya selama belasan tahun adalah membaca karya-karya yang akan diterbitkan Penerbit Mizan, kemudian dia buatkan sinopsisnya untuk kepentingan promosi buku tersebut. Siapa sangka setelah pekerjaan itu dia tekuni selama belasan tahun, dia malah menjadi penulis sukses. Dia berhasil menulis buku bagaimana cara membaca (Mengikat Makna), bagaimana cara menulis (Quantum Writing), dan bagaimana cara membuat buku (dalam bab khusus Quantum Writing).
Sesuatu yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang bukunya dia baca. Namun karena Hernowo mampu membaca pola ‘kepenulisan’ dari karya mereka, maka dia bisa menulis bagaimana caranya menulis. Bahkan lebih bisa dari guru Bahasa Indonesia yang lebih berkewajiban mengajarkan bagaimana caranya menulis kepada siswanya. Kenapa Hernowo bisa? Karena Hernowo sudah banyak membaca. Setiap buku yang akan diterbitkan mau tidak mau harus dia baca, dia simpulkan, dan dia tulisakan sinopsisnya. Jadi, dari rutinitas membaca inilah dia bisa menulis.
Dengan demikian semua orang bisa menulis? Betul! Semua kalangan bisa menulis, apakah ia pelajar, mahasiswa, karyawan, birokrat, pejabat, hingga ibu rumah tangga. Caranya dengan menulis apa saja dan memenuhi kebutuhan membaca setiap hari. Maka keabadian yang dimaksud oleh Pramudia Ananta Tour di atas bisa kita raih. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa mati sebuah keharusan, namun fitrah manusia menginginkan keabadadian. Maka salah satu cara untuk mengabadikan diri adalah dengan menuliskan ide dan gagasan kita saat ini. Mengabarkan kehidupan kepada masa depan melalui tulisan. Wallahu ‘alam bissawab.
*Penulis adalah Pengajar di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Pengurus Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC)
“Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” (Pramoedya Ananta Toer)
Begitulah seorang Pram menulis. Dia seolah berkata: “menulislah, maka engkau akan abadi!” karena memang dengan menulis kita akan mampu mengabadikan diri sepanjang zaman, meski jasad kita sudah menjadi tanah. Buktinya, kita masih bisa berguru pada ‘orang-orang hebat’ yang sudah lama meninggal seperti, Plato, Aristoteles, Ibnu Ishak, Ibnu Kasir, al-Khawarizm, Umar Khayam. Dari Imam Nawawi al-Bantany, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan banyak lagi. Karya-karya mereka masih setia membimbing umat manusia hingga sekarang.
Maka benar pepatah, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Nama mereka sampai kapanpun akan selalu disebut dalam kancah keilmuan mereka. Pendapat mereka akan terus dikutip dan terus dikutip dalam setiap kesempatan yang sesuai. Nama dan karya mereka tetap bertebaran memberikan manfaat pada kehidupan ini meskipun secara fisik mereka sudah menjadi tanah.
Tidak mustahil, bahkan biasa terjadi, tulisan memberikan kekuatan perlawanan terhadap sebuah keadaan. Kekuatannya lebih dari senjata M-16 maupun AK-47. Seperti Hitler bisa menguasai Jerman dan menggerakan Otto Bismarch untuk menguasai Eropa, dengan ide-ide yang dituliskan dalam “Mein Keimph”.
Dalam sejarah panjang perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda, juga tidak sepi dari para pejuang pena. Diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara, dia menulis, “Seandainya Aku Orang Belanda”, pada saat Belanda melaksanakan pesta ulang tahun ke-100 di Indoneisa. Tulisannya mendapat sambutan hangat dari kaum humanis Belanda dan menjadi kegelisahan tersendiri bagi kerajaan Belanda. Dan, tidak lama setelah tulisan itu beredar, kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan politik balas budi (politik etis). Isinya adalah transmigrasi, irigasi dan edukasi. Dengan ketiga program ini, kerajaan Belanda bermaksud memberikan atau mengembalikan sedikit keuntungan mereka untuk penduduk “boemi poetra” melalui program yang berorientasi pribumi. Perubahan orientasi politik kerajaan Belanda ini, sekali lagi akibat sebuah karya tulis seorang Ki Hajar Dewantara, yang patut dipegang sampai sekarang.
Semua Orang Bisa Menulis
Apakah setiap orang bisa menulis? Tentu saja bisa, asalkan mau berlatih setiap hari. Menulis bukan pengetahuan melainkan keterampilan, siapa pun yang rutin berlatih maka dia akan terbiasa dan bisa. Setelah terbiasa dan bisa, seseorang akan sampai pada tahapan memperbaiki kualitas tulisan tersebut.
Menulislah, diary atau catatan harian sekalipun. Banyak contoh karya besar yang merupakan diary atau catatan harian seseorang. Misalnya, “Catatan Harian Ahmad Wahib”, diterbitkan LP3ES, Jakarta, merupakan catatan-catatan singkat Ahmad Wahib. Juga surat-surat Kartini yang kemudian dibukuan oleh Armin Pane dengan judul, “Dari Gelap Terbitlah Terang”. Dua karya ini pada zaman yang melampaui penulisnya sendiri, telah merubah pandangan dunia tentang Islam dan perempuan. Karya Ahmad Wahib berpengaruh besar menggeser tradisi berfikir Islam Indonesia, dari cara berfikir dogmatis menjadi berfikir merdeka. Lebih besar lagi pengaruhnya terhadap organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Hidup Ahmad Wahib yang singkat tidak mengakhiri pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran Islam Indonesia, ternyata tulisannya abadi menjadi inspirasi generasi muda muslim, baik Indonesia maupun dunia.
Sementara, karya Kartini, telah merubah nasib perempuan Indonesia pada masa jauh setelah Kartini meninggal. Tulisan-tulisan Kartini telah mengentaskan perempuan Indonesia dari diskriminasi gender, menuju kesetaraan gender di Indonesia. Inilah kekuatan tulisan, menembus ruang dan waktu.
Bagaimana seseorang bisa menulis?
Bagaimana seseorang bisa menulis? Dia harus membaca. Kegiatan menulis tidak bisa dipisahkan dengan membaca. Ada yang mengatakan menulis adalah saudara kembar membaca. Seseorang bisa menulis kalau dia sudah sukses membaca. Tentu membaca dalam pengertian yang sangat luas. Membaca dalam pengertian yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas membaca teks tulisan, namun juga termasuk merenungkan alam dan segala isinya, sesuatu yang ada dan mungkin ada, dari yang konkret hingga yang abstrak.
Membaca, menurut Quraish Shihab, “menghimpun” makna dari tercerai berai kemudian dihimpun menjadi suatu pembacaan dan pemahaman. Tidak jauh dengan pendapat Hernowo, bahwa membaca adalah ‘megikat makna’ dari paparan teks yang dibaca. Bagaimana seseorang bisa mengambil “nyawa” dari lembar per lembar bacaan yang dibacanya, itulah mengikat makna.
Sedangkan kegiatan menulis adalah bentuk akumulasi dari kemampuan membaca, kemudian dituangkan hasil pembacaannya itu lewat tulisan. Di sini, seorang penulis sukses pasti seorang pembaca yang sukses. Misalnya, seorang Hernowo, pekerjaan rutinnya selama belasan tahun adalah membaca karya-karya yang akan diterbitkan Penerbit Mizan, kemudian dia buatkan sinopsisnya untuk kepentingan promosi buku tersebut. Siapa sangka setelah pekerjaan itu dia tekuni selama belasan tahun, dia malah menjadi penulis sukses. Dia berhasil menulis buku bagaimana cara membaca (Mengikat Makna), bagaimana cara menulis (Quantum Writing), dan bagaimana cara membuat buku (dalam bab khusus Quantum Writing).
Sesuatu yang tidak diajarkan oleh orang-orang yang bukunya dia baca. Namun karena Hernowo mampu membaca pola ‘kepenulisan’ dari karya mereka, maka dia bisa menulis bagaimana caranya menulis. Bahkan lebih bisa dari guru Bahasa Indonesia yang lebih berkewajiban mengajarkan bagaimana caranya menulis kepada siswanya. Kenapa Hernowo bisa? Karena Hernowo sudah banyak membaca. Setiap buku yang akan diterbitkan mau tidak mau harus dia baca, dia simpulkan, dan dia tulisakan sinopsisnya. Jadi, dari rutinitas membaca inilah dia bisa menulis.
Dengan demikian semua orang bisa menulis? Betul! Semua kalangan bisa menulis, apakah ia pelajar, mahasiswa, karyawan, birokrat, pejabat, hingga ibu rumah tangga. Caranya dengan menulis apa saja dan memenuhi kebutuhan membaca setiap hari. Maka keabadian yang dimaksud oleh Pramudia Ananta Tour di atas bisa kita raih. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa mati sebuah keharusan, namun fitrah manusia menginginkan keabadadian. Maka salah satu cara untuk mengabadikan diri adalah dengan menuliskan ide dan gagasan kita saat ini. Mengabarkan kehidupan kepada masa depan melalui tulisan. Wallahu ‘alam bissawab.
*Penulis adalah Pengajar di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Pengurus Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar