Jumat, 06 Mei 2011

Guru dan Korupsi

Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah “Pendidikan Berkarakter Pilar Kebangkitan Bangsa”. Tema yang mengandaikan pendidikan menjadi faktor penting yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan. Keterpurukan ekonomi, budaya, sosial, bahkan politik.

Di Banten tema itu kemudian “diterjemahkan” oleh para guru dengan wujud gerakan anti ko­rupsi. Anti korupsi yang dimulai dari ruang lingkup sendiri itu diejawantahkan dalam pernya­taan sikap di ruang terbuka dan tidak tanggung-tanggung dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Banten. Sikap para guru ini menjelaskan kepada kita bahwa korupsi dianggap sebagai salah satu “biang keladi” dari keter­purukan bangsa di segala bidang.

Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang mungkin meng­haruskan lahirnya gerakan anti korupsi di kalangan guru ini. Pertama, hal introspeksi atau ma­was diri terhadap situasi in­ter­nal guru dan lembaga pen­didikan.

Gerakan anti korupsi para guru ini, bisa dipahami sebagai gera­kan mawas diri. Luar biasa! Jarang terjadi memang, sebuah pe­ringatan hari besar yang diisi dengan sebuah koreksi terhadap sikap, perbuatan, kesalahan dan kelemahan diri sendiri seperti ini. Biasanya peringatan hari besar, berisi segudang tuntutan hak-hak kelompok kepada pemerintah. Di sinilah mungkin salah satu letak perbedaan antara peringatan Hari Buruh dengan Hari Pendidikan Nasional. Meskipun kita semua tahu bahwa nasib guru, khususnya non-PNS, tidak lebih baik dari buruh kontrak. Salut buat para guru!

Mawas diri tersebut kemudian melahirkan kesadaran diri. Sebuah kesadaran diri bahwa di kalangan guru tidak sepi dari “perilaku korupsi”. Meski korupsi yang umum terjadi adakalanya guru sebagai pelaku dan adakalanya guru sebagai obyek korupsi atasannya.

Guru sebagai pelaku korupsi umumnya disebabkan oleh de­sakan faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh honor/gaji yang diterima. Maka untuk me­nyiasati pemenuhan kebu­tuhan itu guru bisa saja mengutip biaya ekstra dari murid, seperti menjual soal ujian, atau menga­dakan ekstrakulikuler.

Dalam hal ini, pemerintah harus komitmen terus berupaya me­nyejahterakan guru. Mem­perlakukan guru non-pegawai negeri sipil sama dengan pegawai negeri sipil --bukan dari jumlah bayaran dan golongannya, setidaknya dari sumber tunjangan fungsional jangan berbentuk subsidi yang jumlah dan wak­tunya tidak jelas. Bila kesejah­teraan guru yang menyeluruh bisa diwujudkan oleh pemerintah maka akan berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di kalangan guru.

Selain itu, kesejahteraan guru juga menjadi “pintu masuk” terwujudnya mutu pendidikan. Sebagaimana rekomendasi Bank Dunia bahwa apa pun usaha yang diluncurkan untuk mening­katkan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak terpe­cahkan. (Suroso, 2002).

Sementara guru sebagai korban korupsi umumnya bergandengan dengan faktor kolusi. Misalnya, membayar uang “terima kasih” atau “suap”, berharap guru mendapatkan prioritas atas prog­ram tertentu dari peme­rintah. Contoh kasus yang terjadi di Surabaya, untuk masuk ke­dalam database program serti­fikasi, guru diminta 3 juta untuk satu kuota. (www.sura­bayapagi.com)

Ade Irawan (2005), dalam “Undang–undang Guru dan Korupsi” (adeirawan.blogspot.com), menyebutkan tiga alasan yang memposisikan guru sebagai korban korupsi. (1) guru bukan penentu kebijakan. Guru hanya sebagai pengajar yang bertugas “mentransfer” pengetahuan kepada anak didik, sedangkan urusan kebijakan, apalagi masalah APBS, guru tidak dilibat­kan sama sekali. Dengan demi­kain, guru dalam posisi ini kecil kemungkinannya menjdi aktor dibalik korupsi yang terjadi di sekolah. (2) guru merupakan “mata rantai” terlemah diantara penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi korban “mata rantai” yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan. Posisi guru yang demikian rentan menjadi korban “obyekan” atasan. Dan (3), lagi-lagi karena pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran untuk men­dukung proses belajar-mengajar, maka guru terpaksa mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pang­kalan ojek.

Yang kedua –yang mempe­ngaruhi munculnya gerakan anti korupsi di kalangan guru adalah hasil evaluasi terhadap “output” lembaga pendidikan dimana guru sebagai ujung tombaknya. “Output “ dunia pendidikan, baik atau buruknya, berpangkal dan berujung pada eksistensi peran guru. Ketika menyaksikan keterpurukan bangsa, prilaku korupsi di mana-mana, tidak hanya di kalangan pejabat, birok­rat, pedagang besar, pedagang kecil, hingga tidak terkecuali para guru, maka salah satu sebabnya adalah gagalnya dunia pendidikan menciptakan manusia yang berkarakter. Dalam sebuah seminar pendidikan, Yoyo Mulyana (2011), mengata­kan: “mengguritanya korupsi di negara kita adalah bukti gagal­nya pendidikan kita. Pendidikan kita menghasilkan manusia-ma­nusia pintar, tetapi tidak ber­moral, tidak berkarakter.” Hingga kenyataan yang hadir kemudian, korupsi, demonstrasi yang anarkis, kenakalan remaja, tawu­ran, berlangsung di ling­kungan manusia berpendidikan, bahkan di lembaga pendidikan itu sendiri. Ironis!

Gerakan anti korupsi di kala­ngan para guru itu menjadi penting, mengingat peran sosial lembaga pendidikan sebagai lembaga pengendalian sosial secara persuasive. Dari bangku sekolahlah seharusnya segala bentuk penyimpangan sosial bisa ditekan. Dengan membekali anak didik, tidak hanya penge­tahuan, tetapi juga norma-norma, nilai-nilai, yang harus dipegang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena tujuan pendidikan bukan hanya men­cerdaskan tapi juga membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Sebagai lembaga yang ber­tanggung jawab menentukan karakter-karakter tersebut, lembaga pendidikan, di mana guru berada di dalamnya, tidak berlebihan jika guru menjadi pelopor gerakan anti korupsi dengan “menghentikan perilaku korupsi di kalangannya sendiri”. Supaya dalam proses “transfer” pengetahuan kepada anak didik, disertai dengan teladan yang benar dan nyata di kalangan guru sendiri. Teladan inilah yang akan menjadi kunci terbentuknya karakter generasi bangsa lebih baik. Dan, pepatah “guru, digugu dan ditiru” menjadi kenyataan, tidak sebatas semboyan yang dimitoskan saja.

Tidak kalah penting, gerakan guru yang mulia ini, akan mulus menemukan tujuannya, jika didukung sepenuh hati dan sikap oleh semua komponen yang terkait dengan masalah penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Semoga!

Ayatulloh Marsai
Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MTs & MA Al-Khairiyah Karangtengah

Dimuat di Radar Banten, 06 Mei 2011
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=65150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar