Sabtu, 30 Oktober 2010

Apa Sasaran Hidup Anda?

Kamis, 05 Agustus 2010
12:19

Sekarang giliran kelas VII A yang menjadi objek uji coba atas pertanyaan-pertanyaan Alan Lakein. Pertanyaan Sasaran Hidup Anda, masih dijawab dengan nada yang sama, yakni hidup sukses berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Di bawah ini adalah jawaban mereka:

1. Membuat ibu senang, dan kakakku senang juga, aku ingin menjadi orang yang berguna di rumah, di masyarakat, di kota dan Negara dan cita-citaku ingin menjadi pemain sepak bola terkenal di negara manapun biar seperti Cristian Ronaldo. Kalau aku sudah sukses maka aku akan memberikan apa saja kepada kedua orang tuaku dan keluargaku.

2. Aku cita-citanya ingin menjadi guru, aku selalu belajar untuk mendapat cita-citanya itu, aku seorang yang miskin, hidup saya sangat sederhana dan hidup saya selalu mandiri. Aku punya ibu, bapak, nenek, kakak dan adikku yang masih bayi.

3. Tujuan hidup saya ingin menuju cita-cita saya agar saya jadi dibanggakan sama orang tuaku.

4. Belajar, menjadi orang yang sukses, menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, menjadi orang yang berguna untuk nusa dan bangsa, menjadi orang yang pinter.

5. Saya adalah seorang siswa di madrasah tsanawiyah. Saya masih duduk di kelas I (satu) A. saya masih terbilang siswa baru di sekolah, saya punya banyak teman di sekolah, mereka baik-baik banget sama aku, aku belajar setiap hari, hari libur di sekolah aku adalah hari jum’at, bukan hari minggu seperti di sekolah-sekolah yang lain. Dan di sekolahku banyak banget kegiatan ekstrakulikuler, seperti Paskibra, Marching band, pramuka dan gema ramadhan. Aku dan teman-teman mulai belajar jam 07:30 dan 09:30 istirahat, setelah istirahat masih ada lagi belajar 2 mata pelajaran lagi, lalu waktunya untuk pulang, setelah pulang kita bebas melakukan yang lain di rumah, asal perkerjaan itu tidak dilarang oleh agama.

6. Tujuan hidup saya adalah ingin membahagiakan orang tua, ingin mendapatkan ilmu dari dunia ini, ingin membahagiakan keluarga, orang tua, bangsa, dan Negara.

7. Untuk mencapai cita-cita saya sebagai dokter, mempunyai istri dan berkeluarga.

8. Tujuan hidup saya adalah mengajar SLTP di karangtengah. Umur, tamat sekolah pengalaman belajar dan menjadi orang pintar sampai perguruan tinggi dan membantu orang tua.

9. Ingin mrnjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat kami kalau sudah menjadi orang yang pintar atau berguna kepada masyarakat pasti kita dibanggai oleh masyarakat. Bukan itu saja kalau kita sudah menjadi orang pintar juga tidak susah mencari uang untuk kehidupan sehari-hari, dan untuk membantu orang tua kita.

10. Ingin menjadi orang sukses dan pintar.

11. Cita-cita saya adalah ingin menjadi guru madrasah atau mts dan security seperti kakak-kakak saya dan aku harus berusaha untuk meraih cita-cita itu biar membahagiakan orang tua.

12. Menggapai cita-cita saya belajar dengan giat pintar, dan berilmu, memnahagiakan orang tua, pengen kaya/suge.

13. Saya ingin menjadi pemain sepak bola karena akan mengajar cita-cita saya semenjak sekarang karena saya ikut bermain footsal, saya ingin terkenal seperti C. Ronaldo.

14. Saya ingin belajar, saya sekolah di mts karangtengah, ini demi orang tua saya, Karena orang tua saya yang sudah berkorban demi kita.

15. Tujuan hidup saya membahagiakan kedua orang tua saya, masa depanku menuju atas yang luhur, dan tinggi, mencontohkan adik-adikku dan keluarga, para sahabatku hidup penuh anugerah. Aku ingin menjadi anak yang solehah, pinter, dan pandai.

16. Mencapai cita-cita, membahagiakan orng tua, menjadi orang pinter, menjadi orang yang bertanggung jawab.

17. Mencapai cita-cita, menjadi seorang ibu yang baik bagi keluarga, membahagiakan orang tua, menjadi orang yang sukses dan orang yang bertanggungjawab.

18. Saya mau menjadi orang yang berbakti kepda orang tua dan bangsa dan saya ingin membahagiakan kedua orang tua, sampai sekarang aku belajar yang rajin. Belajar demi cita-cita saya ingin menjadi apapun yang bisa membahagiakan orang tua, aku ingin jadi sukses seperti saudaraku.

19. Beriman dan belajar dan cita-cita saya adalah sebagai dokter dan guru. Saya ingin sekali membahagiakan orang tua saya sapaya beliau bahagia.

20. Untuk menjadi anak yang berguna dan berguna untuk masyarakat saya sekolah untuk mencari ilmu agama.

21. Saya ingin menjadi orang yang sukses. Aku ingin membahagiakan kedua orng tuaku.

22. Untuk belajar biar menjadi orang yang berguna bagi hidup masyarakat dan orang tua dan cita-citaku ingin meneruskan sekolah biar mendapatkan kerja yang enak dan saya inin membahagiakan orang tua saya. Aku ingin banget ngejar cita-citaku, apakah aku mampu belajar cita-citaku, ya Allah, kabulkan doaku ini.

23. Aku ingin jadi anak yang solehah berbakti pada orang tua karena orang tualah yang melahirkan saya sejak 1 bulan dalam kandungan sampai sekarang. Dan saya akan membalas kebaikan orang tua saya, cita-cita ku saya ingin jadi orang yang berguna dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

24. Saya mau jadi pemain volley nanti besar saya juga cinta sama main bola. Aku ingin jadi orang sukses aku sekarang mau pulang habis pulang saya lolos baju, celana, kaos kaki, tas, peci, makan minum, mandi pake celana, pake baju, pake peci, pakai sejadah dan sekolah untuk bermain bola futsal, dan saya pengen menang jai juara ke 1.

25. Menjadi anak yang membanggakan keluarga dan mempunyai keluarga yang utuh.

26. Saya mau menjadi guru, saya di dunia ini hanya sementara. Sementara lagi semuanya akan mati saya sebagai orang miskin, makan saja susah. Saya di pondok sangsara tipi, kalau di rumah sa makan tinggal nyentong kalau disini kalau gak masak dulu enggak makan kalau disini mah disina belajar yang enak.

27. Belajar dan mencari ilmu sehabis belajar mencari ilmu kalau sudah belajar cita-citanya menjadi guru dan pegawai menjaga warung biar bisa membahagiakan orang tua.

28. Tujuan hidup saya adalah bisa membahagiakan orang tua dan ingin menjadi orang yang bisa dikagumi oleh orang lain.

29. Aku ingin menjadi orang yang sukses dalam hidup aku. Aku ingin cita-citanya tercapai mudah-mudahan menjadi orang yang senang, sukses, dalam hidup aku.

30. Tujuan hidup saya adalah ingin mendoakan orang tua saya untuk pergi haji. Setiap solat aku mendoakan orang tuaku untuk pergi haji, tetapi tidak terkabul-terkabul dan aku solat zuhur mendoakan lagi.

31. Ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa dan berbakti kepada kedua orang tua. Semoga cita-citaku terkejar sampai dewasa nanti karena hanya dialah yang mengurus dari kecil hingga saat ini.

32. Tujuan hidup saya adalah pingin menjadi orang yang sukses dan membanggakan orang tua, walaupun saya hidup sederhana tetapi saya pengen sekali menjadi sukses. Dari kecil sampai sekarang orang tua saya menyayangi saya tapi, terkadang saya melawan orang tua saya, tapi kalau dipikir-pikir orang tua ngomel karena itu salah saya. Oleh karena itu saya harus membalas jasa orang tua saya.

33. Untuk beribadah di jalan Allah swt. Cita-cita aku ingin menjadi dokter, ingin menjadi orang yang sukses, membahagiakan orang tua, berbakti kepada orang tua, menjadi generasi mudah Indonesia. Keinginan saya yang paling besar pengen ke Pantai Losari, Makasar, Sulsel.

Selasa, 26 Oktober 2010

Membiarkan Perzinahan, Menghacurkan Alam

Oleh: Ayatulloh, S. Hum

Dalam buku “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, KH. Drs. Badruddin Hsubky, saya menemukan kutipan hadist: “sebagian tanda-tanda kimat adalah diangkatnya ilmu, dikokohkannya kebodohan, diminumnya minuman keras, dan dikembangkannya pelcuran”. (HR Muslim dan Anas bin Malik).


Saya pikir, hadist ini bisa kita gunakan untuk memotret kondisi kita kini, disini, dilingkungan kita sendiri, tidak jauh-jauh. Kita bisa mengevaluasi fenomena sosial yang nampak di depan mata kita yang “telanjang” sekalipun. Apalagi kalau kita lihat dengan “Kacamata Sidiq”, seperti judul sebuah buku kumpulan Cerpen, karya Gola A Gong. Maka akan nampak, sebagian besar yang disebutkan oleh hadist tersebut, sudah dan sedang berlangsung di sekitar kita. Lalu apa yang akan kita perbuat. Jawabannya jelas, kita harus menghentikan itu semua apapun tantangannya, kita harus berusah mengehentikannya. Kalau bisa dengan sistematis, dipelopori oleh ulama. Sosok yang punya kapasitas keilmuan yang tinggi dan mendalam, berwawasan luas, juga punya tenaga spiritual yang kuat.


Hal yang pertama disebutkan oleh hadist, diangkatnya ilmu, adalah biang keladi kemungkaran-kemungkaran selanjutnya. Biangnya, adalah kejahiliyaan. Kejahiliyaan, jangan dipahami buta pengetahuan tekhnologi, ekonomi, politik dan sebagainya. Meraka mahir dalam hal ini. Tetapi, kejahiliyaan dari awal sejarah Islam mempunyai arti bodoh dalam hal kesadaran ketuhanan, dalam hal menghadirkan pesan-pesan tuhan dalam semua geraknya (ketauhidan).


Setelah ilmu dicabut, maka yang jadi pemimpin adalah "orang-orang jahil", yang dipilih dengan alasan yang "ngawur" pula, bukan kebaikan sebagai ukuran, tetapi jasa “sumbangan” materi untuk sarana paling umum, seperti tempat ibadah, pakaian tim olahraga, juga busana pengajian dan sebagainya. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin jahil. Dari pemimpin yang "jahil" itu lahir pula kebijakan, peraturan yang mendukung kemungkaran, kemaksiatan, dan seterusnya. Dan, paling pamungkas (mungkin fenomena paling parah) sebagai syarat kehancuran adalah pelacuran yang dikukuhkan oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, dukungan, fasilitasi, dan membiarkan fenomena terakhir ini. “Sempurnalah” sudah syarat untuk terjadinya sebuah kehancuran dunia. Bukankah zaman ini sudah memenuhi syarat ini: diangkatnya ilmu, kokohnya kejahilan, minum minuman keras, dan pengembangan pelacuran. Sekedar menilai fenomena sekarang, “manusia biasa” yang masih “hidup” hati dan pikirannya pasti sudah bisa menyimpulkan dengan benar. Tetapi, adalah ulama yang yang punya kapasitas keilmuan yang berhak sekaligus berkewajiban menghentikan ini semua. Kalau tidak, berarti benar, ilmu sudah benar-benar diangkat oleh Allah ke langit. Sebab, fenomena ini jelas sebuah kemungkaran. Wallahu ‘alam.

Perpus Baitul Hikmah MA/MTs Karangtengah, 26 Oktober 2010



Penulis: Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah, tinggal di kampong Dukumalang, 008/004 Tegal Bunder, Purwakarta – Cilegon. Alumni SPI-ADAB IAIN ‘SGD’ Bandung.

Jumat, 22 Oktober 2010

Kemana Efek Sosial Ibadah Haji?

Oleh: Ayatulloh Marsai
*)dimuat di Banten Raya Post, Jum'at 22 Oktober 2010

Haji adalah rukun Islam yang kelima. Secara berurutan rukun Islam mencakup syahadat, shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji. Sebagai rukun Islam yang kelima, ibadah haji menggambarkan kesempuraan ibadah seorang muslim. Tidak heran bila setiap muslim memimpikan ibadah yang satu ini sebagai cita-cita satu kali seumur hidup. Karena setiap muslim ingin menyempurnakan ibadahnya dengan melaksanakan haji, maka orang yang mendaftar haji berjubel saking banyaknya. Sebagai konsekwensinya harus ada yang rela masuk dalam daftar tungg dan baru bisa diberangkatkan 3-4 tahun mendatang. Sungguh suatu prestasi yang membanggakan bagi kita umat Islam di Indonesia.

Perkembangan Jama’ah Haji Indonesia dari tahun 2003-2008 saja meningkat 1,7%. Tahun 2003 berjumlah 179.646, tahun 2004 berjumlah 192.330, tahun 2005 berjumlah 181.706, tahun 2006 berjumlah 189.299, tahun 2007 berjumlah 188.569, dan tahun 2008 jama’ah berjumlah 191.823. (http://www.kemenag.go.id) Dan, tahun 2010 ini 224.000 calhaj termasuk petugas akan diberangkatkan menunaikan rukun Islam kelima ini, berangkat dari 11 embarkasi yaitu, Aceh, Medan, Padang, Batam, Palembang, Jakarta, Solo, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan dan Makassar. (http://www.kemenag.go.id).

Jumlah ini belum ditambah dengan jama’ah yang berangkat lewat jasa swasta, yang biasanya setiap tahun terjadi. Dari perkembangan ini, dengan mudah bisa kita bayangkan bahwa calon jama’ah haji dari tahun ke tahun akan terus meningkat.
Tentu kondisi diatas, secara kasat mata, membanggakan kita sebagai umat Islam, jika dijadikan sebagai tolak ukur peningkatan keimanan dan ketakwaan umat Islam Indonesia. Sayangnya, anggapan ini akan segera luntur ketika kita “menimbangnya” dengan kenyataan sosial masyarakat Indonesia, dimana penyakit sosial meningkat (kurang lebih) sebanding dengan minat terhadap ibadah haji. Kebodohan, kemiskinan, kezaliman, kemakisatan, terlebih KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Dalam hal korupsi kita bisa lihat kasus-kasus yang menggantung pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Misal, kasus yang berkenaan dengan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan 7 yayasan miliknya, sebesar 1,4 trilyun; kasus korupsi di PERTAMINA, tahun 1993, kerugian negara sebesar US $ 24.8 juta; Korupsi di BAPINDO oleh Eddy Tanzil tahun 1993, kerugian sebesar 1.3 Triliun; 15 kasus korupsi HPH dan Dana Reboisasi, kerugian negara Rp 15,025 triliun; dan terakhir, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun. (http://www.tempointeraktif.com).

Kasus-kasus tersebut bisa dibilang kasus kelas kakap yang melibatkan para petinggi negara masa Orde Baru, yang tidak sedikit diantara mereka sudah melaksanakan ibadah haji.

Sementara pada Era Reformasi, menurut Moeflich Hasbullah, dalam Korupsi dan Jiwa, Opini Republika, 12 Juli 2010, kondisinya lebih parah dibandingkan dengan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru korupsi dilakukan oleh orang-orang pusat, sementara pada masa Era Reformasi sekarang ini dilakukan oleh pejabat-pejabat antardepartemen. Menurutnya, korupsi sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, baik pejabat pemerintah maupun swasta bahkan rakyat biasa. Rakyat bawah merampok gaji guru di jalanan, mengurangi timbangan di pasar, mengoplos dagangan, bahkan mencampur daging segar dengan daging busuk. Hatta terasi pun-seperti terjadi di Cirebon-dioplos dengan belatung dan nasi busuk. Hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia memiliki mentalitas korupsi. Semuanya melakukan kejahatan dengan modus dan bentuknya masing-masing. Semua tujuannya sama ingin cepat kaya dengan menghalalkan segala cara.

Kemiskinan, kebodohan adalah sisi buruk yang lain dari bangsa ini, yang mungkin saja berkaitan dengan fenomena korupsi tersebut. Namun, terlepas dari semua itu, yang jelas kemiskinan dan kebodohan hadir disekitar ruang lingkup haji-haji Indonesia. Selayaknya mereka peduli. Bukankah ibadah haji mengajarkan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap lingkungannya. Sebagai contoh, sebuah kisah yang beredar di pesantren, sebut saja namanya Ki Muafaq, yang sudah berniat melaksanakan ibadah haji tetapi kemudian mengurungkan niatnya ketika melihat tetangganya memakan bangkai kambing karena kelaparan. Kemudian seorang muslim yang lain bermimpi tentang Ki Muafaq. Dalam mimpinya, orang itu mendengar suara bahwa yang diterima hajinya (haji mabrur) pada musim ini adalah Ki Muafaq. Dia sangat heran terhadap isi mimpi itu, sebab dia tahu betul nama yang disebutkan dalam mimpi itu, Ki Muafaq, tidak jadi melaksanakan haji.

Dari kisah ini jelas, kepedulian sosial, menolong saudara yang kelaparan adalah bagian dari pesan ibadah haji yang apabila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, ibadah hajinya akan diterima oleh Allah SWT. Tidak hanya itu, secara sosial tentunya akan turut menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan dan kebodohan di negeri ini.

Masalah sosial kita selanjutnya adalah maraknya kezaliman, kemungkaran dan kemaksiatan di negara yang notabene mayoritas muslim. Pemabalakan hutan yang liar dan rakus, terbukti semakin menambah penderitaan rakyat kecil (banjir di Papua). Kemaksiatan dilindungi, minuman keras terus beredar, pelacuran dan usaha-usaha sebagian oknum yang melindunginya atas nama hiburan dan pariwisata, nampak jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Ironisnya, fenomena itu berlangsung aman di negeri “sejuta Haji” ini.

Kenyataan ini selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama sebagai umat Islam khususnya, masyarakat Indonesia umumnya. Menjadi tanda tanya besar bagi kita, tentang apa dan bagaimana sesungguhnya pemahaman muslim Indonesia terhadap ibadah haji. Sehingga ibadah haji tidak banyak berefek dalam arah perubahan sosial, politik dan budaya masyarakat kita menjadi lebih baik.

Panggilan Suci dan Semangat Pembebasan

Banyak orang percaya bahwa kesempatan berhaji adalah panggilan suci yang tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan serupa. Panggilan suci menuntut kepasrahan untuk melepas segala atribut materi: suku, bangsa, jabatan, keturunan, harta dan semua yang berbau status sosial. Pakaian ihram berwarna putih tanpa jahitan, menggambarkan dengan sempurna bentuk kepasrahan tersebut.

Wukuf di Arafah mengandung pesan betapa kecil manusia di hadapan Sang Pencipta, seperti sebutir pasir di hamparan gurun yang luas, air di bentangan samudera. Maka, tidak ada alasan manusia untuk menyombongkan diri apalagi menindas satu sama lain.
Tawaf, mengelilingi satu pusaran Ka’bah, memberi makna persamaan derajat manusia di hadapan Allah SWT. Tak satu orang pun lebih dari yang lain, kecuali dari sisi ketakwaanya kepada Allah SWT. Sementara Sa’i, berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah (dalam sejarahnya menunjukan tanggungjawab seorang ibu atas kewajibannya), mengisyaratkan manusia bertanggungjawab atas sesamanya. Orang kaya punya tanggungjawab terhadap orang miskin. Penguasa bertanggungjawab terhapa yang dipimpinnya.

Dengan ritual haji yang syarat makna persamaan derajat manusia tersebut, jamaah haji yang pulang ke tanah air, bukan untuk menjadikan gelar hajinya sebagai kelompok kelas sosial baru, yang memicu kesenjangan sosial baru. Melainkan menjadikan pesan haji sebagai bahan bakar semangat pembebasan di masyarakat. Membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan.
Semangat pembebasan ini pernah dimiliki oleh para haji kepulauan Nusantara ini pada abad ke-19. Mereka bergerak melawan kolonial Belanda yang menindas petani dan rakyat jelata.

Ibnu Qoyim, Ulama di Indonesia Pada Akhir Abad IXI dan Awal Abad XX, dalam Jurnal Sejarah 3, hal. 26, MSI bekerjasama dengan Gramedia, Jakarta: 1995, memaparkan bahwa peristiwa kekerasan adalah gejala umum yang menampakan diri di hampir seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19. Setelah perang-perang besar seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan perang Padri (1821-1837), berbagai pemberontakan lain meletus. Jihad di Cilegon atau pemberontakan Petani Banten (1888), peristiwa Nyi Aciah (1870-1871), gerakan Amat Ngaisa dan gerakan Kobra (1871). Peristiwa Jasmani di Kediri, Jawa Timur (1888), dan di daerah Sumatera dan Kalimantan (1821-1838), Perang Banjarmasin (1857-1862), dan perlawanan lainnya, mewarnai isi kalender sejarah abad ke-19. Kesemuanya adalah penentangan terhadap kekuasaan atau dominasi Belanda.

Sejak saat itu keberangkatan umat Islam Nusantara naik haji dibatasi oleh Belanda. Belanda mengutus seorang ilmuwan, Snouck Horgronje, untuk mempelajari keberadaan kegiatan jama’ah haji di Mekah. Langkah Belanda ini menegaskan kepada kita bahwa mereka menganggap kegiatan ibadah hajilah yang telah menumbuhkan semangat perlawanan di dada para Haji yang Ulama di Indonesia.

Tentu saja fakta sejarah tersebut harus “diterjemahkan” dalam konteks kekinian. “Musuh” yang menanti jama’ah haji Indonesia sekarang bukan lagi penjajah Belanda, tetapi semua bentuk ketidakadilan, keserakahan, kebodohan, kemiskinan, kezaliman dan kemaksiatan, baik yang berada di dalam dirinya maupun di lingkungan sosialnya. Kesemuanya menanti agresifitas dan progresifitas para Haji yang terpancar dari “kesempurnaan” ibadah haji mereka. Semoga!

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumni IAIN “SGD” Bandung.

Ayatbanten: 100 Hari Kerja Walikota & Madrasah Swasta

Ayatbanten: 100 Hari Kerja Walikota & Madrasah Swasta: "Oleh: Ayatulloh Marsai* Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang “ditelorkan” oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat..."

Kamis, 21 Oktober 2010

100 Hari Kerja Walikota & Nasib Madrasah Swasta*

*)Tulisan ini dimuat di kolom Gagasan Banten Raya Post, Kamis, 4 November 2010


Oleh: Ayatulloh Marsai**


Seluruh madrasah di Kota Cilegon masih merasakan manfaat program yang diluncurkan oleh Walikota terdaulu (Tb. Aat Syafaat), Honor Daerah (Honda) dan Beasiswa Keluarga Miskin (Gakin). Program ini bisa membantu peningkatan kualitas pendidikan, terutama di madrasah swasta. Dan, sebagai program unggulan daerah, Honda dan Gakin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota dan Wakil Walikota terpilih, Tb. Iman Aryadi dan Edi Aryadi. Ini patut mendapat apresiasi dari kalangan pesantren dan madrasah swasta di Kota Cilegon. Bagaimana tidak, program ini telah mengisi ruang kosong yang selama ini menjadi kegelisahan civitas dan wali siswa di madrasah, tidak mampu mengganti kelelahan tenaga pengajar, dan oprasional pendidikan, sebab kondisi ekonomi peserta didiknya.


Tetapi, dalam program 100 hari kerja Walikota dan Wakil Walikota yang baru, Tb. Iman Ariyadi dan Edi Aria, kalangan madrasah swasta terhenyak “menahan nafas” dan “mengurut dada”, ketika program 100 hari itu berlalu, tidak satupun program yang berpihak kepada madrasah swasta. Siapa yang tidak pilu, melihat saudara “sekandungnya” menerima nafkah dari “bapaknya”, sementara dia tidak. Inilah yang dirasakan oleh madrasah swasta di Cilegon, ketika “menonton” dua program untuk pendidikan dalam 100 hari kerja Walikota Cilegon ini.


100 hari, 2 Program untuk Pendidikan
Ada dua program (katanya populis) yang sasarannya lembaga pendidikan, tetapi tidak menyentuh secara merata lembaga pendidikan yang ada di Kota Cilegon.
Pertama, program SPP gratis untuk Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Jumlah Madrasah Aliyah Negeri di kota ini hanya 2 madrasah. Sementara jumlah madrasah swasta berpuluh kali lipat dari MAN. Selisih yang sangat jauh berimbang. Dengan kata lain, sebagian besar anak bangsa ini berada di madrasah-madrasah dan sekolah swasta.
Yang kedua, program bantuan buku Ujian Nasional (UN) gratis. Program yang kedua ini merupakan implentasi dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang ada di Cilegon (BUMD). Hanya saja yang merasakan program ini, sekolah-sekolah yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan –untuk tidak menyebut sekolah umum-- di Kota Cilegon. Sementara lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Kementrian Agama RI di Cilegon, tidak turut merasakan manfatnya.


Bagaimana dengan Madrasah Swasta? Apakah tidak masuk dalam agenda 100 hari kerja Walikota itu? Sangat ironis memang, program pemberdayaan dunia pendidikan yang seharusnya bisa menyentuh lembaga pendidikan di kota ini secara keseluruhan, tetapi kenyataannya hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecilnya saja. Bukankah kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa yang diamanatkan oleh UUD ’45, tidak disertai oleh klasifikasi jenis sekolah maupun tingkatannya? Tetapi, kenapa yang terjadi demikian halnya?


Nampaknya ada dikotomi antara keduanya. Dikotomi sekolah dan madrasah semakin dikuatkan oleh kebijakan ini. Dikotomi yang seharusnya sudah harus segera dilenyapkan ketika bangsa kita sudah bisa memerintah sendiri. Paling tidak, penghilangan dikotomi itu ditempuh dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merata, tidak memandang perbedaan yang ada pada madrasah dan sekolah, melainkan melihat persamaannya sebagai lembaga yang sama-sama berkewajiban mencercaskan anak bangsa.


Melihat kenyataan ini, saya teringat dengan pemaparan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, seorang Sejarawan dari Universitas Padjajaran, yang memaparkan dalam bukunya, Api Sejarah, bahwa dulu Penjajah Belanda memecah belah melalui Sekolah. Bagaimana sikap Penjajah Belanda terhadap sekolah-sekolah rakyat pribumi yang sengaja dibuat oleh Belanda, dibedakan dengan sekolah-sekolah yang dibuat untuk kalangan anak Eropa dan pribumi bangsawan. Tidak hanya kelas sosialnya, sampai dengan anggaran yang dialokasikan juga jauh berbeda.


Menurut Pak Mansur, diskriminasi merupakan landasan dasar pelaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dana pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Untuk Europesche Lager School (ELS), sekolah yang diperuntukkan khusus orang Eropa, yang jumlah muridnya hanya 2.500 murid mendapatkan subsidi f. 2.677.000,- sebaliknya, untuk Hollansch Indische School (HIS) dengan jumlah murid 162.000, hanya disediakan dana f. 1.399.000. Padahal jumlah muridnya 75 kali lipat lebih banyak daripada murid ELS, dengan subsidi hanya setengah dari ELS.


Disamping sekolah-sekolah yang disebutkan di atas, ada lembaga pendidikan yang usianya lebih tua, tetapi tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial, yakni pesantren. Pesantren adalah basis pendidikan Agama Islam yang dimotori oleh para Kyai dan Haji. Dan lembaga pendidikan yang terakhir ini tidak mendapat anggaran sedikitpun dari pemerintahan Belanda.


Zaman berganti, dari bangsa yang terjajah, menjadi bangsa yang merdeka, sudah 65 tahun. Sekolah-sekolah yang disebutkan di atas sudah tidak ada, berganti dengan SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum. Disamping itu ada Pesantren, MI, MTs, MA dan Perguruan Tinggi Agama. Namun, pergantian zaman tersebut tidak merubah pandangan pemerintahan yang merdeka ini terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Pembedaan itu masih terasa.


Dikotomisasi sangat kental terasa dalam setiap kebijakan yang lahir. Masalah anggaran subsidi pendidikan, pengangkatan tenaga pengajar, belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, sangat jauh dari keseimbangan antara Madrasah dengan Sekolah. Kondisi ini juga terjadi pada penerimaan peluang kerja, cendrung lulusan Madrasah tidak sejajar kesempatannya untuk mengisi peluang yang ada, meskipun mungkin secara kompetensi sama. Situasi ini mengganggu pikiran, perasaan dan mental “penghuni” pesantren dan madrasah. Dan harus diakui “penghuni” tersebut adalah bagian terbesar dari orang-orang yang harus “diproteksi” secara ekonomi oleh negara.


Seharusnya setelah Kolonial Belanda hengkang, Indonesia merdeka, pembedaan itu sudah tidak ada. Semua warga negara dipandang sama kedudukannya bukan hanya dalam kewajiban, namun juga haknya. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dari negara.


Fakta di atas cukup relevan "perenungan mendalam" untuk pemerintahan yang mau belajar dari sejarah, pemerintah yang menginginkan pemerataan kekayaan negara merata kepada seluruh rakyatnya. Karena pemerintah adalah "bapak" yang berkewajiban bersikap adil terhadap semua "anak-anaknya." Wallahu 'alam!


**)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah
Juga Alumnus IAIN ‘SGD’ Bandung.

Rabu, 20 Oktober 2010

Menguji Sinergisitas Ulama dan Umara

Oleh: Ayatulloh
*Tulisan ini dimuat di Kolom Gagasan Banten Raya Post, 15 Oktober 2010



Tanggal 6 Oktober , hadline Harian Banten Raya Post, menulis judul, “KPA Gagas Outlet Kondom”. Isinya keinginan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Cilegon membuka outlet pelayanan kondom di tempat yang rawan transaksi seks.

Terus terang ketika pertama kali membaca berita ini, yang pertama kali saya “gerayangi” adalah cara berfikir KPA. Faktor apa yang membuat KPA terdorong pada kesimpulan ini. Kemudian yang kedua, saya menunggu reaksi Ulama Kota Cilegon, baik yang terlembaga (MUI) maupun yang tidak terlembaga, yang tersingkir/terhempas di pojok-pojok sejarah. Kemudian ketiga DPRD Kota Cilegon. Kepada yang satu ini saya kurang begitu berharap, walaupun jalur mereka sebenarnya lebih berwenang dan berhak mengawasi jalannya pemerintahan. Tetapi, pada sisi kepentingan politik mereka jelas lahir dari partai politik yang bersaing, sehingga suaranya sarat kepentingan. Kemudian terakhir, Kepolisian. Polisi bergerak berdasar laporan masyarakat atau kordinasi/intruksi pemerintah.

Dalam tulisan ini tumpuan saya tertuju pada Pemerintah dan Ulama menjadi subyek yang mempunyai daya ubah agar umat hidup dalam kemaslahatan bukan kemafsadatan. Atau, kalau subjek-subjek itu telah menjadi tak bertenaga, tunggu saja solusi dari umat sebagai kekuatan sejarah. Atau, umatnya juga buta dan masabodoh terhadap penyakit-penyakit sosial?, Allah Maha Kaya akan jalan keluar, peringatan ataupun hukuman.

Sekretaris KPA, Priyo Wahyuana, mengatakan bahwa tujuan pengadaan outlet kondom di tempat-tempat rawan itu untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit AIDS di Kota Cilegon. Karena berdasarkan hasil rapat Pansus DPRD Banten dengan Komisi II DPRD Kota Cilegon dan Dinkes Kota Cilegon, jalur penyebaran AIDS 40 persen diakibatkan oleh hubungan seks bebas termasuk oleh PSK dengan pelanggannya. (Banten Raya Post, Rabu, 6 Oktober 2010).

Ini artinya, KPA mau memfasilitasi para pelanggan bagaimana supaya mereka tetap melakukan aktifitasnya dengan aman tanpa takut terjangkit HIV. Solusi ini selain tidak menghentikan aktivitas seks bebas (perzinahan) yang sudah berlangsung, juga akan berakibat bertambahnya para pelanggan seks, dalam bahasa KPA, orang kebelet, kebelet baru baru, karena merasa dilegitimasi oleh pemerintah. Kalau bukan legitimasi, apa namanya? Tidak hanya berhenti disini, masyarakat umum (remaja misalnya) yang selama ini sudah masuk pada lingkaran pergaulan bebas (ingat gambar porno pasangan pelajar salah satu SMA Kota ini beberapa tahun yang lalu), juga dimudahkan dengan keberadaan outlet itu.

KPA harus belajar dari Julia Perez. Rakyat Indonesia pernah protes melalui media masa ketika dalam setiap pembelian album Julia Peres, terdapat hadiah langsung berupa kondom. Ini artinya, masyarakat tidak akan pernah mentolerir perbuatan perzinahaan karena masyarakat Indonesia beragama dan berbudaya timur. Kepekaan masyarakat terhadap norma susila ini juga terbukti ketika mereka menyikapi kasus Ariel-Luna-Cut Tari. Singkatnya, perilaku asusila dalam hal ini, hubungan seks tidak sehat (perzinahan) tidak boleh berkembang biak di Kota Cilegon dengan difasilitasinya kegiatan mereka dengan outlet-outlet kondom terdekat.


Harapan Tertumpu pada Ulama

Saya yakin tidak ada perdebatan pada golongan dan agama apapun apalagi ulama bahwa perilaku yang dalam bahasa KPA seks tidak sehat itu adalah perilaku terlarang --zina. Dan, sebenarnya bisa terjadi dimana saja, tidak hanya di tempat hiburan. Oleh karena sek tidak sehat itu mutlak salah dilihat dari mana saja, baik agama, sosial, maupun budaya, maka peran ulama cukup jelas: amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan melarang/melawan kejahatan).

Idealnya pemerintah (umara) dan ulama sama-sama menghendaki kemaslahatan umat. Alasan ini yang mengharuskan ulama mesti bergandengan tangan dengan umara. Ulama Kota Cilegon adalah komponen masyarakat yang penting di mata Pemerintah yang nanti pada 27 Oktober 2010, akan diajak bicara mengenai masalah HIV/AIDS. Ini kesempatan buat ulama untuk memberikan solusi yang benar, solusi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam (yang sudah pasti maslahat). Ulama harus menentang solusi yang dilandaskan pada kepentingan politik semata dan uang semata. Posisikan diri sebagai ulama yang tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik dan uang.

Menurut saya, ulama harus berani mengatakan bahwa kalau pemerintah mau memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS maka satu-satunya jalan adalah menghilangkan dan tidak mentolerir perilaku seks tidak sehat itu. Karena dalam ajaran Islam hukum zina jelas sekali, jangankan melakukannya, mendekatinya saja sudah tidak diperbolehkan (al-Isra’: 32), kita harus pegang erat ajaran ini, karena sebagaimana kita ketahui ajaran Islam tidak bertentangan dengan tujuan kemaslahatan seluruh umat. Jangan kemudian ulama menjadi bagian dari komponen yang memfasilitasi perzinahan supaya aman dan tidak menimbulkan penyakit, sementara perzinahannya sendiri membudaya di masyarakat. Penyakit fisik diputus mata rantainya, sementara penyakit sosial direstui memasyarakat. Ini persis bagian dari kejahiliyaan.

Ulama adalah pewaris para nabi. Mewarisi al-quran dan al-hadis serta semangat kenabian Nabi Muhammad SAW. Semangat kenabian seperti dicontohkan oleh peran Nabi Muhammad SAW dalam merubah masyarakat Arab dan sekitarnya yang jahil (biadab) menjadi tercerahkan (berperdaban --tamadun). Mewujudkan masyarakat madinah yang berwawasan kemaslahatan bersama.

Masyarakat Kota Cilegon juga semoga tidak lupa dengan peristiwa Geger Cilegon 1888. Tokoh peristiwa ini adalah seorang ulama bernama KH Wasyid. Beliau bergerak bersama ulama-ulama se-Banten untuk melawan Kolonial Belanda yang telah sewenang-wenang terhadap para petani melalui programnya kultur stelsel (kerja paksa). KH Wasyid dan santrinya bergerak, tidak hanya membunuh petinggi-petinggi Belanda tetapi juga pejabat pribumi yang diuntungkan dan berpihak kepada penjajah. Inilah identitas ulama Kota Cilegon seharusnya.

Giliran ulama Cilegon generasi kita, membuktikan semangat kenabian Muhammad SAW dan mewarisi keberanian KH Wasyid untuk membendung, menghilangkan kejahiliyaan di Kota ini. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kebaikan dan melarang/melawan kejahatan) sepenuhnya. Tidak setengah-setengah, hanya diambil amar ma’ruf-nya saja, sedangkan nahi mungkar-nya tidak dilakukan. Dan tidak juga sebaliknya, hanya mengambil nahi mungkar, sedang amar ma’ruf diabaikan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan penuh dan konsisten. “Siapa suka, ayo ikut!”, begitu kata syair sebuah lagu. Dan siapa menghalangi menjadi lawan kekuatan sejarah (umat).


Mendirikan Outlet Kondom Menguji Sinergisitas atau Keislaman Ulama dan Umara?

Pada tanggal yang ditentukan, 27 Oktober 2010 nanti, Ulama akan ditanya oleh KPA, kemudian Ulama angkat bicara. Apakah sikap ulama nanti ada pada wilayah sinergisitas dengan gagasan KPA mendirikan outlet kondom itu? Atau, apakah Ulama dan Umara membawa Keislaman (kemaslahatan) mereka dalam “menelurkan” program terkait masalah ini. Semoga Ulama dan Umara Kota Baja ini sekuat baja dalam mempertahankan keberpihakan terhadap kemanusiaan dan masyarakat –bukan berpihak pada kuasa dan uang.

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah.
Tinggal di Kec. Purwakarta-Kota Cilegon.

Rabu, 06 Oktober 2010

MANIPULASI DUKUNGAN PUBLIK

MANIPULASI DUKUNGAN PUBLIK

Oleh: Ayatulloh, S. Hum

“....pada sisi yang ekstrim dimana informasi dan pengetahuan bergerak dengan sangat cepat dan efisien bukan mustahil kita kembali ke masa lalu dimana hanya consensus (hukum tidak tertulis) dan keimanan / taqwa (hukum Allah SWT) yang akan mengatur social dan budaya manusia”. (Onno W. Purbo, Filosofi Naif Kehidupan Dunia Cyber, Penerbit Republika, Jakarta: 2003).

PERISTIWA paling fenomenal pasca terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono (SBY) – Budiono adalah perseteruan segi tiga: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Kita tahu, Bibit dan Candra sebagai korban pertama dari perseteruan ini. Mereka dimasukan penjara sebelum proses penyidikan selesai dilaksanakan.

Yang baru dari peristiwa ini, dibanding kasus penyidikan korupsi yang lain adalah munculnya trend baru: dukungan terhadap tersangka (Bibit dan Candra) dari publik melalui facebook. Ini benar-benar trend baru.

Semangat publik dari dulu terbukti kuat ”meninju” siapapun yang menafikan keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan akhir pemerintahan. Dulu suara publik disalurkan melalui gerakan pelajar, mahasiswa dan organisasi kepemudaan. Agaknya, saluran-saluran lama ini sudah mampet. Atau kalaupun tidak mampet, sudah ompong dan tidak tajam lagi. Sehingga, zaman menjawab dengan caranya sendiri.

Apa yang prediksi oleh Onno W. Purbo enam tahun yang lalu menjadi kenyatakan bahwa ketika informasi dan ilmu pengetahuan bergerak sangat cepat, maka aturan yang berlaku bukan lagi aturan tertulis (aturan pemerintah –hukum positif), tetapi konsensus sosial (aturan tak tertulis –adat).

Sekarang, fenomena facebook telah mengeluarkan Bibit dan Candra dari tahanan sebagai bukti suara publik lebih kuat dari negara, otoriter sekalipun.

Sadar betul dengan kekuatan suara publik ini, Pemkot Cilegon memanfaatkannya (”memanipulasi”-nya) menjadi kekuatan yang mendukung seluruh keinginan pemerintah berkuasa. Gerakan manipulasi ini bisa ditunjukan dengan ”langkah pantang mundur-nya” Pemkot Cilegon untuk membangun Pelabuhan Kubangsari tanpa dilengkapi Hak Pengolahan Lahan (HPL). Dalilnya, sekali lagi adalah dukungan publik. Ditambah modal publik.

Pentingnya Sasaran Hidup Diukir dalam Hati Kuat-kuat

Rabu, 04 Agustus 2010
15:47


Oleh: Ayatulloh, S. Hum

Tanggal 4 Agustus 2010, disela-sela jam kosong, saya mencoba menerapkan konsep yang ditawarkan oleh Alan Karein, kepada siswa yang duduk di kelas X A. Konsep itu menganjurkan untuk menjawab 3 pertanyaan penting untuk merangsang munculnya tujuan hidup seseorang dalam jangka panjang, jangka menegah dan jangka pendek. Pertanyan pertama, apa sasaran hidup Anda? Kedua, bagaimana seharusnya Anda memanfaatkan waktu dalam lima tahun kedepan? Dan ketiga, apa yang akan Anda, jika Anda tahu minggu depan akan disambar petir? Dalan tulisan ini hanya akan menjelaskan jawaban-jawaban siswa (responden) atas pertanyaan “Sasaran Hidup”.

Jawaban atas pertanyaan sasaran hidup, banyak memunculkan keinginan terhadap sesuatu yang ingin dicapai dalam hidup ini. Seperti, sukses, berguna, berharga, ingin memberikan sesuatu kepada seseorang yang dianggap penting. Sementara objek dari keinginan itu juga sangat beragam. Misal, orang tua, bangsa, negara, agama, masyarakat, keluarga dan Allah SAW. Singkatnya, kesuksesan yang diinginkan tidak hanya untuk kepentingan sendiri, namun juga untuk diberikan kepada orang lain. Dan, orang lain itu tentunya sangat dekat dan penting dalam kehidupannya.

Kesuksesan sebagai sasaran hidup semua
Dari 35 siswa yang diminta untuk mengisi pertanyaan “Apa Sasaran Hidup Anda”, 19 siswa menjawab langsung dengan kata “saya ingin sukses/kesuksesan hidup”. Sisanya, mengunakan bahasa yang lain, seperti “ingin berguna”, ingin berharga” ingin pinter” dan “ingin berilmu”. Saya menganggap bahwa kata-kata ini sangat identik dengan keinginan sukses seseorang dalam mengarungi kehidupan ini.
Dalam jawaban yang dituliskan responden, mereka sadar betul bahwa untuk meraih kesuksesan, kebergunaan, keberhargaan, dan kepintaran, perlu proses yang baik dan benar. Mereka sadar, kalau mereka harus lebih rajin belajar, lebih giat, tidak menyia-nyiakan waktu, dan menghormati orang tuanya. Ini menunjukan pengakuan jujur siswa, kalau kesuksesan itu butuh proses. Proses itu butuh waktu. Maka, waktu yang tersedia harus mereka isi dengan hal-hal yang mengarah pada harap hidup tadi. Tidak boleh ada aktivitas yang sia-sia dalam 24 jam sehari. Kalaupun ada aktivitas yang melenceng, itu tidak boleh berlangsung lama dan berkepanjangan. Harus kembali pada “rel-nya”, dengan cara menyempatkan waktu barang 5 menit untuk menuliskan “harapan hidup anda”, kembali.

Saya melihat bahwa yang dimaksud “sukses” disini, tidak hanya berdimensi dunia, namun juga berdimensi akhirat. Buktinya, ada 3 siswa, yang penjelasannya kemudian menyebutkan, ingin menunaikan ibadah haji, 1 orang yang ingin menghentikan kebiasaan berbohong sama orang tua, 1 orang yang ingin iman, takwa dan tidak sombong. Dimensi akhirat juga terlihat dari keinginan mereka untuk menjadi anak yang soleh , solehah, berakhlak mulia dan akan lebih rajin lagi beribadah.

“Sukses berdimensi dunia”, mereka bahasakan dengan bikin bangga orang tua, berguna untuk masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan, “sukses berdimensi akhirat”, mereka bahasakan dengan “ingin masuk surga”. Ini sebuah keinginan yang holistic (menyeluruh), tidak setengah-setengah, “bahagia dunia-akhirat”.
Namun demikian, jawaban-jawaban mereka masih terlalu umum, abstrak, dan mungkin universal. Tidak bersifat kongkret. Dalam praktenya, keinginan yang masih terlalu umum, tidak cukup kuat “mengikat” mereka untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang sesuai dengan sasaran hidup. Keinginan yang khusus, kongret, dan nyata, akan bias mengendalikan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Keinginan yang kongkret itu misalnya, berangkat haji (tiga orang), menjadi polisi (satu orang), ingin bisa baca kitab (satu orang), dan menjadi seperti Yai (maksudnya, H. Hasbullah Qomar, tokoh pendiri Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah) (satu orang).

Keinginan yang kongkret akan lebih jelas “menggaung” dalam benak, jelas tergambar, yang akhirnya akan membentuk prilaku dalam hidup keseharian.

MENUJU CPNS SEJATI

Tiga Tangga Menggapai PNS Sejati

Oleh: Ayatullah, S. Hum

Ketika media massa memberitakan pendaftaran CPNS 2009 akan di buka dalam waktu dekat, maka seluruh masyarakat berharap bisa masuknya didalamnya. Tidak hanya untuk kepentingan dirinya bahkan kalau perlu anaknya, mantunya, saudaranya, keponakannya, anak teman-teman terdekatnya semua yang ada hubungannya dengan dia, kalau bisa dapat masuk sebagai CPNS 2009 ini. Agaknya, menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil adalah pekerjaan idola sebagian besar –untuk tidak menyebut semua—masyarakat kita. Seorang teman pernah mengatakan, gejala ini biasa terjadi pada setiap negera berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Maka wajar, kalau disekeliling kita, orang berlomba-lomba mendapatkan status PNS.

Bagi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil ini seolah sudah menjadi kebutuhan. Bukan lagi sebagai keinginan. Dalam pandangan para motifator ekonomi, konsep kebutuhan adalah dimana seseorang tidak punya pilihan lain untuk melangsungkan aktifitasnya. Sementara, konsep keinginan, dimana seseorang mempunyai alternatif lebih dari satu untuk melanjutkan aktifitasnya.

Bagaimana tidak PNS menjadi kebutuhan? Masyarakat kita lebih menghargai seragam coklat ini daripada kemejan, celana panjang dengan warna tidak ditentukan dan kesehariannya mendidik anak-anak di Madrasah. Pegawai honor juga manusia, ketika keadaan ekstren menekan dia sebagai orang tidak terlalu penting keberadaannya, wajar kalau dia punya hasrat mengganti seragamnya dengan seragam coklat tadi.

**
Ketika pendaftaran dimulai, dan formasi diumumkan, mulailah nasib dipertaruhkan. Dari sekian formasi yang dibutuhkan, belum tentu ijazah –untuk tidak menyebut kemampuan—yang dimiliki ada dalam daftar formasi itu. Ini adalah tangga pertama yang harus dilalui. Kalau tangga pertama ini bisa dilewati maka dia harus menaiki tangga kedua, yaitu harus benar-benar percaya bahwa ujian seleksi CPNS yang akan berlangsung benar-benar fair. Tidak ada unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) –nya. Tangga kedua ini paling berat untuk dicapai, karena selama ini, banyak orang bersaksi bahwa yang kemudian lulus seleksi adalah orang yang terhubung dengan nama pejabat setempat. Mulai pejabat yang berada di bawah sampai yang ada di atas. Bahkan, yang ada diantara keduanya. Dalam Ilmu Sejarah kesaksian, dugaan atau keyakinan pribadi ini disebut Subyektivitas. Tetapi, kalau kemudian kesaksian, dugaan atau keyakinan itu didukung oleh pengalaman yang sama dengan banyak orang, ini disebut Inter-subyektivitas. Dan ini sah dijadikan sebagai dasar pijakan untuk kebenaran Ilmu Sosial.

Tangga perjuangan terakhir adalah kemampuan dia menjawab soal-soal yang nanti keluar. Pada tangga ini, kemampuannya dipertaruhkan. Kemampuannya harus sebanding dengan angka-angka yang tercantum pada transkrip nilai di ijazahnya. Kalau tidak mampu menjawab soal-soal, jangan harap, walaupun sudah susah payah menaiki tangga pertama dan kedua dengan modal keyakinan, bisa lolos dalam ujian seleksi CPNS yang diyakini fair tadi.
***
Karangtengah, 18 November 2009
Penulis adalah Guru SKI di Perguran Islam Al-Khairiyah Karangtengah

"Menghidupkan" Kembali Rasulullah SAW.

Kondisi Obyektif

Memasuki bulan Rabi’ul Awal 1431 Hijriyah ini, di berbagai daerah di Indonesia sudah mulai menjadwalkan pelaksanaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fenomena ini merupakan tradisi yang sudah melekat dalam diri umat Islam di Indoensia, baik yang memperingatinya dengan mengundang penceramah maupun dengan tradisi mengumandangkan Zikir Mulud secara berjama’ah. Yang terakhir ini sudah merupakan upacara rutin sebagian besar umat Islam Indonesia dari generasi ke generasi.


Kalau kita mencari sumber bagaimana upacara peringatan kelahiran Nabi di Yogyakarta dan Cirebon dilaksanakan, mungkin kita tidak terlalu sulit menemukan sumber-sumbernya. Tetapi, bagaimana upacara Muludan di Banten, atau lebih khusus lagi Cilegon, kita dipaksa harus melihat dan mengamati sendiri di masjid-masjid tertentu. Untungnya, masih banyak masyarakat yang melaksanakan Muludan ini. Sehingga kita tidak terlalu sulit menemukan upacara ini di masjid-masjid yang ada di Cilegon.


Supaya tidak terjebak pada pen-generalisasi-an masalah saya membatasi obyek tulisan ini pada upacara-upacara Muludan di sekitar tempat tinggal saya, tepatnya di Kecamatan Purwakarta Kota Cilegon.


Keduanya mempunyai kesamaan tujuan yaitu menghormati dan menjunjung tinggi kepribadian Nabi.


Muncul pertanyaan. Kenapa hanya ”hari kelahiran” yang diperinagati, bukan ”hari kematiannya”? Bukankah dalam tradisi Islam Indonesia, kita mengenal istilah haul untuk ulang tahun kematian? Kenapa istilah tersebut tidak berlaku untuk Nabi Muhammad SAW?


Dalam sebuah tulisannya di website Departemen Agama Republik Indoensia, Hamzah Sahal, mengutip pendapat gurunya tentang masalah ini bahwa sebab kenapa hanya muludan (ulang tahun kelahiran) yang diperingati, bukan haul (ulang tahun kematian) adalah kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira. Dan, cahaya yang sudah terpancar, menerangi kehiduapan alam ini tidak boleh padam dengan meninggalnya beliau. Singkatnya bahwa memperingati hari kelahirannya mengingatkan kita akan fungsi kenabian yang telah dilaksanakan dengan sempurna oleh beliau.


Fungsi Kenabian

Tidak bisa dibantah bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat. Tetapi, ajaran dan tauladan sepanjang kehidupanya harus tetap hidup. Ada hadis mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Pewaris bukan dalam hal kedudukan sebagai nabi, tetapi pewaris fungsinya di tengah-tengah umat. Untuk melakoni fungsi itu dibutuhkan sosok yang dalam isitilah Ali Syariati, disebut sosok tercerahkan. Artinya, sosok itu tidak harus orang yang bergelar kesarjanaan tetapi orang yang sadar betul akan keberadaannya di tengah-tengah umat sebagai penggerak arah perubahan sosial. Dia harus memfungsikan dirinya sebagai ”nabi”, meskipun dirinya bukan Nabi. Dia harus menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan kepada masyarakat yang mungkin bodoh, miskin dan mandek.

Masalahnya sekarang, apakah gema salawat atas nabi yang begitu riuh reda terdengar dari masjid-masjid pada bulan Rabiul Awal ini, diikuti dengan pelaksanaan anjuran-anjuran beliau sepanjang kehidupan belaiau. Atau, kita hanya terjebak pada sebuah upacara seremoni belaka. Sementara anjuran-anjuran Nabi (hadis) kita abaikan dari keseharian kita. Kalau demikian yang terjadi sangat ironis. Apakah ini yang diharapkan oleh Rasul? Upacara pengormatan yang akbar. Bukan kesungguhan umatnya melaksanakan seluruh anjuran-anjuran beliau. Tentu, jawabanya bukan atau tidak. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi hendaknya menjadi daya ungkit untuk mengevaluasi diri, umat dan bangsa dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang pernah ”dilahirkan” dan ”dibesarkan” oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.

Selasa, 05 Oktober 2010

ISLAMISASI BAND INDONESIA

ISLAMISASI BAND INDONESIA
(Menatap Masa Depan Bersama “Wali”)

Oleh Ayatulloh, S. Hum

Lagu bagian dari seni. Seni adalah kreativitas yang halus, lembut indah dan universal. Karena keuniversalannya, maka siapapun yang mendengarkan, tanpa harus mengerti artinya, akan merasa nyaman. Karena keuniversalannya lagu bisa dinikmati lintas agama, suku, bangsa dan negara.

Maka tidak heran kalau dulu Walisongo menggunakan saluran seni sebagai media dakwah mereka. Sunan Kalijaga dengan wayangnya, Sunan Bonang dengan musiknya dan Sunan Giri dengan Gurindamnya. Karena seni bisa masuk ke semua hati pendengarnya.

Sekarang, nama Band “Wali” agaknya mulai menunjukkan eksistensi namanya. Wali mulai membidani beberapa lagu religius seperti, “Tomat”, “Mari Selawatan” dan “Kekasih Hati”. Dia adalah agen of chang (pembawa perubahan) untuk masyarakat Islam Indonesia. Sebagai alumni UIN Jakarta, karirnya merupakan hal yang jarang terjadi pada alumni-alumni perguruan Islam. Dia telah menambah daftar musik religius dalam bentuk “Band” di Indonesia.

Saya bergembira, karena akhirnya generasi Islam memenuhi panggilan “pasar” musik Inonesia. Bisa mewarnai musik Indonesia, yang digandrungi pemuda dan remaja, dengan warna Islam. Dengan begitu, kehawatiran saya berkurang, kebudayaan Indoensia (musik di dalamnya), akan diwarnai dengan warna yang lain. Karena bagi saya, kita sesungguhnya sedang berebut ruang dalam jagad ini. Apakah ruang itu akan diisi oleh kreativitas positif atau negative. Ruang itu tidak pernah kosong. Kalau tidak diisi dengan kreativitas positif maka isinya sudah pasti kreatifitas negative. Selaras dengan sifat otak manusia. Menurut Jalaludin Rummi, bahwa otak manusia tidak pernah kosong. Kalau tidak pikiran baik, maka pikiran buruklah yang ada pada otak manusia. Menurut saya, jagad inipun seperti itu keadannya.

Nah, group Band Wali, dengan lagu-lagu religiusnya adalah kreatifitas positif yang telah mempersempit ruang gerak kreatifitas negative di jagad raya ini.


Tegal Bunder, 24 January 2010

MASYARAKAT MADANI TANPA ”PIAGAM MADINAH”

Oleh: Ayatulloh, S. Hum

Pada konteks pembangunan Pelabuhan Kubangsari, Pemerintah Kota Cilegon dalam beberapa kesempatan, menyebutkan bahwa keterpaduan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah adalah bentuk dari pelaksanaan konsep Masyarakat Madani.

Pernyataan ini mengingatkan penulis pada konsep-konsep civil society yang sejauh ini merupakan akar dari konsep Masyarakat Madani yang berkembang di Indonesia. Sementara, walaupun sering dilontarkan ke publik, tetapi Masyarakat Madan sebagai sebuah konsep masih dalam perdebatan di kalangan intelektual Indonesia.

Terdapat dua pijakan historis lahirnya konsep masyarakat madani di Indonesia. Pertama, dari perkembangan masyarakat Eropa dimana elemen-elemen masyarakat: organisasi profesi, pelajar, mahasiswa bahkan organisasi keagamaan mewujud menjadi kekuatan publik dan berfungsi sebagai pengontrol dari kebijakan-kebijakan penguasa. Pada tataran ini juga, pendapat berkembang menjadi beberapa perspektif. Ada yang Hegelian, Gramscian dan Tocquevellian.

Yang Hegelian mengatakan bahwa civil society menekankan pentingnya kelas menengah dan pemberdayaannya, khususnya pada sektor ekonomi, bagi pembangunan civil society yang kuat. Yang Gramscian, menekankan penguatan civil society untuk menghadapi hegomoni ideologi penguasa. Pendapat yang satu ini menyatakan bahwa civil society adalah sebuah arena tempat para intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah mendukung proyek hegomoni tandingan. Sementara yang Tocquevellian, menekankan penguatan organisasi-organisasi independen dalam masyarakat untuk membangun jiwa demokratis.

Yang kedua, sebagian orang memijakan konsep Masyarakat Madani pada masa pemerintahan Rasulullah Muhammad di Madinah. Olaf Scuman, seorang Guru Besar Islamologi pada Universitas Hamburg, Jerman, ketika Masyarakat Madani dilandaskan pada kehidupan masyarakat Madinah pada masa Nabi, menyimpulkan bahwa Masyarakat Madani adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah (aturan-aturan) yang disepakati melalui dialog sosial-kemasyarakatan --sehingga aturan itu menjadi inklusif—dan berlaku bagi semua yang tinggal dalamnya.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis melihat bahwa konsepsi Masyarakat Madani Pemerintah Kota Cilegon lebih kepada pendapat yang kedua, yakni seluruh elemen masyarakat menjunjung tinggi aturan-aturan yang sudah ada, baik dalam bentuk Undang-undang maupun Peraturan-peraturan daerah, sebagai cita-cita bersama dalam pembangunan Kota Cilegon. Kalau dugaan ini benar, maka tidak heran kalau dalam beberapa kesempatan Pemerintahan Kota Cilegon selalu menyatakan keterpaduan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam pembangunan pelabuhan kubangsari adalah bagian dari pelaksanaan Masyarakat Madani.

Persoalannya, apakah pemerintah sudah memberikan ruang dialogis sosio-kemasyarakatan yang fair di kota ini sebagai prasyarat terbentuknya Masyarakat Madani? Sudahkah Pemerintah Kota dapat menangkap nilai-nilai atau pesan-pesan dialog sosio-kemasyarakatan itu menjadi qaidah-qaidah kompromi dari semua elemen masyarakat? Kalau jawaban yang dituntut dari pertanyaan ini sudah diberikan oleh pemerintah kepada ruang publik maka sah-lah bahwa pembangunan Pelabuhan Kubangsari harus dijunjung tinggi sebagai program bersama seluruh masyarakat Cilegon. Karena sudah melalui dialog sosio-kemasyarakatan seluruh unsur Masyarakat Madani.



Dialog Sosio-Kemasyarakatan Pelabuhan Kubangsari Dimulai
Setelah beberapa kali usaha formal Pemerintah Kota Cilegon gagal untuk mendapatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kubangsari, maka muncul suara publik melalui simpul-simpul organisasi atau paguyuban untuk mendukung dan mendanai proyek pembangunan pelabuhan kubangsari. Fenomena ini muncul pada 10 September 2009. Organisasi yang memulai dalam proses dialog ini adalah Forum Silaturrahmi Ulama Kota Cilegon yang menjanjikan 100 juta untuk pembangunan pelabuhan kubangsari; Forum Pengusaha Cilegon, 5 miliar; Forum Komunikasi BUMD, 2 miliar; Remaja Islam Masjid se-Cilegon, 100 juta; peguron pencak silat, 100 juta; Korpri Kota Cilegon, 15 miliar; Komite Nasional Pemuda Indonesia, 30 juta. (Banten Raya Post, 11 September 2009)

Sebagai sebuah keinginan yang mewakili masyarakat tertentu di Cilegon, itu sah dalam pandangan demokrasi. Dan ini langsung ditanggapi pemerintah dengan mengagendakan pembangunan Kubangsari dimulai tanggal 5 Oktober 2009. Dalam agenda itu direncanakan tahapan pertama dengan membangun trustle (jembatan pancang), penggalangan modal public dan APBD 2010. Tidak berhenti sampai disini, Pemkot telah membentuk Tim Pengkaji yang meliputi: analisis kelembagaan, analisis keuangan dan perbankan serta analisis teknis. Tim diharapkan memberikan rekomendasi penerbitan Perwal (Peraturan Walikota) perihal pembangunan Kubangsari melalui dukungan partisipasi masyarakat.

Tidak hanya itu, Pemkot juga ternyata sudah mempersiapkan prasarana pendukung seperti, akses jalan masuk ke kawasan pelabuhan, pematangan lahan, reklamasi, pemagaran areal pelabuhan, serta dokumen perencanaan yang menjadi prasyarat pembangunan fisik pelabuhan. (Banten Raya Post, 29 September 2009).

Pada tanggal 29 September 2009 muncul lawan dialog dari elemen masyarakat yang lain, yakni Aliansi LSM Kota Cilegon. Aliansi LSM Kota Cilegon meminta Pemkot tidak melanjutkan pembangunan kubangsai sampai mendapatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL)dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI. Lawan dialog ini ingin mengembalikan masalah pembangunan pelabuhan kubangsari pada prosedur yang harus dilalui oleh pemerintah, yakni Hak Pengelolaan Lahan (HPL)dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Prosedur ini harus dilalui oleh pemerintahan kota cilegon supaya niat baik pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat cilegon tidak mendatangkan masalah hukum di kemudian hari.

Berbeda dengan suara yang muncul dari elemen masyarakat sebelumya (Forum Silaturrahmi Ulama Kota Cilegon, Forum Pengusaha Cilegon, Forum Komunikasi BUMD, Remaja Islam Masjid se-Cilegon, Peguron Pencak Silat, Korpri Kota Cilegon dan Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang langsung mendapatkan sambutan, elemen masyarakat yang kedua tidak mendapatkan harapannya sedikitpun. Sampai akhirnya waktu yang diagendakan (tanggal 5 Oktober 2009) untuk peletakan batu pertama pembagunan pelabuhan kubangsari pun tiba. Dan pemerintah tetap dengan rencananya semula, melanjutkan pembangunan Pelabuhan Kubangsari. Hingga agaknya elemen yang belum tercaver keinginannya ini akan terus menyuarakan harapan itu kedepan.

Sampai disini jelas bahwa Pemerintah Kota Cilegon, dalam konteks pembangunan Pelabuhan Kubangsari, belum membuka ruang yang bebas untuk terjadinya dialog sosio-kemasyarakatan. Sehingga qaidah-qaidah yang harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kompromi dari proses dialog sosio-kemasyarakatan dalam Masyarakat Madani, belum terbentuk.

Untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang dicita-citakan, keinginan seluruh masyarakat, keinginan seluruh pengusaha harus mampu didialogkan oleh pemerintah. Hasilnya adalah qaidah-qaidah kompromi yang harus diakui bersama seluruh elemen masyarakat. Qaidah-qaidah inilah dalam konteks masyarakat Madinah disebut Piagam Madinah.


Cilegon, 15 November 2009

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam
di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah-Pabean