Sabtu, 29 Desember 2012

MEMBACA “BUMI MANUSIA” #1: ‘Perjumpaan Dengan Pramoedya Ananta Toer


Oleh Ayatulloh Marsai

Perjumaanku dengan Pramoedya Ananta Toer adalah lewat kutipan-kutipan yang aku temukan di tulisan-tulisan orang. Aku sendiri lupa siapa dan dimana tulisan itu aku temukan. Bahkan kutipan-kutipan khusus kata-kata bijak yang ada di blog. Ya, aku ingat, ada juga orang yang mengkhususkan menuliskan kutipan Pram, dari novel-novel yang dia baca.

Meski hanya membaca kutipan-kutipan, rupanya, itu cukup membuatku tertarik untuk mengutip kembali, ketika aku menulis. Kutiapan itu, “Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” Ya, kata menarik ini aku kutip ketika menulis sebuah esai, “Menulis, Bekerja Untuk Keabadian.” Sempat tulisan ini aku kirim ke media massa, namun tidak dimuat. Aku iseng mengirimnya ke harian blog online, sunannungdjati.blogspot.com, ternyata dimuat.

Sampai sekarang, aku belum menemukan aslinya, di buku yang mana Pram menulis katakata itu. Nanti, pasti aku menemukannya. Aku sedang membacai karyakaryanya.

Lalu, entah di mana saya menemukannya, katakata Pram begitu kuat memegangi kepalaku ini: “seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Meski tidak paham betul bagaimana maksud katakata ini, aku merasakan kekuatannya. Sebab, adil sejak dalam pikiran, terasa tidak biasa dikatakan orang, juga tidak aku sadari selama ini. Ternyata: pikiran memang mengendalikan apa saja, termasuk keadilan pun harus dimulai sejak dalam pikiran.

Ternyata, kutipan terakhir, menjadi ikon penting di caver belakang buku Pram, Bumi Manusia. Buku ini sendiri aku temukan di pojok Toko Buku Gramedia, Bekasi, ketika aku sedang mendapat tugas “Workshop Pelajaran Keterampilan” di hotel Horison. Aku sempatkan jalanjalan di toko ini di selasela waktu istirahat. Sudah aku niatkan sejak aku melihat tidak jauh dari tempat kegiatan ada toko gramedia. Sayang sekali uang sakuku hanya cukup untuk mengambil satu buku saja. Aku ambil kemudian buku pertama: BUMI MANUSIA.

Konteks bagaimana katakata itu muncul, adalah dialog antara Minke (tokoh utama) dengan seorang bekas tentara kolonial asal Prancis. Bekas tentara ini menasehati Minke yang tidak lain siswa H. B. S. waktu itu, “sebagai terpelajar kamu harus adil sejak dalam pikiran.” Kenapa nasehat ini bisa muncul. Minke sedang terjebak pada pola pikiran orang kebanyakan: bahwa seorang perempuan gundik Belanda, Nyai Ontosoroh, tidak bermoral, tidak beradab. Jadi, siapa-siapa yang hidup serumah dengannya, sama tidak beradabnya. Sebab, tinggal serumah, sampai mempunyai keturunan, tidak diikat dengan tali pernikahan; tidak duduk di bangku sekolah, sama dengan bodoh; tidak duduk di bangku sekolah tidak bisa berbuat apaapa, apalagi melakukan kebaikankebaikan.

Seorang Prancis itu tidak mau, Minke berfikir sama dengan orang pada umumnya. Minke harus adil sejak dalam pikiran, dengan menyelidik kebenaran pikiran orang-orang itu terhadap Nyai Ontosoroh; Minke akhirnya sadar, bahwa Nyai Ontosoroh yang tidak pernah duduk di bangku sekolah seumur hidupnya adalah perempuan Jawa yang penampilan fisik dan pengetahuannya, tidak kalah dengan siswa H. B. S. Nyai ternyata sang otodidak ulung; Dan, Minke juga mengakui kehebatan Darsam, seorang Madura yang mengabdi setia kepada majikannya (Nyai Ontosoroh), yang berani melawan ketidakadilan dengan kemampuan fisiknya.

Akhirnya, perlawanan terhadap ketidakadilan adalah semangat yang harus ada pada setiap orang. Terlepas apa pun yang kita miliki. Orang tidak akan rendah atau tinggi dengan apa yang dia miliki, tetapi oleh apa yang dia lakukan terhadapnya.

Cilegon, 19 Desember 2012

Kisah Nabi di Bukit Shafa & Dongeng Harimau


Oleh Ayatulloh Marsai

“Jika aku katakan akan keluar seekor kuda dari dalam bukit ini, apakah kalian percaya?”
“Kami percaya!” serentak orang-orang yang hadir menjawab.

Sepenggal dialog itu terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan masyarakat Quraisy Mekah. Nabi mendapat perintah untuk menyampaikan agama tauhid secara terbuka, setelah lama menyampaikannya secara tertutup. Nabi mengumpulkan orang Mekah di bukit Shafa. Lalu Nabi berkata: “Jika saya katakan dari bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian percaya?” Semuanya menjawab percaya.

Bisa segampang itu mereka percaya kepada Nabi. Padahal, apa yang dikatakan Nabi tersebut hal yang diluar nalar logis: dari dalam bukit keluar kuda.

Bukit di sana tidak lebih dari gundukan batu yang besar. Tidak ada pohon apalagi hutan. Semuanya batu. Hingga kalau dikatakan akan keluar seekor kuda darinya, itu ajaib. Dan, orang-orang yang hadir percaya itu, karena yang mengatakannya Nabi. Bukan karena mereka beriman kepada Nabi, melainkan dalam jejak rekam mereka Nabi, dari kecil hingga ada di hadapan mereka sekarang ini belum pernah kedapatan berbohong. Nyatanya ketika Nabi menyampaikan maksudnya untuk mengajak mereka untuk menyembang Allah, tidak menyekutukan-Nya, mereka banyak yang berpaling.

Kita bandingkan dengan sebuah kisah, mungkin anda sering mendengarnya, tentang seorang yang berteriak minta tolong. “Tolooong, harimau. Ada harimau!”

Orang-orang kampung tergopoh mendatangi asal suara minta tolong itu. Apa yang mereka lihat? Orang yang berteriak minta tolong itu sedang bersantai sambil nyengir, dan berkata, “Bohongan, cuma bercanda!”
Besoknya, orang-orang kampung mendengar teriakan minta tolong yang sama dengan kemarin. Mereka tidak peduli. Anggapan mereka, pasti si fulan sedang bercanda lagi, ingin mengelabui orang-orang kampung. Ternyata, kali ini benar. Seseorang mendapati si fulan mati dicincang harimau.

Di sebuah dusun, di belakang rumah, adanya harimau turun gunung mungkin saja terjadi. Tetapi, orang-orang kampung tidak percaya kalau fulan melihat harimau. Sebabnya fulan pernah berbohong. Orang-orang tidak mau dibohongi oleh fulan lebih dari satu kali. Hingga mereka tidak mempedulikannya lagi.

Begitu pun masyarakat kita sekarang. Kenapa sulit percaya kepada orang lain, sebab mereka pernah dibohongi, oleh satu dua orang. Entah itu orang terdekat, atau teman jauh bahkan orang lain yang tidak tahu asal-usulnya. Apalagi hanya melihat dari televise, spanduk di pinggir jalan, halaman iklan di koran dan majalah atau buku biografi (yang muncul menjelang pemilu).

Meski yang dikatakan sangat mungkin dilakukan, bahkan mudah, namun tidak mudah mendapat kepercayaan dari masyarakat. Persoalannya sekarang bukan isu, topik atau ideologi tapi siapa yang mengatakannya. Siapa yang berjanji? Bagaimana jejak rekamnya?

Pertanyaan ini muncul dari orang-orang yang mau memilih orang baik, pemimpin amanah yang akan membawa perubahan bangsa. Bukan dari orang-orang yang ikut arus “kesesatan” zaman ini: memilih orang yang sudah berkontribusi material kepada dirinya, kepada kelaurga dan golongannya.

Pemilu, momen penting untuk merubah kondisi bangsa ini. Pemilih mestilah pandai membaca calon, bukan hanya program. Mana calon yang cerdas, kuat dan berani melawan “kekuatan luar” dan “godaan dalam,” demi menegakkan amanat kepemimpinnya. Menepati janji kampanyenya.

Sebab, dalam perjalanannya nanti, dia akan banyak menghadapi tantangan. Tantangan itu bisa berupa kekerasan dan ancaman, dan juga sering berupa rayuan dan bujukan manis. Bahkan boikot.[]

Senin, 26 November 2012

Ada "Pesta Anak Yatim" di Banten Lama


Al-hamdulillah, Wisata Sejarah tahap pertama sudah terlaksana dengan selamat. Kemarin, 23/11/'12. Wisata Sejarah saya agendakan setiap tahun pada mata pelajaran Sejarah Kebudayan Islam kelas 9 MTs Al-Khairiyah karangtengah. Tempat tujuan Banten Lama, meliputi: Museum Kepurbakalaan Banten, Istana dan Benteng Surosowan, ziarah di makam Sultan Maulana Hasanudin, bermain dan belanja di arena alun-alun Banten, Istana Kaibon, Benteng Speelwizk, dan wihara. 

Seperti biasa setiap perjalanan punya kesan tersendiri, baik dari tempat-tempat yang kami kunjungi atau dari apa-apa yang terjadi di sana. Untuk tempat, hanya beberapa saja yang berubah dalam dua bulan terakhir ini. Misalnya, tempat tolilet dan tempat belanja. 

Sudah ada toilet yang benar-benar disediakan untuk pengunjung. Benar-benar, karena toilet-toilet yang ada sebelumnya itu adalah usaha masyarakat sekitar dengan tarif tertentu. Sementara yang sekarang ini, dibangun oleh salah satu perusahaan di Banten melalui dana CSR-nya. Jadi, toilet itu benar-benar umum sebagai fasilitas ziarah, bisa digunakan gratis oleh pengunjung.

Seandainya banyak perusahaan membangun fasilitas umum di sini, setahap-demi-setahap, fasilitas akan lengkap. 

Tempat belanja. Tempat belanja, semakin semerawut saja. Kita akan dibuat capek berjalan menuju tempat berziarah atau Masjid Agung. Bagaimana tidak, jalan yang tersedia bagi kita diputarputar serupa spiral, yang kalau diluruskan, perjalanannya sebetulnya singkat. Tapi justru dibuat berputarputar, melelahkan! 

Entahlah, kekuatan apa yang menghalangi penataan... hingga alun-alun Banten ini tak kunjung apik. Atau, hah... kelemahan apa yang membuat pihak berwenang seolah tak mampu berbuat apa-apa. Bagi saya, perdagangan penting di lokasi sekitar wisata dimana pun. Tetapi, sebagai lokasi wisata, keindahan, kenyamanan, pelayanan ada jauh di nomor urut depan. Tanpa keapikan dan keprigelan dalam menata tempat wisata, sama saja menghianati makna wisata itu sendiri. 

Upacara Peduli Yatim

Ketika rombongan saya beranjak meninggalkan Masjid Agung, menuju Istana Kaibon, saya bertemu dengan rombongan motor, berkonvoi menuju Majid Agung. Ada juga mobil: mobil pribadi, angkot dan juga bus. Di depan masing-masing kendaraan itu tertempel kertas bertulis: "PEDULI YATIM." Saya tanya pemandu, "apa ini Pak?" "Ini pesta yatim, masyarakat sekitar Banten punya kebiasaan ini setiap tahun setiap bulan Muharram." "Kegiatannya apa saja, Pak?" sambung saya. "Banyak, Pak. Berziarah, mengarak anak yatim, ada sunatan massal, dan juga santunan. Banyak donatur yang ikut serta menyantuni yatim yang mereka bawa." 

Luar Biasa. Ini tradisi unik. Memang semua umat Islam tahu, Muharram adalah bulannya anak yatim. Tapi, setiap wilayah punya cara unik mengekspresikannya. Nah, pemandangan di atas adalah cara masyarakat sekitar Banten Lama mengekspresikan bulan anak yatim ini.

Lama saya merenungi pemandangan bertajuk "PEDULI YATIM" itu. Saya pikir, ini dia, objek potensial wisata budaya di sekitar Banten Lama. Budaya 10 Muharram. Ini juga corak keberagamaan masyarakat Banten.

Catatan perjalanan kemarin itu, ternyata di Banten Lama, tidak hanya kaya dengan benda-benda cagar budaya dan sejarah namun juga ada cagar tradisi/ upacara yang masih rutin berlangsung di sana. Wassalam!

Cilegon, 24 November 2012

AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs Al-Khairiyah Karangtengah - Cilegon.

Selasa, 13 November 2012

Karena Bangga Dengan Banten Lama, Kita Bangga Menjadi Orang Banten


Selasa, 13 Nopember 2012
K
omplek Banten Lama selalu punya daya tarik besar untuk dikunjungi. Setidaknya, itu yang saya saksikan langsung dari dua kunjungan terakhir dalam bulan ini. Satu hari setelah lebaran Idul Adha, istri dan ibu mertua mengajak saya ke sana. Bersama anak-anak. Anak saya yang kedua sudah berusia tujuh bulan, belum pernah ke Banten Lama. Itu kata istri. Dalam pemahaman istri, anak-anaknya harus pernah berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Meski tanpa argument, saya tidak bisa menolaknya.

Gerimis yang berlahan menjadi hujan deras, hanya membuat rombongan saya berteduh sementara. Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Hujan lagi, berteduh lagi, dan seterusnya. Hingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam, akibat hujan yang tidak henti-henti perjalanan ke Banten Lama, dari Cilegon, sampai tiga jam-an. Hujan itu sama sekali tidak membuat kami surut semangat untuk mengunjungi Banten Lama.

Keluarga saya hanya satu dari sekian gambaran antusias masyarakat lokal Banten terhadap keberadaan Banten Lama. Para pengendara motor yang lain, di depan dan belakang kami, juga tidak sedikit. Dan mereka semua seperti tidak mempedulikan hujan yang mengguyur. Itu dari arah Cilegon, belum lagi kalau kita membayangkan dari arah yang lain. Sama ramainya.

Benar saja, sampai di Banten Lama, kepadatan pengunjung seperti air kali yang mengalir menuju satu pusaran: pintu makam Maulana Hasanudin. Dalam sela-sela ritual ziarah, azan duhur berkumandang. Suara  pemandu ziarah dipelankan dengan meletakkan pengeras suara. Ziarah terus berlanjut.

Karena sudah duhur, sehabis ziarah kami langsung menuju ke Masjid Agung Banten untuk menunaikan shalat. Kondisi yang dingin karena kehujanan di jalan tadi, saya, dan agaknya juga orang-orang lain gampang sekali kebelet buang air kecil. Orang-orang ini sibuk sekali mencari kamar kecil. Susah. Disekitar Masjid Agung tidak ditemui tempat ini. Hanya tulisan “WC UMUM” bertebaran di mana-mana dengan disertai tanda panah.

Saya terpaksa mengikuti arah anak panah itu, meskipun jauh dari Masjid Agung. Setelah berjalan sekitar 50 meter berjalan di gang-gang, baru saya menemukan tempat yang saya cari, “WC UMUM.” Di depan WC ada kotak amal, bertulis: Rp. 2000,-. Ah, tidak peduli sudah kebelet. Meskipun aneh, ditempat wisata seramai ini fasilitas umum yang benar-benar umum tanpa biaya tidak tersedia. Jadi WC yang ada ini punya warga. Atau tepatnya usahanya warga sekitar mencari penghasilan.

Selesai buang air kecil saya kembali ke Masjid Agung untuk menunaikan shalat zuhur. Di tempat wudu saya ditanya sama ibu-ibu, “Pak, ari WC dimana yah?” Saya langsung menunjuk arah tadi saya buang air kecil, sambil saya bertanya: “Ibu dariman?” “Bogor. Nuhun nya.” Ibu itu pergi terburu-buru ke arah yang saya tunjukan.

Dalam hati saya merasa malu sebagai orang Banten. Entahlah, sejak saya rutin setiap tahun ke sini (Banten Lama), bahkan lebih dari sekali, saya merasa bukan sebagai tamu lagi di tempat ini. saya kok sekarang merasa sebagai tuan rumah. Merasa berkewajiban melayani para tamu, lebih-lebih tamu dari luar kota seperti ibu tadi. Sebagai tuan rumah, saya malu menjadi orang Banten dengan keadaan ini. Saya yakin ibu tadi tidak sendiri. Dia pasti datang bersama rombongan. Dan, tidak hanya rombongan ibu tadi yang dari luar kota. Pasti banyak rombongan-rombongan yang lain yang punya masalah yang sama dengan si ibu tadi: kesulitan mencari toilet.

Saya lupa cerita, kalau toilet yang saya gunakan tadi bau-nya luar biasa. Mungkin karena saking banyak orang yang menggunakan dan belum sempat dibersihkan, juga karena habis hujan, kondisinya sangat becek. Saking baunya, sampai ada orang muntah-muntah di dalam. Hah, malu jadi orang Banten!

Itu sebulan yang lalu. Sabtu kemarin, 10 November 2012, giliran ibu saya mengajak saya ke Banten Lama. Tujuannya sama dengan istri dan ibu mertua saya sebulan yang lalu, yakni berziarah di makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Bedanya, ibu berziarah karena karena nazarnya. Ibu bernazar kalau dua anaknya, adik-adik saya, diterima kerja di tempat semula mereka berkerja, ibu akan berziarah.

Berbagai macam maksud dan tujuan orang berziarah ke Banten Lama. Kalau tadi istri saya bertujuan menziarhkan anak kami yang kedua, ibu karena nazar, maka kali ini, sambil menunggu giliran masuk ke ruang ziarah, saya berbincang dengan dua orang ibu-ibu, dalam rangka apa mereka berziarah ke Banten Lama ini.

“Sudah program rutin Pak Lurah Suheni,” jawabnya.
“Berapa mobil?”
“dua belas.”
“Ibu rombongan pengajian?”
“Nggak, siapa yang mau saja. Pak Lurah menaggung ongkos kami setengahnya.”

Saya hanya bisa bilang: o, mungkin ini ziarah politik. Tapi saya tidak berminat mendalami sisi politik ini. Lagi-lagi yang menarik buat saya adalah antusiasme yang besar masyarakat Indoensia terhadap wisata ziarah di Banten, sehingga menjatuhkan pilihan wisata mereka di Banten Lama.

Hal ini satu kehormatan bagi kita orang Banten. Ini juga berkah dan bukti keabadian dari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang suci atau para pejuang, penyebar Islam di Banten ini. Maka sudah sepantasnya, kehormatan yang diberikan oleh para wisatawan di atas, kita balas dengan memberikan fasilitas terbaik. Supaya mereka punya kesan bagus setelah pulang ke kotanya masing-masing. Jangan sampai mereka terkagum-kagum hanya kepada orang tua kita, para pejuang yang dimakamkan di Banten Lama ini, sedangkan kepada anak cucunya, generasi Banten sekarang, malah mengumpatnya. Gara-gara kita tidak bisa menjaga apa yang mereka tinggalkan.

Tetapi tidak. Saya melihat titik terang di sebelah kanan Masjid Agung. Di sana ada bangunan baru, dekat pendopo. Karena penasaran saya mendekati bangunan itu. Ternyata, al-hamdulillah! Ini bangunan WC UMUM. Saya masuk ke dalam bangunan yang bertulis “pria.” Saya menghitung jumlah toilet di dalamnya, ada 14 kamar. Tempat buang air kecil ada 12, dan cuci tangan ada 4 buah.

Untuk detil di WC perempuan saya tidak tahu. Tapi, kira-kira sama lah. Yang penting sekarang, ada titik terang: penataan di komplek Banten Lama sudah mulai terlihat membaik. Dan, saya akan menyambut dengan bangga tamu-tamu yang datang dari luar kota bahkan luar negeri. Bila mereka bertanya dimana letak tolilet, jari telunjuk saya akan dengan pasti menunujuk WC yang keren itu.

Ke depan, tidak hanya WC, fasilitas-fasilitas yang lain juga mudah-mudahan segera menyusul. Tidak boleh dilupakan ketertiban juga masih perlu pembenahan. Semuanya harus lebih baik dari sebelumnya. Karena kita bangga dengan Banten Lama, bangga menjadi orang Banten. Amin! 

Karangtengah
Cilegon - Banten

Senin, 12 November 2012

Fokus Memperkenalkan Banten


Senin, 12 Nopember 2012

Selamat pagi. Hari ini saya punya jam di kelas 9, jam ke-2. Guru piket menyarankan saya untuk masuk, sebab guru yang seharusnya masuk jam ke-1 tidak hadir. Mungkin sakit, atau ada orang hajatan. Untuk hal yang terakhir saya juga sering mengalami. Betapa berat meninggalkan urusan permintaan masyarakat ini, baik yang langsung minta maupun tidak meminta. Tidak didatangi bagaimana… didatangi meninggalkan tugas mengajar.

Sering saya meninggalkan mengajar karena ada yang hajatan. Seharusnya ini tidak boleh terjadi, apalagi sering. Kalaupun mau, ya jarang-jaranglah. Jangan sampai tugas utama, dan juga berkaitan dengan banyak orang (umat) terbengkalai. Mudah-mudahan untuk ke depan saya bisa memilih tugas utama, dan masyarakat mau mengertinya. Juga guru-guru yang lain. Supaya pembelajaran di madrasah berjalan dengan tertib.

Selamat pagi. Kelas 9 saya rencanakan untuk fokus pada Kerajaan Islam Banten. Ini penting, supaya mereka mengenal lebih banten ketimbang yang lain. Jangan sampai pengetahuan mereka tentang daerah sendiri kurang. Kurangnya pengetahuan tentang diri sendiri (daerah sendiri) akan menyebabkan disorientasi diri. Perkembangan tanpa arah. Tidak jelas dari mana – mau kemananya.

Selain pembelajaran di kelas, saya juga seperti tahun-tahun sebelumnya, akan mengajak mereka ke situs Banten Lama. Supaya mereka menyaksikan sendiri sisa-sisa kebesaran Kesultanan Banten yang dibicarakan di kelas, baik yang tertulis di buku maupun penjelasan saya selaku guru. Akhirnya kan bertemu, antara konsep dengan realitas. Saya juga yakin akan timbul berbagai rasa, ketika mereka menginjakkan kaki langsung di puing-puing kesultanan. Rasa inilah sebagai nilai lebih, bahkan yang utama, karena saya yakin itu yang akan mendekatkan mereka pada kesadaran sejarah.

Sebetulkan tahun ini bukan kali pertama. Saya sudah melaksanakan ini sejak 4 tahun yang lalu. Efeknya luar biasa. Mereka bersemangat, antusias mencari tahu apa yang mereka temukan di sana. Yang paling penting, materi sejarah bisa terkenang dalam jangka waktu yang lama. Khas. Tidak ada sampai detik ini mata pelajaran yang mau mengemong anak-anak ke luar kelas dalam satu hari full. Mata pelajaran, yah. Kalau ektrakulikuler ada lah: pramuka, ciplukan, dan dll.

Oleh sebab itu saya pertahankan program ini. Kepala Madrasah juga kemarin bertanya, bagaimana program ke Banten Lama. Saya jawab, bagaimana yah? Sengaja saya jawab dengan kalimat bertanya lagi, karena ingin mengetahui tanggapan beliau tentang program ini. Maklum, program ini lahir dari saya sendiri, bukan program sekolah. Jadi, hitung-hitung evaluasi tanggapan Kepala Madrasah terhadap program ini. “Ya, lanjukan saja, karena angkatan-angkatan sebelumnya pergi ke Banten, nanti kalau angkatan sekarang tidak berangkat, nanti gimana githu anak-anaknya.”

Syukurlah Kepala Madrasah merestui program ini. Meskipun jawabannya lebih politis: mempertimbangkan protes siswa kalau program ini dihentikan, daripada akademis: tujuan, manfaat dan kegunaan program ‘wisata sejarah’ ini.

Tetap semangat. Protes siswa, itu artinya program ‘wisata sejarah’ yang saya gagas diminati siswa.

Karang Tengahaswah, Cilegon – Banten.

Minggu, 11 November 2012

Nazar Ibu


Minggu, 11 Nopember 2012

S
ABTU, 10 Novermber, saya diajak ibu ke Banten (Lama) untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Maulana Yusuf. Kebetulan saya tidak ada kesibukan saat itu. Ya, hitung-hitung lihat keadaan di sana, saya mengiringi ibu ke Banten (Lama). Sejak ayah meninggal, setahun yang lalu, ibu selalu meminta saya untuk mendampinginya kalau ada keperluan. Sebagai anak pertama, saya mungkin dianggap paling bertanggungjawab. Dan, kebetulan paling punya waktu luang ketimbang saudara-saudara saya.

Sebelum berangkat saya bertanya kepada istri, “ibu ke Banten (Lama) dalam rangka apa ma?” Jawab istri, ibu pernah bernazar kalau Mab dan Agus, dua adikku, diterima kembali berkerja di tempat kerjanya semula, dia akan berziarah ke Banten (Lama). Ternyata do’a ibu dikabulkan, dua adik saya kembali bekerja di tempat semula. Nah, ziarah kemarin dalam rangka ini.

Diam-diam saya salut kepada ibu, kepada orang-orang kampung pada umumnya. Mereka sangat menepati janji, meski janji itu hanya mereka ucapkan di dalam hati, tidak ada saksi, melainkan janji itu hanya dia dan Allah yang tahu. Tetapi ketika harapannya tercapai maka mereka tidak mengingkarinya.

Hal nazar sangat lumrah di kampung saya. Biasanya mereka punya harapan besar terhadap sesuatu, dan berjanji dalam hati, kalau harapannya itu terpenuhi dia akan melakukan sesuatu. Sesuatu itu bisa jadi sebuah pekerjaan, memberikan sesuatu atau malah menghentikan sesuatu yang buruk.

Pekerjaan yang lumrah sebagai bentuk nazar antara lain puasa, shalat dan ziarah ini. sementara memberi biasanya shadaqah kepada fakir miskin, kepada tetangga, ngariung, numpeng dan sebagainya. Ada juga, jika harapannya tercapi orang akan menghentikan sesuatu yang buruk yang sering dia lakukan, misalnya menghentikan minum, judi, berhenti merokok dst.

Dalam rangka memenuhi nazarnya ini, ibu tidak hanya mengajak saya, tetapi juga ibue, tetah sepupu, dan keponakan-keponankan. Mungkin supaya mobil yang dicarter penuh tidak mubazir.

Dari pengalaman ini saya teringat dengan tingkahpola wakil rakyat, pejabat, aparat, dan kebanyakan orang sekarang. Dimana sering berjanji kepada sesama manusia dan mengatasnamakan Allah, ada banyak yang menyaksikan, di bawah Kitab Suci Al-Qur’an, tetapi enteng sekali janji itu diingkari.

Kalau demikian kehidupan yang sakral dan penuh kepercayaan kepada hal-hal di luar nalar lebih menyelamatkan kehidupan ini, daripada yang rasional tetapi meng-akali untuk melanggar akad-akad, baik akad dengan manusia maupun dengan Allah. Rasionalitas yang berhati-lah yang bisa menyelamatkan kita.

Dukumalang, Cilegon - Banten 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Karena Puisi Itu 'Gemblong'

Oleh Ayatulloh Marsai


Puisi itu indah, menyentuh, dan mungkin bisa dikatakan mengena. Serasa diri ada di dalamnya. Inilah yang saya rasakan sebagai pembaca puisi. Dalam puisi lain, puisi itu tajam menghantam sasaran. Tapi, tidak membuat puisi urung disampaikan kepada sasaran. Karena gaya bahasa puisi memungkinkan seperti itu. Dan, mungkin harus seperti itu.

Tetapi, ketika saya mencoba untuk memasuki dunia penciptaan puisi, ternyata puisi itu terlalu mewah buat saya. Tidak terjangkau, karena saya tidak punya instrument sama sekali untuk masuk ke dalam dunia penciptaan puisi. Larik-larik yang saya buat sejak duduk di bangku sekolah, dan kuliah, tidak pernah saya menyebutnya puisi. Hanya sebatas kata-kata yang mewakili perasaan saya waktu menuliskannya. Meski hanya satu atau dua larik, itu sangat sangat mewakili perasaan saya yang tidak sederhana. Justru kalau dibeberkan dengan banyak kata mungkin tidak bisa terwakili.

Ya, dulu saya pernah menulis dalam diary saya: “Keyakinan ‘tlah tumbuh/ bak bumi dengan langit/bersama hujan.” Tiga larik kalimat ini tidak pernah saya nobatkan sebagai puisi. Hanya mengekspresikan kebahagiaan saat itu. Tidak lebih. Sebab, puisi dalam benak saya adalah sesuatu yang “waw gitu!” Maksud saya luar biasa, tidak terjangkau. Saya beranggapan dalam puisi ada instrument-instrumen khusus untuk menciptanya. Mulai dari apa itu puisi? Bagaimana membuat puisi? Kapan puisi dibuat? Dan, untuk apa puisi dicipta? Saya tidak punya pengetahuan semewah itu. Hingga saya bertemu dengan Toto St. Radik, penyair Banten, dalam satu pertemuan pertama di Majlis Puisi Rumah Dunia (MPRD). Dari sekian banyak kata pengantar dalam pertemuan itu, yang paling saya tunggu adalah “Puisi adalah ….” Ternyata tidak ada. Sampai kemudian ada peserta MPRD yang bertanya, “Jadi, pengertian puisi itu apa?” Apa kemudian jawab Mas Toto, “Saya sendiri tidak tahu apa pengertian puisi itu.” Saya kecewa.

Segera Mas Toto memberi “gemblong” dan “nasi goreng” kepada semua peserta. Kekecewaan saya pun terobati oleh “gemblong” dan “nasi goreng” yang diberikan itu. Mas Toto memberikan majas yang sangat jelas, “Puisi itu seperti gemblong. Sementara, prosa seperti nasi goreng.” Jelas beda antara gemblong dan nasi goreng. Gemblong, makanan yang terbuat dari beras ketan yang diliwet? Kemudian ditumbuk sampai halus dan padat. Nasi goreng adalah nasi cere yang biasa untuk makan sehari-hari, diolah lagi dengan cara digoreng dengan bumbu khusus. Penegasan Mas Toto pada nasi goreng ini terletak pada keteruraian nasi sampai detil-detil nasinya. Benar-benar jelas dan terurai, gamblang. Sementara gemblong sebaliknya, benar-benar padat berisi atau isinya padat.

Dari gambaran gemblong untuk puisi dan nasi goreng untuk prosa, juga penjelasan-penjelasan lain yang menggambarkan kebebasan dalam puisi, dengan langkah pasti saya memberikan “mahkota” kepada goresan-goresan pena yang saya padat-padatkan sebagai puisi –yang dulu maupun sekarang. Pemahaman ini yang menghilangkan ketakutan tidak puitis pada goresan-goresan saya selanjutnya. Selamat datang puisi!

Sabtu, 13 Oktober 2012

Mengajarkan Isu Kontroversi di Sekolah


Dari tautan facebook seorang Moeflich Hasbullah (Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung), saya mengetahui ada buku baru yang baru saja di-launching di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kemudian saya klik tautan itu. Saya dihantarkan pada sebuah website yang tentu saja memberitakan lebih panjang dari sekedar yang ditulis oleh Moeflich Hasbullah.

Buku itu berjudul “Hari Terakhir SM. Kartosuwiryo”, karya Fadli Zon. Kabarnya buku ini laris terjual karena mengungkap data baru mengenai SM. Kartosuwiryo. Tentu saja secara bersamaan juga membongkar penulisan sejarah nasional selama ini, yang menurut Fadli Zon telah mengelabui banyak kalangan selama kurun waktu 50 tahun terakhir.

Tawaran baru buku ini, pertama, kuburan SM. Kartosuwiryo berada di Kepulauan Seribu, di Pulau Ubi. Temuan ini dibuktikan dengan 81 lembar foto-foto menjelang eksekusi mati Kartosuwiryo, tahun 1962. Temuan ini meruntuhkan catatan sejarah sebelumnya bahwa kuburan Kartosuwiryo berada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

81 lembar foto S. M. Kartosuwiryo menjelang kematiannya, selain sebagai bukti otentik, juga menjadi kelebihan tersendiri bagi buku ini. Selain juga keberanian. Foto ini tidak pernah beredar sebelumnya. Dan, mungkin sebagai dokumen rahasia negara. Suatu prestasi besar bisa menemukan bukti baru dalam sejarah. Karena pada akhirnya bisa meluruskan sejarah yang selama ini bengkok (dibengkokan).

Kedua, dengan terbitnya buku “Hari Terakhir Kartosuwiryo,” terungkap tentang tiga permintaan terakhir Kartosuwiryo yang ditolak oleh Soekarno. Dari empat permintaan terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, hanya satu yang diterima, yakni bertemu dengan keluarganya. Pertemuan terakhir ini digunakan untuk makan bersama keluarga.

Tiga permintaan yang ditolak itu: permintaan untuk bertemu dengan petinggi-petinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, permintaan agar eksekusi mati disaksikan oleh perwakilan keluarga, dan terakhir, permintaan agar jenazahnya nanti dikembalikan kepada keluarga.

Kartosuwiryo Dalam Buku Pelajaran Sekolah
Dalam kurikulum pendidikan nasional memang tidak ada satu pembahasan khusus mengenai Kartosuwiryo. Nama Kartosuwiryo disebutkan ketika membahas “gangguan keamanan dalam negeri.” Kartosuwiryo disebut sebagai pendiri Negara Islam Indonesia dengan tentaranya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan “pemberontakan” kepada pemerintahan Republik Indonesia. Kartosuwiryo ditangkap, kemudian dihukum mati pada tahun 1962.

Dalam bingkai Sejarah Nasional penafsiran di atas bisa dianggap suatu kemestian. Karena tujuan pemberlajaran Sejarah Nasional untuk menumbuhkan rasa cinta generasi bangsa kepada negaranya. Tetapi ketika sebuah kesimpulan, pemberontakan misalnya, tidak diberikan argumen sebab-akibat dan gambaran kontekstual pada saat itu di dalamnya, maka penafsiran itu menjadi menyesatkan. Bahkan menurut sejarawan Indonesia, Taufik Abdullah, penulisan sejarah nasional harus berpegang teguh pada kejujuran.

Dalam hal ini, jujur berarti harus bisa menggambarkan secara empiris kenapa Kartosuwiryo memproklamasilan Negara Islam Indonesia (NII)? Kenapa membelot dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (waktu itu RIS)? Sampai kemudian dijatuhi hukum mati?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus “sekuat-tenaga” dijawab oleh guru sejarah di sekolah. Karena materi pembelajaran ini masuk ke dalam isu-isu kontroversial. Karena menyangkut ideologi Islam, lebih-lebih umat Islam. Dalam bahasa Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Islam tidak pernah menjadi sejarah (masa lalu). Islam akan selalu aktual. Hingga kemudian tidak ada jarak antara masa lalu dengan masa kini. Dengan ungkapan lain, sejarah tidak pernah benar-benar menjadi masa lalu. Sejarah itu melingkupi masa lalu, masa kini sekaligus masa depan.

Guru sejarah berada di tengah rentang masa lalu dan masa depan itu, harus menunjukan masa lalu yang benar agar generasi sekarang tidak tersesat menuju masa depan. Dan, ketika mengajarkan isu-isu kontroversial menyangkut agama dan ideologi, guru sejarah harus menemukan metode yang tepat agar tidak mendiskreditkan pihak-pihak yang punya keterkaitan dengan materi itu.

Satu hal yang tidak bisa ditawar oleh guru sejarah, mereka harus banyak membaca berbagai sumber sejarah menyangkut NII dan DI/TII ini. Sebab hanya dengan membaca banyak sumber, kita bisa mengetahui berbagai versi interpretasi sejarah, pada akhirnya dapat melihat secara utuh  peristiwa masa lalu. Juga akan terhindar dari indoktrinasi dalam mengajarkan sejarah nasional. Wallahu A’alam.

AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Mengkritisi Ijazah Palsu


Oleh Ayatulloh Marsai

Adalah guru profesi paling berkewajiban dan bertanggungjawab dalam perbaikan generasi bangsa ke depan. Hingga ketika bangsa ini dilanda korupsi, guru dan dunia pendidikan tidak luput dari tudingan bersalah. Apalagi berkaitan dengan hubungan seks bebas, narkoba, tawuran di kalangan pelajar. Banyak kalangan menganggap guru dan lembaga telah gagal mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Meskipun sebetulnya banyak faktor turut serta menyumbang terjadinya penyimpangan sosial tersebut, seperti faktor keluarga, lingkungan, dan media. Namun lembaga pendidikanlah yang dianggap paling bertanggungjawab. Mungkin karena lembaga pendidikan adalah lembaga paling formal dan mendapat konsentrasi anggaran negara ketimbang yang lain.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditemukannya ijazah palsu di kalangan guru yang sedang mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Peserta itu dari Banten. Kenyataan ini melukai profesi guru yang sedang bekerja keras, di tengah gelombang globalisasi, mencapai tujuan menciptakan generasi yang jujur dan bertanggungjawab. Di tengah profesi guru sedang dituntut melahirkan anak didik berkarakter. Sementara, ada segelintir guru yang kedapatan menggunakan ijazah palsu untuk menunjang profesinya.
Temuan ini sejatinya tidak berhenti sampai pada pemecatan guru-guru bersangkutan. Hendaknya temuan ini dijadikan titik-tolak evaluasi dunia pendidikan sekarang.

Pertama, temuan ijazah palsu bisa dijadikan sebagai “tanda” bahwa sebagian –sedikit banyak, mental pendidik kita sedang sakit. Temuan ini sebagai momentum yang bisa kita digunakan sebagai titik awal untuk “menghabisi” penyakit-penyakit lain, atau justru sumber penyakit sebenarnya, yang “jangan-jangan berkembang pada sebagian kalangan pendidik, yakni mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan. Seperti sindiran sebuah iklan, “jalan pintas dianggap pantas!”

Jika benar mental seperti itu merasuki sebagian pendidik dan lembaga pendidikan maka inilah “biang-keladi” dari ketimpangan yang bermunculan pada bangsa ini. Karena semua persoalan dicarikan jalan pintasnya. Secara bersamaan berarti mengingkari proses yang semestinya dalam mencapai tujuan. Bila demikian, mungkin bukan hanya ijazah yang dipalsukan (baca: dicarikan jalan pintasnya). Tidak mustahil juga pada kenaikan jabatan, status akreditasi, pengangkatan guru dan bahkan database sertifikasi itu sendiri, bisa jadi dicarikan jalan pintasnya. Jadi intinya adalah mental korup.

Kedua, kasus pemalsuan ijazah saya kira kecil kemungkinannya sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kemungkinan kasus ini mempunyai hubungan dengan “orang lain” sangat besar. Apalagi bila kita mendapati kenyataan, satu diantara ijazah palsu itu milik guru berstatus PNS. Tentu membutuhkan teknologi lumayan tinggi, kalau tidak pengawasannya yang tidak ketat, dengan satu dan berbagai sebab.
Oleh karenanya, pihak Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP), sebagai pihak yang dirugikan dalam hal ini, mesti memproses secara hukum kasus ini. Supaya jelas apakah mereka memalsukan ijazah ini dengan tangan sendiri atau ada organisasi lain. Ini penting. Sebab, ranah hukum, selain bisa mendudukan persoalan pada tempatnya, juga bisa memperjelas apakah guru sebagai subjek atau sebagai korban “kejahatan” terorganisir suatu lembaga.

Prasangka ini memang berlebihan, tetapi mendapati perkuliahan-perkuliahan kelas jauh yang menjamur selama ini, menjadikan hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Kementrian Pendidikan perlu megadakan “operasi” keabsahan lembaga-lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi. Bila menemukan perguruan tinggi “palsu,” agar menutupnya sesegera mungkin dan menyelamatkan para mahasiswanya.
Ketiga, hal yang terpaksa harus dievaluasi sebab temuan ijazah palsu ini adalah program-program pemerintah yang cendrung menilai esensi (kemampuan) dari segi formalnya saja. Melegalisasi kemampuan seorang guru dengan ijazah yang dimiliki untuk kemudian diberi kesejahteraan secara ekonomi. Akibatnya, guru-guru yang selama ini mengabdikan ilmunya di sekolah, tetapi tidak mempunyai ijazah yang disyaratkan, kemudian tidak punya peluang untuk meningkatkan derajat ekonominya. Satu-satunya jalan adalah kuliah untuk mendaptkan ijazah.

Dayung bersambut. Keinginan mendapatkan ijazah menemukan jalannya. Banyak tawaran-tawaran kuliah singkat untuk mendapatkan ijazah strata satu, bahkan strata dua sekarang. Hanya kuliah sabtu-minggu. Kelonggaran ini disalahgunakan oleh oknum lembaga atau perorangan yang tidak bertanggungjawab untuk menerbitkan ijazah. Mungkin.

Tekanan yang dialami oleh “guru-guru lama” tanpa ijazah itu, bertolak belakang dengan kesempatan yang didapat oleh pendidik-pendidik muda yang baru lulus kuliah. Pendidik yang baru lulus kuliah ini “sempurna” secara administrasi, meski tidak menjamin kemampuannya sebanding dengan ijazah yang dimiliki, atau dengan “guru-guru lama” tadi.

Disinilah saya kira, pemerintah harus terus melakukan penyempurnaan teknis atas program sertifikasi, pengangkatan PNS dan program-program lain, alih-alih untuk menyejahterakan hidup para pendidik malah menyakiti rasa keadilan sebagian kalangan yang sudah lama mengabdikan dirinya di masyarakat.
Akhirnya, kasus ijazah palsu di kalangan pendidik ini bisa menjadi jamu pahit bagi dunia pendidikan, terutama untuk instansi pemerintah yang berwenang atas pendidikan. Hingga dunia pendidikan ke depan lebih sehat untuk tercapainya tujuan-tujuan pendidikan nasional. Dan, sempurnanya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 


*Sumber: Radar Banten, 26 September 2012

AYATULLOH MARSAI
Guru di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Alumni UIN SGD Bandung.

Senin, 08 Oktober 2012

Siapa Bilang Kami Pengangguran?


Oleh Ayatulloh Marsai

Sebelum lahan-lahan ditanami gedung, pabrik, perumahan, semua orang bekerja. Kami cukup membolak-balik tanahnya. Dari tanah kami mendapatkan apa saja yang kami tanam. Menanam padi, padi yang kami panen; menamam sayuran, sayuran yang kami petik; menancapkan batang ubi, ubi yang kami masak.

Semuanya bisa menenuhi kebutuhan perut yang sebenarnya tidak seberapa. Malamnya, kami mendidik anak-anak, membekali tauhid, akhlak dan muamalah. Singkatnya, kami tidak kurang suatu apapun: kebutuhan perut terpenuhi, rohani juga sejuk. Begitulah kampung ini dulunya. Ingat, ketika panas-dingin kami cukup memakai dedaunan untuk mengusirnya. Tidak butuh rumah sakit. Alam bebas terbuka, bagi kami adalah tempat kala sehat dan sakit kami. Tidak ada masalah.

Tanah dan Air dekat sekali. Baik dalam lagu kebangsaan kami, maupun dalam bangsa kami sendiri. Lagu itu saksinya, kalau dulu tanah dan air memang sangat dekat, dan tidak bisa dipisahkan.

Tanah mengandung air. Air tak mau jauh dari tanah. Tidak seperti sekarang, tanah yang kami gali tidak ada airnya. Air yang kami minum harus diambil entah dari mana. Entah juga, apakah air-air itu “diperkosa” untuk memenuhi haus kami. Atau bagaimana? Yang jelas, kami minum air-air yang sudah dalam kemasan plastik. Kenapa bertani tadah hujan sekarang susah, mungkin itu jawabannya: air yang kami butuhkan untuk kelangsungan bertani sekarang terpenjara dalam gelas-gelas plastic, botol plastic dan gallon-galon. Sementara kami menunggu awan. Untuk membebaskan air itu, kami harus punya kertas yang entah datang dari mana, yang secara sadar sebetulnya bukan itu yang kami butuhkan. Yang kami butuhkan tetap air, dari dulu sampai sekarang. Air. Bukan kertas itu. Tidak satu orang pun, di kota maupun di kampung, yang memakan kertas ini.

Siapa bilang kami pengangguran. Mahasiswa yang berdemo itu tidak tahu. Walikota harus tahu. Wakil Rakyat apalagi. Kaum akademik gurunya mahasiswa. Kami yang mereka bicarakan, tidak pernah merasa sebagai pengangguran. Kapan kami bilang minta pekerjaan. Kami hanya berjuang mendekatkan air dengan tanah, atau sebaliknya, tanah dengan air, yang sudah dijauhkan oleh yang punya kuasa untuk menjauhkannya.

Lihat. Tuan, mari kita lihat bersama. Di gunung, pohon hidup sendiri-sendiri, tidak lagi layak disebut hutan. Untuk kita sebut sebagai bukit saja, sudah tidak seharusnya. Lukanya menganga, tulangnya dicukil oleh lalat-lalat besar bernama buldoser. Lalat robot yang secara otomasi bergerak sesuai kehendak yang memberi dia energy. Tidak ada pikiran. Meski jelas-jelas di dalamnya ada manusia. Entah, siapa yang mengendalikannya sebenarnya. Apakah manusia yang ada di dalam itu, atau manusia itu yang dikendalikan mesin. Yang jelas saling mempengaruhi. Dan, yang paling gampang dipengaruhi adalah manusia, bukan mesin.

Apa? Kamu salahkan musim panas! Kamu bilang semua ini karena kemarau! Bukankah kemarau bukan hal baru bagi bumi ini. Ini Indoneisa, tuan! Musimnya ada dua, panas dan penghujan. Jadi, hanya dua pilihan: kalau tidak panas ya hujan. Tidak ada musim yang lain. Kalau ada musim yang lain itu karena kita yang mengundangnya, atau membuatnya.

Coba. Langit, matahari, gunung ini, pohon, batu, dan teman-teman mereka, termasuk burung-burung itu, sejak kapan mereka ada di sini. Mereka penguhuni asli lahan ini. Lha kamu, baru datang kemarin sore. Nah, sejak kedatangan kamu, gunung ini jadi kerontang; pohon jadi hilang; burung-burung memilih pergi (masa harus bercumbu dengan pabrik?). Ya, tepatnya sejak kamu membawa tanaman baru bernama pabrik, gedung kantor, mal, perumahan, juga rumput-rumput yang menempel pada tanaman barumu itu, kampung mongering.

Sejak itulah kami butuh rumah sakit, sebab oksigen yang dulu kami dapat dari pohon, sekarang tergantikan oleh nafas pabrik yang busuk. Hah! nafasnya saja sudah busuk, apalagi anunya yah!

Sejak itu kami beralih pekerjaan: mendekatkan tanah pada air, mempertemukannya di ceruk kehidupan. Kami tidak menderita, hanya saja kami tidak leluasa bercengkrama dengan anak-istri, tidak punya kesempatan mentauhidkan anak-anak. Hanya saja kami harus mengisi ceruk itu dari tempat yang jauh dimana tanah-air kamu pisahkan. Siapa bilang kami pengangguran? Tidak! Hanya saja kami tidak bisa menanam, di atas atau di bawah pabrik sekalipun.[]

Senin, 13 Agustus 2012

Menumbuhkan Mental Pembelajar

Oleh Ayatulloh Marsai

Kata Ferdian Ferdi, saya harus menuliskan materi setiap hari disini. "Seperti di 'Rumah Dunia Kreatif' itu tuh Pak!," dia bilang. Mana bisa, saya pikir. Tapi sekarang saya punya prinsip 'nyemplung'. Ibarat seorang belajar renang, ya nyemplunglah langkah yang paling realistis. Kalau sudah nyemplung, mau tidak mau dia harus renang. Beresiko. Ya, itulah belajar, harus berani gagal untuk sebuah keberhasilan.

Apalagi, kemarin Mukti Jayaraksa juga bercerita kepada saya bagaimana ia pertama kali belajar mengemudi mobil. Ceritanya begini: rumahnya MJ kan di Gerem, tujuan mengemudi sekarang ke sekolah, Karangtengah. Nah, berangkatlah MJ dengan memegang kemudi, tentu didampingi oleh pelatih yang tidak lain keponakannya sendiri. Sampai di Leuweng Sawo, si pelatih mendadak permisi pulang, ada keperlu

an alasannya. Kebayang dong bingungnya MJ melanjutkan perjalanan!, 'dilanjutkan, merasa belum bisa. Tidak dilanjutkan, mau bagaimana!'

Akhirnya dengan segala resiko, MJ memilih melanjutkan perjalanan tanpa pelatih. Keringat merajai tubuh. Hanya pakai gigi satu sampai tujuan, katanya. Tapi, dari model belajar seperti ini ternyata hasilnya bisa kita lihat. Pertama, bisa lebih cepat dibanding belajar yang selalu didampingi oleh pelatih. Kedua, lebih percaya diri. Ketiga, selalu punya sikap pembelajar. Karena setiap medan jalan pastinya beda, maka seorang pembelajar pasti bisa menyelesaikan tantangan medan itu sendiri.

Saya semakin yakin dengan prinsip 'nyemplung' kita akan berada pada zona belajar yang sesungguhnya. Begitupun dengan permintaan Ferdian di atas, saya akan penuhi untuk menulis setiap hari di sini, meski tidak luput dari kesalahan di sana-sini. Oleh karena itu, saya minta kepada anggota group semuanya, untuk tidak sungkan-sungkan memberi pertolongan jika melihat apa yang saya tulis "kelelep-lelep." Ya, tolong saya untuk terus belajar!

Karangtengah, 11 Agustus 2012

Minggu, 12 Agustus 2012

Bacaan Masa Kecil Pengaruhi Masa Dewasa

Oleh Ayatulloh Marsai

Apalagi yang mesti saya tulis di group ini?

Oke, saya berusaha menggali kenangan-kenangan pertemuan saya dengan katakata. Kata-kata yang membentuk saya menjadi saat ini. Dan, pastinya katakata terus akan merubah saya menjadi fase-fase tak terduga kemudian.

Saya pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan. Lulus Aliyah, pilihannya kuliah atau kerja; ketika keputusan saya kuliah, maka saya harus memilih perguruan tinggi; perguruan tinggi sudah dipilih, pilihan berikutnya pasti memilih jurusan apa yang mau saya ambil. Ya, saya memilih IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Sejarah Peradaban Islam. Lalu, apa hubungannya dengan kata-kata?


Saya pernah membaca, 'bacaan waktu kecil menentukan pilihan seseorang kelak ketika dewasa.' Atau, 'bacaan waktu kecillah yang paling berpengaruh menentukan pilihan-pilihan seseorang ketika dewasa'. Mau tida mau, saya memutar ingatan waktu kecil, tepatnya bacaan apa yang saya gandrungi saat kecil. Lalu, terbayang buku lusuh warna merah tua, berpadu dengan putih. Jujur, warnanya sebetulnya sudah tidak jelas. Lembarannya juga sudah lepas, harus ekstra hati-hati memegangnya. Judulnya: Kisah 25 Nabi. Buku ini beberapa kali saya khatamkan, mungkin lebih dari 5 kali.

Buku yang lain, 'Kesaktian Pancasila.' Warnanya merah tua juga, cavernya bergambar burung garuda, di bawah garuda itu, berdiri jendral-jendral yang menjadi korban penculikan dalam peristiwa G30SPKI.

Buku-buku lainnya, saya lupa judulnya, hanya terbayang warna, gambar dan ketebalan buku tersebut. Yang jelas, buku-buku itu berkisah tentang anak-anak. Misalnya, seorang anak yang ditinggalkan oleh ibu-bapaknya yang meninggal oleh letusan gunung berapi. Kemudian si anak diasuh oleh pamannya di kota, dia belajar rajin, bertenggungjawab dan sukses; dll.

Menerawang bacaan-bacaan masa kecil itu, saya tidak heran kalau pilihan jatuh pada jurusan SPI ketika masuk kuliah. Dan, asal tahu saja, pilihan itu sudah disidangkan di depan orang tua yang sebenarnya lebih pas dengan jurusan PAI, dan juga senior-senior alumni se-Aliyah, yang menganggap saya melakukan kesalahan total dengan memilih jurusan itu.

Sampai di sini, agaknya saya harus sepakat dengan pendapat ahli psikologi di atas: 'bacaan masa kecil menentukan pilihan-pilihan masa depan.'

Godaan Untuk Yang Hobi Baca

Oleh Ayatulloh Marsai

Sejak kecanduan membaca, kelas dua Aliyah, setiap ada uang jajan cukup saya membeli Koran nasional. Dengan begitu saya tidak melewatkan waktu istirahat seperti biasanya. Atau seperti teman-teman yang lain: nyantrongi cewek pujaannya, nongkrong di warung, ngerumpi empat perjuru mata angin, dan sebagainya. Saya membaca Koran itu di kelas, sampai jam masuk tiba.

Aktifitas itu bukan tanpa godaan. Godaannya berat man! Diajak ngobrol sama cewek-cewek cantik, diledeki anak-anak sekelas: “weh rajinnya,” “wih pinter kien meh.” Paling berat bagiku ketika ada yang ngomong, “lihat, calon ranking cawu (catur wulan) ini!” Sementara, sampai aku lulus, paling banter aku ada di ranking keempat. Malu tidak tuh! Ini yang saya sebut godaan. Kalau tidak kuat, kita pasti segera menutup koran itu, kemudian berg

abung dengan aktifitas mereka.

Di rumah. Usia remaja paling senang jalan-jalan serombongan, riang-riung kesana-kemari. Nah, mereka pasti nyamperin ke rumah. “Yat, yuk ke rumahnya anu, petisan, gonjlengan, makan duren, atau bakar ikan!” Lain kali ada yang ngajak: “ke Mall yuk!” Banyak sekali acara di usia remaja, siang-malam gak pernah habis. Itu juga godaan bagi yang gemar membaca. Aku yang kadang sedang asyik membaca cerpen atau sisipan novelet di majalah punya bapak, harus ikut terseret ke acara mereka. Untung, tidak selalu bisa digoda, kadang aku masih bisa tahan untuk hal-hal yang tidak begitu penting.

Jawaban atau alasan paling ampuh untuk menangkal goaan mereka adalah kontrak kita dengan orang tua. Misal: “saya mau ke ladang sama ayah,” entah itu “macul’ atau ngambil kayu bakar. Ini senjata saya untuk menampik tawaran mereka. Dan, saya bisa terus menyusuri kata di buku atau media.

Yang tidak bisa elakkan, di rumah, saya harus bisa kompromi dengan perintah-perintah orang tua. Tidak jarang sedang seru-serunya baca, eh, bertubi-tubi perintah orang tua menembaki. Itu biasa, saya harus bisa kompromi, berdamai dengan perintah itu. Saya bawa buku sambil ke warung misalnya.

Baik godaan di sekolah maupun di rumah, sama-sama berat! Siapa bisa mensiasati godaan itu, dia akan selamat. Siapa tidak bisa, dia akan terbawa arus yang tidak jelas, entah mau kemana!!!

_Karangtengah, 9 Agustus 2012

Kebiasaan Membaca

Oleh Ayatulloh Marsai

Entah sengaja atau tidak awalnya, ayah selalu menaruh buku bacaan di meja ruang depan. Ketika sedang tidak dibaca ayah, saya membacanya. Terus berlangsung seperti itu. Setelah selesai, saya bilang kepada ayah, "saya sudah selesai membaca buku ini, minta yang baru!", begitu kirakira saya meminta kepada ayah.

Tidak terasa, hal itu menjadi kebiasaan baik (sampai sekarang). Saya suka membaca! Majalah-majalah bulanan yang ayah peroleh dari kantor, saya lahap habis setiap bulannya. Waktu itu 'majalah pembinaan' dan majalah keluarga.' Di bangku aliyah, saya sudah mulai kecanduan datang ke tokoh buku, meski beli hanya beberapa kali, ketika uang cukup saja; saya juga berusaha memburu koran harian republika kalau ada uang jajan seribu di kantong. Waktu itu republika masih 700 rupiah, meski dengan 
rute yang tidak biasa. Letak sekolah saya di utara, tapi saya menuju ke selatan dulu, simpang tiga, lalu balik lagi muter menuju ke sekolah. Oleh karena itu perginya harus lebih pagi dari biasanya.


Dari sekelumit memori itu, saya belajar hari ini, bahwa gemar membaca tidak mesti diperintahperintah tapi dicontohkan. Artinya lingkungan membaca akan lebih efektif melahirkan genarasi rajin membaca ketimbang hanya di gemborgemborkan saja. Ini berlaku di mana saja, tidak terkecuali di rumah dan sekolah.

Di keluarga orang berkewajiban membentuk lingkungan membaca sepeti di atas, di sekolah, Guru dan karyawan di sekolah. Bagaimana lingkungan keluarga dan sekolah Anda?[]