Oleh Ayatulloh Marsai
“Jika aku
katakan akan keluar seekor kuda dari dalam bukit ini, apakah kalian percaya?”
“Kami percaya!” serentak orang-orang yang hadir menjawab.
Sepenggal dialog itu terjadi antara Nabi Muhammad SAW
dengan masyarakat Quraisy Mekah. Nabi mendapat perintah untuk menyampaikan
agama tauhid secara terbuka, setelah lama menyampaikannya secara tertutup. Nabi
mengumpulkan orang Mekah di bukit Shafa. Lalu Nabi berkata: “Jika saya katakan
dari bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian percaya?” Semuanya
menjawab percaya.
Bisa segampang itu mereka percaya kepada Nabi. Padahal,
apa yang dikatakan Nabi tersebut hal yang diluar nalar logis: dari dalam bukit
keluar kuda.
Bukit di sana tidak lebih dari gundukan batu yang
besar. Tidak ada pohon apalagi hutan. Semuanya batu. Hingga kalau dikatakan
akan keluar seekor kuda darinya, itu ajaib. Dan, orang-orang yang hadir percaya
itu, karena yang mengatakannya Nabi. Bukan karena mereka beriman kepada Nabi,
melainkan dalam jejak rekam mereka Nabi, dari kecil hingga ada di hadapan
mereka sekarang ini belum pernah kedapatan berbohong. Nyatanya ketika Nabi
menyampaikan maksudnya untuk mengajak mereka untuk menyembang Allah, tidak
menyekutukan-Nya, mereka banyak yang berpaling.
Kita bandingkan dengan sebuah kisah, mungkin anda
sering mendengarnya, tentang seorang yang berteriak minta tolong. “Tolooong,
harimau. Ada harimau!”
Orang-orang kampung tergopoh mendatangi asal suara
minta tolong itu. Apa yang mereka lihat? Orang yang berteriak minta tolong itu
sedang bersantai sambil nyengir, dan berkata, “Bohongan, cuma bercanda!”
Besoknya, orang-orang kampung mendengar teriakan
minta tolong yang sama dengan kemarin. Mereka tidak peduli. Anggapan mereka,
pasti si fulan sedang bercanda lagi, ingin mengelabui orang-orang kampung.
Ternyata, kali ini benar. Seseorang mendapati si fulan mati dicincang harimau.
Di sebuah dusun, di belakang rumah, adanya harimau
turun gunung mungkin saja terjadi. Tetapi, orang-orang kampung tidak percaya
kalau fulan melihat harimau. Sebabnya fulan pernah berbohong. Orang-orang tidak
mau dibohongi oleh fulan lebih dari satu kali. Hingga mereka tidak
mempedulikannya lagi.
Begitu pun masyarakat kita sekarang. Kenapa sulit
percaya kepada orang lain, sebab mereka pernah dibohongi, oleh satu dua orang.
Entah itu orang terdekat, atau teman jauh bahkan orang lain yang tidak tahu
asal-usulnya. Apalagi hanya melihat dari televise, spanduk di pinggir jalan,
halaman iklan di koran dan majalah atau buku biografi (yang muncul menjelang
pemilu).
Meski yang dikatakan sangat mungkin dilakukan,
bahkan mudah, namun tidak mudah mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Persoalannya sekarang bukan isu, topik atau ideologi tapi siapa yang
mengatakannya. Siapa yang berjanji? Bagaimana jejak rekamnya?
Pertanyaan ini muncul dari orang-orang yang mau
memilih orang baik, pemimpin amanah yang akan membawa perubahan bangsa. Bukan
dari orang-orang yang ikut arus “kesesatan” zaman ini: memilih orang yang sudah
berkontribusi material kepada dirinya, kepada kelaurga dan golongannya.
Pemilu, momen penting untuk merubah kondisi bangsa
ini. Pemilih mestilah pandai membaca calon, bukan hanya program. Mana calon
yang cerdas, kuat dan berani melawan “kekuatan luar” dan “godaan dalam,” demi
menegakkan amanat kepemimpinnya. Menepati janji kampanyenya.
Sebab, dalam perjalanannya nanti, dia akan banyak
menghadapi tantangan. Tantangan itu bisa berupa kekerasan dan ancaman, dan juga
sering berupa rayuan dan bujukan manis. Bahkan boikot.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar