Senin, 28 Maret 2016

Petani dan Tanahnya

AYATULLOH MARSAI

“Lha, saya ini tetap petani, tapi sudah bekerja di kota. Kalau pas masuk ke kantor, ya, bukan petani. Tapi, pas pulang ke rumah, saya tetap petani. Yang jelas, saya ini masih menggantungkan ekonomi rumah tangga dengan bertani. Kalau cuman menggantungkan dari pegawai nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.” Komentar ini meluncur dari seorang informan sebuah penelitian Imam Setyobudi di Yogyakarta, yang kemudian dibukukan: “Menari Di Antara Sawah Dan Kota; Ambiguitas Diri Petani-petani Terakhir di Yogyakarta,”

“Wajah” ambigu, antara petani dengan buruh, pegawai, karyawan atau pengusaha kecil yang terjadi di Yogyakarta tersebut, ternyata menjadi fenomena yang umum terjadi di daerah lain, termasuk Banten, tak terkecuali Cilegon.

Saya punya satu petak sawah warisan seluas kurang lebih 1000 meter persegi. Setiap tahun, tentunya di musim penghujan (musim menamam padi), saya menanam padi. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan makan saya dan keluarga kecil saya dalam setahun. Tanpa hasil tanam padi itu, jelas honor mengajar saya tidak bisa mencukupi kebutuhan makan sepanjang tahun. Ambiguitas ini umum terjadi di sekitar saya: teman-teman guru (baik yang honorer maupun pegawai negeri), karyawan-karyawan pabrik, pegawai pemerintahan yang masih tinggal di pedesaan, termasuk pejabat-pejabat kelurahan, berwajah sama ganda seperti ini.

Lebih nyata lagi fakta ini terlihat di kalangan pedagang kecil, buruh bangunan dan buruh jasa angkutan: ojek, becak dan sopir angkot. Umumnya semua profesi masyarakat pedesaan, tanpa kegiatan bertani tahunan akan selaras dengan kalimat terakhir informan di atas: “Kalau cuman menggantungkan dari pegawai nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”

Ambiguitas ini tidak hanya berkaitan dengan urusan ekonomi. Ada hal lain, yaitu kultur. Secara kultur ada ikatan batin yang mendalam. Sejak kecil seseorang sudah turun ke sawah untuk membantu orang tuanya “rerendeng,” “ngarit,” “ngoyos,” “nandur,” “macul,” “ngored,” “nggebod” dan lain sebagainya: banyak hal yang bisa dilakukan di sawah, tidak hanya bekerja, bisa juga melakukan permainan. Kegiatan-kegiatan yang tidak hanya “berdimensi” ekonomi, tapi juga pewarisan karakter, budaya dan falsafah hidup.

Sehingga ketika dewasa, profesi apapun yang dilakoni, tetap dia menjalani bertani sebagai warisan budaya turun-temurun, meski bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Hasilnya, tetap saja sangat membantu, baik bagi pemilik maupun bagi masyarakat sekitar yang menjadi buruh di lahan pertanian tersebut.

Setelah Jalan Itu Dibangun
Suatu saat, sebagaimana terjadi di Yogyakarta --merujuk karya Imam Setyobudi di atas-- dan kota-kota lain: petani, atau kegiatan bertani, atau lahan pertanian itu terdesak oleh modal-modal besar yang mengalihfungsikan tanah pertanian menjadi lahan-lahan industri lengkap dengan infrastrukturnya. Membeli secara “sombong” dengan kekuatan modal yang dimiliki. Padahal sang pemilik tanah tidak pernah berniat menjual tanahnya, karena secara turun-temurun, mereka mempunyai ikatan kuat dengan tanah tersebut, baik secara kultur maupun secara ekonomi. Tapi karena didesak, tidak ada pilihan selain meminta harga yang sesuai.

Ikatan lahir dan batin petani dengan tanah, dicerai-beraikan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya: modal besar dan, memakai istilah Iwan Fals, oleh “sebuah rencana.” Bukanlah kekuatan lokal, yang bisa membuat situasi “seragam” begini, tapi pastilah kekuatan global atau multinasional. Mungkin yang orang sebut sebagai kapitalisme. Kapitalisme yang sudah berhasil mengendalikan kekuatan-kekuatan lokal menjadi “seirama dan harmonis” dengannya.

Di Kelurahan Tegal Bunder, Kota Cilegon, telah diurug daerah pesawahan dan tegalan untuk pembuatan jalan “lintas” menembus ke jalan utama Kelurahan Pabean. Dan, Pemerintah Kelurahan Pabean juga kabarnya sedang “memproses” pekerjaan yang sama: mengurug lahan untuk jalan, yang sebelumnya lahan ini menjadi lumbung padi masyarakat, sepanjang 1 kilometer, lebar 10 meter.

Ada beberapa persoalan yang jelas menghadang di depan mata setelah pengurugan lahan pertanian ini. Pertama, diperkirakan 10 ton gabah kering yang biasa dihasilkan dari lahan ini, mulai musim tahun ini dan seterusnya tidak lagi keluar dari lahan ini. Itu artinya dua keluarahan tersebut kehilangan potensi pangan sejumlah tersebut di atas. Sebagai gantinya masing-masing pemilik menggenggam segepok uang puluhan juta, yang entah bisa atau tidak “usia” kebermanfatannya sepanjang tanah yang mereka jual itu!

Akibat lenyapnya 10 ton gabah dari dua kelurahan ini, maka terang saja harus ada stok tambahan di Cilegon, setidaknya jumlahnya sesuai dengan jumlah lahan yang hilang tahun ini. Saya melihat alih fungsi lahan pertanian terjadi di banyak tempat di Kota Cilegon. Belum lagi menghitung peningkatan penduduk yang sangat pesat karena peningkatannya tidak hanya dari kelahiran, tetapi dari migrasi besar-besaran dari luar daerah dan luar negeri di Kota ini. Menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi dinas terkait untuk menjamin keterediaan pangan, karena jumlahnya bukan lagi 10 ton, mungkin ratusan sampai ribuan ton beras harus didatangkan ke Kota ini.

Persoalan kedua, profesi apa yang akan dijalani oleh “mantan pemilik tanah?” Dengan segepok uang hasil tukaran dengan tanahnya, mungkin mereka bisa membuka usaha. Apakah semua bisa melakukannya. Jawabnya tentu tidak. Beralih-profesi tidak semudah alihfungsi lahannya. Butuh keahlian dan kemampuan khusus. Dan, kemampuan serta keahlian khusus sangat butuh waktu dan proses panjang. Segepok uang di tangan hasil tukar tanahnya, belum tentu cukup untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang dibutuhkan “rencana” profesi barunya. Singkatnya, alihfungsi lahan pertanian itu menjadi fungsi yang lain, tanpa jaminan alih-profesi atau transformasi tenaga kerja dari pemerintah atau swasta terkait, akan mengakibat masalah sosial yang besar. Tidak butuh waktu lama untuk melihat akibat ini, karena berkaitan dengan perut dan persaingan untuk mengisinya.

Transformasi pekerjaan tentu akan terjadi, tapi sebagian kecil saja, tidak semua. Bayangkanlah sebuah pyramid, bagian atas pyramid itu sajalah kiranya yang menikmati “transformasi pekerjaan” dari keluarga petani ke profesi lain yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya tanpa bertani. Sisi bawah piramid tetap harus mengolah tanah yang tersisa untuk bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Minimal ketika musim penghujan datang. Tidak ada pilihan, karena toh pengelola Negara ini juga tidak menyediakan irigasi untuk mendukung kegiatan bertani permanen.

Jelas penghilangan lahan pertanian, atau lumbung padi masyarakat pedesaan, tanpa disertai dengan transformasi tenaga kerja yang seimbang dan sepadan, terutama yang berkaitan langsung dengan tanah yang hilang itu, akan mendatangkan masalah baru, yaitu melahir orang miskin baru di masyarakat ini. Atau tepatnya pemiskinan. Pemiskinan demi pemiskinan, diakui atau tidak, sedang dilakukan dengan sangat gencar dan tak terbendung, oleh “pengemong” rakyat sendiri.

Industri berat bertaraf internasioanl yang berjubel di Cilegon nyatanya tidak banyak membantu menyejahterakan rakyat pedesaan. Karena transformasi tenaga kerja tidak terjadi searah dengan pertumbuhan industri di kota ini. Tidak searah masksudnya, “manusia Cilegon” yang ada di pedesaan tidak mengalami pertumbuhan atau ditumbuhkan kemampuannya secara sistematis.  Sementara, di sisi lain, penghilangan lahan (ruang) bertani yang selama ini menghidupi terus direnggut oleh industri besar itu.

Pihak industry akan berdalil, mereka membutuhkan tenaga kerja yang professional. Itu hak mereka. Tidak akan menjadi persoalan yang pelik jika pemerintah punya rencana yang integral: tidak hanya membuka tangan terhadap kedatangan investasi asing, namun juga mempersiapkan tenaga-tenaga siap pakai dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh industry yang bakal dibuka oleh investor itu. Dengan kuasanya, seharusnya pemerintah punya daya tawar untuk memproteksi rakyatnya agar dijamin masuk menjadi bagian industri yang dibangun di tanah Cilegon. Tentu setelah dibekali kemampuan yang diperlukan.

Dengan transformasi tenaga kerja atau sumber daya manusia, dari sawah ke pabrik-pabrik, ke kantor-kantor jasa pelengkap, tidak ada masalah sekiranya semua lahan pertanian di kota ini ditutup, digantikan dengan hamparan pabrik-pabrik lengkap dengan infrastukturnya. Semua rakyat, tanpa kecuali, menghabiskan waktunya di lahan yang baru hasil prestasi pemerintahnya: kawasan industri pabrik. Semua rakyat terpebuhi kebutuhan hidupnya dari aktivitas industri. Itulah “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat” yang sejati.

Sederhananya, kita bisa menjaga kesemibangan alam: seimbang antara yang kita ambil dengan yang kita berikan. Begitu keseimbangan itu kita hilangkan, karena mengambil tanpa memberi atau tanpa mengganti dengan yang sepadan, maka bencana sosial kemanusiaan akan segera datang. Wallahu ‘Alam.[]


Guru Honorer Madrasah, juga Petani Tadah Hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar