Rabu, 24 November 2010

Orang-orang Kalah

Selasa, 23 Nopember 2010

Oleh Ayatullah Marsai

Bisik-bisik di lorong gelap. Gelap sekali, hingga suara itu sudah pelan tak terdengar gaungnya. Orang-orang kampung sekarang hanya boleh berbisik, tidak boleh bersuara. Apapun yang mereka lihat, rasakan dan dengar. Dengar dengan telinga atau dengan hati suara yang datang dari situ-situ juga.

Sejak saat pemuda pemberani berani bersuara lantang itu. Suara lantangnya berakibat fatal, dia diseret ke lingkaran setan, tak bisa keluar lagi. Sampai mati. Setelah mati bergentayangan, dimanapun dia kehendaki. Di kantor, di gudang, di dapur, di mana-mana, hingga di secretariat-sekretariat organisasi kepemudaan. Kasihan, dia mati dilingkar kenistaan, lingkaran setan.

Sejak saat itu tidak ada lagi orang yang berani bersuara agak lantang sekalipun, apalagi lantang beneran. Berbisik, berbisik, terus berbisik. Walau tak merubah keadaan. Berbisik dimana-mana. Di pinggir comberan, kubangan jalan, bekas gusuran, tanah yang ditelantarkan, disisi bongkahan kayu yang berjamur, berserakan. Petani berbisik, pupuk langka, impor beras, bantuan traktor tak merata, penyulunya seperti pilot, pemberdayaan yang mempedaya. Harga pupuk selangit, hasil bumi tetap di bumi terkula-I lumpur.

Pedagang kaki lima tetap tak bisa terbang. Mesti 5, itu tetap kaki. Sampai kapanpun gak bisa jadi sayap yang bisa membawanya terbang. Ironisnya, kaki lima juga gak bisa loncat, karena lima bilangan ganjil. Gak bisa meloncat pindahkan nasib menjadi lebih baik.

Bila pol-PP datang, tak bisa merayap sampai keburu ditendang. Bukan hanya orangnya, dagangannya sasaran utama. Seolah barang dagangan yang harus diperbaiki, padahal nasib pedagangnya yang harus diangkat. Beda dengan yang jelas-jelas dagangannya “haram”, aman-aman saja, karena mereka ada di bar, hotel, tempat hiburan, dibawah gemerlap bintang buatan manusia. Aman, asal tempatnya nyaman.

Jangan sekali-kali dagang al-quran di pinggir jalan, kalau tidak ingin al-quran ditendang. Jual-lah miras, narkoba, dan jangan ketinggalan pelacur dengan seperangkat alat kontrasepsi, di gedung yang mewah, dijamin aman.[ayatbanten]

Isi Piring dan Bumi

Oleh Ayatullah Marsai

Ketika saya makan [dari pagi sampai malam], sajian di piring saya nasi, lauk dan mungkin sayur. Saya jadi ingat bumi kita yang terdiri dari daratan, dan lautan. Nasi di piring tadi kita dapatkan dari padi. Lauk, bisa dari daratan juga lautan, begitu juga sayuran.

Pola makan kita masih sangat tergantung sama daratan. Sesuai dengan porsi nasi lebih banyak dari lauk dan sayurnya. Artinya, hidup kita juga masih sangat tergantung pada daratan. Mentalnya, juga tidak ketinggalan sangat tergantung pada daratan.

Bertolak belakang dengan kondisi obyektif bahwa daratan itu jauh lebih sempit ketimbang lautan. Dari kondisi obyektif ini, seharusnya mulai berfikir kreatif, belajar melepas ketergantungan kita dari daratan. Dan, mulai melirik laut sebagai potensi besar untuk masa depan umat manusia.[ayatbanten]

Selasa, 23 November 2010

Tangisan dan Senyuman Alam Bawah Sadar

Awalnya banyak siswa menganggap ini sebagai permainan yang patut ditertawakan. Karena bagi mereka ini mungkin sangat sepele. Diawali dengan membaca bismillah dalam hati, sambil disuruh merasakan aliran udara sekitar, energy bismillah yang datang. Kemudian, siswa disuruh menyedot nafas lewat hidung dan dikeluarkan melalui mulut secara berlahan-lahan. Sangat sederhana.

Siapa nyana proses yang sederhana ini kemudian bisa membuat semua siswa tertidur pulas. Tidak hanya itu, dalam tidur mereka dibuat menangis tersedu-sedu lantaran dibawa oleh “intruksi” yang mengandaikan keadaan kedua orang tua mereka dalam keadaan sakit parah. Saking parahnya sampai harus dibawa ke rumah sakit. Sementara disisi lain mereka harus sekolah, dengan sungguh-sungguh untuk tidak menjadikan sia-sia orang tuanya. Sampai disini, mereka semakin keras menangisi kondisi ini.

Sampai akhirnya, berkat perawatan yang intensif, orang tua mereka sembuh dan bisa pulang ke rumah. Untuk merayakan kesembuhan itu, mereka sekeluarga pergi ke pantai. Di pantai mereka bergembira, bercanda, bergurau, main air dan saling berbagi cerita kegembiraan.

Akhirnya, dengan heppy ending ini mereka dibangunkan dari keadaan alam bawah sadar ke alam nyata. Sekian.

Senin, 22 November 2010

Potret Semu Penerimaan CPNS

19/11/2010 23:09
Oleh Ayatulloh Marsai
[Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, Jum'at 26 November 2010]

Kebenaran dalam ilmu pengetahuan biasanya baru bisa dicapai setelah melalui pembuktian secara objektif. Objektifitas ini hanya dimiliki oleh ilmu penegtahuan rumpun eksak saja, yang objeknya berupa benda atau alam. Sementara bagaimana dengan ilmu social, yang objeknya adalah manusia itu sendiri?

Sartono Kartodirjo, mempunyai rumusan bahwa kebenaran dalam ilmu sosial bisa dilandaskan kepada pembuktian intersubyektif. Pembuktian intersubyektif adalah kebenaran yang dakui, disepakati, oleh subyek –subyek hingga menjadi kebenaran yang diakui secara kolektif. Subyek-subyek itu (manusia atau masyarakat umum) kemudian oleh Sartono disebut sebagai pembuktian intersubyektif. Setara dengan obyektif dalam ilmu eksak. Maka kebenaran dalam ruang lingkup ilmu sosial bisa dicapai dengan cara pembuktian intersubyektif ini.

Penulis ingin menggunakan lensa kebenaran intersubyektif ini untuk memotret fenomena penerimaan CPNS di negeri ini, yang sedang dan akan berlangsung bulan ini. Sering kita mendengar istilah dari masyarakat, “rahasia umum”, “tradisi”, “budaya”, atau bahkan “bukan rahasia lagi”, bahwa penerimaan CPNS yang berlangsung hanya formalitas belaka. Sebab, orang-orang yang akan mengisi formasi yang dibutuhkan sudah ada. Mereka masuk melalui jalur yang sama dengan calon peserta tes lainnya, namun dengan “modal berbeda” dari kebanyakan calon peserta lainnya. “Modal berbeda” itu, dalam istilah yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat umum, disebut “jatah”, “titipan”, “jual-beli” dan sebagainya.

“Jatah”, “titipan” dan “jual-beli” dalam penerimaan CPNS, awalnya mungkin dari satu-dua subyek, kemudian terjadi persamaan pengalaman antar subyek satu dengan yang lain. Maka, pengalaman yang sama antar subyek ini menjadi pengalaman intersubyektif. Dan, dalam komunikasi sehari-hari, pengalaman intersubyektif itu muncul dengan istilah “sudah rahasia umum, tradisi, dan sudah budaya, dalam penerimaan CPNS ada jatah si A, ada titipan si B dan sudah di beli si C”.

Sudah jelas, kalau kita sepakat dengan konsep intersubyektif untuk mengukur sebuah kebenaran, maka kecurangan dalam penerimaan CPNS jelas telah menjadi fenomena. Hanya saja untuk membuktikan secara administrasi dan hukum, tentu saja sangat sulit.

Fenomena kecurangan penerimaan CPNS belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah. Buktinya, ngara kita baru punya satu KPK. Seharusnya, pemerintah membuat dua komisi lagi untuk menuntaskan agenda reformasi ’98, yakni KPK yang K-nya singkatan dari kolusi dan KPN, N-nya singkatan dari nepotisme. Dengan dua komisi baru ini mungkin fenomena kecurangan penerimaan CPNS akan tertangani secara khusus dan sistematis.

Setelah ujian CPNS selesai, hasilnya diumumkan lewat media, maka pengalaman yang memperkuat fenomena kecurangan itu “bergentayangan”. Misalnya, si A, lulus. Dia anaknya Pak Anu (wong gede); si D, tidak lulus, ananya Mang fulan (wong biase, cilik). Padahal secara keilmuan dan kompetensi, misalnya si A jauh dibawah si D pada bidang yang sama.

Kepuasan batin peserta ujian CPNS tidak terpenuhi
Dalam sebuah kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Begitu juga dalam penerimaan CPNS, ada yang diterima dan yang tidak diterima (baca: lulus dan ada yang tidak lulus). Yang lulus harus bersyukur dengan cara bertanggungjawab penuh melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Yang tidak lulus harus menerima dengan legowo.

Menerima dengan legowo terhadap hasil tes ini hanya terjadi ketika ulangan harian di sekolah. Yang nailainya besar puas, dan yang nilainya kecil menerima dengan ikhlas. Rahasianya adalah lembar jawaban masing-masing siswa dikembalikan dan kunci jawaban di simak secara bersama-sama. Dengan begitu semua siswa bisa melihat sendiri dimana letak kesalahan jawaban yang mereka berikan pada saat tes/ujian.

Seandainya saja proses penerimaan CPNS seperti ulangan di sekolah, tentu tidak akan muncul gunjingan bahkan kesaksian kecurangan setelah hasil tes diumumkan. Apalagi gunjingan dan kesaksian yang berifat kolektif dan intersubyektif seperti disebutkan di atas. Pengandaian ujian ala anak sekolah ini secara teknis mungkin terlalu naïf, dan akan segera dijawab tidak mungkin bisa dilakukan!

Di era teknologi informatika, transparansi di segala bidang bisa dilakukan, termasuk ihwal penerimaan CPNS. Penggunaan teknologi sejak sosialisasi formasi yang tersedia, pendaftaran, tes, hingga pengumuman hasil tes, sangat mungkin dilakukan. Andai saja ada kemauan serius dari seluruh pemangku kebijakan di negeri ini. Atau, para menagku kebijakan diuntungkan oleh sistem yang ada hingga tidak mau berfikir bajik!

Sekedar ide sederhana, kita bisa mengunakan jasa Pos untuk memberi balasan (--pasca tes) yang berisi nilai dan kunci jawaban. Atau kunci jawaban dan nilai disertakan dalam pengumuman di media. Lebih canggih, dengan komputerisasi atau internetisasi data hasil ujian yang disertai kunci jawaban, diurutkan berdasar ranking. Dengan demikian publik bisa mengaksesnya dan legowo bukan?

Akhirnya semua kembali kepada para penentu kebijakan, apakah ada hasrat untuk memuaskan “batin publik”, dengan transparansi penerimaan CPNS ini dari “A” sampai “Z”.

*)Penulis adalah Guru Honorer, Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam, di MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah.

Jumat, 19 November 2010

FIPOB Ke-5 & Kesadaran Bahari Kita

Oleh Ayatulloh Marsai

Di tengah gegap gempita Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari (FIPOB) ke-5 di Banten, yang berlangsung dari 2-11 November 2010, saya sangat sulit menemukan luas laut Banten di situs-situs milik pemerintah. Satu sisi saya bangga menjadi tuan rumah festival yang menghadirkan 55 negara ini. Sisi yang lain, “kecewa” dengan keterbatasan informasi primer yang bisa diakses berkaitan dengan luas laut Banten.

Di Website Pemprov Banten, saya hanya mendapatkan informasi luas Banten, 8.651,20 Km2, dilengkapi dengan topografi (wilayah dataran rendah dan daratan tinggi diatas permukaan laut), informasi hidrologi (air tanah) dan klimatologi serta geologi. Sementara informasi luas laut wilayah Banten tidak ditemukan.

Dalam sambutan pembukaan FIPOB V, sebagaimana dilansir Baraya Post, 3/11/ 2010, Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, hanya menyebutkan panjang pantai Provinsi Banten, 517 km dan jumlah tempat wisata di Banten, 204 tempat. Selebihnya sibuk membicarakan Gunung Anak Krakatau yang sedang aktif, sebagai tambahan pemandangan gratis bagi para tamu dari mancanegara.

Sementara luas laut Banten yang “menyelimuti” dari tiga arah angin tidak disebutkan oleh Gubernur Banten. Di utara ada Laut Jawa, di barat ada Selat Sunda dan di selatan ada Samudera Indonesia.

Keterbatasan informasi ini menimbulkan kesan bahwa Pemprov Banten belum maksimal memetakan wilayahnya secara keseluruhan sampai ke perbatasan terluar, yakni lautan. Bagaimana bisa pemerintah bisa mengembangkan potensi-potensi yang terkandung di sepanjang pantai, di permukaan, serta di dasar lautan, kalau pemetaan sektor kelautannya saja belum digarap secara maksimal.

Ketersediaan informasi yang cukup akan sangat bermanfaat untuk pengembangan seluruh sektor yang ada di laut. Baik pengembangan itu oleh pemerintah, pengusaha domestik dan juga investor asing.

Banten adalah bagian dari bangsa bahari, sebagaimana didengung-dengungkan oleh Kemenpora, Andi A Mallarangeng, dalam sambutan pembukaan FIPOB ke-5 ini.
Lautan Lebih Luas Daripada Daratan

Lautan adalah bagian tak terpisahkan dari daratan. Bagi Indonesia, lautan bukan pemisah melainkan penghubung antar nusa (baca: pulau). Tidak ada perdebatan bahwa lautan lebih luas dibandingkan dengan daratan. Konsep ini berlaku baik untuk Indonesia khusus, maupun secara global.

Luas laut Indonesia 5,8 juta kilometer persegi, tiga kali lebih luas dari daratan yang hanya 1,9 juta kilometer persegi (Portal Nasional Republik Indonesia). Perbandingan daratan dan lautan di Bumi secara keseluruhan: 28,88 persen untuk daratan dan 71,11 persennya berupa lautan. Sebuah angka persentase yang memang sudah seharusnya menggiring kita pada kesimpulan bahwa masa depan sebuah bangsa ada di lautan. Siapa yang pandai dan berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang terkandung di lautan maka dia adalah bangsa yang kaya.

Dalam buku, “Al-Qur’an dan Lautan”, karya Agus S Djamil, bahwa keberadaan wilayah laut menjadi salah satu penentu tingkat ekonomi sebuah negara. Sebagai inspirasi bagi kita, buku ini juga mengungkap bahwa jumlah kata “laut” berjumlah 32 kata, sedangkan kata “darat” sebanyak 13 ayat. Bila dijumlahkan menjadi 45 kata. Angka 45 sebagai pengejawantahan terhadap “bumi”. Sekarang, kita ambil 13 sebagai kata “darat” yang tidak lain 28, 22 persen dari 45. Dan sisanya 32, atau 71, 11 persen, persis sama dengan persentase lauatan di dunia ini.

Tidak ada keraguan lagi bagi kita, baik secara fisik, secara ilmiah, bahkan Agama, bahwa penguasaan terhadap lautan sangat menentukan masa depan kita sebagai bangsa bahari. Dengan pandangan positif terhadap laut maka kita akan mulai mengolah, mendayagunakan laut sebagai kekayaan yang menyejahterakan rakyat. Kita akan mulai menghargai tapal batas laut terluar sebagai wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga tidak diserobot oleh tetangga yang lebih sadar akan kekayaan laut. Kekayaan laut Indonesia banyak dinikmati oleh nelayan-nelayan asing.

Bangkitkan Sektor Kelautan

Sampai disini, Festival Internasional Pemuda Olahraga Bahari ke-5, yang bertemakan 4P (people, profit, promosi, dan prospek) ini, mudah-mudahan tidak selesai sampai acara seremonial belaka. Tapi, menjadi titik awal “ketergugahan” Provinsi Banten untuk lebih serius menatap lautan yang terhampar di tiga penjuru arah angin Banten, sebagai potensi yang bisa menyejahterakan dan mengangkat derajat rakyat Banten kususnya, umumnya Indonesia.

Tentu saja kesejahteraan itu bisa diraih dengan cara pengembangan pengelolaan menyeluruh pada sektor kelautan. Misalnya, Wisata Bahari. Sektor ini sangat melimpah di Banten, tidak hanya pantai yang indah, pemandangan Gunung Anak Krakatau, tetapi juga wisata dasar laut yang menakjubkan. Bahkan dalam seminar tentang peninggalan arkeologi bawah laut, di Serang, 27 Juli 2010, seperti yang diberitakan Erabaru.Net, terungkap banyak kapal-kapal luar negeri yang tenggelam di lautan Banten. Jadi ketika kita bicara wisata bahari Banten, maka tentu meliputi permukaan dan bawah lautan Banten ini.

Sektor yang lain misalnya, pertambangan laut, perikanan, dan kepelabuanan. Di Banten, sudahkah ketiga sektor penting itu mendapat perhatian serius dari pemerintah?

Kemudian, tidak kalah pentingnya kita juga harus mulai serius mengamankan laut Banten ini. Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bangsa kita, baik secara ekonomi atau pun kedaulatan bangsa. Dua tahun terakhir, di Pelabuhan Merak misalnya, kita kedatangan imigran illegal dari luar, dan mereka berhasil masuk ke laut Banten, tanpa kita ketahui sebelumnya di perbatasan.

Belum lagi pencurian ikan, dan yang paling parah adalah pencurian kekayaan laut dalam, seperti terumbu-terumbu karang dan juga peninggalan-peninggalan sejarah yang ada di dalam laut. Kesemuanya menandakan dengan jelas kelemahan sistem keamanan laut kita.

Seyogyanya FIPOB V ini bisa menggugah Banten. Menjadikannya sebagai tonggak sejarah untuk kebangkitan Banten sebagai bagian bangsa bahari. Kebangkitan yang dimulai dari dukungan para pemangku kebijakan yang komprehensif. Mulai dari payung hukum, kebijakan ekonomi, pariwisata, revitalisasi pelabuhan bertaraf internasional, trevel, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keamanan lautan baik dari ancaman dalam maupun luar, baik yang datang dari manusia maupun alam.

Seluruh keinginan dan kebijakan pemerintahan mengenai kebangkitan bangsa bahari di Banten perlu keberpihakan anggaran yang tidak sedikit. Oleh karena itu gerakan kebangkitan ini harus dipahami dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat.
Kebangkitan bangsa bahari meng-andaikan kemampuan memanfaatkan potensi sektor kelautan secara optimal. Dengan begitu kita akan mendapati sebagian “rahasia” Allah swt. menciptakan lautan lebih luas daripada daratan. “Dan Dialah, Allah, yang menundukan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”. (An-Nahl, ayat 14). Wassalam.

Terobosan Baru

21:14

Satu satunya cara yang dapat menjamin bahwa hari esok akan lebih menyenangkan dari hari kemarin adalah merencanakan sesuatu, mengerjakannya dan mencapai cita-cita yang telah direncanakan tersebut. Tanpa cita-cita baru berarti kita mendaur ulang cita-cita lama. Jika anda sulit bangun di pagi hari dan anda enggan menyongsong hari baru, tak perlu diragukan lagi bahwa yang terbentang di depan anda adalah jalan lama, bukan jalan baru.

Menurut mantan eksekutif Disney, Mike Vance, mengulang hari kemarin menyebabkan psychosclerosis atau “pembekuan pikiran”. Mengulang hari kemarin juga dapat digambarkan sebagai berdiri kaku kedinginan di atas anak tangga kehidupan. Ini tidak berarti bahwa anda belum pernah menaiki tangga. Anda pernah melangkah, lalu anda berjalan di tempat.

Ketika prestasi di masa lalu, dan bukannya visi untuk maju di masa depan, yang lebih mendominasi banyak mimpi, besar kenungkinan bahwa anda memulai kembali dengan cara lama. Tak seorang pun dalam sejarah yang pernah dikenang dan dihormati karena kepiawaiannya mengulang hari kemarin. Lazimnya, penghormatan hanya diberikan kepada mereka yang berhasil melakukan trobosan baru.

“kehidupan adalah sebuah proses untuk menjadi seseorang/sesuatu. Jika minat anda belum bertambah selama tahun yang lalu; jika anda masih memikirkan hal-hal yang sama, mempunyai pengalaman pribadi yang sama, memiliki reaksi yang dapat diprediksi seperti semula –kepribadian yang mati telah terbentuk”. ------(Jendral Douglas MacArthur).

Sumber: “Menangkap Hari; 7 langkah untuk mencapai hal-hal yang luar biasa di dalam dunia yang biasa-biasa”, Danny Cox & John Hoover.

Minggu, 14 November 2010

Kasih saja makan tanah Pak!

November 13, 2010
18:35

Di akhir pembelajaran seorang guru memberikan motivasi kepada siswanya, “umur kalian sekarang sekitar 13 tahun. Bayangkan 10 tahun ke depan, ketika umur kalian 23-25, ingin jadi seperti apa kalian!!!? Untuk mewujudkan cita-cita yang kalian inginkan itu, maka kalian harus belajar dan terus belajar secara sungguh-sungguh. Sebab, ilmu akan memberi kita segalanya, kemudahan hidup, termasuk kesejahteraan hidup. Kalau kalian tidak belajar dengan sungguh-sungguh, mau makan apa kalian, dan anak istri kalian?”.

Dengan iseng seorang siswa menjawab, “dikasih makan tanah saja Pak!”. Guru kemudian memanggil muridnya itu, “Ardi, keluar, ambil tanah yang kamu bilang tadi.” Dengan raut muka penuh penyesalan Ardi keluar ruang kelas.
Tidak lama, Ardi kembali dengan segenggam tanah di tangannya. Dan Sang Guru langsung menyambutnya dengan perintah beruntun, “ke depan, angkat tanah itu tinggi-tinggi, dan coba jelaskan apa yang kamu maksud dengan mengasih makan anak istri dengan tanah.”

Tentu saja Ardi gelagapan, karena kata-katanya tadi 100 persen bercanda, tidak ada serius-seriusnya. Sang Guru tahu itu, tetapi dia melihat ada kebenaran pada jawaban muridnya itu.

Kemudian Sang Guru angkat bicara, “kalian tahu Batubata, kalian tahu Genteng, bahkan kalian tahu Rumah, atau Padi. Dan kalian tahu besi, emas, perak dan tembaga-tembaga lainnya, semuanya berasal dari tanah. Tanah. Jadi jawaban kamu benar”, sambil menepuk pundak Ardi.

“Tapi Ardi, dan kalian semua harus tahu dan sadar bahwa kesemua jenis barang yang saya sebutkan tadi adalah tanah yang sudah diolah dengan ilmu, diproses dengan pengetahuan dan kemampuan yang cakap. Hasilnya bisa bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia dan bisa menjadi bisnis besar. Mungkin maksud jawaban Ardi begitu, sehingga tanah bisa dipergunakan untuk memberi makan anak istrinya nanti”, Sang Guru menjelaskan panjang.

Semua siswa mengangguk-angguk, Ardi dipersilahkan kembali ke tempat duduknya. Waktunya pulang, semua siswa keluar menggenggam pengetahuan menghadapi tantangan zaman.

Rabu, 10 November 2010

Haji, Kaum Terpelajar & Sumpah Pemuda

Oleh: Ayatulloh Marsai*

Dalam buku, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Penerbit Gramedia Jakarta, 1989), Mohammad Roum, menceritakan bahwa keberadaan kaum terpelajar yang belajar di Nederland, setelah pulang membawa perubahan besar dalam arah perjuangan Indonesia. Selanjutnya, yang juga terbukti kuat melakukan usaha sistematis terhadap kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia adalah para Haji.

Apakah hubungannya dengan Sumpah Pemuda? Tentu saja erat sekali, sebab, peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 berasal dari mata rantai dari semangat juang para pelajar dan Haji jauh-jauh hari sebelumnya. Pangkalnya adalah tahun 1905, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam; tahun 1913 Tiga Serangkai (Setiabudi, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjiptomangunkusumo) mendirikan National Indische Partij; tahun 1925 berdiri Nederland Indonesische Vereniging dan Jong Islamieten Bond; tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia dan Jong Indonesia. Kesemuanya, menurut Pak Roem, mempunyai kesadaran: Bangsa satu, Tanah Air satu dan Bahasa satu.

Dari sekian banyak pribumi, petani dan pedagang, maka kaum terpelajar dan Hajilah yang terusik kesadarannya untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, sekaligus mampu mengambil langkah sistematis dalam rangka pemerdekaan Indonesia. Namun demikian dari sekian banyak kaum terpelajar dan Haji tidak serta merta semuanya punya kesadaran untuk bergerak, berupaya menuju Indonesia merdeka. Indonesia yang memerintah dan mengatur bangsanya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang terpelajar, menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk bekerja kepada Belanda. Sementara yang terjadi dikalangan sejumlah Haji yang berangkat ke Tanah Suci, hanya untuk memenuhi panggilan kewajiban agamanya, tidak lebih.

Pandangan yang jauh ke depan, visi Indonesia bersatu hanya mampu dilihat oleh segelintir kaum terpelajar,dan sedikit para Haji saja. Sementara yang lain bersikap masa bodoh dan tidak peduli terhadap nasib bangsanya di genggaman tangan penjajah.
Sebetulnya kesadaran nasional berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu, Indonesia, tidak cukup lahir dari pemuda yang berstatus terpelajar semata dan Haji semata. Tetapi itu lahir dari siapa saja yang tercerahkan dan dilengkapi dengan instrument yang dibutuhkan.

Orang yang tercerahkan, menurut Ali Syariati, adalah individu yang sadar dan bertanggungjawab untuk membangkitkan kesadaran diri dan rakyat jelata. Dalam hal ini, pemuda yang punya daya ubah, daya dorong, daya kendali untuk berperan aktif dalam menentukan arah perubahan. Itulah pemudah yang tercerahkan. Seperti yang dilakukan oleh para pelajar Stovia dan juga para Haji, yang tidak hanya melaksanakan tugasnya sebagai pelajar dan jama’ah haji, lebih dari itu berperan aktif dalam menentukan arah perjuangan, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan.

Semangat perubahan itu semakin bertenaga ketika mereka mengetahui bahwa Belanda adalah negara kecil, namun cukup lama menjadi tuan rumah di Indonesia. Ini sangat mengganggu pikiran dan perasaan para pelajar. Negara yang kecil bisa menguasai negara besar, Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Faktor ini, tidak bisa dipungkiri, turut menyemangati bangsa Indonesia yang beragam suku, bahasa dan kepulauan, untuk menjadikan negara masa depan mereka menjadi negara kesatuan.

Kaum Terpelajar Indonesia Kini

Yang pasti, secara kuantitas pelajar sekarang jauh lebih banyak dari jaman penjajahan. Sekolah-sekolah sudah tersebar ke seluruh pelosok negeri, perguruan-perguruan tinggi merata ada di setiap kota, membuka kesempatan lebar kepada seluruh generasi muda Indonesia untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan, beberap pemuda yang punya kocek lebih, bisa menikmati pendidikannya di negera-negara maju. Yang terakhir ini, bisa menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan yang lebih modern dibanding dengan fasilitas yang ada di perguruan tinggi yang pertama disebutkan.

Melihat kenyataan ini, tentunya kita patut bergembira bahwa pemuda sekarang mayoritas adalah kaum terpelajar. Timbul pertanyaan kemudian, apakah keberadaan mereka merupakan jaminan untuk terwujudnya Indonesia lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, dan berkeadilan. Apakah para terpelajar itu bisa mewujudkan kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh Pancasila dan UUD ’45.

Jawabannya tentu saja tidak jaminan keberadaan mereka bisa membawa bangsa ini lemih maju. Hanya sedikit dari mereka (kaum terpelajar) yang akan menjadi aktor penggerak kemajuan. Sebagaimana sejarah mengajarkan kepada kita, hanya sedikit orang yang mampu melihat permasalahan dengan kesadaran, dengan tanggungjawab sosialnya untuk mencerahkan rakyat jelata. Mengahrumkan nama bangsa di pentas internasional. Seperti, 5 pemuda Indonesia yang akan berangkat ke London untuk bergabung dengan 1500 pemuda dunia dari 192 negara. Kegiatan yang punya nama “One Young Word” ini akan membahas persoalan-persoalan dunai, dari politik, ekonomi social dan masalah-masalah penting lain di dunia internasional.

Dengan tidak bermaksud` mengecilkan arti penting keberadaan mereka yang berprestasi, namun sebagian terbesar dari kaum terpelajar kita bersikap masa bodoh dengan perkembangan bangsa, malah banyak yang terjerumus pada “dunia-dunia muda” yang cendrung negatif. Lihat saja, “label” yang melekat pada kaum pelajar Indonesia sekarang nampak jelas terlihat di media-media, baik cetak maupun elektronik. Tawuran pelajar sering sekali terjadi, dari jalanan sampai ke lapangan Sepak Bola. Bahkan tawuran ini bisa dilihat sekarang sudah “kuliah” di perguruan-perguruan tinggi. Tidak sedikit perguruan tinggi luntur wibawanya sebagai lembaga pendidikan tinggi oleh “budaya” kekerasan ini; ketika kita melihat pelaku seks bebas tertangkap polisi, dia adalah pemuda dan kaum terpelajar; minum-minuman keras, judi, ngebut di jalanan raya, penyalahgunaan narkoba, sampai pembajak VCD, pelakunya adalah pemuda dan kaum terpelajar.

Belum lama ini, kita juga malu dengan pola protes pemuda dan kaum terpelajar Indonesia terhadap pemerintahan Malaysia, dengan menggunakan kotoran manusia sebagai media protesnya. Terlepas dengan siapa kita berhadapan, tetapi pola yang digunakan tidak menggambarkan perjuangan kaum terpelajar. Kecendrungan perjuangan kaum terpelajar adalah menggugat, menyalurkan rasa nasionalismenya dengan cara-cara rasional dan sistematis.

Pantaskah pemuda-pemuda dengan “label” di atas nantinya memegang kendali bangsa ini. Jawabanya tentu sudah jelas, tidak. Negara kesatuan bangsa, tanah air dan kesatuan bahasa ini akan menjadi petaka jika pewarisnya berprilaku menyimpang seperti itu. Sementara, PR (pekerjaan Rumah) bangsa ini makin bertumpuk. Pengangguran, kemiskinan, kebodohan, kekerasan, putus sekolah, moralitas, masalah lingkungan, pembalakan liar dan trauma akibat bencana. Kesemuanya merupakan pekerjaan besar yang menunggu kebangkitan nasional jilid II yang dipelopori oleh pemuda dan kaum terpelajar yang tercerahkan.

Kesadaran Yang Harus Dibangun

Usia Sumpah Pemuda itu sekarang sudah 82 tahun. Dengan semangat kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa, marilah kita berkarya, menciptakan sesuatu yang baru (kreatif). Kita bikin bangga orang-orang yang 82 tahun lalu, dengan susah menyatukan suku yang berbeda, wilayah kepualauan dengan berbagai bahasa. Kita punya potensi, alam yang kaya, subur, budaya timur yang ramah, etis, terbuka, toleran, damai, adalah identitas yang sudah lama kita miliki.

Ada dua kesadaran yang harus dibangun untuk mengembalikan semangat Sumpah Pemuda. Pertama, kesadaran eksternal, membangun kesadaran bahwa bangsa ini sedang berada dalam ancaman-ancaman bangsa asing. Atau dalam bahasa yang lebih halus, sedang berkompetisi dengan bangsa lain. Kesadaran ini kedengarannya klasik. Namun terbukti ampuh untuk membangun nasionalisme pada tingkatan awal. Seperti, beberapa kasus kita dengan Malaysia, mulai dari masalah-masalah adat kebudayaan sampai batas wilayah, terbukti telah membangkitkan kecintaan kita terhadap Indonesia yang lama terlupakan. Jadi, kesadaran atas ancaman faktor asing ini penting, bukan ancaman perpecahan bangsa, tanah air atau bahasa, melainkan membuyarkan tujuan pembangunan nasional menjadi pembangunan golongan dan pribadi. Paling tidak, ancaman itu kita pahami secara positif dengan semangat kompetisi dalam segala bidang dengan bangsa lain. Sambil belajar dari mereka yang sudah maju.

Kedua,kesadaran internal. Pemuda tercerahkan harus punya kesadaran, bangsa ini merdeka untuk ditumbuhkembangkan menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan sosial. Bangsa yang lahir atas nama rakyat, harus mengarah pada kesejahteraan rakyat banyak, bukan untuk segelintir orang atau golongan. Oleh karenanya, kesatuan bangsa, kesatuan tanah air dan kesatuan bahasa dalam Sumpah Pemuda 1928 harus disertai, dalam bahasa Es Ito (Novel Negara Kelima), kesatuan jiwa.

*) Penulis adalah Guru Sertifikasi SKI
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Tinggal di Dukumalang, Kel. Tegal Bunder, Purwakarta – Kota Cilegon

Sabtu, 06 November 2010

Celoteh ter-pinggir-kan Lingkar-an

Jalan berlubang, penuh air, kotor dan menganggu. “sprooot”, air itu menyembur kearahku. “sial, dasar bajingan, gak punya mata”, umpatku. Ah, tapi gimana lagi jalan di kota ini memang seperti adanya. Sudah bertahun-tahun, tak terjamah oleh APBN, tidak juga oleh APBD, entah mereka ngelayab ke mana?!, gak jelas. Gak setiap tahun juga gak apa-apa, yang penting kuat, kuat, sekali lagi yang penting kuat. Kuat itu, bisa bertahan sampai satu preode kerja Pak Presiden atau Pak Walikota!!
Disisi jalan, semak hijau tinggi, hampir bersentuh dengan kabel listrik, menjulang. Bukan indah, tapi tak terawat. Yang punya sawah menganggap ini kewjiban pemerintah desa. Dasar orang kampong, selalu mengandalkan pemerintah, emang gak bisa bersih-bersih taman sendiri pake uang sendiri. Bisa khan?! Bukan begitu, tapi khan pemerintah punya anggaran, kalau gak dipakai mau dipake buat apa? Beli mobil? Beli motor? Ah, jalannya juga jelek. Jalan kaki aja sih.
Jalan sepanjang kurang lebih 4 km ini juga tidak sepi dari “kuburan polisi”. Ah, polisi, mentang-mentang tugas di jalan, sampai dukubur juga di jalan. Luar biasa pengabdiannya. Sayang, kesetiaanmu kepada jalan, justru menganggu pengguna jalan. Kau malang melintang, menunda-nunda perjalanan. Kendaraan munclak-munclak, gak beres. Kanvas remku cepat habis, sudah kotor akibat jalan berlubang. Lama-lama aku bisa miskin gara-gara aku punya motor. Motor sialan. “Bukan saya yang sialan”, mungkin motorku jawab begitu. Ya, ya, jalan yang sialan. “lha kok saya yang sialan”, mungkin kata jalan begitu. “siapa yang mau jadi jelek, kalian gak tahu sih, aku begini karena aku dianaktrikan, semenjak aku punya “adik” lingkar itu, aku dilupakan, aku gak pernah dikasih perhatian, gak dipoles, gak ditengok, tengok. Jadi yang salah siapa? Ya, ya…………… Bapaklah….. yang salah, kenapa saya tidak diperhatiakan supaya saya layak jadi teman motor kalian untuk menjalani perjalan hidup ini. Kalau gak mampu, lha ya bok jangan punya anak lagi! Nanti, anak yang lain gak ternafkahi….. Ah, tulisan kacau!!! Ya iyalah, inilah “anak kandung” keadaan yang kacau!
Karangtengah sawah, 31 Oktober 2010
Ayatbanten.

Selasa, 02 November 2010

"Pedekate"

Senin, 01 Nopember 2010
03:58

Ibarat orang pacaran, ketika ada saingan maka kita akan sekuat kemampuan untuk bisa mendapatkan perhatian dari pacar kita. Ibarat "pedekate" maka kita memberikan yang terbaik kepada perempuan yang kita harapkan menjadi pacar kita itu. Itulah hikmah yang bisa saya ambil dari polemic antara Pemkot vs KS-Posco berkaitan dengan kepentingan Pemkot untuk membuat Pelabuhan Kubangsari pada satu sisi, dan pembangunan Pabrik Baja oleh KS-Posco di sisi lain.

Lihat saja dalam beberapa bulan terakhir, di media cetak local misalnya, kita pasti dengan mudah bisa menemukan berita kegiatan amal yang dilakukan oleh PT KS. Misalnya, “KS Group Pedulai Kesehatan: Pengobataan Gratis Bagi Warga Kecamatan Anyar”, “PT KS Bantu Korban Anyer” dan banyak lagi. Tentu kegiatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi, secara kwalitas pelayanan kesehatan Rumah Sakit KS sudah dimaklumi oleh masyarakat, ketimbang rumah sakit pemerintah misalnya, karena tergolong mahal.

Yang paling menggembirakan dari sekian berita tentang KS di media massa adalah pengangkatan 99 karyawan outsourcing menjadi organic. Belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga ini menjadi hikmah tersendiri untuk masyarakat Kota Cilegon.
Kilas Balik KS Untuk Masyarakat Lokal

Menjadi pengandaian tersendiri untuk penulis, seandainya perhatian KS sebesar ini selama berpuluh tahun di berdiri kokoh di Cilegon, mungkin tingkat penganggur di kota ini tidak senumpuk sekarang ini. Seandainya perhatian KS terhadap warga sekitarnya berlangsung dari dulu, mungkin generasi diatas saya tidak perlu ke RSUD Serang ketika butuh perawatan.

Tetapi, akan menjadi sangat naïf kalau kita sibuk terus berandai-andai terhadap sesuatu yang sudah berlalu. Akan lebih real rasanya berharap kepada pihak KS untuk tidak menghentikan “kebaikannya” kepada masyarakat local. Disamping karena kewajibannya memang seperti itu, juga supaya tidak timbul anggapan kalau PT KS hanya “baik” ketika ada maunya, yakni mendapatkan simpati masyarakat local sebagai modal awal mendapat dukungan public.

Dan, tidak kalah pentingnya, Pemkot sudah semestinya belajar dari ujung polemic ini. Entah dari berbagai segi, diantaranya pelayanan public. Apakah selama ini Pemkot sudah bisa memaksimalkan pelayanan public terhadap masyarakat kota cilegon. Terutama kesehatan?, terutama penerimaan CPNS? Tidakkah sudah menjadi rahasia umum kalau pelayanan kesehatan gakin sangat “itung-itungan” dan “berbeda”. Tidakkah penerimaan CPNS juga sudah menjadi rahasia umum, yang berhasil masuk adalah orang-orang yang “tersambung” dengan kekuasaan, baik langsung maupun tidak langsung? Hitung saja umpanya, keluarga pejabat-pejabat yang jadi PNS! Dan yang langsung misalnya ketua organisasi sayap partai, atau organisasi underbrow kekuasaan? Atau berapa persen PNS yang berlatar belakang keluarga miskin? Tentu semua pertanyaan ini tidak perlu dijawab, sebab semuanya sudah menjadi rahasia umum. Apakah rahasia umum tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai ukuran kebenaran? Sangat kuat, karena walaupun rahasia, tapi masyarakat umum sudah tahu.

Agaknya, ibarat orang pacaran, KS lebih bisa mendekati masyarakat “bil hikmah” untuk bisa mendapatkan simpatik masyarakat lokal, ketimbang Pemkot. Akhirnya, jelas bagi masyarakat mana yang harus dipilih untuk menjadi “pacar” yang penuh perhatian. Semoga KS tetap setia dan tetap pada kesetiaannya, sebab jelas keberlangsungannya tidak lepas dari dukungan dan doa masyarakat local. (Ayatbanten, Dukumalang, 01 November 2010).

Senin, 01 November 2010

Juru Hikmah Semua Musibah

Jumat, 29 Oktober 2010

Bencana alam datang silih berganti di negeri ini, belum juga beres kita mencari sebab-akibat serta solusi bagi bencana banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat; sekarang Gunung Merapi meletus menggemparkan tanah Yogyakarta; Tsunami menghantam daratan Sikakap, kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Sudah selayaknya musibah beruntun itu berhikmah bagi bangsa kita. Hikmah yang bisa membawa bangsa kita lebih baik, tanggap terhadap bencana. Bergegas tidak hanya ketika sudah terjadi, namun juga siap siaga sebelum musibah datang.

Sebagai bangsa beragama, kita juga harus “menyelami” keinginan Tuhan dengan bencana alam yang datang. Sebab, pasti ada korelasi yang erat antara bencana alam dengan perbuatan manusia secara pribadi maupun kolektif. Termasuk, pasti ada kaitan antara bencana alam yang datang dengan kebijakan dan peraturan pemerintah yang lahir dan dilakukan oleh bangsa kita.

Menyelami keinginan Tuhan tidak se-repot menuruti keinginan manusia. Tuhan sudah jauh-jauh hari menjelaskan keinginan-keinginannya dalam Kitab-Nya. Keinginan Tuhan tidak keluar dari nalar manusia, sebab kelebihan manusia atas makhluk yang lain hanya sebatas di nalar itu. Maka selayaknya kita sekarang, dengan musibah bencana alam yang datang beruntun ini, mencari hikmah atau solusinya dengan nalar yang kita miliki.

Manusia berkewajiban mencari hikmah atas semua musibah itu. Sayangnya, ada sedikit masalah dengan pemahaman sebagian orang tentang hikmah ini. Sebagian orang memahami hikmah secara dangkal. Hikmah bagi mereka adalah keburukan berganti “kebaikan” pada diri yang terkena musibah. Sebagai contoh, banyak orang yang berpendapat “hikmah tsunami di Aceh adalah bersatunya kembali rakyat Aceh dan mau mengaku sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sementara, tsunami-tsunami di daerah lain masih berdatangan tanpa bisa di temukan jalan keluarnya. Bagaimana supaya tsunami tidak memakan korban?, itu tidak bisa ditemukan solusinya. Apakah bangsa yang “terjatuh pada lubang yang sama” ini, bangsa yang mau mengambil hikmah dari semua kejadian? Tentu, jawabannya, tidak. Bangsa kita belum menemukan hikmah dari semua musibah bencana alam yang datang.

Hikmah itu Solusi
Pertanyaan selanjutnya, apakah bangsa ini tidak ada kemauan untuk merubah nasib, dari bangsa yang penuh musibah menuju bangsa yang penuh berkah. Kalau mau, paling tidak ada dua hal yang bisa lakukan. Pertama, menghentikan eksploitasi alam, dengan dalih apapun, sambil memperbaiki yang rusak secara sistemik oleh pemerintah. Dalih yang paling sering merusak alam Indonesia adalah investasi, menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menambah pendapatan negara. Sungguh bangsa yang tidak cerdas, bergantung pada modal asing, hutang yang melimpah, semua yang berujung pada kemajuan semu. Sedangkan, rakyat yang menjadi sandaran investasi tadi, tidak hanya tetap nganggur tapi juga terkena “amukan” alam yang dieksploitasi.

Keuntungannya? hanya untuk sebagian orang saja. Tidak rumit untuk me-logika-kan kondisi terakhir ini, cukup dengan membandingkan rumah pejabat dengan rumah rakyatnya. Silahkan Anda teliti di daerah masing-masing. Mungkin, hasilnya jauh dari contoh pemimpin-pemimpin yang adil misal, Muhammad Rasulullah, Umar bin Khatab dan Umar bin Abdul Aziz.

Hal kedua yang bisa kita lakukan untuk merubah nasib bangsa kita adalah memaksimalkan peran para ahli yang berkaitan dengan alam. Karena hanya mereka yang bisa melihat gejala-gejala alam secara ilmiah sekaligus memberi solusi secara ilmiah juga. Ini solusi yang saya pahami dari ayat al-qur’an (2:269), “Allah menganugrahi al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak dan hanya ulul albab-lah yang dapat mengambil pelajaran.”

Dalam ayat ini jelas, ulul albab atau ilmuan yang menjadi kunci hikmah atau solusi dari semua masalah, termasuk musibah-musibah yang menimpa bangsa kita. Pemerintah harus memberi kesempatan yang fair dan fasilitas yang memadai untuk ulul albab, meneliti, menyelidik gejala dan seterusnya, kemudian memberi solusi. Mungkin pemerintah akan berkilah, “sudah, sudah kami lakukan!”, dengan menyediakan alat peringatan tsunami, gempa, bahkan gunung api, nyatanya belum bisa mengurangi korban yang jatuh.

Masalahnya, mungkin pemerintah belum memberikan tempat yang layak untuk para ahli itu di negara ini. Selama ini, lebih baikkah posisinya ketimbang investor?! (Dukumalang, 29 Jum’at 2010: Ayatbanten)