Sabtu, 21 Mei 2011

Ketika Santri Berkuasa


Oleh Ayatulloh Marsai*
[Terbit di Banten Raya Post, 21 Mei 2011]

Ada aroma etis yang segar bagi masyarakat Kota Cilegon, ketika Walikota akhirnya memutuskan untuk menutup tiga tempat hiburan, yakni DJ Kafe, Kafe Bole-Bole dan Double B. Disamping melanggar aturan, tempat hiburan itu telah membuat resah lingkungan sekitarnya berkaitan dengan norma susila yang berlaku di masyarakat. Sebelumnya, banyak aksi dilakukan, mulai demonstrasi, mendatangi pejabat pemerintah terdekat dengan baik-baik, hingga pemasangan spanduk penolakan terhadap keberadaan tempat hiburan itu.

Dari segi sosiologis, situasi itu merupakan bentuk “dialog” antara nilai dan norma yang berkembang di masyarakat dengan nilai dan norma baru, yang merupakan “efek samping” perkembangan Kota Cilegon menjadi kota yang semakin kompleks. Kepenatan suasana kerja, baik industri, maupun perdagangan, kadang menjadi alasan untuk “mengembangbiakan” gaya hidup hedonis. Gaya hidup yang lekat dengan minum-minuman keras, obat terlarang, judi, bahkan seks bebas. Alasan lain yang kadang menjadi legitimasi “pembiaran” kondisi ini adalah Cilegon merupakan kota penyangga wisata di Anyer dan Ibu Kota Jakarta, yang seolah sah dan wajar jika menyediakan tempat-tempat hiburan ini.

Sisi yang lain, masyarakat Cilegon adalah masyarakat religius. Masyarakat yang masih memegang teguh dan mengutamakan nilai-nilai agama di atas nilai-nilai yang lain.

Dalam “dialog” sosiologis ini dibutuhkan sikap yang tepat dari seorang pemimpin. Pemimpin yang bisa “mengawinkan” antara kepentingan ekonomi (pasar, industry), masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Sehingga perkembangan Kota Cilegon dari segi industri dan perdagangan tidak malah menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Jika pemimpin salah mengambil sikap dari setiap perkembangan lingkungan, baik sosial-budaya maupun alam; salah menyikapi tantangan zaman, maka tantangan itu bisa menjadi awal kehancuran kota dan hilangnya kebudayaan manusia.

Dalam sejarah umat manusia banyak kota dan negara tumbuh, dan kemudian hancur. Kehancuran itu disebabkan oleh kegagalan “dialog” antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Karena secara umum orang tidak peduli dengan masalah ketimpangan, penyimpangan, hingga sejarah mengalir “ngebuntut” kepada arus besar. Atau karena orang awam tidak punya kekuatan, baik ekonomi maupun kuasa. Akhirnya arus sejarah terjerumus pada solusi yang salah. Solusi yang menghancurkan.

Oleh karena itu Arnold J. Toynbee, dengan hukum siklusnya, menyerahkan arus sejarah bukan kepada ketiganya (masyarakat, ekonomi dan kuasa). Toynbee menyerahkan arus sejarah kepada minoritas kreatif. Mengutip, Soegeng Sarjadi (2009), dalam “Kepemimpinan & Etika”, minoritas kreatif ialah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki “self-determining factor” (kemampuan untuk memilih apa yang hendak dilakukan secara tepat dengan semangat yang kuat).

Lebih lanjut, Seogeng berpendapat terciptanya peradaban yang gemilang bergantung penuh kepada bagaimana minoritas kreatif menyikapi, merumuskan tantangan, dan mengorientasikan kehidupan mayoritas orang untuk menanggapi tantangan itu. Dalam hal ini, minoritas kreatif tidak tunggal. Minoritas kreatif  bisa tumbuh dimana saja, di masyarakat umum, kalangan industri dan penguasa atau pemerintahan.

Sikap dan keputusan Walikota menutup tempat hiburan adalah gambaran sikap minoritas kreatif dari ranah kekuasaan. Keputusan yang responsif dan tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Disamping pelanggaran hukum, tempat hiburan yang ditutup juga dianggap melanggar moral. Atas landasan ini, tidak berlebihan kiranya jika penulis berpendapat bahwa keputusan Walikota sebagai minoritas kreatif, lahir dari seorang pemimpin yang berlandaskan pada kepemimpinan berbasis nilai-nilai kesantrian. Kepemimpinan yang mengutamakan moral dan etika ketimbang kekuasaan itu sendiri.

Kita tidak terlalu jauh untuk melacak, bagaimana kepemimpinan moral ini bisa muncul di Kota Cilegon. Dari segi kemasyarakatan, Cilegon dikenal dengan Kota Santri. Dari segi kepemimpinan, tidak bisa dipungkiri bahwa Walikota Cilegon, Iman Aryadi adalah seorang santri. Bagaimana tidak, riwayat pendidikannya sebagai alumni pondok pesantren dan alumni perguruan tinggi Islam, me-representasikan dirinya sebagai santri. Dan seandainya saat ini watak kepemimpinannya jauh dari karakter kesantrian, maka kita bisa menagihnya. Sebab, bagi sebagian besar masyarakat, karena kesantriannyalah beliau dipilih.

Kepemimpinan Berbasis Etika
Dalam tataran teknis, kepemimpinan berbasis etika ditunjukan dengan keputusan-keputusannya. Paling tidak ada tiga posisi etika penting dalam setiap pengambilan keputusan. Pertama, “konsekuensialis”, memandang baik buruk keputusan berdasarkan kalkulasi manfaat. Apabila sebagian besar individu menjadi lebih baik ketimbang yang tidak, maka keputusan tersebut dibenarkan. Kedua, etika “deontologist”. Etika “deontologist” memandang baik buruk keputusan berdasarkan prinsip-prinsip moral universal. Ketiga, adalah etika “diskursus”. Etika diskursus mengukur baik-buruk sebuah keputusan apabila itu telah lolos uji publik melalui diskursus publik yang bebas koersi (tindak kekerasan). (Soegeng Sarjadi, 2009).  

Mengamati Kota Cilegon yang melaju dalam laju perubahan sangat cepat dan kompleks, tidak sepi dari tantangan-tantangan sosial-budaya. Bisa jadi tantangan itu berubah menjadi kemajuan yang lebih tinggi nilainya, atau malah justru akan mengantarkan kepada kemerosotan, kehancuran dan lenyapnya kebudayaan manusia. Semua itu bergantung pada keputusan minoritas kreatif  berkuasa.

Ketika kita sepakat kepemimipinan santri merupakan kepemimpinan berbasis nilai, mau tidak mau kita harus mengacu kepada kepemimpinan model Nabi Muhammad SAW. karena beliau menempatkan, nilai, moral dan etika di atas segalanya. Inti kenabiannya adalah menyempurnakan akhlak, “sesungguhnya aku ini diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak.”  

Jadi, bagaimana pun teknisnya keputusan diambil, di atas rel “penyempurnaan akhlak-lah”, seharusnya kepemimpinan Iman Aryadi berjalan. Menjadi individu atau kelompok yang mau menyikapi perubahan, kemudian merumuskan orientasi untuk kehidupan umat manusia 100-1000 tahun ke depan secara universal. Seperti para nabi, seperti para imam mazhab, seperti para “funding father Indonesia”. Saya berharap kesantriannya sekaligus sebagai minoritas kreatif , yang mau merumuskan sejarah (kehidupan orang banyak), tidak hanya berfikir nasib umat manusia satu periode kepemimpinan, namun dalam jangka waktu sangat panjang. Merumuskan kehidupan berbangsa, bernegara, ber-ekonomi, berbudaya yang ideal. Hingga rumusan itu berlaku umum untuk kehidupan umat manusia secara kolektif.

Pada akhirnya kita berharap keputusan mulia pemerintah Kota Cilegon berbanding lurus dengan apa yang dilakukan di lapangan. Semoga para penegak hukum, terutama Satpol PP, tidak tergoda oleh iming-iming apapun di lapangan. Sebab, jika keputusan mulia itu dihianati pada tingkat pelaksanaannya, maka peraturan apapun di kota ini akan menjadi “tumpukan berkas kebohongan belaka.” Jika demikian, tidak mustahil apa yang dihawatirkan Arnold J Toynbee akan terjadi, yakni sejarah umat manusia akan dikendalikan oleh minoritas despot. Minoritas berkuasa yang tidak mampu merumuskan tantangan zaman. Dan inilah awal dari keruntuhan peradaban. Wassalam.

*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar