Ayatulloh
Marsai
Seandainya
dakwah Nabi Muhammad SAW. langsung diterima oleh semua masyarakat Mekkah,
mungkin tidak ada kemudian babak-babak sejarah hijrah ke Yasrib (kemudian
menjadi Madinah). Tidak ada kompromi-kompromi yang dibangun dengan Yahudi dan
Nasrani untuk hidup bersama dalam satu wilayah.
Itu artinya,
babak perubahan besar tidak akan terjadi. Mekkah terlalu homogen jika
dibandingkan Madinah. Homogenitas dalam sejarahnya tidak melahirkan peradaban
yang besar. Terbukti, dakwah di Mekkah yang menghabiskan waktu 13 tahun
progresnya lambat, jauh lebih pesat di Madinah yang 10 tahun. Baik dalam
perkembangan Islam itu sendiri maupun pada kemajuan masyarakat sebagai bentuk
“Negara.” Di Madinah berhasil dirumuskan Piagam Madinah sebagai dasar hidup
bersama antara pendatang dan pribumi, antara Islam, Yahudi dan Nasrani.
Peristiwa
pengungsian umat Islam yang biasa disebut hijrah itu tidak terjadi dengan sendirinya,
bukan kehendak Nabi juga, tapi nasib pahit yang menimpa umat Islam di Mekkah.
Ditegaskan dengan wahyu Allah kepada Nabi untuk melakukan hijrah. Secara
historis, pengungkit hijrah Nabi ke Madinah adalah penolakan, caci maki,
fitnah, siksa, blokade (boikot), dan pembunuhan dari orang kafir Mekkah kepada
Nabi dan pengikut-pengikutnya. Lalu hijrah pun dimulai.
Madinah
bukan tujuan pertama. Pengikut Nabi mulanya minta suaka ke Habsy. Lalu ke Thaif,
diusir, dilempari batu. Ternyata masyarakat yang menerima dengan tulus
kedatangannya adalah masyarakat Yasrib atau Madinah.
Sekarang kita dihadapkan
pada kenyataan arus migrasi muslim ke Eropa dan Amerika, sebagaimana ditulis
oleh Asma Nadia (Republika, Pengungsi dan Semangat Ukhuwah), Jerman menerima
suaka 98.700 orang, Swedia 64.000 orang, Prancis 6.700 orang, Britania Raya
7.000 orang (Britania Raya siap menampung 20 ribu imigrant), Denmark 11.300 orang,
dan Amerika siap menampung 1,9 juta pengungsi.
Meskipun
setelah peristiwa pengeboman Stade de France, Prancis, diantara negara-negara melihat
Islam sebagai terror, kemudian enggan menerima
pengungsi muslim. Namun, secara keseluruhan, Eropa tidak berubah pikiran untuk
menampung imigran-imigran dari negara-negara konflik. Baik dengan alasan
kemanusiaan, maupun alasan sejarah sebagai bangsa yang sama pernah menjadi migran.
Adalah keniscayaan
dalam persoalan migrasi (hijrah), sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad dan
pengikutnya dulu: ada yang menyambut dengan senyum dan ada yang menolaknya
dengan marah. Sentimental perbedaan agama, bangsa dan sejarah tidak mudah pudar.
Apalagi bangsa yang punya persepsi ‘Islam agama teroris,’ kedatangan para
imigran muslim menimbulkan rasa tidak aman dan menganggap kehadiran mereka sebagai
ancaman (terror). Karena Islam disikapi sebagaimana pemahaman mereka tentang
Islam dari berita yang diciptakan oleh media. Media yang hanya menampilkan
tindakan-tindakan terror mengatasnamakan kelompok Islam.
Dan hal
terakhir ini rupanya yang menjadi tujuan dari para “scenario terorisme.”
Semacam konspirasi untuk menciptakan fobia Islam. Dengan fobia Islam, seluruh
dunia akan menolak kedatangan umat Islam. Umat Islam yang tidak bisa lagi
tinggal di tanah lahirnya karena keadaan perang, harus mencari tempat untuk
bisa menyelamatkan jiwa dan imannya, lebih keras lagi. Walaupun harus meregang
nyawa.
Selain keselamatannya
terancam di tanah air sendiri, para migran muslim juga mengalami
penolakan-penolakan dari Negara-negara tertentu dengan berbagai alasan. Ada
yang berdalih, (seperti Indonesia ini), tidak bisa memberikan kehidupan kepada
migrant karena mengurus rakyat sendiri saja masih repot, ada yang beralasan
adat, budaya dan pola hidup yang berbeda, dan ada karena fitnah terorisme
(fobia Islam).
Jika kita mau
mengambil sisi baik dari situasi ini, maka kondisi ini bisa kita pahami sebagai
proses untuk melahirkan “generasi emas,” yang punya keyakinan kuat, keyakinan
yang sudah diuji oleh tempaan kesulitan dan kerasnya ancaman penolakan dari
luar terhadap tauhid Islam. “Generasi emas” ini siap menjadi “dutanya Allah” untuk
melakukan perubahan di seantero bumi.
Dengan
demikian pengungsian atau hijrah umat Islam dari negara-negara konflik ke
berbagai belahan bumi ini, terutama Eropa dan Amerika, menjadi faktor kuat terwujudnya
Islam sebagai agama mayoritas dunia di masa depan. Satu kesimpulan yang sudah
disadari oleh lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center: Islam akan menjadi agama mayoritas dunia pada tahun 2050.
Saya optimis,
ini adalah cara sejarah memberikan perubahan kepada dunia untuk mengenal Islam
dengan sangat dekat. Kalau selama ini mereka menjauhi Islam, ini adalah cara
Islam mendekati mereka. Tentu harus didukung dengan sikap dan langkah tepat
dari pemimpin-pemimpin dunia Islam, organisasi-organisasi Islam internasinal. Organisasi
masyarakat (Ormas) Islam, Organisasi pelajar dan mahasiswa Islam Indonesia juga
tidak boleh alpa menyikapi permasalahan muslim Internasional, baik karena
ukhuwah Islamiyah maupun kemanusiaan. Kita harus bisa belajar dari
langkah-langkah politik Rasulullah Muhammad SAW ketika dalam posisi terdesak di
Mekkah, dicabut suakanya di Habsy dan ditolak mentah-mentah di Thaif.” Wallahu
'Alam.[]
*Pengajar
Sejarah Kebudayaan Islam di Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar