Jumat, 31 Desember 2010
06:43
“Ada seorang perempuan tua, pedagang pecel keliling. Di tengah dia menjajakan dagangannya dia kebelet buang hajat. Saking tak tahannya, dia membuang hajat sembarangan dan memilih tempat di bawah papan pengumuman bertuliskan “DILARANG BUANG AIR BESAR DI SINI”. Dia langsung ditegur oleh petugas yang melihatnya, “NEK APA NENEK GAK BISA BACA?”, “BISA”, jawab nenek itu. “COBA!”, cecar petugas. Lalu si nenek membaca dengan sangat fasih pengumuman itu. “KENAPA NENEK MASIH BUANG AIR BESAR DI SINI”, tanya petugas. “SAYA TIDAK MEMBUANG AIR SINI, APALAGI SAMPAI SATU EMBER, SAYA CUMA MAU BUANG HAJAT”, nenek membantah. Petugas langsung mengerti apa yang sedang terjadi dan tersenyum sambil menjelaskan maksud pengumuman tersebut, “NEK, YANG DIMAKSUD DENGAN “BUANG AIR BESAR ITU ADALAH BERAK, ATAU BUANG HAJAT, JADI NENEK JANGAN BERAK DI SINI.”
“Begitu perumpamaan orang yang tidak memahami al-qur’an”, hal ini sampaikan oleh Ketua MUI (Majlis Ulama Indonesia) Kota Cilegon, dalam acara Gema Muharram keliling di Mesjid Husnul Huda Link. Karangtengah, Desa Pabean, Kec. Purwakarta Kota Cilegon, malam Jum’at, 30/12.
Dalam acara ini MUI Kota Cilegon memberikan 2 buah al-Qur’an Al-Bantani yang sudah di revisi, karena sebelum mengalami sedikit kesalahan. Selain penyerahan al-Qur’an Al-Bantani juga diserahkan Kalender Hijriyah. Keduanya, dikatakan oleh MUI Kota Cilegon, amat dari Ibu Gubernur Banten, Atut Chosiyah.
Menurut Udi, kalender hijriyah hampir tidak dikenal oleh umat Islam sendiri, terutama generasi muda. Diterbitkannya kalender hijriyah ini adalah sebagai usaha sosialisasi tahun hijriyah kepada masyarakat yang cendrung lebih mengenal tahun masehi. Hal ini, selain disebabkan oleh nasionalisasi tahun masehi , juga disebabkan kesadaran umat Islam yang pudar. “saya himbau kepada para pemuda, jangan merayakan tahun baru dengan berlebihan, apalagi sampai pesta-pesta di pantai, ugal-ugalan dsb.”, pungkasnya.
“Selain amanat mushaf Al-Bantani dan kelendar hijriyah beliau (gubernur Banten -red) juga menghimbau agar masyarakat mengutamakan kebersamaan, kekompakan agar tercipta masyarakat yang kuat”, kata Udi.[ayatbanten].
Jumat, 31 Desember 2010
Kamis, 30 Desember 2010
Kiai Qomarudin Menghancurkan “Gegubugan” Yang Dibuat Penggali Kubur
By: Ayatulloh Marsai
Supaya tidak salah paham, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah gegubugan. Kata dasarnya adalah “gubug”, yang punya arti rumah atau pondok atau yang mirip dengannya. Sementara “ge” dan “an” adalah kata imbuhan awalan dan akhiran untuk menunjukan bahwa rumah atau mirip dengannya itu adalah rumah mainan. Atau dalam istilah sekarang, miniature, tapi dalam bentuk yang sederhana.
Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas gambaran tentang adat membuat “gegubugan” bagi penggali kubur yang punya istri sedang hamil, bisa dipahami dengan benar.
Kebiasaan ini adalah warisan nenek moyang kita, orang Banten, khususnya kampung Karangtengah, Cilegon. Dan, tetap berlangsung sampai Islam menjadi agama kita. Fenomena ini umum terjadi pada tradisi-tradisi yang lain di pulau Jawa.
Membuat gegubugan dilakukan khusus oleh orang yang istrinya sedang hamil. Gubug ini dibangun di sisi-sisi dekat kuburan, setiap orang yang istrinya sedang hamil membuat satu gubug. Posisinya berjejer satu sama lainnya. “Ritual” ini dipercaya bisa menyelamatkan cabang bayi yang ada dalam kandungan dari malapetaka cacat atau kelainan.
Karena unsur niat melakukan ritual itu berisi kemusyrikan, menyandarkan maslahat dan midarat kepada selain Allah, maka gubug-gubug itu dihancurkan oleh Kiai Qomar. Tentu saja sembari memberi penjelasan kepada umat, dimana letak kemusyrikan membuat gegubugan tersebut.
Banyak lagi praktek kemusyrikan yang dihancurkan oleh Kiai Qomar di Kampung Karangtengah dan sekitarnya. Misalnya, mengarak seekor kucing untuk meminta hujan; memasang Sapu Lidi terbalik, untuk menangkal hujan; menyajikan makanan untuk orang yang sudah meninggal pada malam Jum’at; dan kemusyrikan-kemusyrikan yang lain.
Kiai Qomarudin adalah tokoh Islamisasi di Cilegon bagian utara. Murid-muridnya tersebar di Banten, Lampung, Palembang, dan Jakarta. Mereka memegang peranan penting dalam bidang pendidikan, sosial-kemasyarakatan dan pemerintahan di tempatnya masing-masing.
[Dari Penuturan Purta Kiai Qomarudin, KH. Hasbullah Qomar]
Cilegon
Jumat, 24 Desember 2010/12:32
Supaya tidak salah paham, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah gegubugan. Kata dasarnya adalah “gubug”, yang punya arti rumah atau pondok atau yang mirip dengannya. Sementara “ge” dan “an” adalah kata imbuhan awalan dan akhiran untuk menunjukan bahwa rumah atau mirip dengannya itu adalah rumah mainan. Atau dalam istilah sekarang, miniature, tapi dalam bentuk yang sederhana.
Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas gambaran tentang adat membuat “gegubugan” bagi penggali kubur yang punya istri sedang hamil, bisa dipahami dengan benar.
Kebiasaan ini adalah warisan nenek moyang kita, orang Banten, khususnya kampung Karangtengah, Cilegon. Dan, tetap berlangsung sampai Islam menjadi agama kita. Fenomena ini umum terjadi pada tradisi-tradisi yang lain di pulau Jawa.
Membuat gegubugan dilakukan khusus oleh orang yang istrinya sedang hamil. Gubug ini dibangun di sisi-sisi dekat kuburan, setiap orang yang istrinya sedang hamil membuat satu gubug. Posisinya berjejer satu sama lainnya. “Ritual” ini dipercaya bisa menyelamatkan cabang bayi yang ada dalam kandungan dari malapetaka cacat atau kelainan.
Karena unsur niat melakukan ritual itu berisi kemusyrikan, menyandarkan maslahat dan midarat kepada selain Allah, maka gubug-gubug itu dihancurkan oleh Kiai Qomar. Tentu saja sembari memberi penjelasan kepada umat, dimana letak kemusyrikan membuat gegubugan tersebut.
Banyak lagi praktek kemusyrikan yang dihancurkan oleh Kiai Qomar di Kampung Karangtengah dan sekitarnya. Misalnya, mengarak seekor kucing untuk meminta hujan; memasang Sapu Lidi terbalik, untuk menangkal hujan; menyajikan makanan untuk orang yang sudah meninggal pada malam Jum’at; dan kemusyrikan-kemusyrikan yang lain.
Kiai Qomarudin adalah tokoh Islamisasi di Cilegon bagian utara. Murid-muridnya tersebar di Banten, Lampung, Palembang, dan Jakarta. Mereka memegang peranan penting dalam bidang pendidikan, sosial-kemasyarakatan dan pemerintahan di tempatnya masing-masing.
[Dari Penuturan Purta Kiai Qomarudin, KH. Hasbullah Qomar]
Cilegon
Jumat, 24 Desember 2010/12:32
Rabu, 22 Desember 2010
Meratapi Kehancuran Istana Surosowan
Rabu, 01 Desember 2010
01:21
Oleh Ayatulloh Marsai
Entah ini yang keberapa kali saya datang ke Banten Lama. Apalagi kalau dihitung dari masa kecil. Karena orang-orang di kampong saya, termasuk keluarga saya, hampir menjadikan ziarah ke Banten sebagai agenda tahunan pasca lebaran. Ditambah dengan kalau ada keluarga yang mau menunaikan ibadah haji, pasti ziarah ke Banten dulu. Agenda seperti ini menjadi kebiasaan yang tidak hanya berlaku di kampong saya, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banten pada umumnya.
Jadi, kalau kita bertanya kepada orang Banten secara acak, “sudah pernahkah ke Banten Lama untuk berziarah?”. Mudah ditebak, jawabannya pasti sudah pernah. Kalau ada yang jawab, belum pernah, kebantenannya patut dipertanykan.
Tetapi, dari sekian pengunjung yang datang, khususnya orang Banten sendiri, berapa persen yang mau tahu dengan aspek yang lain selain ziarah. Kita tahu bahwa Banten Lama yang sering kita datangi dulunya adalah Kerajaan Islam Banten. Terus, berapa persen pengunjung yang mau tahu dengan gambaran utuh Kerajaan Islam Banten itu, minimal dari jejak yang bisa kita saksikan. Sedikit.
Peziarah adalah potensi besar. Untuk kepentingan sosialisasi dan penyadaran sejarah cukup signifikan. Sudahkah pemerintah berusaha sampai kearah sana?
Sebab, dari rute tempat yang mereka kunjungi, sedikit sekali yang tertarik untuk datang ke Museum, Kraton Surosowan, Kaibon, Jembatan Rante dan bentengnya Belanda, Speelwizk. Ini sekaligus menunjukan corak kesadaran sejarah di Banten cendrung bercorak mistik atau tarekat.
Ketika saya baru konsentrasi di sejarah Islam, saya duduk seharian di bawah pohon yang terlatak di tengah bongkaran Istana Surosowan. Tidak saya sadari saya menagis ketika membayangkan bagaimana Surosowan dihancurkan oleh Belanda. Saya bertanya dalam hati kenapa Belanda melakukan ini semua? Kenapa hanya Banten, lainnya tidak? Saya pernah ke Cirobon, istanya masih utuh. Di Yogyakarta, Surakarta dan sebagainya.
Tetapi, diam-diam saya bangga terhadap kerjaan Islam Banten dengan kehancurannya. Tersirat makna bahwa pendahulu kita, para sultan, para pejuang yang lain, melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Hal yang mungkin tidak terjadi di daerah-daerah lain yang istananya masih utuh sampai sekarang. Mungkin hasil dari kompromi.
Pertanyaannya, kenapa Belanda menghancurkan Surosowan? Dan kenapa juga Speelwizk hancur? Kenapa di kraton kerajaan Islam lain masih utuh? Ada apa dengan Kerajaan Islam Banten? Saya harus mencari tahu jawabannya.[?]
01:21
Oleh Ayatulloh Marsai
Entah ini yang keberapa kali saya datang ke Banten Lama. Apalagi kalau dihitung dari masa kecil. Karena orang-orang di kampong saya, termasuk keluarga saya, hampir menjadikan ziarah ke Banten sebagai agenda tahunan pasca lebaran. Ditambah dengan kalau ada keluarga yang mau menunaikan ibadah haji, pasti ziarah ke Banten dulu. Agenda seperti ini menjadi kebiasaan yang tidak hanya berlaku di kampong saya, tetapi sudah menjadi kebiasaan masyarakat Banten pada umumnya.
Jadi, kalau kita bertanya kepada orang Banten secara acak, “sudah pernahkah ke Banten Lama untuk berziarah?”. Mudah ditebak, jawabannya pasti sudah pernah. Kalau ada yang jawab, belum pernah, kebantenannya patut dipertanykan.
Tetapi, dari sekian pengunjung yang datang, khususnya orang Banten sendiri, berapa persen yang mau tahu dengan aspek yang lain selain ziarah. Kita tahu bahwa Banten Lama yang sering kita datangi dulunya adalah Kerajaan Islam Banten. Terus, berapa persen pengunjung yang mau tahu dengan gambaran utuh Kerajaan Islam Banten itu, minimal dari jejak yang bisa kita saksikan. Sedikit.
Peziarah adalah potensi besar. Untuk kepentingan sosialisasi dan penyadaran sejarah cukup signifikan. Sudahkah pemerintah berusaha sampai kearah sana?
Sebab, dari rute tempat yang mereka kunjungi, sedikit sekali yang tertarik untuk datang ke Museum, Kraton Surosowan, Kaibon, Jembatan Rante dan bentengnya Belanda, Speelwizk. Ini sekaligus menunjukan corak kesadaran sejarah di Banten cendrung bercorak mistik atau tarekat.
Ketika saya baru konsentrasi di sejarah Islam, saya duduk seharian di bawah pohon yang terlatak di tengah bongkaran Istana Surosowan. Tidak saya sadari saya menagis ketika membayangkan bagaimana Surosowan dihancurkan oleh Belanda. Saya bertanya dalam hati kenapa Belanda melakukan ini semua? Kenapa hanya Banten, lainnya tidak? Saya pernah ke Cirobon, istanya masih utuh. Di Yogyakarta, Surakarta dan sebagainya.
Tetapi, diam-diam saya bangga terhadap kerjaan Islam Banten dengan kehancurannya. Tersirat makna bahwa pendahulu kita, para sultan, para pejuang yang lain, melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir. Hal yang mungkin tidak terjadi di daerah-daerah lain yang istananya masih utuh sampai sekarang. Mungkin hasil dari kompromi.
Pertanyaannya, kenapa Belanda menghancurkan Surosowan? Dan kenapa juga Speelwizk hancur? Kenapa di kraton kerajaan Islam lain masih utuh? Ada apa dengan Kerajaan Islam Banten? Saya harus mencari tahu jawabannya.[?]
Murid Istimewa Saya
06:41
Masih momentum kemarin. Saya menyemangati satu siswa lagi, namanya Umi. Saya lihat dia punya buku harian. Saya selalu mengistimewakan siapa saja yang punya buku harian, kemudian mendorongnya untuk terus menulis rutin setiap hari. Apapun isinya. Mulai dari percintaan, perseteruan, problematika persahabatan dan keluarga, bahkan perenungan jati diri bisa kita temukan dalam buku harian. Dan tidak ketinggalan perkembangan pemikiran. Proses pemebentukan jati diri [pencarian] akan bisa lihat dan ikuti dengan mendetail. Ini sejarah.
Guru saya bilang, Amaludin Muslim, dalam satu kesempatan di status FB-nya: Sejarah adalah apa yang dituliskan, bukan apa yang terjadi. Artinya, seberapa banyak peristiwa dalam hidup ini, pribadi maupun sosial, terencana ataupun tidak, tidak akan bisa diketahui secara benar, tanpa dituliskan. Jadi dengan alasan sederhana ini saya selalu memandang mereka istimewa, dan masih banyak alasan yang lain. Antaranya, saya tidak bisa melakukan ‘tradisi nulis’ ini sejak dini. Saya mendendam dengan kondisi ini, makanya mereka harus memulainya dari sekarang: sedini mungkin. []
Masih momentum kemarin. Saya menyemangati satu siswa lagi, namanya Umi. Saya lihat dia punya buku harian. Saya selalu mengistimewakan siapa saja yang punya buku harian, kemudian mendorongnya untuk terus menulis rutin setiap hari. Apapun isinya. Mulai dari percintaan, perseteruan, problematika persahabatan dan keluarga, bahkan perenungan jati diri bisa kita temukan dalam buku harian. Dan tidak ketinggalan perkembangan pemikiran. Proses pemebentukan jati diri [pencarian] akan bisa lihat dan ikuti dengan mendetail. Ini sejarah.
Guru saya bilang, Amaludin Muslim, dalam satu kesempatan di status FB-nya: Sejarah adalah apa yang dituliskan, bukan apa yang terjadi. Artinya, seberapa banyak peristiwa dalam hidup ini, pribadi maupun sosial, terencana ataupun tidak, tidak akan bisa diketahui secara benar, tanpa dituliskan. Jadi dengan alasan sederhana ini saya selalu memandang mereka istimewa, dan masih banyak alasan yang lain. Antaranya, saya tidak bisa melakukan ‘tradisi nulis’ ini sejak dini. Saya mendendam dengan kondisi ini, makanya mereka harus memulainya dari sekarang: sedini mungkin. []
Sang Pencerah itu Jiwa Zaman, di Kampung Saya Ada
Oleh Ayatulloh Marsai
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli. “Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel. “Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan. [bisa dilihat di cover belakang “Sang Pencerah”]
Paragraph di atas adalah penggalan cerita dari novel “Sang Pencerah”, karya Akmal Nasery Basral. Isinya jelas, mendobrak pemahaman awam tentang alat2 yang diproduksi barat [kafir] yang dianggap ‘haram’. Ahmad Dahlan justru memakai alat music Biola, bikinan Eropa. Tindakan ini jelas sebagai jawaban bahwa tidak haram hukumnya memakai produksi-produksi orang kafir, selagi itu bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
Hal Biola, urusannya bukan hanya alat, tetapi ini juga berkaitan dengan music yang juga menjadi masalah hilafiyah dalam ajaran fiqih. Jadi, tindakan Ahmad Dahlan sekaligus menjawab dua masalah sekaligus: masalah alat-alat yang diproduksi kafir dan musik. Dua-duanya diperbolehkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. *
Saya jadi ingat cerita Kiai saya, KH. Hasbullah Qomar, bahwa ayahnya, Kiai Qomaruddin juga mengalamai hal yang sama secara umum. Tapi, kali ini alatnya adalah spiker [alat pengeras suara]. Konon, dulu dilingkungan saya [Kecamatan Purwakarta sekarang], ada perbedaan pendapat tentang pemakaian pengeras suara ini: ada kiai yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiai yang melarang beralasan sama dengan kasus Ahmad Dahlan di atas, spiker adalah alat yang diproduksi oleh orang kafir, jadi hukumnya haram. Dalilnya, antara lain, ‘tidak ada dalam tuntunan Rasulullah’. Satu lagi, pengeras suara juga biasa digunakan untuk hal yang maksiat, daripada maslahat.
Sementara kiai yang membolehkan, Kiai Qomarudin, beralasan bahwa pengeras suara jelas sangat bermanfaat untuk menyambung suara supaya suara dakwah [urusan ibadah] bisa didengar oleh banyak orang secara efektif.
Perdebatan tidak bisa dielakkan, masing-masing teguh dengan pendapatnya, masing-masing punya pengikut, hingga masyarakat pun terpecah dalam sekte-sekte. Walaupun di masyarakat adanya sekte itu tidak terlalu tegas adanya.
Alhamdulillah, kiai yang tidak sepakat dengan spiker tadi kuasa melaksanakan rukun Islam ke-5, haji. Di sana rupanya dia mengalami hal yang selama ini di kampungnya dia tentang. Di Mekah, spiker dipakai untuk segala aktifitas haji, mulai azan, solat, hutbah, hingga pengumuman-pengumuman. Kiai itu tersentak kaget, dan tersadar bahwa memang spiker sangat bermanfaat untuk fasilitas ibadah kepada Allah swt. **
Dari dua kasus diatas, di dua daerah yang berbeda, terdapat persamaan fenomena yang orang menyebutnya ‘semangat pembaharuan’. Jiwa zaman yang sama, antara Yogyakarta dengan Banten, “jiwa pembaharuan” Islam, yang mengalir dari Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, baik langsung maupun tidak langsung. Tetapi jelas, wasilah-nya ibadah haji. Karena dulu, ibadah haji tidak sekedar haji, tetapi dibarengi dengan menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar seluruh penjuru dunia, rata-rata sampai 5 tahun. Dari sinilah perubahan pemahaman agama serta gerakan sosial di Nusantara bermula. Perubahan dan Gerakan itu sampai juga di kampung saya, lewat tangan Kiai Qomarudin. Wallahu ‘alam. []
Dari ujung mataku, kulihat kebingungan di wajah para remaja itu. “Kenapa main musik londo, Kiai?” tanya Jazuli. “Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya. Mereka tampak semakin bingung, “Bukannya alat musik itu bikinan orang kafir?” sanggah Daniel. “Orangnya yang kafir, alat musiknya tidak ada yang muslim atau yang kafir,” jawabku sambil kembali menggesek biola perlahan-lahan. [bisa dilihat di cover belakang “Sang Pencerah”]
Paragraph di atas adalah penggalan cerita dari novel “Sang Pencerah”, karya Akmal Nasery Basral. Isinya jelas, mendobrak pemahaman awam tentang alat2 yang diproduksi barat [kafir] yang dianggap ‘haram’. Ahmad Dahlan justru memakai alat music Biola, bikinan Eropa. Tindakan ini jelas sebagai jawaban bahwa tidak haram hukumnya memakai produksi-produksi orang kafir, selagi itu bermanfaat untuk kepentingan umat manusia.
Hal Biola, urusannya bukan hanya alat, tetapi ini juga berkaitan dengan music yang juga menjadi masalah hilafiyah dalam ajaran fiqih. Jadi, tindakan Ahmad Dahlan sekaligus menjawab dua masalah sekaligus: masalah alat-alat yang diproduksi kafir dan musik. Dua-duanya diperbolehkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. *
Saya jadi ingat cerita Kiai saya, KH. Hasbullah Qomar, bahwa ayahnya, Kiai Qomaruddin juga mengalamai hal yang sama secara umum. Tapi, kali ini alatnya adalah spiker [alat pengeras suara]. Konon, dulu dilingkungan saya [Kecamatan Purwakarta sekarang], ada perbedaan pendapat tentang pemakaian pengeras suara ini: ada kiai yang melarang dan ada yang membolehkan. Kiai yang melarang beralasan sama dengan kasus Ahmad Dahlan di atas, spiker adalah alat yang diproduksi oleh orang kafir, jadi hukumnya haram. Dalilnya, antara lain, ‘tidak ada dalam tuntunan Rasulullah’. Satu lagi, pengeras suara juga biasa digunakan untuk hal yang maksiat, daripada maslahat.
Sementara kiai yang membolehkan, Kiai Qomarudin, beralasan bahwa pengeras suara jelas sangat bermanfaat untuk menyambung suara supaya suara dakwah [urusan ibadah] bisa didengar oleh banyak orang secara efektif.
Perdebatan tidak bisa dielakkan, masing-masing teguh dengan pendapatnya, masing-masing punya pengikut, hingga masyarakat pun terpecah dalam sekte-sekte. Walaupun di masyarakat adanya sekte itu tidak terlalu tegas adanya.
Alhamdulillah, kiai yang tidak sepakat dengan spiker tadi kuasa melaksanakan rukun Islam ke-5, haji. Di sana rupanya dia mengalami hal yang selama ini di kampungnya dia tentang. Di Mekah, spiker dipakai untuk segala aktifitas haji, mulai azan, solat, hutbah, hingga pengumuman-pengumuman. Kiai itu tersentak kaget, dan tersadar bahwa memang spiker sangat bermanfaat untuk fasilitas ibadah kepada Allah swt. **
Dari dua kasus diatas, di dua daerah yang berbeda, terdapat persamaan fenomena yang orang menyebutnya ‘semangat pembaharuan’. Jiwa zaman yang sama, antara Yogyakarta dengan Banten, “jiwa pembaharuan” Islam, yang mengalir dari Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, baik langsung maupun tidak langsung. Tetapi jelas, wasilah-nya ibadah haji. Karena dulu, ibadah haji tidak sekedar haji, tetapi dibarengi dengan menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar seluruh penjuru dunia, rata-rata sampai 5 tahun. Dari sinilah perubahan pemahaman agama serta gerakan sosial di Nusantara bermula. Perubahan dan Gerakan itu sampai juga di kampung saya, lewat tangan Kiai Qomarudin. Wallahu ‘alam. []
Selasa, 14 Desember 2010
Berhaji, Harus Mabrur
Sabtu, 11 Desember 2010
Oleh Ayatulloh Marsai
Berkesempatan pergi haji memang harus disyukuri. Sebab, setelah saya membaca “Sang Pencerah”, ternyata pergi haji, dari dulu sampai sekarang adalah satu pekerjaan yang sulit. Tidak hanya butuh kemampuan individu dalam masalah finansial, tapi juga berkaitan dengan administrasi. Dulu, berangkat haji dipersulit oleh kolonial Belanda. Sekarang, sulit karena tidak serta merta dengan adanya uang, calon jama’ah bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan saja, pada jaman penjajah Belanda, orang yang pergi haji harus tercatat dalam catatan penjajah Belanda, berangkat dengan memakai kereta dengan gerbong khusus no.2, dan nanti pulang-pulang harus mengikuti tes kelulusan ibadah haji oleh pemerintah. Yang terakhir ini lucu, keabsahan haji seseorang ditentukan oleh kolonial Belanda. Yang lulus tes berhak memakai atribut pakaian haji, sebaliknya yang tidak lulus dilarang memakai atribut haji dalam bentuk apapun.
Penerapan sistem tersebut di atas menimbulkan beberapa kesan. Antara lain klasifikasi sosial, dan identifikasi (sensus) para haji Indonesia, agar semua haji Indonesia tercatat dalam buku kolonial Belanda. Apa tujuan Belanda melakukan ini?
Agar para haji tercatat dalam “kamus haji Indonesia” tahunan, kemudian mengawasi gerak-gerik para haji yang biasanya bikin ulah (memberontak) terhadap pemerintahan penjajah. Anggapan ini kemudian dikuatkan oleh Snouck Horgronje dalam penelitiannya di Mekkah. Dan, akhirnya ibadah haji adalah ibadah yang dilarang oleh protestan Belanda. Tidak hanya itu, akhirnya semua kegiatan agama Islam diawasi, sampai-sampai menerjemahkan al-qur’an juga dilarang. Karena, Belanda sadar betul bahwa ketika Islam dimengerti oleh penganutnya maka akan melahirkan perlawanan keras terhadap usaha penjajahan mereka.
Jadi, sekarang yang berhaji harus bersyukur dengan cara mabrur. Karena kesempatan berhaji, baik dulu maupun sekarang tidak mudah. Cara bersyukur paling bijak adalah dengan cara “memabrurkan” hajinya. Kenapa “memabrurkan”, bukan “mabrur” saja? Ya, “kemabruran” seorang haji tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diupayakan oleh yang bersangkutan. Ada tidak kemauan untuk “merubah” dirinya lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada, berarti dia harus terus berupaya (pasca haji sampai mati) untuk menyempurnakan pengamalan ibadahnya, baik berkaitan dengan Allah SWT. maupun berkenaan dengan manusia serta mahkluk lainnya. Butuh konsistensi untuk meraih tingkatan haji mabrur ini. Sebab, mabrur bukan harga mati yang bisa diraih berbarengan dengan selesainya ibadah haji. Bukan! Melainkan proses yang terus-menerus “menjadi”, sampai mati.
Biasanya, perubahan orang yang baru pergi haji ini sangat signifikan. Dalam segala hal, mereka berubah. Terutama cara dan dialek bahasanya. [wallahu ‘alam]
Oleh Ayatulloh Marsai
Berkesempatan pergi haji memang harus disyukuri. Sebab, setelah saya membaca “Sang Pencerah”, ternyata pergi haji, dari dulu sampai sekarang adalah satu pekerjaan yang sulit. Tidak hanya butuh kemampuan individu dalam masalah finansial, tapi juga berkaitan dengan administrasi. Dulu, berangkat haji dipersulit oleh kolonial Belanda. Sekarang, sulit karena tidak serta merta dengan adanya uang, calon jama’ah bisa berangkat ke Tanah Suci.
Bayangkan saja, pada jaman penjajah Belanda, orang yang pergi haji harus tercatat dalam catatan penjajah Belanda, berangkat dengan memakai kereta dengan gerbong khusus no.2, dan nanti pulang-pulang harus mengikuti tes kelulusan ibadah haji oleh pemerintah. Yang terakhir ini lucu, keabsahan haji seseorang ditentukan oleh kolonial Belanda. Yang lulus tes berhak memakai atribut pakaian haji, sebaliknya yang tidak lulus dilarang memakai atribut haji dalam bentuk apapun.
Penerapan sistem tersebut di atas menimbulkan beberapa kesan. Antara lain klasifikasi sosial, dan identifikasi (sensus) para haji Indonesia, agar semua haji Indonesia tercatat dalam buku kolonial Belanda. Apa tujuan Belanda melakukan ini?
Agar para haji tercatat dalam “kamus haji Indonesia” tahunan, kemudian mengawasi gerak-gerik para haji yang biasanya bikin ulah (memberontak) terhadap pemerintahan penjajah. Anggapan ini kemudian dikuatkan oleh Snouck Horgronje dalam penelitiannya di Mekkah. Dan, akhirnya ibadah haji adalah ibadah yang dilarang oleh protestan Belanda. Tidak hanya itu, akhirnya semua kegiatan agama Islam diawasi, sampai-sampai menerjemahkan al-qur’an juga dilarang. Karena, Belanda sadar betul bahwa ketika Islam dimengerti oleh penganutnya maka akan melahirkan perlawanan keras terhadap usaha penjajahan mereka.
Jadi, sekarang yang berhaji harus bersyukur dengan cara mabrur. Karena kesempatan berhaji, baik dulu maupun sekarang tidak mudah. Cara bersyukur paling bijak adalah dengan cara “memabrurkan” hajinya. Kenapa “memabrurkan”, bukan “mabrur” saja? Ya, “kemabruran” seorang haji tidak terjadi dengan sendirinya, namun harus diupayakan oleh yang bersangkutan. Ada tidak kemauan untuk “merubah” dirinya lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada, berarti dia harus terus berupaya (pasca haji sampai mati) untuk menyempurnakan pengamalan ibadahnya, baik berkaitan dengan Allah SWT. maupun berkenaan dengan manusia serta mahkluk lainnya. Butuh konsistensi untuk meraih tingkatan haji mabrur ini. Sebab, mabrur bukan harga mati yang bisa diraih berbarengan dengan selesainya ibadah haji. Bukan! Melainkan proses yang terus-menerus “menjadi”, sampai mati.
Biasanya, perubahan orang yang baru pergi haji ini sangat signifikan. Dalam segala hal, mereka berubah. Terutama cara dan dialek bahasanya. [wallahu ‘alam]
Sabtu, 11 Desember 2010
AMNESIA SEJARAH*
Oleh Ayatulloh Marsai
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”. (Bung Karno).
Kata-kata bijak di atas mengandaikan bangsa kita untuk mengenal sejarah bangsanya secara utuh, bukan sempalan-sempalan. Karena bangsa kita terdiri dari daerah-daerah, suku bangsa, maka dalam mengenalkan sejarah nasional terhadap generasi muda hendaknya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dalam buku pelajaran Sejarah tingkat SLTA misalnya, sejumlah pahlawan Banten seperti, Ki Wasyid, Ki Sam’un, Syafrudin Prawiranegara, tidak mendapatkan tempat yang sama dengan pahlawan-pahlawan nasional dari Jawa pada umumnya. Seperti, Pangeran Diponegoro, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari.
Jangan anggap porsi penyajian sejarah yang berbeda ini masalah sepele. Karena perbedaan porsi penyajian akan menentukan “brain” anak didik, juga karakter generasi kita sebagai pemegang kendali masa depan. dalam pentas politik nasional, seolah-olah Banten daerah yang kecil peranannya dalam perjuangan nasional. Hingga nantinya tidak layak menjadi pemimpin nasional. Seperti yang pernah menimpa calon presiden, Yusuf Kalla. Dia, karena dari Sulawesi, dianggap belum saatnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ironisnya, pernyataan itu keluar dari orang Sulawesi sendiri, Andi A Mallarangeng (Kemenpora sekarang).
Sementara, orang Jawa, dengan keberhasilannya menghargai sejarahnya, membesarkan para pahlawannya, selalu layak menjadi presiden Indonesia. Hitung saja dari 6 Presiden RI, 5 dari mereka adalah orang Jawa. Sebabnya, karena mereka menghargai sejarah dan para pahlawannya. Bentuk penghargaan itu paling tidak mereka tunjukan lewat perawatan secara fisik terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan propaganda pemikiran lewat karya-karya penelitian yang diterbitkan oleh penerbit besar atau pun kecil di daerah.
Agaknya kita harus banyak belajar dari orang Jawa, dalam hal menghargai sejarah kita. Banten punya Istana Surosowan, Kaibon, Masjid Agung Banten dan peninggalan sejarah yang melimpah. nasibnya, nyaris terlupakan dari hingar bingar pembangunan di Provinsi Banten. Baik secara fisik maupun pengembangan penelitian oleh para akademisi.
Banten punya peristiwa-peristiwa heroik. Semangat perlawanan Ki Wasyid melawan Belanda tidak kalah penting dengan perlawanan Pangeran Diponogoro; peranan Kiai Syam’un tidak kalah penting dengan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari dalam memajukan pendidikan di Indonesia; dan yang menyambung nyawa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ketika Soekarno dan Hatta dipenjara oleh Belanda, adalah Syafrudin Prawiranegara (Wong Banten). Dialah yang memproklamasikan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk kemudian diserahkan kembali sesudah Seokarno-Hatta dibebaskan. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Untuk menghadirkan peranan Banten dalam sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonsia, pemerintah daerah berkewajiban menekan, mengawasi atau memberikan muatan sejarah lokal Banten di sekolah-sekolah. Dari SD-SLTA.
Sebab, salah satu tujuan pembelajaran sejarah adalah untuk menanamkan identitas diri daerah atau bangsa kepada generasi muda. Ini sangat penting. Dan tujuan ini bisa efektif dilakukan lewat pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah.
Nah, kalau ternyata di buku pelajaran sejarah ada dominasi pahlawan dari daerah lain, sementara pahlawan daerah sendiri tidak mendapatkan pembahasan yang berimbang, maka saya rasa perlu ada langka khusus dari pemerintah daerah untuk memberikan ruang penuh atas sejarah lokal di sekolah. Ini hal mendesak yang harus diagendakan baik oleh Provinsi Banten maupun oleh kabupaten/kotanya.
Karena kalau tidak segera diagendakan maka generasi kita tidak akan mengenal sejarahnya, apalagi identitas bangsanya. Bangsa yang tidak mengenal identitas bangsanya maka akan mudah “ngebuntut” kepada keinginan-keinginan bangsa luar. Karena bangsa yang lupa identitas dirinya tidak lebih seperti orang yang terkena penyakit “amnesia”. Yang namanya amnesia, ditanya nama, alamat, orang tua, dan identitas yang lain pasti bingung. Lebih lanjut, orang amnesia, diberi identitas baru, nama baru, orang tua baru dan juga alamat baru, sangat mudah.
Orang amnesia adalah gambaran utuh sebuah daerah atau bangsa yang lupa atau tidak tahu sejarah bangsanya (identitas diri). Dan sekaligus bangsa yang gampang diarahkan oleh bangsa lain dalam segala bidang pembangunan.
Lihat saja, kecendrungan masyarakat kita terhadap segala sesuatu yang datang dari luar negeri. Mereka bangga. Pakaian impor, makanan-minuman merek luar hingga gaya hidup. Sementara kekayaan pakaian khas daerah hanya ada di acara seremoni, makanan daerah hanya ada di warung yang digagas pemerintah, dan gaya hidup berpedoman pada acara TV yang kapitalis.
Dalam kasus nasional, kita patut bersyukur, gara-gara klaim Malaisya atas salah satu kebudayaan Indonesia (reog dan tari pendet), negara kita terbangun dari mimpi buruk mengejar kemoderenan buta. Negara Indonesia sadar bahwa dirinya kaya, dirinya punya identitas sendiri. Dan sekarang identitas itu mau diakuisi oleh sudara serumpunnya.
Indonesia tergugah, dan segera mengambil dan merawat kekayaan budaya yang selama ini ditelantarkan. Mempromosikannya ke mancanegara sebagai kekayaan khas Indoensia yang sudah dipatenkan. Antara lain: batik, dan angklung.
Belajar dari kasus nasional, dimana yang berseteru dalam kasus ini antar negara, maka daerah juga harus rajin menggali kekayaan budaya daerahnya. Dan juga menanamkan kesadaran budaya itu kepada generasi muda. Antara lain lewat muatan lokal di sekolah. Kekayaan daerah secara otomatis menjadi kekayaan nasional. Jadi, ketika daerah banyak mengukuhkan budaya daerahnya dengan sendirinya negara juga akan kaya dengan budaya bangsanya. Dengan kata lain jika pengembangan sejarah lokal dan tradisi lokal dilakukan di daerah maka penyakit “amnesia” tidak akan pernah menjangkiti generasi kita secara lokal maupun nasional, juga Indonesia akan memiliki jati diri bangsa yang kokoh.
Di akhir tulisan ini, lagi-lagi Bung Karno, memberikan pelajaran berharga kepada kita dengan slogan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Wa Allahu ‘alam.
*)Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post, Kolom Gagasan, 20 Desember 2010
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”. (Bung Karno).
Kata-kata bijak di atas mengandaikan bangsa kita untuk mengenal sejarah bangsanya secara utuh, bukan sempalan-sempalan. Karena bangsa kita terdiri dari daerah-daerah, suku bangsa, maka dalam mengenalkan sejarah nasional terhadap generasi muda hendaknya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Dalam buku pelajaran Sejarah tingkat SLTA misalnya, sejumlah pahlawan Banten seperti, Ki Wasyid, Ki Sam’un, Syafrudin Prawiranegara, tidak mendapatkan tempat yang sama dengan pahlawan-pahlawan nasional dari Jawa pada umumnya. Seperti, Pangeran Diponegoro, Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari.
Jangan anggap porsi penyajian sejarah yang berbeda ini masalah sepele. Karena perbedaan porsi penyajian akan menentukan “brain” anak didik, juga karakter generasi kita sebagai pemegang kendali masa depan. dalam pentas politik nasional, seolah-olah Banten daerah yang kecil peranannya dalam perjuangan nasional. Hingga nantinya tidak layak menjadi pemimpin nasional. Seperti yang pernah menimpa calon presiden, Yusuf Kalla. Dia, karena dari Sulawesi, dianggap belum saatnya menjadi orang nomor satu di Indonesia. Ironisnya, pernyataan itu keluar dari orang Sulawesi sendiri, Andi A Mallarangeng (Kemenpora sekarang).
Sementara, orang Jawa, dengan keberhasilannya menghargai sejarahnya, membesarkan para pahlawannya, selalu layak menjadi presiden Indonesia. Hitung saja dari 6 Presiden RI, 5 dari mereka adalah orang Jawa. Sebabnya, karena mereka menghargai sejarah dan para pahlawannya. Bentuk penghargaan itu paling tidak mereka tunjukan lewat perawatan secara fisik terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan propaganda pemikiran lewat karya-karya penelitian yang diterbitkan oleh penerbit besar atau pun kecil di daerah.
Agaknya kita harus banyak belajar dari orang Jawa, dalam hal menghargai sejarah kita. Banten punya Istana Surosowan, Kaibon, Masjid Agung Banten dan peninggalan sejarah yang melimpah. nasibnya, nyaris terlupakan dari hingar bingar pembangunan di Provinsi Banten. Baik secara fisik maupun pengembangan penelitian oleh para akademisi.
Banten punya peristiwa-peristiwa heroik. Semangat perlawanan Ki Wasyid melawan Belanda tidak kalah penting dengan perlawanan Pangeran Diponogoro; peranan Kiai Syam’un tidak kalah penting dengan Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari dalam memajukan pendidikan di Indonesia; dan yang menyambung nyawa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ketika Soekarno dan Hatta dipenjara oleh Belanda, adalah Syafrudin Prawiranegara (Wong Banten). Dialah yang memproklamasikan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) untuk kemudian diserahkan kembali sesudah Seokarno-Hatta dibebaskan. Sungguh perjuangan yang luar biasa.
Untuk menghadirkan peranan Banten dalam sejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonsia, pemerintah daerah berkewajiban menekan, mengawasi atau memberikan muatan sejarah lokal Banten di sekolah-sekolah. Dari SD-SLTA.
Sebab, salah satu tujuan pembelajaran sejarah adalah untuk menanamkan identitas diri daerah atau bangsa kepada generasi muda. Ini sangat penting. Dan tujuan ini bisa efektif dilakukan lewat pelajaran-pelajaran yang disajikan di sekolah.
Nah, kalau ternyata di buku pelajaran sejarah ada dominasi pahlawan dari daerah lain, sementara pahlawan daerah sendiri tidak mendapatkan pembahasan yang berimbang, maka saya rasa perlu ada langka khusus dari pemerintah daerah untuk memberikan ruang penuh atas sejarah lokal di sekolah. Ini hal mendesak yang harus diagendakan baik oleh Provinsi Banten maupun oleh kabupaten/kotanya.
Karena kalau tidak segera diagendakan maka generasi kita tidak akan mengenal sejarahnya, apalagi identitas bangsanya. Bangsa yang tidak mengenal identitas bangsanya maka akan mudah “ngebuntut” kepada keinginan-keinginan bangsa luar. Karena bangsa yang lupa identitas dirinya tidak lebih seperti orang yang terkena penyakit “amnesia”. Yang namanya amnesia, ditanya nama, alamat, orang tua, dan identitas yang lain pasti bingung. Lebih lanjut, orang amnesia, diberi identitas baru, nama baru, orang tua baru dan juga alamat baru, sangat mudah.
Orang amnesia adalah gambaran utuh sebuah daerah atau bangsa yang lupa atau tidak tahu sejarah bangsanya (identitas diri). Dan sekaligus bangsa yang gampang diarahkan oleh bangsa lain dalam segala bidang pembangunan.
Lihat saja, kecendrungan masyarakat kita terhadap segala sesuatu yang datang dari luar negeri. Mereka bangga. Pakaian impor, makanan-minuman merek luar hingga gaya hidup. Sementara kekayaan pakaian khas daerah hanya ada di acara seremoni, makanan daerah hanya ada di warung yang digagas pemerintah, dan gaya hidup berpedoman pada acara TV yang kapitalis.
Dalam kasus nasional, kita patut bersyukur, gara-gara klaim Malaisya atas salah satu kebudayaan Indonesia (reog dan tari pendet), negara kita terbangun dari mimpi buruk mengejar kemoderenan buta. Negara Indonesia sadar bahwa dirinya kaya, dirinya punya identitas sendiri. Dan sekarang identitas itu mau diakuisi oleh sudara serumpunnya.
Indonesia tergugah, dan segera mengambil dan merawat kekayaan budaya yang selama ini ditelantarkan. Mempromosikannya ke mancanegara sebagai kekayaan khas Indoensia yang sudah dipatenkan. Antara lain: batik, dan angklung.
Belajar dari kasus nasional, dimana yang berseteru dalam kasus ini antar negara, maka daerah juga harus rajin menggali kekayaan budaya daerahnya. Dan juga menanamkan kesadaran budaya itu kepada generasi muda. Antara lain lewat muatan lokal di sekolah. Kekayaan daerah secara otomatis menjadi kekayaan nasional. Jadi, ketika daerah banyak mengukuhkan budaya daerahnya dengan sendirinya negara juga akan kaya dengan budaya bangsanya. Dengan kata lain jika pengembangan sejarah lokal dan tradisi lokal dilakukan di daerah maka penyakit “amnesia” tidak akan pernah menjangkiti generasi kita secara lokal maupun nasional, juga Indonesia akan memiliki jati diri bangsa yang kokoh.
Di akhir tulisan ini, lagi-lagi Bung Karno, memberikan pelajaran berharga kepada kita dengan slogan “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Wa Allahu ‘alam.
*)Tulisan ini dimuat di Banten Raya Post, Kolom Gagasan, 20 Desember 2010
Kamis, 09 Desember 2010
Tahun Baru Vs tahun baru
Oleh Ayatulloh Marsai*
Seorang penceramah di radio lokal mengelu-elukan tahun baru hijriyah yang cendrung sepi bila dibandingkan dengan tahun baru masehi. Kiai itu bilang, “pemuda-pemudi biasanya ramai pergi ke pantai untuk menyaksikan dan merayakan pergantian tahun masehi. Tetapi, di tahun baru hijriyah tidak ada yang merayakannya”.
Dari perkataannya, apakah ada keinginan dari penceramah itu tahun hijriyah dirayakan sama halnya dengan merayakan tahun masehi. Tentu saja tidak. Sebaliknya, doktrin Islam mengajarkan kehidmatan dalam melalui pergantian tahun ini. Bahkan, Nabi menganjurkan untuk melakukan puasa pada dua hari berturut-turut, yakni hari terakhir tahun dan hari awal tahun.
Yang menjadi keluhan penceramah di atas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap titik awal dan titik akhir tahun hijriyah. Mereka menyandarkannya lebih pada perhitungan tahun masehi daripada tahun hijriyah. Tahun baru masehi lebih popular darpada tahun hijriyah.
Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan tahun baru masehi lebih popular dibanding dengan hijriyah.
Pertama, faktor nasionalisasi tahun masehi. Negara memakai penanggalan masehi sebagai penanggalan nasional. Sementara penanggalan hijriyah hanya berlaku untuk interen umat Islam. Artinya, segala aspek kerja nasional dihitung dengan penanggalan masehi. Putaran tahun dihitung dari Januari sampai Desember. Bukan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Putaran satu pekan dihitung dari hari Senin sampai Minggu, bukan dari Ahad sampai hari Sabtu. Konsekwensinya, hari libur dalam sepekan juga dijatuhkan pada hari Minggu, bukan hari Jum’at. Akhirnya, kita umat muslim juga kerepotan untuk “memuliakan” hari Jum’at sebagai “sayidul ayyam” bagi kita.
Memang, negara pada sisi yang lain, menjadikan hari-hari besar agama menurut penanggalannya masing-masing, sebagai hari libur nasional. Termasuk didalamnya hari-hari besar Islam yang dilandaskan pada perhitungan hijriyah.
Tetapi, sadarkah kita, penanggalan mana yang seharusnya “dinasionalisasi” jika kita melihat fakta 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim? Dan, penanggalan mana yang seharusnya menjadi “tuan rumah”, jika kita melihat sejarah panjang penjajahan atas bumi Nusantara ini. Siapa yang menjajah? Dan, siapa yang berjuang melawannya? Citra kebudayaan Islam tertindas dalam kemayoritasannya, menjadi tamu di negara yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri!
Kedua, media massa. Media massa, terutama televisi, sangat besar pengaruhnya dalam mempopulerkan segala hal, termasuk Tahun Baru Masehi yang biasa diucapkan satu paket dengan Hari Natal, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, misalnya. Iklan layanan sosial, sponsorsip industri besar, yang mengucapkan hari natal dan tahun baru masehi ini biasanya sudah mulai marak ketika memasuki pertengahan bulan Desember. Sehingga, perayaan tahun baru masehi menjadi “perilaku massif” di semua kalangan, tidak hanya pemuda-pemudi (yang disebukan penceramah di atas), anak-anak dan orang tua juga merayakannya.
Sebaliknya, coba perhatikan televisi di rumah Anda, apakah hal yang sama terjadi di Tahun Baru Hijriyah? Tentu, tidak. Kalau pun ada ucapan selamat itu dari ormas Islam atau pemerintah, pada hari H-nya saja. Hari H lewat, selesai. Sebab, budaya Islam kalah popular dibanding budaya masehi. Juga sudah menjadi “budaya pesakitan” di kalangan umat muslim sendiri. Tidak hanya berkaitan dengan budaya penanggalan saja tetapi juga pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti, berpakaian, gaya hidup, pandangan hidup, akhlak keseharian, dll. Kalau asepk-aspek wajib saja tidak terpenuhi, apalagi mau repot-repot merayakan Tahun Baru Hijriyah yang hanya refleksi budaya semata.
Sebetulnya, media massa tidak lepas fungsinya sebagai media. Media siapa saja untuk masuk ke dalamnya sebagai subyek yang berkepentingan tampil di depan massa (masyarakat jangkaun teve tersebut). Kepentingan televisi sebagai perusahaan adalah profit. Artinya, siapapun yang tampil harus mendatangkan profit sebesar mungkin kepada perusahaan, terlepas datangnya dari subyek yang berkepentingan tampil atau dari sponsor. Sponsor berkepentingan terhadap “rating”. Tayangan mana yang menyedot perhatian masyarakat, tayangan itulah yang mendapat sponsor paling banyak. Dan, seperti disebutkan di atas, televisi mengejar profit, maka televisi memilih tampilan yang banyak sponsornya. Sponsor memilih tayangan yang banyak penontonnya.
Salah satu doktrin Islam yang berhasil merubah wajah televisi di Indonesia adalah Puasa pada Bulan Ramadhan. Aroma Ramadhan sudah tercium harum jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadhan tiba. Ucapan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, bisa kita temukan setiap saat di sembarang stasiun televisi. Hampir semua produk merubah tayangan iklannya menjadi “beraroma” Ramadhan dan Lebaran. Tidak terlewatkan, produk-produk itu membidik waktu Sahur dan Berbuka Puasa: “Selamat Menikmati Makan Sahur Anda” dan “Selamat Berbuka Puasa”. Tidak berhenti sampai disitu, sinetron-sinetron mendadak bernuansa religious (islami).
Dapat disimpulkan, bahwa ketaatan umat Islam Indonesia terhadap Ibadah Ramadhan cukup kuat. Atau, Ibadah Ramadhan dan Lebaran sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hingga mampu “menyulap” wajah tayangan televisi Indonesia pada sekitar bulan Ramadhan.
Kalau benar demikian, menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai kesadaran umat Islam yang massif harus menjadi agenda serius bagi kita. Terutama bagi ormas-ormas Islam, partai-partai Islam atau juga politisi muslim yang ada di partai nasional, cendikiawan muslim, lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam. Supaya, Tahun Baru Hijriyah layaknya Ramadhan, menjadi tradisi yang meng-indonesia. Lebih lanjut, menjadi Tahun Baru-nya Indonesia. Selamat Tahun Baru 1432 [*]
*)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah. Tinggal di Link. Dukumalang, RT/RW 08/04 Tegal Bunder-Purwakarta Kota Cilegon.
Seorang penceramah di radio lokal mengelu-elukan tahun baru hijriyah yang cendrung sepi bila dibandingkan dengan tahun baru masehi. Kiai itu bilang, “pemuda-pemudi biasanya ramai pergi ke pantai untuk menyaksikan dan merayakan pergantian tahun masehi. Tetapi, di tahun baru hijriyah tidak ada yang merayakannya”.
Dari perkataannya, apakah ada keinginan dari penceramah itu tahun hijriyah dirayakan sama halnya dengan merayakan tahun masehi. Tentu saja tidak. Sebaliknya, doktrin Islam mengajarkan kehidmatan dalam melalui pergantian tahun ini. Bahkan, Nabi menganjurkan untuk melakukan puasa pada dua hari berturut-turut, yakni hari terakhir tahun dan hari awal tahun.
Yang menjadi keluhan penceramah di atas adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap titik awal dan titik akhir tahun hijriyah. Mereka menyandarkannya lebih pada perhitungan tahun masehi daripada tahun hijriyah. Tahun baru masehi lebih popular darpada tahun hijriyah.
Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan tahun baru masehi lebih popular dibanding dengan hijriyah.
Pertama, faktor nasionalisasi tahun masehi. Negara memakai penanggalan masehi sebagai penanggalan nasional. Sementara penanggalan hijriyah hanya berlaku untuk interen umat Islam. Artinya, segala aspek kerja nasional dihitung dengan penanggalan masehi. Putaran tahun dihitung dari Januari sampai Desember. Bukan dari Muharram sampai Dzulhijjah. Putaran satu pekan dihitung dari hari Senin sampai Minggu, bukan dari Ahad sampai hari Sabtu. Konsekwensinya, hari libur dalam sepekan juga dijatuhkan pada hari Minggu, bukan hari Jum’at. Akhirnya, kita umat muslim juga kerepotan untuk “memuliakan” hari Jum’at sebagai “sayidul ayyam” bagi kita.
Memang, negara pada sisi yang lain, menjadikan hari-hari besar agama menurut penanggalannya masing-masing, sebagai hari libur nasional. Termasuk didalamnya hari-hari besar Islam yang dilandaskan pada perhitungan hijriyah.
Tetapi, sadarkah kita, penanggalan mana yang seharusnya “dinasionalisasi” jika kita melihat fakta 90 persen penduduk Indonesia adalah muslim? Dan, penanggalan mana yang seharusnya menjadi “tuan rumah”, jika kita melihat sejarah panjang penjajahan atas bumi Nusantara ini. Siapa yang menjajah? Dan, siapa yang berjuang melawannya? Citra kebudayaan Islam tertindas dalam kemayoritasannya, menjadi tamu di negara yang diperjuangkan oleh para kiai dan santri!
Kedua, media massa. Media massa, terutama televisi, sangat besar pengaruhnya dalam mempopulerkan segala hal, termasuk Tahun Baru Masehi yang biasa diucapkan satu paket dengan Hari Natal, “Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2011”, misalnya. Iklan layanan sosial, sponsorsip industri besar, yang mengucapkan hari natal dan tahun baru masehi ini biasanya sudah mulai marak ketika memasuki pertengahan bulan Desember. Sehingga, perayaan tahun baru masehi menjadi “perilaku massif” di semua kalangan, tidak hanya pemuda-pemudi (yang disebukan penceramah di atas), anak-anak dan orang tua juga merayakannya.
Sebaliknya, coba perhatikan televisi di rumah Anda, apakah hal yang sama terjadi di Tahun Baru Hijriyah? Tentu, tidak. Kalau pun ada ucapan selamat itu dari ormas Islam atau pemerintah, pada hari H-nya saja. Hari H lewat, selesai. Sebab, budaya Islam kalah popular dibanding budaya masehi. Juga sudah menjadi “budaya pesakitan” di kalangan umat muslim sendiri. Tidak hanya berkaitan dengan budaya penanggalan saja tetapi juga pada aspek-aspek kehidupan yang lain. Seperti, berpakaian, gaya hidup, pandangan hidup, akhlak keseharian, dll. Kalau asepk-aspek wajib saja tidak terpenuhi, apalagi mau repot-repot merayakan Tahun Baru Hijriyah yang hanya refleksi budaya semata.
Sebetulnya, media massa tidak lepas fungsinya sebagai media. Media siapa saja untuk masuk ke dalamnya sebagai subyek yang berkepentingan tampil di depan massa (masyarakat jangkaun teve tersebut). Kepentingan televisi sebagai perusahaan adalah profit. Artinya, siapapun yang tampil harus mendatangkan profit sebesar mungkin kepada perusahaan, terlepas datangnya dari subyek yang berkepentingan tampil atau dari sponsor. Sponsor berkepentingan terhadap “rating”. Tayangan mana yang menyedot perhatian masyarakat, tayangan itulah yang mendapat sponsor paling banyak. Dan, seperti disebutkan di atas, televisi mengejar profit, maka televisi memilih tampilan yang banyak sponsornya. Sponsor memilih tayangan yang banyak penontonnya.
Salah satu doktrin Islam yang berhasil merubah wajah televisi di Indonesia adalah Puasa pada Bulan Ramadhan. Aroma Ramadhan sudah tercium harum jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadhan tiba. Ucapan, “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, bisa kita temukan setiap saat di sembarang stasiun televisi. Hampir semua produk merubah tayangan iklannya menjadi “beraroma” Ramadhan dan Lebaran. Tidak terlewatkan, produk-produk itu membidik waktu Sahur dan Berbuka Puasa: “Selamat Menikmati Makan Sahur Anda” dan “Selamat Berbuka Puasa”. Tidak berhenti sampai disitu, sinetron-sinetron mendadak bernuansa religious (islami).
Dapat disimpulkan, bahwa ketaatan umat Islam Indonesia terhadap Ibadah Ramadhan cukup kuat. Atau, Ibadah Ramadhan dan Lebaran sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hingga mampu “menyulap” wajah tayangan televisi Indonesia pada sekitar bulan Ramadhan.
Kalau benar demikian, menjadikan Tahun Baru Hijriyah sebagai kesadaran umat Islam yang massif harus menjadi agenda serius bagi kita. Terutama bagi ormas-ormas Islam, partai-partai Islam atau juga politisi muslim yang ada di partai nasional, cendikiawan muslim, lembaga pendidikan Islam dan organisasi-organisasi pelajar/mahasiswa Islam. Supaya, Tahun Baru Hijriyah layaknya Ramadhan, menjadi tradisi yang meng-indonesia. Lebih lanjut, menjadi Tahun Baru-nya Indonesia. Selamat Tahun Baru 1432 [*]
*)Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Perguruan Islam Al-Khairiyah Karangtengah. Tinggal di Link. Dukumalang, RT/RW 08/04 Tegal Bunder-Purwakarta Kota Cilegon.
Rabu, 01 Desember 2010
Produksi Kata
Oleh Ayatulloh Marsai
Saya seolah keranjingan, seolah gila, karena kemana-mana saya selalu menenteng note book saya. Beda, dibanding sebelumnya. Beda dengan kebanyakan orang lainnya. Aneh. Gila.
Dibenakku berseliweran kata. Setiap masalah ingin sekali saya terjemahkan dalam bentuk kata-kata. Sehingga kata yang berseliweran di benak bukan hanya kata-kata yang akan hilang tanpa bekas dan kenangan.
Ingin rasanya aku pindahkan dunia kedalam kata-kata. Agar dunia bisa manfaat karena orang semua paham bahasa dunia dengan kata. Hingga ketika dunia mengingatkan, manusia mendengar. Tidak hanya mendengar, tapi juga merubah dirinya menghampiri kemaslahatan.[!]
Saya seolah keranjingan, seolah gila, karena kemana-mana saya selalu menenteng note book saya. Beda, dibanding sebelumnya. Beda dengan kebanyakan orang lainnya. Aneh. Gila.
Dibenakku berseliweran kata. Setiap masalah ingin sekali saya terjemahkan dalam bentuk kata-kata. Sehingga kata yang berseliweran di benak bukan hanya kata-kata yang akan hilang tanpa bekas dan kenangan.
Ingin rasanya aku pindahkan dunia kedalam kata-kata. Agar dunia bisa manfaat karena orang semua paham bahasa dunia dengan kata. Hingga ketika dunia mengingatkan, manusia mendengar. Tidak hanya mendengar, tapi juga merubah dirinya menghampiri kemaslahatan.[!]
Langganan:
Postingan (Atom)