Minggu, 11 November 2012

Nazar Ibu


Minggu, 11 Nopember 2012

S
ABTU, 10 Novermber, saya diajak ibu ke Banten (Lama) untuk berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Maulana Yusuf. Kebetulan saya tidak ada kesibukan saat itu. Ya, hitung-hitung lihat keadaan di sana, saya mengiringi ibu ke Banten (Lama). Sejak ayah meninggal, setahun yang lalu, ibu selalu meminta saya untuk mendampinginya kalau ada keperluan. Sebagai anak pertama, saya mungkin dianggap paling bertanggungjawab. Dan, kebetulan paling punya waktu luang ketimbang saudara-saudara saya.

Sebelum berangkat saya bertanya kepada istri, “ibu ke Banten (Lama) dalam rangka apa ma?” Jawab istri, ibu pernah bernazar kalau Mab dan Agus, dua adikku, diterima kembali berkerja di tempat kerjanya semula, dia akan berziarah ke Banten (Lama). Ternyata do’a ibu dikabulkan, dua adik saya kembali bekerja di tempat semula. Nah, ziarah kemarin dalam rangka ini.

Diam-diam saya salut kepada ibu, kepada orang-orang kampung pada umumnya. Mereka sangat menepati janji, meski janji itu hanya mereka ucapkan di dalam hati, tidak ada saksi, melainkan janji itu hanya dia dan Allah yang tahu. Tetapi ketika harapannya tercapai maka mereka tidak mengingkarinya.

Hal nazar sangat lumrah di kampung saya. Biasanya mereka punya harapan besar terhadap sesuatu, dan berjanji dalam hati, kalau harapannya itu terpenuhi dia akan melakukan sesuatu. Sesuatu itu bisa jadi sebuah pekerjaan, memberikan sesuatu atau malah menghentikan sesuatu yang buruk.

Pekerjaan yang lumrah sebagai bentuk nazar antara lain puasa, shalat dan ziarah ini. sementara memberi biasanya shadaqah kepada fakir miskin, kepada tetangga, ngariung, numpeng dan sebagainya. Ada juga, jika harapannya tercapi orang akan menghentikan sesuatu yang buruk yang sering dia lakukan, misalnya menghentikan minum, judi, berhenti merokok dst.

Dalam rangka memenuhi nazarnya ini, ibu tidak hanya mengajak saya, tetapi juga ibue, tetah sepupu, dan keponakan-keponankan. Mungkin supaya mobil yang dicarter penuh tidak mubazir.

Dari pengalaman ini saya teringat dengan tingkahpola wakil rakyat, pejabat, aparat, dan kebanyakan orang sekarang. Dimana sering berjanji kepada sesama manusia dan mengatasnamakan Allah, ada banyak yang menyaksikan, di bawah Kitab Suci Al-Qur’an, tetapi enteng sekali janji itu diingkari.

Kalau demikian kehidupan yang sakral dan penuh kepercayaan kepada hal-hal di luar nalar lebih menyelamatkan kehidupan ini, daripada yang rasional tetapi meng-akali untuk melanggar akad-akad, baik akad dengan manusia maupun dengan Allah. Rasionalitas yang berhati-lah yang bisa menyelamatkan kita.

Dukumalang, Cilegon - Banten 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar