3/4/2011
[5:54 PM]
Oleh Ayatulloh Marsai
Menarik sekali tajuk yang diangkat oleh Banten Raya Post, 2 Maret 2011, “Menata Banten Lama”. Menarik, karena fenomena menata Banten Lama bukan hal baru. Tapi sudah di kumandangkan sejak Banten resmi menjadi provinsi tersendiri dari Jawa Barat. Namun, dari dulu sampai sekarang masalahnya masih kurang lebih sama, kecilnya anggaran, masalah internal dan rendahnya kesadaran masyarakat sekitar menjadi faktor penghambat berlangsungnya penataan tersebut.
Sementara, seluruh masyarakat Banten, bahkan seluruh masyarakat Indonesia , merasa memiliki peninggalan Kesultanan Islam Banten ini. Tertatanya Banten Lama menjadi komplek peninggalan sejarah sekaligus komplek wisata yang rapih, bersih dan nyaman tentu menjadi harapan semua pihak. Kesan yang selama ini tidak dirasakan oleh para pengunjung, baik domestik maupun mancanegara.
Saya pribadi sering berkunjung ke Banten Lama. Sejak kecil, masa sekolah, lebih-lebih masa kuliah (berkaitan jurusan saya Sejarah dan Peradaban Islam), hingga sekarang saya sering membawa siswa saya untuk wisata sejarah ke komplek Banten Lama. Tidak ada kesan indah selama berkaitan dengan pelayanan dan perawatan tempat-tempat bersejarah di Banten Lama ini. Sebaliknya, kesan semerawut dan tidak nyaman oleh keberadaan pedagang dan pengemis-pengemis yang di luar kewajaran. Itu di sekitar Masjid Agung.
Di tempat-tempat bersejarah lainnya, seperti Istana Kaibon, Istana Surosowan, Meuseum Kepurbakalaan Banten Lama, Benteng Speelwizk, selama belasan tahun terakhir tidak beranjak dari keadaannya semula. Tidak ada perubahan seiring dengan perubahan status Banten menjadi provinsi. Ketika saya tanya sana-sini, sebabnya lagi-lagi warga masyarakat yang tidak mengindahkan himbauan dari petugas. Pemandangan istana menjadi lapangan bola, tempat menggembala kambing, hingga tempat mojok-nya pasangan remaja menjadi pemandangan sehari-hari. Belum lagi, sungai-sungai yang mengelilingi Banten Lama menjadi tempat sampah raksasa paling diminati oleh warga. Ada yang menjadikannya tempat usaha dan ada juga yang terlantar begitu saja dengan semak belukar menyelimutinya. Padahal, sungai sepanjang Banten Lama dulu menjadi kanal-kanal indah yang menjadi jalur transportasi perahu-perahu yang membawa barang dari kapal besar di Karangantu ke istana dan sebaliknya.
Sungguh akan menjadi pemandangan yang indah dan menjadi daya tarik tersendiri bila fungsi sungai itu sekarang direkonstruksi sebagaimana fungsinya semula.
Mimpi ini sekarang terpaut pada rencana Pemkot Serang untuk menata pendapatan asli daerah dari retribusi pengunjung Banten Lama. Pemkot Serang, menyadari betul bahwa Banten Lama adalah potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup besar. Itu dapat dilihat dari perkiraan pengunjung yang datang ke Banten Lama tidak kurang dari 16 juta per tahunnya. Oleh karena itu, Pemkot Serang berencana memungut retribusi dari pengunjung Banten Lama sebesar Rp 1.000. Dengan demikian, penataan kembali Banten Lama tidak hanya tergantung pada anggaran APBN, Pemprov Banten namun sekarang mendapat suntikan tambahan dari Pemda Serang sendiri sebagai pemerintahan yang langsung mengelola wilayah tersebut. Atau lebih sempurna lagi kalau Banten Lama mampu membiayai dirinya sendiri untuk biaya oprasional dan peningkatan pelayanan terhadap para pengunjung, baik peziarah maupun wisatawan sejarah. Tentu saja biaya itu didapat dari retribusi yang selama ini diberlakukan atau yang sedang digodong oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Serang saat ini.
Semua kendala yang tampak dipermukaan sejak urusan internal, pedagang, hingga warga sekitar Banten Lama, saya kira bermuara pada satu sebab, yaitu rendahnya “kesadaran sejarah”. Jika “diagnose” ini disepakati, maka perlu kiranya menanamkan kesadaran sejarah itu kepada masyarakat sekitar khususnya, seluruh masyarakat Banten pada umumnya. Dan, secara sederhana wilayah penyadaran sejarah terbagi dua, yaitu sekolah dan masyarakat umum.
Dalam tulisan ini saya hanya akan berdiskusi hal yang pertama, penanaman kesadaran sejarah di sekolah. Saya kira sekolah cukup efektif untuk menanamkan kesadaran sejarah, identitas bangsa, semangat patriotism. Disamping karena kontinuitasnya temu muka antara guru dengan siswa, juga karena usia sekolah adalah usia dimana proses pembentukan identitas diri berlangsung. Salah satu yang bisa menumbuhkan itu semua adalah dengan mengetahui sejarah daerahnya, sejarah bangsanya dan posisi dirinya dalam keterkaitannya dengan sejarah perjalanan bangsa.
Masalahnya, apakah porsi sejarah Banten di sekolah sudah cukup untuk tujuan khusus di sini? Saya kira porsi penyajian sejarah Banten di sekolah tidak cukup untuk penyadaran sejarah lokal dalam istilah Taufik Abdullah (1996).
Dari alternatif itu, Pemprov Banten perlu mengambil langkah khusus untuk memulai menjadikan Sejarah Lokal sebagai pelajaran tersendiri, disamping Sejarah Nasional. Karena dua pilihan terakhir sebenarnya sudah berjalan. Terbukti tidak efektif untuk kepentingan sejarah lokal. Oleh karena itu menjadikan pelajaran sejarah lokal sebagai pelajaran tersendiri menjadi prioritas utama untuk “mendobrak” kesadaran sejarah di Banten. Pada gilirannya akan melahirkan beberapa efek positif, misalnya munculnya penulis-penulis sejarah lokal, penerbitan-penerbitan lokal, dan meningkatnya kajian-kajian kebantenan.
Salah satu langkah yang tidak boleh diditnggalkan pada tingkat pelaku pendidikan, khususnya guru, sangat menarik saya kira mengajak langsung siswanya ke lokasi Banten Lama ini. Biarkan mereka melihat, merasakan kemegahan mahakarya pendahulunya. Sekaligus siswa juga bisa melihat jejak kekejaman penjajah yang telah membumihanguskan Kesultanan Banten yang sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja. Metode ini “wajib” dilakukan oleh guru sejarah lokal nantinya.
Kesadaran sejarah yang terbangun di sekolah pada gilirannya akan menjadi kesadaran sejarah yang massif ke depan. Memang tidak bisa dipungkiri sangat lambat, namun sangat efektif. Karena masyarakat Banten masa depan tidak lain adalah generasi yang berada di sekolah saat ini. Mereka menentukan Banten masa depan. Jika dari sekarang, mereka sudah kita bekali dengan pengetahuan dan kesadaran sejarah Banten, maka kesadaran itu mengendalikan gerak langkahnya ke depan. Sehingga Banten Lama akan tertata dengan baik, Istana Surosowan, Kaibon, benteng Speelwizk, tidak lagi menjadi lapangan sepak bola.
Tidak kalah pentingnya seluruh anggaran yang dialokasikan untuk menata kembali Banten Lama nantinya, tidak akan menghilangkan nilai kesejarahannya, jika kesadaran sejarah sudah menjadi kesadaran kolektif seluruh masyarakat Banten. Semoga.
[Dimuat Banten Raya Post, 12 Maret 2011]
[Dimuat Banten Raya Post, 12 Maret 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar