Dari tautan facebook seorang Moeflich Hasbullah (Dosen
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung), saya mengetahui ada buku
baru yang baru saja di-launching di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kemudian saya klik tautan itu. Saya
dihantarkan pada sebuah website yang
tentu saja memberitakan lebih panjang dari sekedar yang ditulis oleh Moeflich
Hasbullah.
Buku itu berjudul “Hari
Terakhir SM. Kartosuwiryo”, karya
Fadli Zon. Kabarnya buku ini laris terjual karena mengungkap data baru mengenai
SM. Kartosuwiryo. Tentu saja secara bersamaan juga membongkar penulisan sejarah
nasional selama ini, yang menurut Fadli Zon telah mengelabui banyak kalangan
selama kurun waktu 50 tahun terakhir.
Tawaran baru buku ini, pertama, kuburan SM. Kartosuwiryo berada
di Kepulauan Seribu, di Pulau Ubi.
Temuan ini dibuktikan dengan 81 lembar foto-foto menjelang eksekusi mati Kartosuwiryo,
tahun 1962. Temuan ini meruntuhkan catatan sejarah sebelumnya bahwa kuburan
Kartosuwiryo berada di Pulau Onrust,
Kepulauan Seribu.
81 lembar foto S. M.
Kartosuwiryo menjelang kematiannya, selain sebagai bukti otentik, juga menjadi
kelebihan tersendiri bagi buku ini. Selain juga keberanian. Foto ini tidak
pernah beredar sebelumnya. Dan, mungkin sebagai dokumen rahasia negara. Suatu
prestasi besar bisa menemukan bukti baru dalam sejarah. Karena pada akhirnya
bisa meluruskan sejarah yang selama ini bengkok (dibengkokan).
Kedua,
dengan terbitnya buku “Hari Terakhir Kartosuwiryo,” terungkap tentang tiga
permintaan terakhir Kartosuwiryo yang ditolak oleh Soekarno. Dari empat
permintaan terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, hanya satu yang diterima,
yakni bertemu dengan keluarganya. Pertemuan terakhir ini digunakan untuk makan
bersama keluarga.
Tiga permintaan yang
ditolak itu: permintaan untuk bertemu dengan petinggi-petinggi Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia, permintaan agar eksekusi mati disaksikan oleh
perwakilan keluarga, dan terakhir, permintaan agar jenazahnya nanti dikembalikan
kepada keluarga.
Kartosuwiryo
Dalam Buku Pelajaran Sekolah
Dalam kurikulum pendidikan
nasional memang tidak ada satu pembahasan khusus mengenai Kartosuwiryo. Nama
Kartosuwiryo disebutkan ketika membahas “gangguan keamanan dalam negeri.” Kartosuwiryo
disebut sebagai pendiri Negara Islam Indonesia dengan tentaranya Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan “pemberontakan” kepada pemerintahan
Republik Indonesia. Kartosuwiryo ditangkap, kemudian dihukum mati pada tahun
1962.
Dalam bingkai Sejarah
Nasional penafsiran di atas bisa dianggap suatu kemestian. Karena tujuan
pemberlajaran Sejarah Nasional untuk menumbuhkan rasa cinta generasi bangsa
kepada negaranya. Tetapi ketika sebuah kesimpulan, pemberontakan misalnya,
tidak diberikan argumen sebab-akibat dan gambaran kontekstual pada saat itu di
dalamnya, maka penafsiran itu menjadi menyesatkan. Bahkan menurut sejarawan
Indonesia, Taufik Abdullah, penulisan sejarah nasional harus berpegang teguh
pada kejujuran.
Dalam hal ini, jujur
berarti harus bisa menggambarkan secara empiris kenapa Kartosuwiryo
memproklamasilan Negara Islam Indonesia (NII)? Kenapa membelot dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (waktu itu RIS)? Sampai kemudian dijatuhi hukum mati?
Pertanyaan-pertanyaan
itu harus “sekuat-tenaga” dijawab oleh guru sejarah di sekolah. Karena materi
pembelajaran ini masuk ke dalam isu-isu kontroversial. Karena menyangkut
ideologi Islam, lebih-lebih umat Islam. Dalam bahasa Prof. Ahmad Mansur
Suryanegara, Islam tidak pernah menjadi sejarah (masa lalu). Islam akan selalu
aktual. Hingga kemudian tidak ada jarak antara masa lalu dengan masa kini. Dengan
ungkapan lain, sejarah tidak pernah benar-benar menjadi masa lalu. Sejarah itu melingkupi
masa lalu, masa kini sekaligus masa depan.
Guru sejarah berada di
tengah rentang masa lalu dan masa depan itu, harus menunjukan masa lalu yang
benar agar generasi sekarang tidak tersesat menuju masa depan. Dan, ketika
mengajarkan isu-isu kontroversial menyangkut agama dan ideologi, guru sejarah
harus menemukan metode yang tepat agar tidak mendiskreditkan pihak-pihak yang
punya keterkaitan dengan materi itu.
Satu hal yang tidak
bisa ditawar oleh guru sejarah, mereka harus banyak membaca berbagai sumber
sejarah menyangkut NII dan DI/TII ini. Sebab hanya dengan membaca banyak
sumber, kita bisa mengetahui berbagai versi interpretasi sejarah, pada akhirnya
dapat melihat secara utuh peristiwa masa
lalu. Juga akan terhindar dari indoktrinasi dalam mengajarkan sejarah nasional.
Wallahu A’alam.
AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah di Madrasah
Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar