AYATULLOH MARSAI
“Guru yang
berhenti belajar, berhentilah mengajar!” Tegas
dan kuat suara Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, waktu menyampaikan
kalimat itu, pada acara pengukuhan Guru Sertifikasi Pendidikan Agama Islam di
UIN Syarif Hidayatullah, akhir Desember 2009. Klimaks dari sekian panjang uraian
sambutan, agar guru yang sedang dikukuhkan sebagai guru profesional, terus
melakukan pengembangan diri tanpa henti seumur hidup.
Dalam sambutan itu kesan sulit dalam
pengembangan diri guru sangatlah nampak. Kalau kita petakan mungkin, paling tidak
ada dua faktor. Pertama faktor biaya. Sebelum adanya sertifikasi guru,
gaji guru tidak cukup atau merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan
dirinya. Sementara dia harus terus meningkatkan kemampuan diri: agar bisa
mengajar efektif dan kreatif karena menghadapi anak-anak di zaman yang terus
berkembang.
Melalui sertifikasi, guru sudah
menjadi tenaga professional. Ada uang tunjangan di luar gaji rutin bulanan bagi
pegawai negeri sipil, dan di luar honor bagi yang honorer. Uang ini sepatutnya
digunakan “sebagiannya” untuk pengembangan diri. Baik melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, mengikuti seminar-seminar, workshop-workshop yang
menunjang keahliannya, atau membeli buku terkait profesinya, atau buku umum
untuk wawasan, minimal satu buku dalam satu bulan.
Selama ini guru tidak mempunyai dana
yang cukup untuk mengembangkan dirinya. Pelatihan-pelatihan yang digelar
pemerintah tidak serta-merta membuat guru berkembang. Sering kali pelatihan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, terutama tingkat kota dan provinsi, kurang berkualitas.
Baik disebabkan persiapan yang mendesak karena akhir tahun anggaran, juga
sering kali narasumber yang dihadirkan tidak berkompeten. Sering juga narasumber
dihadirkan dari kalangan struktural, bukan dari kalangan fungsional
professional. Yang paling laten bahayanya adalah, pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan oleh pemerintah dianggap sebagai “proyek” semata, artinya untuk
mendulang keuntungan dari anggaran yang diserap. Tidak terkecuali di kalangan
peserta pelatihan (guru), sehingga mereka hanya menunggu “uang transportasi”
saja, sementara partisipasi dalam pelatihan yang gelar sangat rendah.
Faktor kedua, yang
menyebabkan pengembangan diri guru tidak berkembang adalah mental guru sendiri
yang tidak mempunyai mental pembelajar sepanjang hayat. Ada atau pun tidak
adanya biaya, bagi guru seperti ini tidak merubah keadaan, tidak akan membawa
kemajuan pendidikan.
Tidak sedikit guru yang melanjutkan
kuliah karena punya dana yang cukup, terutama yang pegawai negeri sipil, namun
karena mental pembelajarnya nihil maka yang terjadi adalah
pembohongan-pembohongan. Mulai dari membayar joki untuk pertemuan kuliah,
pembelian karya ilmiah tugas akhir, copy-paste dalam mengerjakan tugas, sampai
mendaftar di perguruan tinggi yang menyediakan kemudahan: tahu beres, langsung
wisuda magister.
Guru yang mengambil kuliah seperti
di atas, tidak saja sedang merusak kualitas dirinya, tapi juga siswa-siswanya,
juga citra pendidikan secara keseluruhan. Tidak heran kemudian, terjadi apa
yang “diramalkan” Erich Fromm, seorang psikolog sosial Amerika, pembohongan atau kepalsuan yang dilakukan oleh
lembaga pendidikan, yakni ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tidak
linear dengan kompetensi yang dimiliki pemegang ijazah-nya.
Sebagai bukti dari fenomena
tersebut, tengoklah kembali pemberitaan yang sempat menghangat beberapa bulan
yang lalu tentang “wisuda abal-abal” yang diikuti oleh ribuan orang itu. Sekian
banyak alasan orang yang terlibat di dalamnya, salah satu diantaranya
disebabkan karena mereka tidak mau berproses dalam pembelajaran yang seharusnya.
Setelah Sertifikasi
Guru
Harapan dari Profesor Komaruddian
Hidayat di atas tidak terwujud secara signifikan. Pengembangan kompetensi guru
tidak meningkat. Wajah dunia pendidikan, disorot oleh banyak kalangan, tidak
banyak berubah: tetap buram. Paling tidak itu dilihat dari ketercapaian
kriteria lulusan. Dunia luar pendidikan yang menyerap lulusan produk sekolah
mengeluh dengan rendahnya kemampuan mereka. Padahal angka nilai yang tertulis
di ijazah tidak kecil. Belum lagi masalah-masalah sosial yang dilakukan oleh
kalangan pelajar, bahkan oleh sebagian (oknum) guru, semakin menegaskan dunia
pendidikan tidak banyak berubah setelah guru-guru disertifikasi sekalipun.
Lebih lugas lagi potret kurangya
pengembangan diri guru itu ---untuk tidak menyebut tidak ada perkembangan sama
sekali, kalau kita melihat minimnya guru yang berhasil lulus dalam ujian
kompetensi guru (UKG) yang digelar pemerintah.
Tampak jelas, setelah sertifikasi
guru pun dengan tunjangan di luar gaji atau honor, tidak serta-merta meningkatkan
kompetensi guru. Mereka tidak belajar mengembangkan dirinya. Mereka berhenti
belajar: tidak membeli dan membaca buku-buku setiap bulannya, tidak menuju
kampus-kampus untuk mengikuti kuliah atau seminar-seminar di sana, atau tidak
banyak yang melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah atau karya
populer.
Sepinya gairah membaca di kalangan
guru adalah indikasi memang mental pembelajar sepanjang hayat di kalangan
gurunya rendah. Padahal untuk proses pengembangan diri tidak harus seminar,
tidak mesti melanjutkan kuliah, tidak juga harus beli buku. Pengembangan diri
bisa dilakukan dengan meminjam buku di perpustakaan, baik perpustakaan sekolah
maupun perpustakaan luar sekolah. Di setiap kota, provinsi ada perpustakaan
yang dibuka untuk umum. Di sana mereka bisa mengembangkan diri. Atau berlangganan
koran. Atau berlangganan paket internet, kegiatan yang paling sederhana untuk
mengembangkan diri.
Program UKG diharapkan bisa
“memaksa” guru untuk terus belajar, karena guru harus mengikuti ujian. Meskipun
terdengar ironis kalau guru melakukan pengembangan diri hanya ketika mau
mengikuti UKG, bukan untuk proses mengajar yang lebih baik: efektif dan kreatif.
Seperti halnya kita juga “tidak senang” menyaksikan siswa yang baru mau belajar
ketika akan menghadapi ulangan atau ujian saja. Padahal proses belajar itu
wajib sepanjang hayat.
Menjadi pembelajar sepanjang hayat
atau long life education ini harus bersemayam pada diri setiap guru.
Lalu ditransfer kepada muridnya. Sehingga akan menghasilkan lulusan bermental
pembelajar: terus belajar sepanjang hayat, meski tidak lagi berada di lembaga
pendidikan. Sesuai pesan Nabi SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang
lahat.” Bekal ini yang akan sangat bermanfaat dalam mengarungi zaman yang terus
berubah sangat cepat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar