Sabtu, 26 Maret 2016

Pemimpin dan Ilmu Pengetahuan

Ayatulloh Marsai*

Pemilukada serentak tanggal 9 Desember nanti tidaklah penting, jika tidak membawa perubahan lebih baik bagi nasib daerah-daerah: tidak lebih sejahtera, tidak lebih adil, tidak lebih menjamin kemerdekaan berpendapat dan berserikat, serta tidak lebih menjamin kehidupan sosial. Karena pemilu adalah mekanisme demokrasi untuk menentukan kepemimpinan. Pemilu bukan untuk pemilu itu sendiri. Utamanya kepemimpinan hasil pemilu bisa membawa rakyat atau warga negara dalam kehidupan yang lebih sejahtera, adil, dan jaminan terpenuhinya hak asasi selaku warga Negara.

Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang cakap dari calon terpilih. Dan kecakapan itu bisa “ditelisik” dari sekarang. Waktu tersisa bisa kita gunakan untuk “istiharah,” baik secara pemikiran maupun sejatinya menurut syari’at agama, jangan tidak sama sekali. Karena berupaya sejak dalam pikiran untuk memilih pemimpin daerah yang cakap adalah satu upaya sadar untuk menuju masa keemasan Indonesia.

Kita bisa belajar dari sejarah. Dari masa-masa keemasan sebuah peradaban. Dengan apa dan bagaimana masa keemasan mereka raih. Untuk menyebutkan sedikit “zaman emas,” kita sebut saja kejayaan Raja Sulaiman, dan masa keemasannya Dinasti Abbasiyah masa Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Mereka sukses karena memegang kunci kesuksesan: mencintai ilmu pengetahuan. Mereka berkeyaninan bahwa dengan membekali diri dan rakyatnya ilmu pengetahuan seluas-luas dan sedalam-dalamnya, kesejahteraan akan terwujud dengan mudah. Ilmulah yang memudahkan segala urusan, termasuk urusan kesejahteraan dan keadilan. Ilmu bukan hanya membuat sebuah bangsa sejahtera tapi juga beradab.

Ketika Nabi Sulaiman diberikan tiga pilihan ”hadiah” (nikmat) oleh Allah: kekayaan, kejayaan dan ilmu pengetahuan. Dengan pasti Nabi Sulaiman menjatuhkan pilihannya pada ilmu pengetahuan. Ternyata pilihannya tepat. Dengan ilmu pengetahuan, Nabi Sulaiman bisa meraih semua pilihan: ilmu, kejayaan dan kekayaan. Nyatanya kejayaan dan kekayaan berada menyatu di dalam dan dengan ilmu pengetahuan.
Semangat dari kisah Nabi Sulaiman tersebut kemudian dibuktikan juga oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Makmun. Masa keduanya merupakan masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Mereka berdua membangun pemerintahannya dengan pondasi ilmu pengetahuan. Di kumpulkannya buku-buku dari berbagai warisan peradaban dunia di sebuah pusat pembelajaran: Baitul Hikmah. Diantara buku yang terkenal dari Yunani, Persia dan India. Dari buku-buku Yunani berkembang-pesatlah kemudian filsafat, dari Persia berkembang kemudian ilmu politik dan pemerintahan, dan ilmu matematika dari India maju pesat setelah dipelajari oleh umat Islam masa itu.

Di Baitul Hikmah buku-buku itu diterjemahkan, dikaji dan didiskusikan. Lalu melahirkan pemikiran baru yang sesuai dengan semangat dan nilai Islam. Di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah menjelma menjadi pusat riset dan eksperimen dan melahirkan para cendikiawan dan ilmuwan kenamaan, diantaranya adalah Al-Hawarizmi, ahli matematika, penemu angka nol. 

Hukum siklus dalam sejarah memang membagi babak sejarah peradaban menjadi tiga periode: kebangkitan, kejayaan dan kehancuran. Tapi semua periode (bangkit, jaya dan hancur) tentu saja ada sebabnya. Tidak berdiri sendiri. Tentu saja kita tidak mau terjebak pada situasi-kondisi yang menyebabkan kehancuran. Sebaliknya kita perlu berupaya menciptakan situasi-kondisi menyebabkan kebangkitan bahkan kemajuan-kemajuan.

Belajar dari Nabi Sulaiman, Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun, jelas kita harus memilih calon pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan. Pemimpin yang tidak hanya percaya bahwa ilmu pengetahuan kunci kemajuan, tapi juga pemimpin yang mau mewujudkan kepercayaannya itu dalam bentuk tindakan dan langkah-langkah politik. Penyediaan pusat pembelajaran semisal Baitul Hikmahnya Abbasiyah, menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nantinya.

Pada saat yang sama: pemimpin impian ini adalah sosok yang mau berkorban menampik keuntungan-keuntungan pragmatis-sesaat yang biasa disodorkan oleh para pengusaha pemburu keuntungan semata, dengan mengabaikan pembangunan manusia jangka panjang. Tapi bukan juga sosok yang tertutup untuk membangun kerjasama secara luas. Kerjasama dengan “orang lain” mutlak penting dibuka sebagai syarat kemajuan. Namun, sebagaimana idealnya, kerjasama harus saling menguntungkan antar pihak-pihak yang bekerjasama.  
***

Menjelang Pemilukada yang tinggal menghitung hari, saya berandai-andai, bisa memerogi calon pemimpin daerah dalam perjalanan entah kemana. Saya menghentikan laju mobilnya. Lalu bersegera menggeledah mobil itu, apakah ada buku, atau buku-buku di dalamnya. Atau karena buku bukan satu-satunya media belajar, baiklah saya akan memeriksa handphonnya, tab dan lain sebagainya, apakah di sana ada e-book atau bacaan lain yang menunjukkan dia seorang pembelajar sepanjang hayat dan pecinta ilmu pengetahuan. Saya meminta ikut serta ke rumahnya: apakah ada sederet lemari atau rak yang dipenuhi buku-buku di sana. Saya akan memilih calon pemimpin daerah yang di mobil dan rumahnya dipenuhi buku-buku. Sebelum pamit akan saya katakan: “saya ingin saudara memilih apa yang dipilih Nabi Sulaiman, dan saya mendukung saudara “menjadi Al-Makmun” yang akan mendesain “Baitul Hikmah” di kota ini!”[]


*Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar