Selasa, 13 November 2012

Karena Bangga Dengan Banten Lama, Kita Bangga Menjadi Orang Banten


Selasa, 13 Nopember 2012
K
omplek Banten Lama selalu punya daya tarik besar untuk dikunjungi. Setidaknya, itu yang saya saksikan langsung dari dua kunjungan terakhir dalam bulan ini. Satu hari setelah lebaran Idul Adha, istri dan ibu mertua mengajak saya ke sana. Bersama anak-anak. Anak saya yang kedua sudah berusia tujuh bulan, belum pernah ke Banten Lama. Itu kata istri. Dalam pemahaman istri, anak-anaknya harus pernah berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Meski tanpa argument, saya tidak bisa menolaknya.

Gerimis yang berlahan menjadi hujan deras, hanya membuat rombongan saya berteduh sementara. Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Hujan lagi, berteduh lagi, dan seterusnya. Hingga perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam, akibat hujan yang tidak henti-henti perjalanan ke Banten Lama, dari Cilegon, sampai tiga jam-an. Hujan itu sama sekali tidak membuat kami surut semangat untuk mengunjungi Banten Lama.

Keluarga saya hanya satu dari sekian gambaran antusias masyarakat lokal Banten terhadap keberadaan Banten Lama. Para pengendara motor yang lain, di depan dan belakang kami, juga tidak sedikit. Dan mereka semua seperti tidak mempedulikan hujan yang mengguyur. Itu dari arah Cilegon, belum lagi kalau kita membayangkan dari arah yang lain. Sama ramainya.

Benar saja, sampai di Banten Lama, kepadatan pengunjung seperti air kali yang mengalir menuju satu pusaran: pintu makam Maulana Hasanudin. Dalam sela-sela ritual ziarah, azan duhur berkumandang. Suara  pemandu ziarah dipelankan dengan meletakkan pengeras suara. Ziarah terus berlanjut.

Karena sudah duhur, sehabis ziarah kami langsung menuju ke Masjid Agung Banten untuk menunaikan shalat. Kondisi yang dingin karena kehujanan di jalan tadi, saya, dan agaknya juga orang-orang lain gampang sekali kebelet buang air kecil. Orang-orang ini sibuk sekali mencari kamar kecil. Susah. Disekitar Masjid Agung tidak ditemui tempat ini. Hanya tulisan “WC UMUM” bertebaran di mana-mana dengan disertai tanda panah.

Saya terpaksa mengikuti arah anak panah itu, meskipun jauh dari Masjid Agung. Setelah berjalan sekitar 50 meter berjalan di gang-gang, baru saya menemukan tempat yang saya cari, “WC UMUM.” Di depan WC ada kotak amal, bertulis: Rp. 2000,-. Ah, tidak peduli sudah kebelet. Meskipun aneh, ditempat wisata seramai ini fasilitas umum yang benar-benar umum tanpa biaya tidak tersedia. Jadi WC yang ada ini punya warga. Atau tepatnya usahanya warga sekitar mencari penghasilan.

Selesai buang air kecil saya kembali ke Masjid Agung untuk menunaikan shalat zuhur. Di tempat wudu saya ditanya sama ibu-ibu, “Pak, ari WC dimana yah?” Saya langsung menunjuk arah tadi saya buang air kecil, sambil saya bertanya: “Ibu dariman?” “Bogor. Nuhun nya.” Ibu itu pergi terburu-buru ke arah yang saya tunjukan.

Dalam hati saya merasa malu sebagai orang Banten. Entahlah, sejak saya rutin setiap tahun ke sini (Banten Lama), bahkan lebih dari sekali, saya merasa bukan sebagai tamu lagi di tempat ini. saya kok sekarang merasa sebagai tuan rumah. Merasa berkewajiban melayani para tamu, lebih-lebih tamu dari luar kota seperti ibu tadi. Sebagai tuan rumah, saya malu menjadi orang Banten dengan keadaan ini. Saya yakin ibu tadi tidak sendiri. Dia pasti datang bersama rombongan. Dan, tidak hanya rombongan ibu tadi yang dari luar kota. Pasti banyak rombongan-rombongan yang lain yang punya masalah yang sama dengan si ibu tadi: kesulitan mencari toilet.

Saya lupa cerita, kalau toilet yang saya gunakan tadi bau-nya luar biasa. Mungkin karena saking banyak orang yang menggunakan dan belum sempat dibersihkan, juga karena habis hujan, kondisinya sangat becek. Saking baunya, sampai ada orang muntah-muntah di dalam. Hah, malu jadi orang Banten!

Itu sebulan yang lalu. Sabtu kemarin, 10 November 2012, giliran ibu saya mengajak saya ke Banten Lama. Tujuannya sama dengan istri dan ibu mertua saya sebulan yang lalu, yakni berziarah di makam Sultan Maulana Hasanudin dan Maulana Yusuf. Bedanya, ibu berziarah karena karena nazarnya. Ibu bernazar kalau dua anaknya, adik-adik saya, diterima kerja di tempat semula mereka berkerja, ibu akan berziarah.

Berbagai macam maksud dan tujuan orang berziarah ke Banten Lama. Kalau tadi istri saya bertujuan menziarhkan anak kami yang kedua, ibu karena nazar, maka kali ini, sambil menunggu giliran masuk ke ruang ziarah, saya berbincang dengan dua orang ibu-ibu, dalam rangka apa mereka berziarah ke Banten Lama ini.

“Sudah program rutin Pak Lurah Suheni,” jawabnya.
“Berapa mobil?”
“dua belas.”
“Ibu rombongan pengajian?”
“Nggak, siapa yang mau saja. Pak Lurah menaggung ongkos kami setengahnya.”

Saya hanya bisa bilang: o, mungkin ini ziarah politik. Tapi saya tidak berminat mendalami sisi politik ini. Lagi-lagi yang menarik buat saya adalah antusiasme yang besar masyarakat Indoensia terhadap wisata ziarah di Banten, sehingga menjatuhkan pilihan wisata mereka di Banten Lama.

Hal ini satu kehormatan bagi kita orang Banten. Ini juga berkah dan bukti keabadian dari ilmu yang dimiliki oleh orang-orang suci atau para pejuang, penyebar Islam di Banten ini. Maka sudah sepantasnya, kehormatan yang diberikan oleh para wisatawan di atas, kita balas dengan memberikan fasilitas terbaik. Supaya mereka punya kesan bagus setelah pulang ke kotanya masing-masing. Jangan sampai mereka terkagum-kagum hanya kepada orang tua kita, para pejuang yang dimakamkan di Banten Lama ini, sedangkan kepada anak cucunya, generasi Banten sekarang, malah mengumpatnya. Gara-gara kita tidak bisa menjaga apa yang mereka tinggalkan.

Tetapi tidak. Saya melihat titik terang di sebelah kanan Masjid Agung. Di sana ada bangunan baru, dekat pendopo. Karena penasaran saya mendekati bangunan itu. Ternyata, al-hamdulillah! Ini bangunan WC UMUM. Saya masuk ke dalam bangunan yang bertulis “pria.” Saya menghitung jumlah toilet di dalamnya, ada 14 kamar. Tempat buang air kecil ada 12, dan cuci tangan ada 4 buah.

Untuk detil di WC perempuan saya tidak tahu. Tapi, kira-kira sama lah. Yang penting sekarang, ada titik terang: penataan di komplek Banten Lama sudah mulai terlihat membaik. Dan, saya akan menyambut dengan bangga tamu-tamu yang datang dari luar kota bahkan luar negeri. Bila mereka bertanya dimana letak tolilet, jari telunjuk saya akan dengan pasti menunujuk WC yang keren itu.

Ke depan, tidak hanya WC, fasilitas-fasilitas yang lain juga mudah-mudahan segera menyusul. Tidak boleh dilupakan ketertiban juga masih perlu pembenahan. Semuanya harus lebih baik dari sebelumnya. Karena kita bangga dengan Banten Lama, bangga menjadi orang Banten. Amin! 

Karangtengah
Cilegon - Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar