Oleh Ayatulloh Marsai
Adalah guru profesi paling berkewajiban dan
bertanggungjawab dalam perbaikan generasi bangsa ke depan. Hingga ketika bangsa
ini dilanda korupsi, guru dan dunia pendidikan tidak luput dari tudingan
bersalah. Apalagi berkaitan dengan hubungan seks bebas, narkoba, tawuran di
kalangan pelajar. Banyak kalangan menganggap guru dan lembaga telah gagal
mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, membentuk manusia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Meskipun sebetulnya banyak faktor turut serta
menyumbang terjadinya penyimpangan sosial tersebut, seperti faktor keluarga,
lingkungan, dan media. Namun lembaga pendidikanlah yang dianggap paling
bertanggungjawab. Mungkin karena lembaga pendidikan adalah lembaga paling
formal dan mendapat konsentrasi anggaran negara ketimbang yang lain.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditemukannya
ijazah palsu di kalangan guru yang sedang mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru (PLPG). Peserta itu dari Banten. Kenyataan ini melukai profesi guru yang
sedang bekerja keras, di tengah gelombang globalisasi, mencapai tujuan
menciptakan generasi yang jujur dan bertanggungjawab. Di tengah profesi guru
sedang dituntut melahirkan anak didik berkarakter. Sementara, ada segelintir
guru yang kedapatan menggunakan ijazah palsu untuk menunjang profesinya.
Temuan ini sejatinya tidak berhenti sampai pada
pemecatan guru-guru bersangkutan. Hendaknya temuan ini dijadikan titik-tolak evaluasi
dunia pendidikan sekarang.
Pertama, temuan ijazah palsu bisa dijadikan sebagai
“tanda” bahwa sebagian –sedikit banyak, mental pendidik kita sedang sakit. Temuan
ini sebagai momentum yang bisa kita digunakan sebagai titik awal untuk “menghabisi”
penyakit-penyakit lain, atau justru sumber penyakit sebenarnya, yang
“jangan-jangan berkembang pada sebagian kalangan pendidik, yakni mengambil
jalan pintas untuk mencapai tujuan. Seperti sindiran sebuah iklan, “jalan
pintas dianggap pantas!”
Jika benar mental seperti itu merasuki sebagian pendidik
dan lembaga pendidikan maka inilah “biang-keladi” dari ketimpangan yang
bermunculan pada bangsa ini. Karena semua persoalan dicarikan jalan pintasnya.
Secara bersamaan berarti mengingkari proses yang semestinya dalam mencapai
tujuan. Bila demikian, mungkin bukan hanya ijazah yang dipalsukan (baca:
dicarikan jalan pintasnya). Tidak mustahil juga pada kenaikan jabatan, status
akreditasi, pengangkatan guru dan bahkan database sertifikasi itu sendiri, bisa
jadi dicarikan jalan pintasnya. Jadi intinya adalah mental korup.
Kedua, kasus pemalsuan ijazah saya kira kecil
kemungkinannya sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kemungkinan kasus ini
mempunyai hubungan dengan “orang lain” sangat besar. Apalagi bila kita
mendapati kenyataan, satu diantara ijazah palsu itu milik guru berstatus PNS.
Tentu membutuhkan teknologi lumayan tinggi, kalau tidak pengawasannya yang
tidak ketat, dengan satu dan berbagai sebab.
Oleh karenanya, pihak Universitas Negeri Jakarta (dulunya
IKIP), sebagai pihak yang dirugikan dalam hal ini, mesti memproses secara hukum
kasus ini. Supaya jelas apakah mereka memalsukan ijazah ini dengan tangan
sendiri atau ada organisasi lain. Ini penting. Sebab, ranah hukum, selain bisa
mendudukan persoalan pada tempatnya, juga bisa memperjelas apakah guru sebagai
subjek atau sebagai korban “kejahatan” terorganisir suatu lembaga.
Prasangka ini memang berlebihan, tetapi mendapati
perkuliahan-perkuliahan kelas jauh yang menjamur selama ini, menjadikan hal itu
bukan sesuatu yang tidak mungkin. Kementrian Pendidikan perlu megadakan
“operasi” keabsahan lembaga-lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi. Bila
menemukan perguruan tinggi “palsu,” agar menutupnya sesegera mungkin dan
menyelamatkan para mahasiswanya.
Ketiga, hal yang terpaksa harus dievaluasi sebab
temuan ijazah palsu ini adalah program-program pemerintah yang cendrung menilai
esensi (kemampuan) dari segi formalnya saja. Melegalisasi kemampuan seorang
guru dengan ijazah yang dimiliki untuk kemudian diberi kesejahteraan secara
ekonomi. Akibatnya, guru-guru yang selama ini mengabdikan ilmunya di sekolah, tetapi
tidak mempunyai ijazah yang disyaratkan, kemudian tidak punya peluang untuk
meningkatkan derajat ekonominya. Satu-satunya jalan adalah kuliah untuk
mendaptkan ijazah.
Dayung bersambut. Keinginan mendapatkan ijazah
menemukan jalannya. Banyak tawaran-tawaran kuliah singkat untuk mendapatkan
ijazah strata satu, bahkan strata dua sekarang. Hanya kuliah sabtu-minggu. Kelonggaran
ini disalahgunakan oleh oknum lembaga atau perorangan yang tidak
bertanggungjawab untuk menerbitkan ijazah. Mungkin.
Tekanan yang dialami oleh “guru-guru lama” tanpa
ijazah itu, bertolak belakang dengan kesempatan yang didapat oleh pendidik-pendidik
muda yang baru lulus kuliah. Pendidik yang baru lulus kuliah ini “sempurna”
secara administrasi, meski tidak menjamin kemampuannya sebanding dengan ijazah
yang dimiliki, atau dengan “guru-guru lama” tadi.
Disinilah saya kira, pemerintah harus terus
melakukan penyempurnaan teknis atas program sertifikasi, pengangkatan PNS dan
program-program lain, alih-alih untuk menyejahterakan hidup para pendidik malah
menyakiti rasa keadilan sebagian kalangan yang sudah lama mengabdikan dirinya
di masyarakat.
Akhirnya, kasus ijazah palsu di kalangan pendidik
ini bisa menjadi jamu pahit bagi dunia pendidikan, terutama untuk instansi
pemerintah yang berwenang atas pendidikan. Hingga dunia pendidikan ke depan
lebih sehat untuk tercapainya tujuan-tujuan pendidikan nasional. Dan, sempurnanya
kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
*Sumber: Radar Banten, 26 September 2012
AYATULLOH
MARSAI
Guru di Madrasah Aliyah
Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Alumni UIN SGD Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar