Ayatulloh Marsai
Tahun
2015 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan edaran: mewajibkan
para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan
belajar mengajar (KBM) di sekolah. Buku yang dibaca umum. Buku
umum yang maksud adalah bacaan-bacaan buku non paket pelajaran yang disediakan
perpustakaan atau pun dibawa sendiri oleh siswa dari rumah. Kegiatan ini bagian
dari pelaksanaan dari Kurikulum Nasional, Kurikulum 2013.
Edaran ini menggelitik untuk dianalisis. Karena “kegiatan
membaca” dan “kegiatan belajar,” kegiatan inti di sekolah, bisa dilaksanakan
secara bersamaan. Bukankah dalam kegiatan pembelajaran biasanya terdapat
kegiatan membaca. Dan membaca merupakan bagian dari belajar. Tapi dalam edaran
itu, secara tersurat, “membaca” dan “belajar mengajar” dipisahkan bahkan
dibedakan. Artinya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengharapkan kegiatan
membaca dilakukan secara berbeda sebelum kegiatan belajar mengajar. Sesungguhnya,
pesan dibalik kewajiban membaca di sekolah itu, apa?
Saya menengarai semangat yang melatarbelakangi
gagasan tersebut adalah semangat literasi. Tegasnya ingin membudayakan membaca
dan menulis di sekolah. Pada tataran ini juga tidak kalah menggelitiknya.
Karena sekolah sejatinya “rumah” bagi keberaksaraan itu sendiri. Setiap orang
di dalamnya pasti melek aksara, atau setidaknya dalam proses keberaksaraan. Mengkampanyekan
membaca di sekolah ibarat menyuruh berenang pada ikan dalam air. Atau menyuruh
makan pada ayam yang sudah di dalam lumbung. Membaca mestinya sudah berlaku di
sekolah tanpa menunggu di kampanyekan. Apalagi dikampanyekan oleh faktor luar
sekolah: komunitas-komunitas literasi, misalnya. Itu idealnya.
Nampaknya ada pesan tersendiri di dalam edaran Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Itu sebuah solusi dari ironi yang terjadi
di sekolah. Lembaga sekolah nyatanya tidak serta merta melahirkan kebiasaan
membaca dan menulis kepada siswanya. Memberikan tugas kepada siswa membuat
karya ilmiah: makalah, laporan penelitian dan resensi buku, tidak serta merta
membuat siswa terbiasa membaca dan menulis. Apalagi sampai berdampak pada kegandurungan yang sangat tinggi hingga siswa
menghabiskan berpuluh-puluh buku judul buku dalam satu tahun.
Tidak bisa dipungkiri ketidak-biasaan guru melahap buku-buku
bacaan juga sangat berpengaruh besar. Anak-anak itu pada dasarnya sangat mudah
meniru perilaku disekitarnya, daripada diceramahi tentang membaca, sementara gurunya
sendiri tidak melakukannya. Akan sangat lucu jika mendapati guru menggebu-gebu menganjurkan
siswanya rajin membaca sementara dirinya bukanlah pembaca yang ulung. Begitu
juga dengan menulis.
Ironi tersebut jelas terjadi di sekolah. Jelas
tujuan edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menciptakan lingkungan berbudaya
literer: membaca dan menulis menjadi kebiasaan hidup. Ya, meskipun dalam waktu
yang sangat singkat, 15 menit. Tidak hanya kepada siswa, nampaknya Pemerintah ingin
menegaskan kepada gurunya juga untuk membaca pada saat itu.
Apakah guru selama ini tidak membaca? Membaca,
pasti. Tapi banyak guru membaca buku paket yang dari tahun ke tahun bukunya
itu-itu juga. Maka dalam kesempatan singkat: lima belas menit, guru dipaksa
untuk membuka dan membaca buku lain. Tentu yang menarik perhatiannya. Momen yang
singkat itu adalah pintu masuk. Selanjutnya diharapkan guru tersebut memiliki
ketertarikan berkelanjutan untuk membaca buku bacaan di luar buku paket. Hal
ini pasti akan sangat membantu disiplin pengetahuannya. Karena sesungguhnya
ilmu itu menyatu, saling mendukung antara disiplin yang satu dengan yang lain.
Tidak berdiri sendiri. Semakin guru banyak mengetahui satu hal dari berbagai
sudut pandang, akan semakin menarik minat siswa untuk memperhatikannya ketika
mengajar. Karena kaya pandangan, dan luas penjelasannya.
Saya dangat mendamba kondisi di atas: membaca dan
menulis menjadi budaya di kalangan guru, siswa dan semua warga madrasah. Oleh
karena itu, saya merencanakan dua hal penting untuk menyikapi edaran Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan itu. Pertama, menjadikan perpustakaan madrasah
sebagai program prioritas: mulai dari sistem, kenyamanan, penambahan koleksi
buku bacaan umum dan program kegiatan.
Yang kedua, wisata literasi. Saya mengenal wisata literasi ini dari Rumah Dunia. Sebagai komunitas yang bergiat di bidang literasi, Rumah Dunia tidak hanya mengajar membaca dan menulis, mewadahai karya bahkan merayakan atas lahirnya karya-karya, baik yang lahir dari dalam maupun dari luar Rumah Dunia. Lebih dari itu mengapresisasi setiap kegiatan literasi baik daerah, nasional dan internasional. Rumah Dunia rajin sekali membawa anggota komunitasnya untuk berwisata literasi di pameran-pameran buku nasional. Keuntungannya, bisa memotivasi anggota untuk menjadi penulis produktif. Karena di pameran buku sudah bisa dipastikan akan bertemu dengan penulis-penulis buku best seller, nasional dan internasional. Ketika ada karya anggota komunitas yang di lounching di acara pameran, kunjungan sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan terhadap prestasi anggota komunitas.
Tahun ini tahun kedua, madrasah dimana saya
mengabdi, mengadakan wisata literasi kunjungan ke “Islamic Book Fair” (IBF). Sengaja
tidak diwajibkan, tidak dimasukan dalam anggaran rutin. Hanya yang berminat dan
mendaftar saja yang berangkat dalam kunjungan ini. D engan begitu bisa dilihat
secara benderang: hanya siswa dan guru yang punya keinginan kuat saja yang ikut
serta dalam acara ini. Perkembangannya sangat menggembirakan, mencapai seratus
persen, dari 30 (tiga puluh) orang pada tahun pertama, menjadi 65 (enam puluh
lima) orang pada tahun kedua ini.
Semoga kegiatan ini bisa menginspirasi semua: guru
dan murid sekaligus. Mereka tidak membaca hanya dalam waktu yang ditentukan, melainkan
membaca seumur hidup. Guru bisa mengajar lebih baik dengan tidak berhenti
belajar, dan murid bisa berkembang secara berkelanjutan, tidak terbatas ketika
menjadi siswa saja. Ia akan belajar sepanjang hayat. Dengan begitu, meminjam bahasanya
Gus Ballon, kita sudah punya “kunci laci” tanpa harus tahu “isi laci.” Generasi
yang melek literasi akan sangat mudah membuka “rahasia” zamannya di masa depan.
Amien.[]
Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Khairiyah
Karangtengah, Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar