Sabtu, 26 Maret 2016

Guru Berhenti Belajar, Berhenti Mengajar!

AYATULLOH MARSAI

“Guru yang berhenti belajar, berhentilah mengajar!” Tegas dan kuat suara Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, waktu menyampaikan kalimat itu, pada acara pengukuhan Guru Sertifikasi Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah, akhir Desember 2009. Klimaks dari sekian panjang uraian sambutan, agar guru yang sedang dikukuhkan sebagai guru profesional, terus melakukan pengembangan diri tanpa henti seumur hidup.

Dalam sambutan itu kesan sulit dalam pengembangan diri guru sangatlah nampak. Kalau kita petakan mungkin, paling tidak ada dua faktor. Pertama faktor biaya. Sebelum adanya sertifikasi guru, gaji guru tidak cukup atau merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan dirinya. Sementara dia harus terus meningkatkan kemampuan diri: agar bisa mengajar efektif dan kreatif karena menghadapi anak-anak di zaman yang terus berkembang.

Melalui sertifikasi, guru sudah menjadi tenaga professional. Ada uang tunjangan di luar gaji rutin bulanan bagi pegawai negeri sipil, dan di luar honor bagi yang honorer. Uang ini sepatutnya digunakan “sebagiannya” untuk pengembangan diri. Baik melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti seminar-seminar, workshop-workshop yang menunjang keahliannya, atau membeli buku terkait profesinya, atau buku umum untuk wawasan, minimal satu buku dalam satu bulan.

Selama ini guru tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembangkan dirinya. Pelatihan-pelatihan yang digelar pemerintah tidak serta-merta membuat guru berkembang. Sering kali pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, terutama tingkat kota dan provinsi, kurang berkualitas. Baik disebabkan persiapan yang mendesak karena akhir tahun anggaran, juga sering kali narasumber yang dihadirkan tidak berkompeten. Sering juga narasumber dihadirkan dari kalangan struktural, bukan dari kalangan fungsional professional. Yang paling laten bahayanya adalah, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah dianggap sebagai “proyek” semata, artinya untuk mendulang keuntungan dari anggaran yang diserap. Tidak terkecuali di kalangan peserta pelatihan (guru), sehingga mereka hanya menunggu “uang transportasi” saja, sementara partisipasi dalam pelatihan yang gelar sangat rendah.

Faktor kedua, yang menyebabkan pengembangan diri guru tidak berkembang adalah mental guru sendiri yang tidak mempunyai mental pembelajar sepanjang hayat. Ada atau pun tidak adanya biaya, bagi guru seperti ini tidak merubah keadaan, tidak akan membawa kemajuan pendidikan.

Tidak sedikit guru yang melanjutkan kuliah karena punya dana yang cukup, terutama yang pegawai negeri sipil, namun karena mental pembelajarnya nihil maka yang terjadi adalah pembohongan-pembohongan. Mulai dari membayar joki untuk pertemuan kuliah, pembelian karya ilmiah tugas akhir, copy-paste dalam mengerjakan tugas, sampai mendaftar di perguruan tinggi yang menyediakan kemudahan: tahu beres, langsung wisuda magister.

Guru yang mengambil kuliah seperti di atas, tidak saja sedang merusak kualitas dirinya, tapi juga siswa-siswanya, juga citra pendidikan secara keseluruhan. Tidak heran kemudian, terjadi apa yang “diramalkan” Erich Fromm, seorang psikolog sosial Amerika,  pembohongan atau kepalsuan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, yakni ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tidak linear dengan kompetensi yang dimiliki pemegang ijazah-nya.   

Sebagai bukti dari fenomena tersebut, tengoklah kembali pemberitaan yang sempat menghangat beberapa bulan yang lalu tentang “wisuda abal-abal” yang diikuti oleh ribuan orang itu. Sekian banyak alasan orang yang terlibat di dalamnya, salah satu diantaranya disebabkan karena mereka tidak mau berproses dalam pembelajaran yang seharusnya.

Setelah Sertifikasi Guru
Harapan dari Profesor Komaruddian Hidayat di atas tidak terwujud secara signifikan. Pengembangan kompetensi guru tidak meningkat. Wajah dunia pendidikan, disorot oleh banyak kalangan, tidak banyak berubah: tetap buram. Paling tidak itu dilihat dari ketercapaian kriteria lulusan. Dunia luar pendidikan yang menyerap lulusan produk sekolah mengeluh dengan rendahnya kemampuan mereka. Padahal angka nilai yang tertulis di ijazah tidak kecil. Belum lagi masalah-masalah sosial yang dilakukan oleh kalangan pelajar, bahkan oleh sebagian (oknum) guru, semakin menegaskan dunia pendidikan tidak banyak berubah setelah guru-guru disertifikasi sekalipun.

Lebih lugas lagi potret kurangya pengembangan diri guru itu ---untuk tidak menyebut tidak ada perkembangan sama sekali, kalau kita melihat minimnya guru yang berhasil lulus dalam ujian kompetensi guru (UKG) yang digelar pemerintah.

Tampak jelas, setelah sertifikasi guru pun dengan tunjangan di luar gaji atau honor, tidak serta-merta meningkatkan kompetensi guru. Mereka tidak belajar mengembangkan dirinya. Mereka berhenti belajar: tidak membeli dan membaca buku-buku setiap bulannya, tidak menuju kampus-kampus untuk mengikuti kuliah atau seminar-seminar di sana, atau tidak banyak yang melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah atau karya populer.

Sepinya gairah membaca di kalangan guru adalah indikasi memang mental pembelajar sepanjang hayat di kalangan gurunya rendah. Padahal untuk proses pengembangan diri tidak harus seminar, tidak mesti melanjutkan kuliah, tidak juga harus beli buku. Pengembangan diri bisa dilakukan dengan meminjam buku di perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan luar sekolah. Di setiap kota, provinsi ada perpustakaan yang dibuka untuk umum. Di sana mereka bisa mengembangkan diri. Atau berlangganan koran. Atau berlangganan paket internet, kegiatan yang paling sederhana untuk mengembangkan diri.
Program UKG diharapkan bisa “memaksa” guru untuk terus belajar, karena guru harus mengikuti ujian. Meskipun terdengar ironis kalau guru melakukan pengembangan diri hanya ketika mau mengikuti UKG, bukan untuk proses mengajar yang lebih baik: efektif dan kreatif. Seperti halnya kita juga “tidak senang” menyaksikan siswa yang baru mau belajar ketika akan menghadapi ulangan atau ujian saja. Padahal proses belajar itu wajib sepanjang hayat.

Menjadi pembelajar sepanjang hayat atau long life education ini harus bersemayam pada diri setiap guru. Lalu ditransfer kepada muridnya. Sehingga akan menghasilkan lulusan bermental pembelajar: terus belajar sepanjang hayat, meski tidak lagi berada di lembaga pendidikan. Sesuai pesan Nabi SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.” Bekal ini yang akan sangat bermanfaat dalam mengarungi zaman yang terus berubah sangat cepat. ***   


Kepala MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar