Ayatulloh Marsai*
Pemilukada serentak tanggal 9
Desember nanti tidaklah penting, jika tidak membawa perubahan lebih baik bagi
nasib daerah-daerah: tidak lebih sejahtera, tidak lebih adil, tidak lebih menjamin
kemerdekaan berpendapat dan berserikat, serta tidak lebih menjamin kehidupan
sosial. Karena pemilu adalah mekanisme demokrasi untuk menentukan kepemimpinan.
Pemilu bukan untuk pemilu itu sendiri. Utamanya kepemimpinan hasil pemilu bisa
membawa rakyat atau warga negara dalam kehidupan yang lebih sejahtera, adil,
dan jaminan terpenuhinya hak asasi selaku warga Negara.
Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan
yang cakap dari calon terpilih. Dan kecakapan itu bisa “ditelisik” dari
sekarang. Waktu tersisa bisa kita gunakan untuk “istiharah,” baik secara
pemikiran maupun sejatinya menurut syari’at agama, jangan tidak sama sekali. Karena
berupaya sejak dalam pikiran untuk memilih pemimpin daerah yang cakap adalah
satu upaya sadar untuk menuju masa keemasan Indonesia.
Kita bisa belajar dari sejarah. Dari
masa-masa keemasan sebuah peradaban. Dengan apa dan bagaimana masa keemasan
mereka raih. Untuk menyebutkan sedikit “zaman emas,” kita sebut saja kejayaan
Raja Sulaiman, dan masa keemasannya Dinasti Abbasiyah masa Harun Ar-Rasyid dan
Al-Makmun. Mereka sukses karena memegang kunci kesuksesan: mencintai ilmu
pengetahuan. Mereka berkeyaninan bahwa dengan membekali diri dan rakyatnya ilmu
pengetahuan seluas-luas dan sedalam-dalamnya, kesejahteraan akan terwujud
dengan mudah. Ilmulah yang memudahkan segala urusan, termasuk urusan
kesejahteraan dan keadilan. Ilmu bukan hanya membuat sebuah bangsa sejahtera
tapi juga beradab.
Ketika Nabi Sulaiman diberikan tiga
pilihan ”hadiah” (nikmat) oleh Allah: kekayaan, kejayaan dan ilmu pengetahuan.
Dengan pasti Nabi Sulaiman menjatuhkan pilihannya pada ilmu pengetahuan.
Ternyata pilihannya tepat. Dengan ilmu pengetahuan, Nabi Sulaiman bisa meraih
semua pilihan: ilmu, kejayaan dan kekayaan. Nyatanya kejayaan dan kekayaan berada
menyatu di dalam dan dengan ilmu pengetahuan.
Semangat dari kisah Nabi Sulaiman
tersebut kemudian dibuktikan juga oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah
Al-Makmun. Masa keduanya merupakan masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Mereka berdua
membangun pemerintahannya dengan pondasi ilmu pengetahuan. Di kumpulkannya
buku-buku dari berbagai warisan peradaban dunia di sebuah pusat pembelajaran: Baitul
Hikmah. Diantara buku yang terkenal dari Yunani, Persia dan India. Dari
buku-buku Yunani berkembang-pesatlah kemudian filsafat, dari Persia berkembang
kemudian ilmu politik dan pemerintahan, dan ilmu matematika dari India maju
pesat setelah dipelajari oleh umat Islam masa itu.
Di Baitul Hikmah buku-buku itu
diterjemahkan, dikaji dan didiskusikan. Lalu melahirkan pemikiran baru yang sesuai
dengan semangat dan nilai Islam. Di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah menjelma
menjadi pusat riset dan eksperimen dan melahirkan para cendikiawan dan ilmuwan
kenamaan, diantaranya adalah Al-Hawarizmi, ahli matematika, penemu angka
nol.
Hukum siklus dalam sejarah memang
membagi babak sejarah peradaban menjadi tiga periode: kebangkitan, kejayaan dan
kehancuran. Tapi semua periode (bangkit, jaya dan hancur) tentu saja ada
sebabnya. Tidak berdiri sendiri. Tentu saja kita tidak mau terjebak pada
situasi-kondisi yang menyebabkan kehancuran. Sebaliknya kita perlu berupaya
menciptakan situasi-kondisi menyebabkan kebangkitan bahkan kemajuan-kemajuan.
Belajar dari Nabi Sulaiman, Harun
Ar-Rasyid dan Al-Makmun, jelas kita harus memilih calon pemimpin yang mencintai
ilmu pengetahuan. Pemimpin yang tidak hanya percaya bahwa ilmu pengetahuan
kunci kemajuan, tapi juga pemimpin yang mau mewujudkan kepercayaannya itu dalam
bentuk tindakan dan langkah-langkah politik. Penyediaan pusat pembelajaran
semisal Baitul Hikmahnya Abbasiyah, menjadi prioritas dalam agenda pembangunan
nantinya.
Pada saat yang sama: pemimpin impian
ini adalah sosok yang mau berkorban menampik keuntungan-keuntungan
pragmatis-sesaat yang biasa disodorkan oleh para pengusaha pemburu keuntungan
semata, dengan mengabaikan pembangunan manusia jangka panjang. Tapi bukan juga
sosok yang tertutup untuk membangun kerjasama secara luas. Kerjasama dengan
“orang lain” mutlak penting dibuka sebagai syarat kemajuan. Namun, sebagaimana
idealnya, kerjasama harus saling menguntungkan antar pihak-pihak yang
bekerjasama.
***
Menjelang Pemilukada yang tinggal
menghitung hari, saya berandai-andai, bisa memerogi calon pemimpin daerah dalam
perjalanan entah kemana. Saya menghentikan laju mobilnya. Lalu bersegera
menggeledah mobil itu, apakah ada buku, atau buku-buku di dalamnya. Atau karena
buku bukan satu-satunya media belajar, baiklah saya akan memeriksa handphonnya,
tab dan lain sebagainya, apakah di sana ada e-book atau bacaan lain yang
menunjukkan dia seorang pembelajar sepanjang hayat dan pecinta ilmu
pengetahuan. Saya meminta ikut serta ke rumahnya: apakah ada sederet lemari
atau rak yang dipenuhi buku-buku di sana. Saya akan memilih calon pemimpin
daerah yang di mobil dan rumahnya dipenuhi buku-buku. Sebelum pamit akan saya
katakan: “saya ingin saudara memilih apa yang dipilih Nabi Sulaiman, dan saya
mendukung saudara “menjadi Al-Makmun” yang akan mendesain “Baitul Hikmah” di kota
ini!”[]
*Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar