Sabtu, 13 Oktober 2012

Mengajarkan Isu Kontroversi di Sekolah


Dari tautan facebook seorang Moeflich Hasbullah (Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung), saya mengetahui ada buku baru yang baru saja di-launching di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Kemudian saya klik tautan itu. Saya dihantarkan pada sebuah website yang tentu saja memberitakan lebih panjang dari sekedar yang ditulis oleh Moeflich Hasbullah.

Buku itu berjudul “Hari Terakhir SM. Kartosuwiryo”, karya Fadli Zon. Kabarnya buku ini laris terjual karena mengungkap data baru mengenai SM. Kartosuwiryo. Tentu saja secara bersamaan juga membongkar penulisan sejarah nasional selama ini, yang menurut Fadli Zon telah mengelabui banyak kalangan selama kurun waktu 50 tahun terakhir.

Tawaran baru buku ini, pertama, kuburan SM. Kartosuwiryo berada di Kepulauan Seribu, di Pulau Ubi. Temuan ini dibuktikan dengan 81 lembar foto-foto menjelang eksekusi mati Kartosuwiryo, tahun 1962. Temuan ini meruntuhkan catatan sejarah sebelumnya bahwa kuburan Kartosuwiryo berada di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

81 lembar foto S. M. Kartosuwiryo menjelang kematiannya, selain sebagai bukti otentik, juga menjadi kelebihan tersendiri bagi buku ini. Selain juga keberanian. Foto ini tidak pernah beredar sebelumnya. Dan, mungkin sebagai dokumen rahasia negara. Suatu prestasi besar bisa menemukan bukti baru dalam sejarah. Karena pada akhirnya bisa meluruskan sejarah yang selama ini bengkok (dibengkokan).

Kedua, dengan terbitnya buku “Hari Terakhir Kartosuwiryo,” terungkap tentang tiga permintaan terakhir Kartosuwiryo yang ditolak oleh Soekarno. Dari empat permintaan terakhir sebelum eksekusi dilaksanakan, hanya satu yang diterima, yakni bertemu dengan keluarganya. Pertemuan terakhir ini digunakan untuk makan bersama keluarga.

Tiga permintaan yang ditolak itu: permintaan untuk bertemu dengan petinggi-petinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, permintaan agar eksekusi mati disaksikan oleh perwakilan keluarga, dan terakhir, permintaan agar jenazahnya nanti dikembalikan kepada keluarga.

Kartosuwiryo Dalam Buku Pelajaran Sekolah
Dalam kurikulum pendidikan nasional memang tidak ada satu pembahasan khusus mengenai Kartosuwiryo. Nama Kartosuwiryo disebutkan ketika membahas “gangguan keamanan dalam negeri.” Kartosuwiryo disebut sebagai pendiri Negara Islam Indonesia dengan tentaranya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan “pemberontakan” kepada pemerintahan Republik Indonesia. Kartosuwiryo ditangkap, kemudian dihukum mati pada tahun 1962.

Dalam bingkai Sejarah Nasional penafsiran di atas bisa dianggap suatu kemestian. Karena tujuan pemberlajaran Sejarah Nasional untuk menumbuhkan rasa cinta generasi bangsa kepada negaranya. Tetapi ketika sebuah kesimpulan, pemberontakan misalnya, tidak diberikan argumen sebab-akibat dan gambaran kontekstual pada saat itu di dalamnya, maka penafsiran itu menjadi menyesatkan. Bahkan menurut sejarawan Indonesia, Taufik Abdullah, penulisan sejarah nasional harus berpegang teguh pada kejujuran.

Dalam hal ini, jujur berarti harus bisa menggambarkan secara empiris kenapa Kartosuwiryo memproklamasilan Negara Islam Indonesia (NII)? Kenapa membelot dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (waktu itu RIS)? Sampai kemudian dijatuhi hukum mati?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus “sekuat-tenaga” dijawab oleh guru sejarah di sekolah. Karena materi pembelajaran ini masuk ke dalam isu-isu kontroversial. Karena menyangkut ideologi Islam, lebih-lebih umat Islam. Dalam bahasa Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, Islam tidak pernah menjadi sejarah (masa lalu). Islam akan selalu aktual. Hingga kemudian tidak ada jarak antara masa lalu dengan masa kini. Dengan ungkapan lain, sejarah tidak pernah benar-benar menjadi masa lalu. Sejarah itu melingkupi masa lalu, masa kini sekaligus masa depan.

Guru sejarah berada di tengah rentang masa lalu dan masa depan itu, harus menunjukan masa lalu yang benar agar generasi sekarang tidak tersesat menuju masa depan. Dan, ketika mengajarkan isu-isu kontroversial menyangkut agama dan ideologi, guru sejarah harus menemukan metode yang tepat agar tidak mendiskreditkan pihak-pihak yang punya keterkaitan dengan materi itu.

Satu hal yang tidak bisa ditawar oleh guru sejarah, mereka harus banyak membaca berbagai sumber sejarah menyangkut NII dan DI/TII ini. Sebab hanya dengan membaca banyak sumber, kita bisa mengetahui berbagai versi interpretasi sejarah, pada akhirnya dapat melihat secara utuh  peristiwa masa lalu. Juga akan terhindar dari indoktrinasi dalam mengajarkan sejarah nasional. Wallahu A’alam.

AYATULLOH MARSAI
Guru Sejarah di Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar