Oleh Ayatulloh Marsai
Perjumaanku dengan Pramoedya Ananta Toer adalah
lewat kutipan-kutipan yang aku temukan di tulisan-tulisan orang. Aku sendiri
lupa siapa dan dimana tulisan itu aku temukan. Bahkan kutipan-kutipan khusus
kata-kata bijak yang ada di blog. Ya, aku ingat, ada juga orang yang
mengkhususkan menuliskan kutipan Pram, dari novel-novel yang dia baca.
Meski hanya membaca kutipan-kutipan, rupanya, itu
cukup membuatku tertarik untuk mengutip kembali, ketika aku menulis. Kutiapan
itu, “Orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah
bekerja untuk keabadian” Ya, kata menarik ini aku kutip
ketika menulis sebuah esai, “Menulis, Bekerja Untuk Keabadian.” Sempat tulisan
ini aku kirim ke media massa, namun tidak dimuat. Aku iseng mengirimnya ke harian
blog online, sunannungdjati.blogspot.com, ternyata dimuat.
Sampai sekarang, aku belum menemukan aslinya, di
buku yang mana Pram menulis katakata itu. Nanti, pasti aku menemukannya. Aku
sedang membacai karyakaryanya.
Lalu, entah di mana saya menemukannya, katakata Pram
begitu kuat memegangi kepalaku ini: “seorang
terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Meski tidak paham betul bagaimana maksud katakata ini, aku merasakan
kekuatannya. Sebab, adil sejak dalam pikiran, terasa tidak biasa dikatakan
orang, juga tidak aku sadari selama ini. Ternyata: pikiran memang mengendalikan
apa saja, termasuk keadilan pun harus dimulai sejak dalam pikiran.
Ternyata, kutipan terakhir, menjadi ikon penting di
caver belakang buku Pram, Bumi Manusia. Buku ini sendiri aku temukan di pojok
Toko Buku Gramedia, Bekasi, ketika aku sedang mendapat tugas “Workshop
Pelajaran Keterampilan” di hotel Horison. Aku sempatkan jalanjalan di toko ini
di selasela waktu istirahat. Sudah aku niatkan sejak aku melihat tidak jauh
dari tempat kegiatan ada toko gramedia. Sayang sekali uang sakuku hanya cukup
untuk mengambil satu buku saja. Aku ambil kemudian buku pertama: BUMI MANUSIA.
Konteks bagaimana katakata itu muncul, adalah dialog
antara Minke (tokoh utama) dengan seorang bekas tentara kolonial asal Prancis.
Bekas tentara ini menasehati Minke yang tidak lain siswa H. B. S. waktu itu,
“sebagai terpelajar kamu harus adil sejak dalam pikiran.” Kenapa nasehat ini
bisa muncul. Minke sedang terjebak pada pola pikiran orang kebanyakan: bahwa
seorang perempuan gundik Belanda, Nyai Ontosoroh, tidak bermoral, tidak beradab.
Jadi, siapa-siapa yang hidup serumah dengannya, sama tidak beradabnya. Sebab,
tinggal serumah, sampai mempunyai keturunan, tidak diikat dengan tali
pernikahan; tidak duduk di bangku sekolah, sama dengan bodoh; tidak duduk di
bangku sekolah tidak bisa berbuat apaapa, apalagi melakukan kebaikankebaikan.
Seorang Prancis itu tidak mau, Minke berfikir sama
dengan orang pada umumnya. Minke harus adil sejak dalam pikiran, dengan
menyelidik kebenaran pikiran orang-orang itu terhadap Nyai Ontosoroh; Minke
akhirnya sadar, bahwa Nyai Ontosoroh yang tidak pernah duduk di bangku sekolah
seumur hidupnya adalah perempuan Jawa yang penampilan fisik dan pengetahuannya,
tidak kalah dengan siswa H. B. S. Nyai ternyata sang otodidak ulung; Dan, Minke
juga mengakui kehebatan Darsam, seorang Madura yang mengabdi setia kepada
majikannya (Nyai Ontosoroh), yang berani melawan ketidakadilan dengan kemampuan
fisiknya.
Akhirnya, perlawanan terhadap ketidakadilan adalah
semangat yang harus ada pada setiap orang. Terlepas apa pun yang kita miliki. Orang
tidak akan rendah atau tinggi dengan apa yang dia miliki, tetapi oleh apa yang
dia lakukan terhadapnya.
Cilegon,
19 Desember 2012