Senin, 23 Mei 2011

Golput Juga Suara Rakyat

  
OLEH: AYATULLOH MARSAI

[Banten Raya Post, 28 Mei 2011]

“kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).” (Ignas Kleden).

Pemilihan Gubernur Banten tinggal beberapa bulan saja. Para calon sudah jauh-jauh hari “menjajakan dirinya”, baik langsung dirinya turun ke kerumunan massa maupun tidak langsung, melalui agen-agen pemasaran yang dipersiapkan. Kabarnya calon  terkuat gubernur yang maju dalam pemilu mendatang adalah Atut Chosiyah (Gubernur Banten sekarang) dan Wahidin Halim (Walikota Tangerang). Yang pasti masing-masing mesin politik semua calon tersebut sudah mulai “di-starter” untuk meraup simpati sebanyak mungkin dari rakyat.
Disamping simpati (suara) yang terakomodir oleh calon pada pemilu nanti, salah satu tajuk koran lokal Banten, 20 Mei 2011, “Suara Golput, Suara Tuhan,” memprediksikan menguatnya suara golput pada pemilukada Propinsi Banten mendatang. Bisa jadi prediksi ini benar. Sebab, dalam istilah filsafat, kebebasan memilih, juga membuka pilihan untuk tidak memilih. Apakah tidak memilih itu disebabkan kurangnya kesadaran rakyat berpolitik? Atau disebabkan jemu terhadap hasil politik yang ada?
Sejak sistem pemilu memungkinkan semua rakyat memilih langsung pemimpin Negara dan pemerintahan, kemungkinan tidak sadar politik, kecil sebagai pemicu gerakan golput.
Sebaliknya, gerakan golput lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpin hasil pemilu. Mengingat hasil pemilu-pemilu sebelumnya tidak banyak berpengaruh pada kepentingan rakyat banyak. Hasil pemilu cendrung mencidrai amanat rakyat. Dengan kata lain, agaknya rakyat “calon pemilih golput”  ini sulit mempercayai  pemilu bisa menyelesaikan masalah kebangkrutan yang menggurita di segala bidang. Kesenjangan sosial, ekonomi, jalan rusak, kesenjangan pendidikan, minimnya kesehatan masyarakat, adalah sederet masalah yang belum terselesaikan oleh hasil pemilu sebelumnya.
Belum lagi masalah moral dan keteladanan kepemimpinan. Falsafah hidup sepi ing pamrih, hidup sederhana, bijaksana, mengutamakan kepentingan publik di atas pribadi dan keluarga juga golongan, sulit sekali kita temukan pada diri pemimpin-pemimpin kita. Bagaimana bisa pemilih cerdas memilih dalam kondisi dikepung oleh seribu fakta, pemilu selama ini tidak membawa perubahan lebih baik. Tidak menurunkan angka kemiskinan, tidak mengurangi pengangguran, tidak mengurangi jumlah anak putus sekolah, jalan rusak di mana-mana, masih banyak penderita gizi buruk dan silahkan cari yang lainnya. Adakah celah yang memikat pemilih cerdas untuk memilih pada pemilu mendatang?
Memang, tidak menutup kemungkinan calon pemilih golput, yang cerdas maupun yang kecewa, “jatuh cinta” kepada calon-calon baru. Sebab “track record” calon-calon baru ini belum banyak terpublikasikan, khususnya dalam hal kekurangannya. Dan pada saat yang sama, belum atau tidak sempat mengecewakan banyak orang. Berbeda dengan “stok lama,” riwayat kepemimpinannya sudah jelas terbentang dari awal memerintah sampai detik-detik akhir kepemimpinan. Terutama sederet kekurangan dan kelemahan semasa memerintah.
Tetapi, bukan rahasia lagi, politik negeri kita adalah politik pencitraan. Demikian politik yang sudah dikawinkan dengan ilmu marketing. Menjelang pemilu, politik bergerak bersama pakar pemasaran sehingga individu diubah menarik, baik, bersih dan sukses mengangkat derajat Negara lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan ketelatenan memilih produk politik seperti ini. Jangan sampai seperti pepatah “jatuh berulang kali pada lubang yang sama”.
Golput Pragmatis & Idealis
Kalau boleh penulis menawarkan peta golput ini bisa dibedakan menjadi golput pragmatis dan golput idealis. Golput pragmatis, maksudnya untuk orang-orang yang tidak memilih atas dasar “tidak suka”, baik karena sakit hati politik ataupun tidak mendapatkan keuntungan langsung yang bersifat materi. Orang-orang seperti ini pasti ada secara berjenjang dari kalangan atas sampai bawah dalam struktur masyarakat. Sedangkan istilah golput idealis, dimaksudkan untuk pemilih golput atas dasar tidak percaya lagi pada sistem yang ada bisa memperbaiki kondisi bangsa. Atau tidak ada calon yang cocok menurut keriteria yang diidamkannya.

Kembali ke Habitat Demokrasi
Lalu, apakah gerakan golput ini berdampak positif bagi kemjuan Negara dan bangsa. Atau, malah merugikan kepentingan bersama menuju Negara yang sejahtera? Dua masalah ini  berpulang pada bagaimana kita menyikapinya. Jika banyaknya suara golput bakal menjadi peluang bagi berkembangnya politik kotor, pemimpin kotor, maka golput tidak kurang dari sikap pembiaran terhadap keadaan bangsa yang bangkrut. Tetapi, kalau goput bisa dijadikan pelajaran, bahwa rakyat sudah jenuh dengan hasil pemilu, yang berulang kali hanya menguntungkan segelintir orang saja, maka golput bisa menjadi kritik konstruktif. Konstruktif, jika disikapi oleh para pakar ilmu politik, negarawan, politisi, media massa, dan terutama pelaku politik praktis, bahwa demokrasi harus dikembalikan pada habitatnya.

Kita mengenal sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Semua orientasi sistem ini tidak lain adalah rakyat secara umum, baik proses regulasi kepemimpinan, pengolahan sumber daya Negara dan hasilnya. Semuanya untuk rakyat.

Mengutip Ignas Kleden, Kompas, 6 Juni 2007, “kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).”

Pada akhir tulisan ini, hendaknya suara golput (betapa pun kecil), bisa memaksa kita untuk berkaca. Tentang apa yang sudah kita berbuat dengan demokrasi. Kemudian berbenah menuju demokrasi sejati yang berorientasi rakyat. Golput juga suara rakyat. Suara rakyat, suara Tuhan.

*Guru SKI MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah, Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar