Sabtu, 29 Desember 2012

Kisah Nabi di Bukit Shafa & Dongeng Harimau


Oleh Ayatulloh Marsai

“Jika aku katakan akan keluar seekor kuda dari dalam bukit ini, apakah kalian percaya?”
“Kami percaya!” serentak orang-orang yang hadir menjawab.

Sepenggal dialog itu terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan masyarakat Quraisy Mekah. Nabi mendapat perintah untuk menyampaikan agama tauhid secara terbuka, setelah lama menyampaikannya secara tertutup. Nabi mengumpulkan orang Mekah di bukit Shafa. Lalu Nabi berkata: “Jika saya katakan dari bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian percaya?” Semuanya menjawab percaya.

Bisa segampang itu mereka percaya kepada Nabi. Padahal, apa yang dikatakan Nabi tersebut hal yang diluar nalar logis: dari dalam bukit keluar kuda.

Bukit di sana tidak lebih dari gundukan batu yang besar. Tidak ada pohon apalagi hutan. Semuanya batu. Hingga kalau dikatakan akan keluar seekor kuda darinya, itu ajaib. Dan, orang-orang yang hadir percaya itu, karena yang mengatakannya Nabi. Bukan karena mereka beriman kepada Nabi, melainkan dalam jejak rekam mereka Nabi, dari kecil hingga ada di hadapan mereka sekarang ini belum pernah kedapatan berbohong. Nyatanya ketika Nabi menyampaikan maksudnya untuk mengajak mereka untuk menyembang Allah, tidak menyekutukan-Nya, mereka banyak yang berpaling.

Kita bandingkan dengan sebuah kisah, mungkin anda sering mendengarnya, tentang seorang yang berteriak minta tolong. “Tolooong, harimau. Ada harimau!”

Orang-orang kampung tergopoh mendatangi asal suara minta tolong itu. Apa yang mereka lihat? Orang yang berteriak minta tolong itu sedang bersantai sambil nyengir, dan berkata, “Bohongan, cuma bercanda!”
Besoknya, orang-orang kampung mendengar teriakan minta tolong yang sama dengan kemarin. Mereka tidak peduli. Anggapan mereka, pasti si fulan sedang bercanda lagi, ingin mengelabui orang-orang kampung. Ternyata, kali ini benar. Seseorang mendapati si fulan mati dicincang harimau.

Di sebuah dusun, di belakang rumah, adanya harimau turun gunung mungkin saja terjadi. Tetapi, orang-orang kampung tidak percaya kalau fulan melihat harimau. Sebabnya fulan pernah berbohong. Orang-orang tidak mau dibohongi oleh fulan lebih dari satu kali. Hingga mereka tidak mempedulikannya lagi.

Begitu pun masyarakat kita sekarang. Kenapa sulit percaya kepada orang lain, sebab mereka pernah dibohongi, oleh satu dua orang. Entah itu orang terdekat, atau teman jauh bahkan orang lain yang tidak tahu asal-usulnya. Apalagi hanya melihat dari televise, spanduk di pinggir jalan, halaman iklan di koran dan majalah atau buku biografi (yang muncul menjelang pemilu).

Meski yang dikatakan sangat mungkin dilakukan, bahkan mudah, namun tidak mudah mendapat kepercayaan dari masyarakat. Persoalannya sekarang bukan isu, topik atau ideologi tapi siapa yang mengatakannya. Siapa yang berjanji? Bagaimana jejak rekamnya?

Pertanyaan ini muncul dari orang-orang yang mau memilih orang baik, pemimpin amanah yang akan membawa perubahan bangsa. Bukan dari orang-orang yang ikut arus “kesesatan” zaman ini: memilih orang yang sudah berkontribusi material kepada dirinya, kepada kelaurga dan golongannya.

Pemilu, momen penting untuk merubah kondisi bangsa ini. Pemilih mestilah pandai membaca calon, bukan hanya program. Mana calon yang cerdas, kuat dan berani melawan “kekuatan luar” dan “godaan dalam,” demi menegakkan amanat kepemimpinnya. Menepati janji kampanyenya.

Sebab, dalam perjalanannya nanti, dia akan banyak menghadapi tantangan. Tantangan itu bisa berupa kekerasan dan ancaman, dan juga sering berupa rayuan dan bujukan manis. Bahkan boikot.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar