Rabu, 25 Mei 2011

Studi Banding Atau Nafsu Pelesiran?

OLEH: AYATULLOH MARSAI
Fenomena studi banding anggota DPD, DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, menuai kritik dari berbagai kalangan. Sebagaimana dilaporkan vivanews.com, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (SLI) tahun 2011 ini, 87 persen masyarakat menolak studi banding. Padahal, studi banding bagian dari proses kerja mereka untuk menuntaskan tugas dan wewenang sebagai wakil rakyat. Dan, pasti biayanya sudah dianggarkan. Selain studi banding, pekerjaan anggota dewan di luar masa sidang adalah reses. Sama-sama kunjungan kerja, tetapi semangat anggota dewan menjalankan reses tidak seperti ketika melakukan studi banding. Beda, kalau studi banding umumnya dilakukan ke luar daerah atau luar negeri, maka reses kunjungan kerja dilingkungan dapil (daerah pemilihan) sendiri.
Terlepas dari perbedaan itu, keduanya merupakan program untuk menyerap pengetahuan untuk kemudian dijadikan dasar dan pertimbangan dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat.
Adanya kritik, ketidakpuasan masyarakat terhadap studi banding ini, semestinya tidak muncul, jika saja program ini berbanding lurus dengan tujuan program itu dilaksanakan. Artinya, setiap kunjungan wakil rakyat ke daerah lain bagi DPRD, dan ke Negara lain bagi DPR RI, sejatinya diikuti dengan peningkatan kecerdasan dan kinerja anggota dewan. Kritik itu muncul, justru karena rakyat menemukan sebaliknya. Dari sekian banyak studi banding, hanya 20 persen yang perlu, 80 persennya mubazir. (vivanews.com)
Dibalik program studi banding yang memakan dana tidak sedikit, ditemukan sederet ketidakefektifan lembaga Negara ini. Kualitas kecerdasan dewan pun dalam menyikapi masalah rakyat yang nihil, fungsi-fungi pengawasan dan legislasi yang mandul.
Di tingkat DPR RI, menurut pengamat politik SLI, Burhanudin Muhtadi, ketidakefektifan lembaga Negara ini bisa dilihat dari empat sisi. Pertama, dari sisi legislasi. Mereka gagal memenuhi tugas legislasi. Dari 170 UU yang ditargetkan pada tahun 2010, mereka hanya mampu mengundangkan 17 UU, atau 10 persennya saja. Kedua, dari sisi bujeting. Dana sebesar 1,1 triliun dari APBN perubahannya tidak jelas. Ketiga, dari sisi pengawasan. Ternyata fungsi pengawasan ini lebih banyak digunakan sebagai bargaining politik ketimbang sebagai kontrol terhadap kerja eksekutif. Keempat, dari sisi partisipasi sidang sangat rendah, baik dalam sidang komisi maupun paripurna.
Khususnya masalah legislasi, ketidakefektifan kerja DPR RI ini, nampaknya diikuti oleh DPRD Propinsi Banten dan Kota/Kabupaten di Banten. Pada tahun 2010, mayoritas DPRD kota/kabupaten tidak mampu mengesahkan raperda sesuai dengan target, begitu juga di tingkat propinsi. Dan yang paling memalukan, dari sisi legislasi ini, ada 43 perda di Banten yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Karena, perda itu merupakan adopsi atau “copy-paste” dari perda daerah lain pada saat mereka studi banding. (lihat Radar Banten, 23 Februari 2011).
Jadi wajar jika kemudian rakyat mencibir, program studi banding adalah ajang memenuhi nafsu pelesiran dengan fasilitas mewah memakai uang Negara. 
Alih-alih mau belajar dari daerah lain tentang peraturan-peraturan menggali potensi daerah, ketika pulang malah menuntut hak lagi dengan dalih fasilitas kerja yang dimiliki sangat terbatas jika dibandingkan dengan daerah yang dikunjungi. Sebagaimana dilaporkan koran Radar Banten, 6/05/11, DPRD Kota Cilegon membeberkan minimnya fasilitas kerja yang dimiliki. Fasilitas yang dikeluhkan itu mencakup ruangan kerja, minimnya komputer, dan mobil dinas.
Data berikutnya dilaporkan oleh koran lokal, 12/05/11, disebutkan bahwa dalam tahun 2011 ini saja anggota DPRD Cilegon merencanakan studi banding sebanyak 41 kali, dengan menghabiskan dana 2,1 milyar. Jumlah studi banding itu, hampir dua kali lipat dari target raperda yang harus disahkan pada tahun 2011 ini, yakni 22 raperda. Dan biaya satuan raperda itu dibawah 100 juta (lihat Radar Banten, 23 Februari 2011). Bisa dipastikan biayanya juga lebih besar studi banding daripada anggaran tugas pokoknya, mengesahkan raperda-raperda itu.
Masalah fasilitas kerja, awalnya saya berfikir untuk “mengandaikan” dana yang dihabiskan untuk studi banding tersebut, dialihgunakan untuk melengkapi fasilitas kerja dewan. Tetapi saya ragu, karena fasilitas kerja itu sebenarnya mengikuti kinerja. Artinya, kalau memang kinerja wakil rakyat bagus, saya kira kebutuhan fasilitas kerja akan muncul dengan sendirinya, tanpa harus “nyontek” dari daerah lain dengan studi banding yang memakan dana tidak sedikit. Sebaliknya, perasaan kurang fasilitas itu muncul setelah melihat kantor di daerah lain, saya hawatir kalau “tuntutan” fasilitas yang lengkap itu bukan karena kebutuhan untuk mendukung kinerja, melainkan keinginan untuk gaya kerja yang “wah”.
Kebutuhan dan keinginan merupakan “makhluk” yang berbeda. Saya sering mengatakan kepada siswa saya, “belanjalah berdasarkan kebutuhan, jangan berdasar keinginan”. Belanja berdasar kebutuhan itu ada batasnya karena kita hanya menutupi kebutuhan asasi kita. Berbeda jika kita belanja berdasar keinginan, tidak ada batasnya. Sudah punya mobil hitam, pengen yang merah juga, pengen yang silver juga dan seterusnya, tidak ada batasnya. Jadi, mungkin fasilitas kerja yang kurang tersebut lebih disebabkan karena mereka minim “pengetahuan” bagaimana lingkungan kerja yang ideal, ketimbang disebabkan oleh minimnya dana. Baru setelah melihat-lihat kantor dewan daerah lain, timbul hasrat mereka untuk memiliki kantor yang sama.
Jika saja kehawatiran saya benar, maka angota dewan tidak lagi dalam posisi semestinya, yakni sebagai wakil rakyat. Wakil rakyat, menurut Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat, seharusnya sebagai “sandaran” yang diwakili. Ketika rakyat tidak berdaya, punya beban berat, maka wakil rakyatlah yang menjadi tempat bersandar dari seluruh penderitaan itu.
Masih menurut Komarudin Hidayat, wakil rakyat dalam tradisi Barat, berarti representasi rakyat. Sebagai representasi rakyat, tahu sendirilah bagaimana kondisi rakyat Indonesia, maka amatlah janggal jika rakyatnya masih miskin, wakilnya malah berlimpah fasilitas ketimbang yang diwakili. Dengan demikian, pemilu, dimana mereka dipilih, tidak lain sebagai ajang eksploitasi suara untuk melapangkan jalan menuju jabatan dengan gaji tinggi, bonus pelesiran.
Kondisi seperti ini pada akhirnya memudarkan kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga Negara, tidak hanya lembaga legislatif, merembet juga ke lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam situasi seperti ini, tidak mustahil, bahkan sering terjadi, rakyat menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena lembaga-lembaga Negara dan pemerintah sudah tidak bisa dipercaya.
Akhirnya pertanyaan, apakah studi banding itu kebutuhan atau nasfu pelesiran?, jawabannya tergantung pada kinerja anggota dewan pasca studi banding. Saya berharap, anggota DPD, DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, menyesuaikan fungsinya sebagai wakil rakyat dan sebagai representasi rakyat. Mencurahkan tenaga dan waktu kerjanya untuk kepentingan rakyat. Mengkoneksikan antara program studi banding dengan hasil yang diharapkan, atas kepentingan rakyat.
Jika konekstisitas antara wakil rakyat dengan rakyat ini menjadi kenyataan, saya yakin rakyat tidak akan mempermasalahkan hak-hak wakil rakyat sebagai konsekwensi logis dari kewajiban-kewajiban mereka. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC), pemilih pada Pemilu Legislatif, zona Jombang-Puwakarta, Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar