Rabu, 25 Mei 2011

Studi Banding Atau Nafsu Pelesiran?

OLEH: AYATULLOH MARSAI
Fenomena studi banding anggota DPD, DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, menuai kritik dari berbagai kalangan. Sebagaimana dilaporkan vivanews.com, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (SLI) tahun 2011 ini, 87 persen masyarakat menolak studi banding. Padahal, studi banding bagian dari proses kerja mereka untuk menuntaskan tugas dan wewenang sebagai wakil rakyat. Dan, pasti biayanya sudah dianggarkan. Selain studi banding, pekerjaan anggota dewan di luar masa sidang adalah reses. Sama-sama kunjungan kerja, tetapi semangat anggota dewan menjalankan reses tidak seperti ketika melakukan studi banding. Beda, kalau studi banding umumnya dilakukan ke luar daerah atau luar negeri, maka reses kunjungan kerja dilingkungan dapil (daerah pemilihan) sendiri.
Terlepas dari perbedaan itu, keduanya merupakan program untuk menyerap pengetahuan untuk kemudian dijadikan dasar dan pertimbangan dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat.
Adanya kritik, ketidakpuasan masyarakat terhadap studi banding ini, semestinya tidak muncul, jika saja program ini berbanding lurus dengan tujuan program itu dilaksanakan. Artinya, setiap kunjungan wakil rakyat ke daerah lain bagi DPRD, dan ke Negara lain bagi DPR RI, sejatinya diikuti dengan peningkatan kecerdasan dan kinerja anggota dewan. Kritik itu muncul, justru karena rakyat menemukan sebaliknya. Dari sekian banyak studi banding, hanya 20 persen yang perlu, 80 persennya mubazir. (vivanews.com)
Dibalik program studi banding yang memakan dana tidak sedikit, ditemukan sederet ketidakefektifan lembaga Negara ini. Kualitas kecerdasan dewan pun dalam menyikapi masalah rakyat yang nihil, fungsi-fungi pengawasan dan legislasi yang mandul.
Di tingkat DPR RI, menurut pengamat politik SLI, Burhanudin Muhtadi, ketidakefektifan lembaga Negara ini bisa dilihat dari empat sisi. Pertama, dari sisi legislasi. Mereka gagal memenuhi tugas legislasi. Dari 170 UU yang ditargetkan pada tahun 2010, mereka hanya mampu mengundangkan 17 UU, atau 10 persennya saja. Kedua, dari sisi bujeting. Dana sebesar 1,1 triliun dari APBN perubahannya tidak jelas. Ketiga, dari sisi pengawasan. Ternyata fungsi pengawasan ini lebih banyak digunakan sebagai bargaining politik ketimbang sebagai kontrol terhadap kerja eksekutif. Keempat, dari sisi partisipasi sidang sangat rendah, baik dalam sidang komisi maupun paripurna.
Khususnya masalah legislasi, ketidakefektifan kerja DPR RI ini, nampaknya diikuti oleh DPRD Propinsi Banten dan Kota/Kabupaten di Banten. Pada tahun 2010, mayoritas DPRD kota/kabupaten tidak mampu mengesahkan raperda sesuai dengan target, begitu juga di tingkat propinsi. Dan yang paling memalukan, dari sisi legislasi ini, ada 43 perda di Banten yang dibatalkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Karena, perda itu merupakan adopsi atau “copy-paste” dari perda daerah lain pada saat mereka studi banding. (lihat Radar Banten, 23 Februari 2011).
Jadi wajar jika kemudian rakyat mencibir, program studi banding adalah ajang memenuhi nafsu pelesiran dengan fasilitas mewah memakai uang Negara. 
Alih-alih mau belajar dari daerah lain tentang peraturan-peraturan menggali potensi daerah, ketika pulang malah menuntut hak lagi dengan dalih fasilitas kerja yang dimiliki sangat terbatas jika dibandingkan dengan daerah yang dikunjungi. Sebagaimana dilaporkan koran Radar Banten, 6/05/11, DPRD Kota Cilegon membeberkan minimnya fasilitas kerja yang dimiliki. Fasilitas yang dikeluhkan itu mencakup ruangan kerja, minimnya komputer, dan mobil dinas.
Data berikutnya dilaporkan oleh koran lokal, 12/05/11, disebutkan bahwa dalam tahun 2011 ini saja anggota DPRD Cilegon merencanakan studi banding sebanyak 41 kali, dengan menghabiskan dana 2,1 milyar. Jumlah studi banding itu, hampir dua kali lipat dari target raperda yang harus disahkan pada tahun 2011 ini, yakni 22 raperda. Dan biaya satuan raperda itu dibawah 100 juta (lihat Radar Banten, 23 Februari 2011). Bisa dipastikan biayanya juga lebih besar studi banding daripada anggaran tugas pokoknya, mengesahkan raperda-raperda itu.
Masalah fasilitas kerja, awalnya saya berfikir untuk “mengandaikan” dana yang dihabiskan untuk studi banding tersebut, dialihgunakan untuk melengkapi fasilitas kerja dewan. Tetapi saya ragu, karena fasilitas kerja itu sebenarnya mengikuti kinerja. Artinya, kalau memang kinerja wakil rakyat bagus, saya kira kebutuhan fasilitas kerja akan muncul dengan sendirinya, tanpa harus “nyontek” dari daerah lain dengan studi banding yang memakan dana tidak sedikit. Sebaliknya, perasaan kurang fasilitas itu muncul setelah melihat kantor di daerah lain, saya hawatir kalau “tuntutan” fasilitas yang lengkap itu bukan karena kebutuhan untuk mendukung kinerja, melainkan keinginan untuk gaya kerja yang “wah”.
Kebutuhan dan keinginan merupakan “makhluk” yang berbeda. Saya sering mengatakan kepada siswa saya, “belanjalah berdasarkan kebutuhan, jangan berdasar keinginan”. Belanja berdasar kebutuhan itu ada batasnya karena kita hanya menutupi kebutuhan asasi kita. Berbeda jika kita belanja berdasar keinginan, tidak ada batasnya. Sudah punya mobil hitam, pengen yang merah juga, pengen yang silver juga dan seterusnya, tidak ada batasnya. Jadi, mungkin fasilitas kerja yang kurang tersebut lebih disebabkan karena mereka minim “pengetahuan” bagaimana lingkungan kerja yang ideal, ketimbang disebabkan oleh minimnya dana. Baru setelah melihat-lihat kantor dewan daerah lain, timbul hasrat mereka untuk memiliki kantor yang sama.
Jika saja kehawatiran saya benar, maka angota dewan tidak lagi dalam posisi semestinya, yakni sebagai wakil rakyat. Wakil rakyat, menurut Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat, seharusnya sebagai “sandaran” yang diwakili. Ketika rakyat tidak berdaya, punya beban berat, maka wakil rakyatlah yang menjadi tempat bersandar dari seluruh penderitaan itu.
Masih menurut Komarudin Hidayat, wakil rakyat dalam tradisi Barat, berarti representasi rakyat. Sebagai representasi rakyat, tahu sendirilah bagaimana kondisi rakyat Indonesia, maka amatlah janggal jika rakyatnya masih miskin, wakilnya malah berlimpah fasilitas ketimbang yang diwakili. Dengan demikian, pemilu, dimana mereka dipilih, tidak lain sebagai ajang eksploitasi suara untuk melapangkan jalan menuju jabatan dengan gaji tinggi, bonus pelesiran.
Kondisi seperti ini pada akhirnya memudarkan kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga Negara, tidak hanya lembaga legislatif, merembet juga ke lembaga eksekutif dan yudikatif. Dalam situasi seperti ini, tidak mustahil, bahkan sering terjadi, rakyat menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena lembaga-lembaga Negara dan pemerintah sudah tidak bisa dipercaya.
Akhirnya pertanyaan, apakah studi banding itu kebutuhan atau nasfu pelesiran?, jawabannya tergantung pada kinerja anggota dewan pasca studi banding. Saya berharap, anggota DPD, DPR RI, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, menyesuaikan fungsinya sebagai wakil rakyat dan sebagai representasi rakyat. Mencurahkan tenaga dan waktu kerjanya untuk kepentingan rakyat. Mengkoneksikan antara program studi banding dengan hasil yang diharapkan, atas kepentingan rakyat.
Jika konekstisitas antara wakil rakyat dengan rakyat ini menjadi kenyataan, saya yakin rakyat tidak akan mempermasalahkan hak-hak wakil rakyat sebagai konsekwensi logis dari kewajiban-kewajiban mereka. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC), pemilih pada Pemilu Legislatif, zona Jombang-Puwakarta, Cilegon.

Senin, 23 Mei 2011

Golput Juga Suara Rakyat

  
OLEH: AYATULLOH MARSAI

[Banten Raya Post, 28 Mei 2011]

“kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).” (Ignas Kleden).

Pemilihan Gubernur Banten tinggal beberapa bulan saja. Para calon sudah jauh-jauh hari “menjajakan dirinya”, baik langsung dirinya turun ke kerumunan massa maupun tidak langsung, melalui agen-agen pemasaran yang dipersiapkan. Kabarnya calon  terkuat gubernur yang maju dalam pemilu mendatang adalah Atut Chosiyah (Gubernur Banten sekarang) dan Wahidin Halim (Walikota Tangerang). Yang pasti masing-masing mesin politik semua calon tersebut sudah mulai “di-starter” untuk meraup simpati sebanyak mungkin dari rakyat.
Disamping simpati (suara) yang terakomodir oleh calon pada pemilu nanti, salah satu tajuk koran lokal Banten, 20 Mei 2011, “Suara Golput, Suara Tuhan,” memprediksikan menguatnya suara golput pada pemilukada Propinsi Banten mendatang. Bisa jadi prediksi ini benar. Sebab, dalam istilah filsafat, kebebasan memilih, juga membuka pilihan untuk tidak memilih. Apakah tidak memilih itu disebabkan kurangnya kesadaran rakyat berpolitik? Atau disebabkan jemu terhadap hasil politik yang ada?
Sejak sistem pemilu memungkinkan semua rakyat memilih langsung pemimpin Negara dan pemerintahan, kemungkinan tidak sadar politik, kecil sebagai pemicu gerakan golput.
Sebaliknya, gerakan golput lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpin hasil pemilu. Mengingat hasil pemilu-pemilu sebelumnya tidak banyak berpengaruh pada kepentingan rakyat banyak. Hasil pemilu cendrung mencidrai amanat rakyat. Dengan kata lain, agaknya rakyat “calon pemilih golput”  ini sulit mempercayai  pemilu bisa menyelesaikan masalah kebangkrutan yang menggurita di segala bidang. Kesenjangan sosial, ekonomi, jalan rusak, kesenjangan pendidikan, minimnya kesehatan masyarakat, adalah sederet masalah yang belum terselesaikan oleh hasil pemilu sebelumnya.
Belum lagi masalah moral dan keteladanan kepemimpinan. Falsafah hidup sepi ing pamrih, hidup sederhana, bijaksana, mengutamakan kepentingan publik di atas pribadi dan keluarga juga golongan, sulit sekali kita temukan pada diri pemimpin-pemimpin kita. Bagaimana bisa pemilih cerdas memilih dalam kondisi dikepung oleh seribu fakta, pemilu selama ini tidak membawa perubahan lebih baik. Tidak menurunkan angka kemiskinan, tidak mengurangi pengangguran, tidak mengurangi jumlah anak putus sekolah, jalan rusak di mana-mana, masih banyak penderita gizi buruk dan silahkan cari yang lainnya. Adakah celah yang memikat pemilih cerdas untuk memilih pada pemilu mendatang?
Memang, tidak menutup kemungkinan calon pemilih golput, yang cerdas maupun yang kecewa, “jatuh cinta” kepada calon-calon baru. Sebab “track record” calon-calon baru ini belum banyak terpublikasikan, khususnya dalam hal kekurangannya. Dan pada saat yang sama, belum atau tidak sempat mengecewakan banyak orang. Berbeda dengan “stok lama,” riwayat kepemimpinannya sudah jelas terbentang dari awal memerintah sampai detik-detik akhir kepemimpinan. Terutama sederet kekurangan dan kelemahan semasa memerintah.
Tetapi, bukan rahasia lagi, politik negeri kita adalah politik pencitraan. Demikian politik yang sudah dikawinkan dengan ilmu marketing. Menjelang pemilu, politik bergerak bersama pakar pemasaran sehingga individu diubah menarik, baik, bersih dan sukses mengangkat derajat Negara lebih baik. Oleh karena itu dibutuhkan ketelatenan memilih produk politik seperti ini. Jangan sampai seperti pepatah “jatuh berulang kali pada lubang yang sama”.
Golput Pragmatis & Idealis
Kalau boleh penulis menawarkan peta golput ini bisa dibedakan menjadi golput pragmatis dan golput idealis. Golput pragmatis, maksudnya untuk orang-orang yang tidak memilih atas dasar “tidak suka”, baik karena sakit hati politik ataupun tidak mendapatkan keuntungan langsung yang bersifat materi. Orang-orang seperti ini pasti ada secara berjenjang dari kalangan atas sampai bawah dalam struktur masyarakat. Sedangkan istilah golput idealis, dimaksudkan untuk pemilih golput atas dasar tidak percaya lagi pada sistem yang ada bisa memperbaiki kondisi bangsa. Atau tidak ada calon yang cocok menurut keriteria yang diidamkannya.

Kembali ke Habitat Demokrasi
Lalu, apakah gerakan golput ini berdampak positif bagi kemjuan Negara dan bangsa. Atau, malah merugikan kepentingan bersama menuju Negara yang sejahtera? Dua masalah ini  berpulang pada bagaimana kita menyikapinya. Jika banyaknya suara golput bakal menjadi peluang bagi berkembangnya politik kotor, pemimpin kotor, maka golput tidak kurang dari sikap pembiaran terhadap keadaan bangsa yang bangkrut. Tetapi, kalau goput bisa dijadikan pelajaran, bahwa rakyat sudah jenuh dengan hasil pemilu, yang berulang kali hanya menguntungkan segelintir orang saja, maka golput bisa menjadi kritik konstruktif. Konstruktif, jika disikapi oleh para pakar ilmu politik, negarawan, politisi, media massa, dan terutama pelaku politik praktis, bahwa demokrasi harus dikembalikan pada habitatnya.

Kita mengenal sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Semua orientasi sistem ini tidak lain adalah rakyat secara umum, baik proses regulasi kepemimpinan, pengolahan sumber daya Negara dan hasilnya. Semuanya untuk rakyat.

Mengutip Ignas Kleden, Kompas, 6 Juni 2007, “kalau demokrasi sebagai sistem politik, maka pemimpin yang demokratis adalah seorang yang berasal dari rakyat (bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyat (bukan untuk dirinya sendiri dan kelompok yang dekat dengan dirinya).”

Pada akhir tulisan ini, hendaknya suara golput (betapa pun kecil), bisa memaksa kita untuk berkaca. Tentang apa yang sudah kita berbuat dengan demokrasi. Kemudian berbenah menuju demokrasi sejati yang berorientasi rakyat. Golput juga suara rakyat. Suara rakyat, suara Tuhan.

*Guru SKI MTs/MA Al-Khairiyah Karangtengah, Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC).

Sabtu, 21 Mei 2011

Ketika Santri Berkuasa


Oleh Ayatulloh Marsai*
[Terbit di Banten Raya Post, 21 Mei 2011]

Ada aroma etis yang segar bagi masyarakat Kota Cilegon, ketika Walikota akhirnya memutuskan untuk menutup tiga tempat hiburan, yakni DJ Kafe, Kafe Bole-Bole dan Double B. Disamping melanggar aturan, tempat hiburan itu telah membuat resah lingkungan sekitarnya berkaitan dengan norma susila yang berlaku di masyarakat. Sebelumnya, banyak aksi dilakukan, mulai demonstrasi, mendatangi pejabat pemerintah terdekat dengan baik-baik, hingga pemasangan spanduk penolakan terhadap keberadaan tempat hiburan itu.

Dari segi sosiologis, situasi itu merupakan bentuk “dialog” antara nilai dan norma yang berkembang di masyarakat dengan nilai dan norma baru, yang merupakan “efek samping” perkembangan Kota Cilegon menjadi kota yang semakin kompleks. Kepenatan suasana kerja, baik industri, maupun perdagangan, kadang menjadi alasan untuk “mengembangbiakan” gaya hidup hedonis. Gaya hidup yang lekat dengan minum-minuman keras, obat terlarang, judi, bahkan seks bebas. Alasan lain yang kadang menjadi legitimasi “pembiaran” kondisi ini adalah Cilegon merupakan kota penyangga wisata di Anyer dan Ibu Kota Jakarta, yang seolah sah dan wajar jika menyediakan tempat-tempat hiburan ini.

Sisi yang lain, masyarakat Cilegon adalah masyarakat religius. Masyarakat yang masih memegang teguh dan mengutamakan nilai-nilai agama di atas nilai-nilai yang lain.

Dalam “dialog” sosiologis ini dibutuhkan sikap yang tepat dari seorang pemimpin. Pemimpin yang bisa “mengawinkan” antara kepentingan ekonomi (pasar, industry), masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Sehingga perkembangan Kota Cilegon dari segi industri dan perdagangan tidak malah menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Jika pemimpin salah mengambil sikap dari setiap perkembangan lingkungan, baik sosial-budaya maupun alam; salah menyikapi tantangan zaman, maka tantangan itu bisa menjadi awal kehancuran kota dan hilangnya kebudayaan manusia.

Dalam sejarah umat manusia banyak kota dan negara tumbuh, dan kemudian hancur. Kehancuran itu disebabkan oleh kegagalan “dialog” antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Karena secara umum orang tidak peduli dengan masalah ketimpangan, penyimpangan, hingga sejarah mengalir “ngebuntut” kepada arus besar. Atau karena orang awam tidak punya kekuatan, baik ekonomi maupun kuasa. Akhirnya arus sejarah terjerumus pada solusi yang salah. Solusi yang menghancurkan.

Oleh karena itu Arnold J. Toynbee, dengan hukum siklusnya, menyerahkan arus sejarah bukan kepada ketiganya (masyarakat, ekonomi dan kuasa). Toynbee menyerahkan arus sejarah kepada minoritas kreatif. Mengutip, Soegeng Sarjadi (2009), dalam “Kepemimpinan & Etika”, minoritas kreatif ialah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki “self-determining factor” (kemampuan untuk memilih apa yang hendak dilakukan secara tepat dengan semangat yang kuat).

Lebih lanjut, Seogeng berpendapat terciptanya peradaban yang gemilang bergantung penuh kepada bagaimana minoritas kreatif menyikapi, merumuskan tantangan, dan mengorientasikan kehidupan mayoritas orang untuk menanggapi tantangan itu. Dalam hal ini, minoritas kreatif tidak tunggal. Minoritas kreatif  bisa tumbuh dimana saja, di masyarakat umum, kalangan industri dan penguasa atau pemerintahan.

Sikap dan keputusan Walikota menutup tempat hiburan adalah gambaran sikap minoritas kreatif dari ranah kekuasaan. Keputusan yang responsif dan tanggap terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Disamping pelanggaran hukum, tempat hiburan yang ditutup juga dianggap melanggar moral. Atas landasan ini, tidak berlebihan kiranya jika penulis berpendapat bahwa keputusan Walikota sebagai minoritas kreatif, lahir dari seorang pemimpin yang berlandaskan pada kepemimpinan berbasis nilai-nilai kesantrian. Kepemimpinan yang mengutamakan moral dan etika ketimbang kekuasaan itu sendiri.

Kita tidak terlalu jauh untuk melacak, bagaimana kepemimpinan moral ini bisa muncul di Kota Cilegon. Dari segi kemasyarakatan, Cilegon dikenal dengan Kota Santri. Dari segi kepemimpinan, tidak bisa dipungkiri bahwa Walikota Cilegon, Iman Aryadi adalah seorang santri. Bagaimana tidak, riwayat pendidikannya sebagai alumni pondok pesantren dan alumni perguruan tinggi Islam, me-representasikan dirinya sebagai santri. Dan seandainya saat ini watak kepemimpinannya jauh dari karakter kesantrian, maka kita bisa menagihnya. Sebab, bagi sebagian besar masyarakat, karena kesantriannyalah beliau dipilih.

Kepemimpinan Berbasis Etika
Dalam tataran teknis, kepemimpinan berbasis etika ditunjukan dengan keputusan-keputusannya. Paling tidak ada tiga posisi etika penting dalam setiap pengambilan keputusan. Pertama, “konsekuensialis”, memandang baik buruk keputusan berdasarkan kalkulasi manfaat. Apabila sebagian besar individu menjadi lebih baik ketimbang yang tidak, maka keputusan tersebut dibenarkan. Kedua, etika “deontologist”. Etika “deontologist” memandang baik buruk keputusan berdasarkan prinsip-prinsip moral universal. Ketiga, adalah etika “diskursus”. Etika diskursus mengukur baik-buruk sebuah keputusan apabila itu telah lolos uji publik melalui diskursus publik yang bebas koersi (tindak kekerasan). (Soegeng Sarjadi, 2009).  

Mengamati Kota Cilegon yang melaju dalam laju perubahan sangat cepat dan kompleks, tidak sepi dari tantangan-tantangan sosial-budaya. Bisa jadi tantangan itu berubah menjadi kemajuan yang lebih tinggi nilainya, atau malah justru akan mengantarkan kepada kemerosotan, kehancuran dan lenyapnya kebudayaan manusia. Semua itu bergantung pada keputusan minoritas kreatif  berkuasa.

Ketika kita sepakat kepemimipinan santri merupakan kepemimpinan berbasis nilai, mau tidak mau kita harus mengacu kepada kepemimpinan model Nabi Muhammad SAW. karena beliau menempatkan, nilai, moral dan etika di atas segalanya. Inti kenabiannya adalah menyempurnakan akhlak, “sesungguhnya aku ini diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak.”  

Jadi, bagaimana pun teknisnya keputusan diambil, di atas rel “penyempurnaan akhlak-lah”, seharusnya kepemimpinan Iman Aryadi berjalan. Menjadi individu atau kelompok yang mau menyikapi perubahan, kemudian merumuskan orientasi untuk kehidupan umat manusia 100-1000 tahun ke depan secara universal. Seperti para nabi, seperti para imam mazhab, seperti para “funding father Indonesia”. Saya berharap kesantriannya sekaligus sebagai minoritas kreatif , yang mau merumuskan sejarah (kehidupan orang banyak), tidak hanya berfikir nasib umat manusia satu periode kepemimpinan, namun dalam jangka waktu sangat panjang. Merumuskan kehidupan berbangsa, bernegara, ber-ekonomi, berbudaya yang ideal. Hingga rumusan itu berlaku umum untuk kehidupan umat manusia secara kolektif.

Pada akhirnya kita berharap keputusan mulia pemerintah Kota Cilegon berbanding lurus dengan apa yang dilakukan di lapangan. Semoga para penegak hukum, terutama Satpol PP, tidak tergoda oleh iming-iming apapun di lapangan. Sebab, jika keputusan mulia itu dihianati pada tingkat pelaksanaannya, maka peraturan apapun di kota ini akan menjadi “tumpukan berkas kebohongan belaka.” Jika demikian, tidak mustahil apa yang dihawatirkan Arnold J Toynbee akan terjadi, yakni sejarah umat manusia akan dikendalikan oleh minoritas despot. Minoritas berkuasa yang tidak mampu merumuskan tantangan zaman. Dan inilah awal dari keruntuhan peradaban. Wassalam.

*Penulis adalah Guru Sejarah Kebudayaan Islam, Kabid Karya Komunitas Penulis Muda Cilegon (KPMC).

Kamis, 12 Mei 2011

Catatan Harian: Negara Maritim & Panjang Mulud

Kamis, 03 Maret 2011
06:24

Bismillahirrahmanirrahim,

Catatan Pagiku, hari ini semoga indah. Lebih baik dari yang kemarin. Tentang menulis, saya sudah lama tidak menulis serius, hingga belum ada tulisan yang patut saya kirimkan ke media. Kondisi ini sangat merisaukan saya. Beberapa tulisan saya yang terakhir, “Menulis, Bekerja untuk Keabadian” dan “Cilegon, Kota Santri Terampil Industri”, belum kunjung nongol di media. Ya sudahlah, sebetulnya yang sudah ditulis jangan terlalu dirisaukan. Tulis saja lagi. Itu baru bisa produktif.

Catatan Pagiku, hari ini anak dan istri mau ke KCC untuk mengikuti kegiatan yang diadakan PUD, yakni pelajaran renang. Sekolah sudah menjadwalkannya demikian, jadi meski sekarang hujan, yang pasti dingin, acara sudah dipersiapkan tidak bisa dibatalkan.

Pelajaran renang. Ini harus ada pada tiap sekolah, mengingat kita Negara maritime. Kemaritiman ini yang sering dilupakan orang. Penjajah sudah meminggirkan kita dari negeri maritime ke negeri agraris. Kemudian mereka mengambil alih posisi kemaritiman menjadi wilayah kekuasaan mereka. Hingga sekarang, masyarakat kita lupa bahwa nusantara/Indonesia memiliki laut yang lebih luas ketimbang daratan.

Bicara masalah kemaritiman Indonesia di Cilegon, saya menangkap satu jejak sejarah pada “Panjang Mulud”, sebuah hiasan yang biasa ada pada acara Maulid Nabi disamping “zikir mulud”. Panjang Mulud itu umumnya berbentuk kapal laut, atau orang sini (Cilegon) menyebutnya “perauan”, “perahuan” maksudnya perahu mainan. Bentuk yang lainnya yang biasa ada adalah bentuk masjid. Dua bentuk panjang mulud inilah yang dominan pada acara maulid nabi di Cilegon. Menurut al-Zabiri, jejak yang tersisa di masyarakat sekarang bisa menjadi bukti. 

[ayatulloh marsai]

Rabu, 11 Mei 2011

Catatan Harian: Cenat-cenut

Rabu, 11 Mei 2011
06:27

Kepala senut-senut. Informasi telah membuatku pusing. Banyak masalah bangsa ini berseliweran, bak lalu lintas di jalan kota. Satu masalah muncul, satu menghilang, tanpa penyelesaian. Yang besar, yang kecil, yang sedang, datang dan menghilang. Sementara penyelesaian selalu mengundang pro-kontra. Walaupun kata orang pro-kontra ini biasa, tetapi dalam praktek kenegaraan, keputusan bersama itu perlu ada untuk dijalankan dan dihormati bersama. Supaya roda pembangunan, roda bangsa untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat tercipta. Tidak malah terlena dalam proses berkepanjangan tanpa ujung, yang kita sebut proses demokrasi. Kalau proses ini tidak memakan korban, mungkin tidak mengapa. Tetapi demokrasi yang kita jalankan terlalu banyak memakan korban. Korban rakyat. Rakyat jadi bodoh, memilih pemimpin berdasar pada kontribusi calon pada saat kampanye. Rakyat jadi egois, mementingkan keuntungan pribadi saat pemilu, tidak sedikitpun berfikir tentang perkembangan bangsa secara umum dan jangka panjang. Apalagi yang di partai, mereka tergerak untuk sebuah kepentingan jabatan yang penuh materi. Bukan jabatan untuk dipertanggungjawabkan fungsinya yang tentu terdapat kewajiban di sana. Kalau urusan hak, baru mereka menuntut. Inilah negeri demokrasi Indonesia.
[Ayatulloh Marsai]

Jumat, 06 Mei 2011

Ayatbanten: Guru dan Korupsi

Ayatbanten: Guru dan Korupsi: "Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah “Pendidikan Berkarakter Pilar Kebangkitan Bangsa”. Tema yang menga..."

Guru dan Korupsi

Tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini adalah “Pendidikan Berkarakter Pilar Kebangkitan Bangsa”. Tema yang mengandaikan pendidikan menjadi faktor penting yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan. Keterpurukan ekonomi, budaya, sosial, bahkan politik.

Di Banten tema itu kemudian “diterjemahkan” oleh para guru dengan wujud gerakan anti ko­rupsi. Anti korupsi yang dimulai dari ruang lingkup sendiri itu diejawantahkan dalam pernya­taan sikap di ruang terbuka dan tidak tanggung-tanggung dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Banten. Sikap para guru ini menjelaskan kepada kita bahwa korupsi dianggap sebagai salah satu “biang keladi” dari keter­purukan bangsa di segala bidang.

Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang mungkin meng­haruskan lahirnya gerakan anti korupsi di kalangan guru ini. Pertama, hal introspeksi atau ma­was diri terhadap situasi in­ter­nal guru dan lembaga pen­didikan.

Gerakan anti korupsi para guru ini, bisa dipahami sebagai gera­kan mawas diri. Luar biasa! Jarang terjadi memang, sebuah pe­ringatan hari besar yang diisi dengan sebuah koreksi terhadap sikap, perbuatan, kesalahan dan kelemahan diri sendiri seperti ini. Biasanya peringatan hari besar, berisi segudang tuntutan hak-hak kelompok kepada pemerintah. Di sinilah mungkin salah satu letak perbedaan antara peringatan Hari Buruh dengan Hari Pendidikan Nasional. Meskipun kita semua tahu bahwa nasib guru, khususnya non-PNS, tidak lebih baik dari buruh kontrak. Salut buat para guru!

Mawas diri tersebut kemudian melahirkan kesadaran diri. Sebuah kesadaran diri bahwa di kalangan guru tidak sepi dari “perilaku korupsi”. Meski korupsi yang umum terjadi adakalanya guru sebagai pelaku dan adakalanya guru sebagai obyek korupsi atasannya.

Guru sebagai pelaku korupsi umumnya disebabkan oleh de­sakan faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi oleh honor/gaji yang diterima. Maka untuk me­nyiasati pemenuhan kebu­tuhan itu guru bisa saja mengutip biaya ekstra dari murid, seperti menjual soal ujian, atau menga­dakan ekstrakulikuler.

Dalam hal ini, pemerintah harus komitmen terus berupaya me­nyejahterakan guru. Mem­perlakukan guru non-pegawai negeri sipil sama dengan pegawai negeri sipil --bukan dari jumlah bayaran dan golongannya, setidaknya dari sumber tunjangan fungsional jangan berbentuk subsidi yang jumlah dan wak­tunya tidak jelas. Bila kesejah­teraan guru yang menyeluruh bisa diwujudkan oleh pemerintah maka akan berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di kalangan guru.

Selain itu, kesejahteraan guru juga menjadi “pintu masuk” terwujudnya mutu pendidikan. Sebagaimana rekomendasi Bank Dunia bahwa apa pun usaha yang diluncurkan untuk mening­katkan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak terpe­cahkan. (Suroso, 2002).

Sementara guru sebagai korban korupsi umumnya bergandengan dengan faktor kolusi. Misalnya, membayar uang “terima kasih” atau “suap”, berharap guru mendapatkan prioritas atas prog­ram tertentu dari peme­rintah. Contoh kasus yang terjadi di Surabaya, untuk masuk ke­dalam database program serti­fikasi, guru diminta 3 juta untuk satu kuota. (www.sura­bayapagi.com)

Ade Irawan (2005), dalam “Undang–undang Guru dan Korupsi” (adeirawan.blogspot.com), menyebutkan tiga alasan yang memposisikan guru sebagai korban korupsi. (1) guru bukan penentu kebijakan. Guru hanya sebagai pengajar yang bertugas “mentransfer” pengetahuan kepada anak didik, sedangkan urusan kebijakan, apalagi masalah APBS, guru tidak dilibat­kan sama sekali. Dengan demi­kain, guru dalam posisi ini kecil kemungkinannya menjdi aktor dibalik korupsi yang terjadi di sekolah. (2) guru merupakan “mata rantai” terlemah diantara penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi korban “mata rantai” yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan. Posisi guru yang demikian rentan menjadi korban “obyekan” atasan. Dan (3), lagi-lagi karena pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran untuk men­dukung proses belajar-mengajar, maka guru terpaksa mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pang­kalan ojek.

Yang kedua –yang mempe­ngaruhi munculnya gerakan anti korupsi di kalangan guru adalah hasil evaluasi terhadap “output” lembaga pendidikan dimana guru sebagai ujung tombaknya. “Output “ dunia pendidikan, baik atau buruknya, berpangkal dan berujung pada eksistensi peran guru. Ketika menyaksikan keterpurukan bangsa, prilaku korupsi di mana-mana, tidak hanya di kalangan pejabat, birok­rat, pedagang besar, pedagang kecil, hingga tidak terkecuali para guru, maka salah satu sebabnya adalah gagalnya dunia pendidikan menciptakan manusia yang berkarakter. Dalam sebuah seminar pendidikan, Yoyo Mulyana (2011), mengata­kan: “mengguritanya korupsi di negara kita adalah bukti gagal­nya pendidikan kita. Pendidikan kita menghasilkan manusia-ma­nusia pintar, tetapi tidak ber­moral, tidak berkarakter.” Hingga kenyataan yang hadir kemudian, korupsi, demonstrasi yang anarkis, kenakalan remaja, tawu­ran, berlangsung di ling­kungan manusia berpendidikan, bahkan di lembaga pendidikan itu sendiri. Ironis!

Gerakan anti korupsi di kala­ngan para guru itu menjadi penting, mengingat peran sosial lembaga pendidikan sebagai lembaga pengendalian sosial secara persuasive. Dari bangku sekolahlah seharusnya segala bentuk penyimpangan sosial bisa ditekan. Dengan membekali anak didik, tidak hanya penge­tahuan, tetapi juga norma-norma, nilai-nilai, yang harus dipegang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena tujuan pendidikan bukan hanya men­cerdaskan tapi juga membentuk manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Sebagai lembaga yang ber­tanggung jawab menentukan karakter-karakter tersebut, lembaga pendidikan, di mana guru berada di dalamnya, tidak berlebihan jika guru menjadi pelopor gerakan anti korupsi dengan “menghentikan perilaku korupsi di kalangannya sendiri”. Supaya dalam proses “transfer” pengetahuan kepada anak didik, disertai dengan teladan yang benar dan nyata di kalangan guru sendiri. Teladan inilah yang akan menjadi kunci terbentuknya karakter generasi bangsa lebih baik. Dan, pepatah “guru, digugu dan ditiru” menjadi kenyataan, tidak sebatas semboyan yang dimitoskan saja.

Tidak kalah penting, gerakan guru yang mulia ini, akan mulus menemukan tujuannya, jika didukung sepenuh hati dan sikap oleh semua komponen yang terkait dengan masalah penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Semoga!

Ayatulloh Marsai
Guru Sejarah Kebudayaan Islam di MTs & MA Al-Khairiyah Karangtengah

Dimuat di Radar Banten, 06 Mei 2011
http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=65150