Sabtu, 26 Maret 2016

Semangat Literasi

Ayatulloh Marsai

Tahun 2015 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan edaran: mewajibkan para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Buku yang dibaca umum. Buku umum yang maksud adalah bacaan-bacaan buku non paket pelajaran yang disediakan perpustakaan atau pun dibawa sendiri oleh siswa dari rumah. Kegiatan ini bagian dari pelaksanaan dari Kurikulum Nasional, Kurikulum 2013.

Edaran ini menggelitik untuk dianalisis. Karena “kegiatan membaca” dan “kegiatan belajar,” kegiatan inti di sekolah, bisa dilaksanakan secara bersamaan. Bukankah dalam kegiatan pembelajaran biasanya terdapat kegiatan membaca. Dan membaca merupakan bagian dari belajar. Tapi dalam edaran itu, secara tersurat, “membaca” dan “belajar mengajar” dipisahkan bahkan dibedakan. Artinya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengharapkan kegiatan membaca dilakukan secara berbeda sebelum kegiatan belajar mengajar. Sesungguhnya, pesan dibalik kewajiban membaca di sekolah itu, apa?

Saya menengarai semangat yang melatarbelakangi gagasan tersebut adalah semangat literasi. Tegasnya ingin membudayakan membaca dan menulis di sekolah. Pada tataran ini juga tidak kalah menggelitiknya. Karena sekolah sejatinya “rumah” bagi keberaksaraan itu sendiri. Setiap orang di dalamnya pasti melek aksara, atau setidaknya dalam proses keberaksaraan. Mengkampanyekan membaca di sekolah ibarat menyuruh berenang pada ikan dalam air. Atau menyuruh makan pada ayam yang sudah di dalam lumbung. Membaca mestinya sudah berlaku di sekolah tanpa menunggu di kampanyekan. Apalagi dikampanyekan oleh faktor luar sekolah: komunitas-komunitas literasi, misalnya. Itu idealnya.

Nampaknya ada pesan tersendiri di dalam edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Itu sebuah solusi dari ironi yang terjadi di sekolah. Lembaga sekolah nyatanya tidak serta merta melahirkan kebiasaan membaca dan menulis kepada siswanya. Memberikan tugas kepada siswa membuat karya ilmiah: makalah, laporan penelitian dan resensi buku, tidak serta merta membuat siswa terbiasa membaca dan menulis. Apalagi sampai berdampak pada  kegandurungan yang sangat tinggi hingga siswa menghabiskan berpuluh-puluh buku judul buku dalam satu tahun.

Tidak bisa dipungkiri ketidak-biasaan guru melahap buku-buku bacaan juga sangat berpengaruh besar. Anak-anak itu pada dasarnya sangat mudah meniru perilaku disekitarnya, daripada diceramahi tentang membaca, sementara gurunya sendiri tidak melakukannya. Akan sangat lucu jika mendapati guru menggebu-gebu menganjurkan siswanya rajin membaca sementara dirinya bukanlah pembaca yang ulung. Begitu juga dengan menulis.

Ironi tersebut jelas terjadi di sekolah. Jelas tujuan edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menciptakan lingkungan berbudaya literer: membaca dan menulis menjadi kebiasaan hidup. Ya, meskipun dalam waktu yang sangat singkat, 15 menit. Tidak hanya kepada siswa, nampaknya Pemerintah ingin menegaskan kepada gurunya juga untuk membaca pada saat itu.

Apakah guru selama ini tidak membaca? Membaca, pasti. Tapi banyak guru membaca buku paket yang dari tahun ke tahun bukunya itu-itu juga. Maka dalam kesempatan singkat: lima belas menit, guru dipaksa untuk membuka dan membaca buku lain. Tentu yang menarik perhatiannya. Momen yang singkat itu adalah pintu masuk. Selanjutnya diharapkan guru tersebut memiliki ketertarikan berkelanjutan untuk membaca buku bacaan di luar buku paket. Hal ini pasti akan sangat membantu disiplin pengetahuannya. Karena sesungguhnya ilmu itu menyatu, saling mendukung antara disiplin yang satu dengan yang lain. Tidak berdiri sendiri. Semakin guru banyak mengetahui satu hal dari berbagai sudut pandang, akan semakin menarik minat siswa untuk memperhatikannya ketika mengajar. Karena kaya pandangan, dan luas penjelasannya. 
Saya dangat mendamba kondisi di atas: membaca dan menulis menjadi budaya di kalangan guru, siswa dan semua warga madrasah. Oleh karena itu, saya merencanakan dua hal penting untuk menyikapi edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Pertama, menjadikan perpustakaan madrasah sebagai program prioritas: mulai dari sistem, kenyamanan, penambahan koleksi buku bacaan umum dan program kegiatan.

Yang kedua, wisata literasi. Saya mengenal wisata literasi ini dari Rumah Dunia. Sebagai komunitas yang bergiat di bidang literasi, Rumah Dunia tidak hanya mengajar membaca dan menulis, mewadahai karya bahkan merayakan atas lahirnya karya-karya, baik yang lahir dari dalam maupun dari luar Rumah Dunia. Lebih dari itu mengapresisasi setiap kegiatan literasi baik daerah, nasional dan internasional. Rumah Dunia rajin sekali membawa anggota komunitasnya untuk berwisata literasi di pameran-pameran buku nasional. Keuntungannya, bisa memotivasi anggota untuk menjadi penulis produktif. Karena di pameran buku sudah bisa dipastikan akan bertemu dengan penulis-penulis buku best seller, nasional dan internasional. Ketika ada karya anggota komunitas yang di lounching di acara pameran, kunjungan sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan terhadap prestasi anggota komunitas.

Tahun ini tahun kedua, madrasah dimana saya mengabdi, mengadakan wisata literasi kunjungan ke “Islamic Book Fair” (IBF). Sengaja tidak diwajibkan, tidak dimasukan dalam anggaran rutin. Hanya yang berminat dan mendaftar saja yang berangkat dalam kunjungan ini. Dengan begitu bisa dilihat secara benderang: hanya siswa dan guru yang punya keinginan kuat saja yang ikut serta dalam acara ini. Perkembangannya sangat menggembirakan, mencapai seratus persen, dari 30 (tiga puluh) orang pada tahun pertama, menjadi 65 (enam puluh lima) orang pada tahun kedua ini. 

Semoga kegiatan ini bisa menginspirasi semua: guru dan murid sekaligus. Mereka tidak membaca hanya dalam waktu yang ditentukan, melainkan membaca seumur hidup. Guru bisa mengajar lebih baik dengan tidak berhenti belajar, dan murid bisa berkembang secara berkelanjutan, tidak terbatas ketika menjadi siswa saja. Ia akan belajar sepanjang hayat. Dengan begitu, meminjam bahasanya Gus Ballon, kita sudah punya “kunci laci” tanpa harus tahu “isi laci.” Generasi yang melek literasi akan sangat mudah membuka “rahasia” zamannya di masa depan. Amien.[]

Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar