Sabtu, 13 Oktober 2012

Mengkritisi Ijazah Palsu


Oleh Ayatulloh Marsai

Adalah guru profesi paling berkewajiban dan bertanggungjawab dalam perbaikan generasi bangsa ke depan. Hingga ketika bangsa ini dilanda korupsi, guru dan dunia pendidikan tidak luput dari tudingan bersalah. Apalagi berkaitan dengan hubungan seks bebas, narkoba, tawuran di kalangan pelajar. Banyak kalangan menganggap guru dan lembaga telah gagal mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Meskipun sebetulnya banyak faktor turut serta menyumbang terjadinya penyimpangan sosial tersebut, seperti faktor keluarga, lingkungan, dan media. Namun lembaga pendidikanlah yang dianggap paling bertanggungjawab. Mungkin karena lembaga pendidikan adalah lembaga paling formal dan mendapat konsentrasi anggaran negara ketimbang yang lain.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditemukannya ijazah palsu di kalangan guru yang sedang mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Peserta itu dari Banten. Kenyataan ini melukai profesi guru yang sedang bekerja keras, di tengah gelombang globalisasi, mencapai tujuan menciptakan generasi yang jujur dan bertanggungjawab. Di tengah profesi guru sedang dituntut melahirkan anak didik berkarakter. Sementara, ada segelintir guru yang kedapatan menggunakan ijazah palsu untuk menunjang profesinya.
Temuan ini sejatinya tidak berhenti sampai pada pemecatan guru-guru bersangkutan. Hendaknya temuan ini dijadikan titik-tolak evaluasi dunia pendidikan sekarang.

Pertama, temuan ijazah palsu bisa dijadikan sebagai “tanda” bahwa sebagian –sedikit banyak, mental pendidik kita sedang sakit. Temuan ini sebagai momentum yang bisa kita digunakan sebagai titik awal untuk “menghabisi” penyakit-penyakit lain, atau justru sumber penyakit sebenarnya, yang “jangan-jangan berkembang pada sebagian kalangan pendidik, yakni mengambil jalan pintas untuk mencapai tujuan. Seperti sindiran sebuah iklan, “jalan pintas dianggap pantas!”

Jika benar mental seperti itu merasuki sebagian pendidik dan lembaga pendidikan maka inilah “biang-keladi” dari ketimpangan yang bermunculan pada bangsa ini. Karena semua persoalan dicarikan jalan pintasnya. Secara bersamaan berarti mengingkari proses yang semestinya dalam mencapai tujuan. Bila demikian, mungkin bukan hanya ijazah yang dipalsukan (baca: dicarikan jalan pintasnya). Tidak mustahil juga pada kenaikan jabatan, status akreditasi, pengangkatan guru dan bahkan database sertifikasi itu sendiri, bisa jadi dicarikan jalan pintasnya. Jadi intinya adalah mental korup.

Kedua, kasus pemalsuan ijazah saya kira kecil kemungkinannya sebagai kasus yang berdiri sendiri. Kemungkinan kasus ini mempunyai hubungan dengan “orang lain” sangat besar. Apalagi bila kita mendapati kenyataan, satu diantara ijazah palsu itu milik guru berstatus PNS. Tentu membutuhkan teknologi lumayan tinggi, kalau tidak pengawasannya yang tidak ketat, dengan satu dan berbagai sebab.
Oleh karenanya, pihak Universitas Negeri Jakarta (dulunya IKIP), sebagai pihak yang dirugikan dalam hal ini, mesti memproses secara hukum kasus ini. Supaya jelas apakah mereka memalsukan ijazah ini dengan tangan sendiri atau ada organisasi lain. Ini penting. Sebab, ranah hukum, selain bisa mendudukan persoalan pada tempatnya, juga bisa memperjelas apakah guru sebagai subjek atau sebagai korban “kejahatan” terorganisir suatu lembaga.

Prasangka ini memang berlebihan, tetapi mendapati perkuliahan-perkuliahan kelas jauh yang menjamur selama ini, menjadikan hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Kementrian Pendidikan perlu megadakan “operasi” keabsahan lembaga-lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi. Bila menemukan perguruan tinggi “palsu,” agar menutupnya sesegera mungkin dan menyelamatkan para mahasiswanya.
Ketiga, hal yang terpaksa harus dievaluasi sebab temuan ijazah palsu ini adalah program-program pemerintah yang cendrung menilai esensi (kemampuan) dari segi formalnya saja. Melegalisasi kemampuan seorang guru dengan ijazah yang dimiliki untuk kemudian diberi kesejahteraan secara ekonomi. Akibatnya, guru-guru yang selama ini mengabdikan ilmunya di sekolah, tetapi tidak mempunyai ijazah yang disyaratkan, kemudian tidak punya peluang untuk meningkatkan derajat ekonominya. Satu-satunya jalan adalah kuliah untuk mendaptkan ijazah.

Dayung bersambut. Keinginan mendapatkan ijazah menemukan jalannya. Banyak tawaran-tawaran kuliah singkat untuk mendapatkan ijazah strata satu, bahkan strata dua sekarang. Hanya kuliah sabtu-minggu. Kelonggaran ini disalahgunakan oleh oknum lembaga atau perorangan yang tidak bertanggungjawab untuk menerbitkan ijazah. Mungkin.

Tekanan yang dialami oleh “guru-guru lama” tanpa ijazah itu, bertolak belakang dengan kesempatan yang didapat oleh pendidik-pendidik muda yang baru lulus kuliah. Pendidik yang baru lulus kuliah ini “sempurna” secara administrasi, meski tidak menjamin kemampuannya sebanding dengan ijazah yang dimiliki, atau dengan “guru-guru lama” tadi.

Disinilah saya kira, pemerintah harus terus melakukan penyempurnaan teknis atas program sertifikasi, pengangkatan PNS dan program-program lain, alih-alih untuk menyejahterakan hidup para pendidik malah menyakiti rasa keadilan sebagian kalangan yang sudah lama mengabdikan dirinya di masyarakat.
Akhirnya, kasus ijazah palsu di kalangan pendidik ini bisa menjadi jamu pahit bagi dunia pendidikan, terutama untuk instansi pemerintah yang berwenang atas pendidikan. Hingga dunia pendidikan ke depan lebih sehat untuk tercapainya tujuan-tujuan pendidikan nasional. Dan, sempurnanya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 


*Sumber: Radar Banten, 26 September 2012

AYATULLOH MARSAI
Guru di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Alumni UIN SGD Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar