15/03/2011 4:20
Selamat Pagi, NGOPI PAGI!
Pagi ini saya terpaut dengan sebuah garis setapak melingkar di pinggir-pinggir kota. Tak nampak, tapi ada. Saya pernah menyusurinya. Di bagian utara kota ini. Garis, yang katanya membedakan wilayah kota dan kabupaten. Hanya itu perbedaannya. Yang lainnya sama: mereka lahir dari nenek moyang yang sama; rambut sama hitam; warna kulit sama seperti kulit sawo terlalu mateng; sampai wataknya juga sama pekerja keras. Sebelum subuh mereka sudah harus bangun, membawa obor menyusuri jalan setapak mencari mata air. Untuk hajat hakiki, dari minum sampai mandi, masa bodoh dengan buang hajati.
Entah, apa yang direncanakan sang pemilik garis perbatasan ini. Yang jelas, persis di muka mereka menganga coakan lubang gunung yang bongkar oleh serakahnya dataran rendah modal tinggi. Di belakang mereka juga sudah terdengar kabar, si modal akan meratakan bukit ini. Entah apa arti perbatasan ini, mungkin hanya batas yang tak bergaris. Toh garis nasib mereka tetap sama. Entah apa bedanya kota dan kabupaten, mereka tetap di pinggir, tanpa harus dipinggirkan seperti ini.
Bulletin Ciplukan, menjadi saksi. Ada seorang tua, duduk di bawah gundukan batu sedang menunggui mata air menangis. Kemudian air mata mata air itu dia “cecapi” dengan cangkir mungil. Lalu dia hantar ke dirigen yang nyaring bunyinya, kosong. 24 jam mata air menangis, 12 jam dia tungguin setia. 12 jam sisanya dia pasrahkan kepada teman sebrang garis perbatasan. Arti 12 jam bisa jadi batas antara hidup dan mati di sini. Gak boleh libur, karena libur berarti mendekati batas hidup.
Mungkin inilah selisih waktu antara Kedurung, Porod Lampung, Watu Lawang, dengan Jombang kota. 12 jam di sini berarti satu drigen kehidupan, sedang sejuta drigen bahkan semilyar drigen di Jombang, pemilik sah perbatasan yang bila hilang garis ini dialah yang murka.
Garis itu tipis, mungkin setipis selaput. Seperti garis yang memisahkan malam dan pagi hari; siang dan sore hari sampai malam lagi. Apakah kita bisa melihat jelas garis batasnya? Tidak. begitupun garis batas hidup dan mati, tipis. Mungkin diluar dimensi detik bahkan milidetik. Hingga wajar, kita yang sibuk apalagi sok sibuk tidak sadari itu.
Padahal garis ini penting, karena dia pemisah, pembeda antara kabupaten dan kota, siang dan malam, hingga hidup dan mati. Seperti selaput keperawanan, ketiadaannya mengawali sekaligus mengakhiri “kehidupan” karena dia bisa menghidupkan dan juga mematikan.
Kita, Walikota dan Bupati bisa belajar dari filosofi perawan ini. Mudah-mudahan media gadis perawan bisa lebih menarik daripada harus bicara Kedurung, Porod Lampung dan Watu Lawang. Sama-sama butuh air untuk mengawali dan mengakhiri kehidupannya. Wassalam.
Dukumalang, Cilegon, 15 Maret 2011
Selamat Pagi, NGOPI PAGI!
Pagi ini saya terpaut dengan sebuah garis setapak melingkar di pinggir-pinggir kota. Tak nampak, tapi ada. Saya pernah menyusurinya. Di bagian utara kota ini. Garis, yang katanya membedakan wilayah kota dan kabupaten. Hanya itu perbedaannya. Yang lainnya sama: mereka lahir dari nenek moyang yang sama; rambut sama hitam; warna kulit sama seperti kulit sawo terlalu mateng; sampai wataknya juga sama pekerja keras. Sebelum subuh mereka sudah harus bangun, membawa obor menyusuri jalan setapak mencari mata air. Untuk hajat hakiki, dari minum sampai mandi, masa bodoh dengan buang hajati.
Entah, apa yang direncanakan sang pemilik garis perbatasan ini. Yang jelas, persis di muka mereka menganga coakan lubang gunung yang bongkar oleh serakahnya dataran rendah modal tinggi. Di belakang mereka juga sudah terdengar kabar, si modal akan meratakan bukit ini. Entah apa arti perbatasan ini, mungkin hanya batas yang tak bergaris. Toh garis nasib mereka tetap sama. Entah apa bedanya kota dan kabupaten, mereka tetap di pinggir, tanpa harus dipinggirkan seperti ini.
Bulletin Ciplukan, menjadi saksi. Ada seorang tua, duduk di bawah gundukan batu sedang menunggui mata air menangis. Kemudian air mata mata air itu dia “cecapi” dengan cangkir mungil. Lalu dia hantar ke dirigen yang nyaring bunyinya, kosong. 24 jam mata air menangis, 12 jam dia tungguin setia. 12 jam sisanya dia pasrahkan kepada teman sebrang garis perbatasan. Arti 12 jam bisa jadi batas antara hidup dan mati di sini. Gak boleh libur, karena libur berarti mendekati batas hidup.
Mungkin inilah selisih waktu antara Kedurung, Porod Lampung, Watu Lawang, dengan Jombang kota. 12 jam di sini berarti satu drigen kehidupan, sedang sejuta drigen bahkan semilyar drigen di Jombang, pemilik sah perbatasan yang bila hilang garis ini dialah yang murka.
Garis itu tipis, mungkin setipis selaput. Seperti garis yang memisahkan malam dan pagi hari; siang dan sore hari sampai malam lagi. Apakah kita bisa melihat jelas garis batasnya? Tidak. begitupun garis batas hidup dan mati, tipis. Mungkin diluar dimensi detik bahkan milidetik. Hingga wajar, kita yang sibuk apalagi sok sibuk tidak sadari itu.
Padahal garis ini penting, karena dia pemisah, pembeda antara kabupaten dan kota, siang dan malam, hingga hidup dan mati. Seperti selaput keperawanan, ketiadaannya mengawali sekaligus mengakhiri “kehidupan” karena dia bisa menghidupkan dan juga mematikan.
Kita, Walikota dan Bupati bisa belajar dari filosofi perawan ini. Mudah-mudahan media gadis perawan bisa lebih menarik daripada harus bicara Kedurung, Porod Lampung dan Watu Lawang. Sama-sama butuh air untuk mengawali dan mengakhiri kehidupannya. Wassalam.
Dukumalang, Cilegon, 15 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar