Senin, 08 Oktober 2012

Siapa Bilang Kami Pengangguran?


Oleh Ayatulloh Marsai

Sebelum lahan-lahan ditanami gedung, pabrik, perumahan, semua orang bekerja. Kami cukup membolak-balik tanahnya. Dari tanah kami mendapatkan apa saja yang kami tanam. Menanam padi, padi yang kami panen; menamam sayuran, sayuran yang kami petik; menancapkan batang ubi, ubi yang kami masak.

Semuanya bisa menenuhi kebutuhan perut yang sebenarnya tidak seberapa. Malamnya, kami mendidik anak-anak, membekali tauhid, akhlak dan muamalah. Singkatnya, kami tidak kurang suatu apapun: kebutuhan perut terpenuhi, rohani juga sejuk. Begitulah kampung ini dulunya. Ingat, ketika panas-dingin kami cukup memakai dedaunan untuk mengusirnya. Tidak butuh rumah sakit. Alam bebas terbuka, bagi kami adalah tempat kala sehat dan sakit kami. Tidak ada masalah.

Tanah dan Air dekat sekali. Baik dalam lagu kebangsaan kami, maupun dalam bangsa kami sendiri. Lagu itu saksinya, kalau dulu tanah dan air memang sangat dekat, dan tidak bisa dipisahkan.

Tanah mengandung air. Air tak mau jauh dari tanah. Tidak seperti sekarang, tanah yang kami gali tidak ada airnya. Air yang kami minum harus diambil entah dari mana. Entah juga, apakah air-air itu “diperkosa” untuk memenuhi haus kami. Atau bagaimana? Yang jelas, kami minum air-air yang sudah dalam kemasan plastik. Kenapa bertani tadah hujan sekarang susah, mungkin itu jawabannya: air yang kami butuhkan untuk kelangsungan bertani sekarang terpenjara dalam gelas-gelas plastic, botol plastic dan gallon-galon. Sementara kami menunggu awan. Untuk membebaskan air itu, kami harus punya kertas yang entah datang dari mana, yang secara sadar sebetulnya bukan itu yang kami butuhkan. Yang kami butuhkan tetap air, dari dulu sampai sekarang. Air. Bukan kertas itu. Tidak satu orang pun, di kota maupun di kampung, yang memakan kertas ini.

Siapa bilang kami pengangguran. Mahasiswa yang berdemo itu tidak tahu. Walikota harus tahu. Wakil Rakyat apalagi. Kaum akademik gurunya mahasiswa. Kami yang mereka bicarakan, tidak pernah merasa sebagai pengangguran. Kapan kami bilang minta pekerjaan. Kami hanya berjuang mendekatkan air dengan tanah, atau sebaliknya, tanah dengan air, yang sudah dijauhkan oleh yang punya kuasa untuk menjauhkannya.

Lihat. Tuan, mari kita lihat bersama. Di gunung, pohon hidup sendiri-sendiri, tidak lagi layak disebut hutan. Untuk kita sebut sebagai bukit saja, sudah tidak seharusnya. Lukanya menganga, tulangnya dicukil oleh lalat-lalat besar bernama buldoser. Lalat robot yang secara otomasi bergerak sesuai kehendak yang memberi dia energy. Tidak ada pikiran. Meski jelas-jelas di dalamnya ada manusia. Entah, siapa yang mengendalikannya sebenarnya. Apakah manusia yang ada di dalam itu, atau manusia itu yang dikendalikan mesin. Yang jelas saling mempengaruhi. Dan, yang paling gampang dipengaruhi adalah manusia, bukan mesin.

Apa? Kamu salahkan musim panas! Kamu bilang semua ini karena kemarau! Bukankah kemarau bukan hal baru bagi bumi ini. Ini Indoneisa, tuan! Musimnya ada dua, panas dan penghujan. Jadi, hanya dua pilihan: kalau tidak panas ya hujan. Tidak ada musim yang lain. Kalau ada musim yang lain itu karena kita yang mengundangnya, atau membuatnya.

Coba. Langit, matahari, gunung ini, pohon, batu, dan teman-teman mereka, termasuk burung-burung itu, sejak kapan mereka ada di sini. Mereka penguhuni asli lahan ini. Lha kamu, baru datang kemarin sore. Nah, sejak kedatangan kamu, gunung ini jadi kerontang; pohon jadi hilang; burung-burung memilih pergi (masa harus bercumbu dengan pabrik?). Ya, tepatnya sejak kamu membawa tanaman baru bernama pabrik, gedung kantor, mal, perumahan, juga rumput-rumput yang menempel pada tanaman barumu itu, kampung mongering.

Sejak itulah kami butuh rumah sakit, sebab oksigen yang dulu kami dapat dari pohon, sekarang tergantikan oleh nafas pabrik yang busuk. Hah! nafasnya saja sudah busuk, apalagi anunya yah!

Sejak itu kami beralih pekerjaan: mendekatkan tanah pada air, mempertemukannya di ceruk kehidupan. Kami tidak menderita, hanya saja kami tidak leluasa bercengkrama dengan anak-istri, tidak punya kesempatan mentauhidkan anak-anak. Hanya saja kami harus mengisi ceruk itu dari tempat yang jauh dimana tanah-air kamu pisahkan. Siapa bilang kami pengangguran? Tidak! Hanya saja kami tidak bisa menanam, di atas atau di bawah pabrik sekalipun.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar