Sabtu, 26 Maret 2016

Pengungsi dan Masa Depan Islam

Ayatulloh Marsai

Seandainya dakwah Nabi Muhammad SAW. langsung diterima oleh semua masyarakat Mekkah, mungkin tidak ada kemudian babak-babak sejarah hijrah ke Yasrib (kemudian menjadi Madinah). Tidak ada kompromi-kompromi yang dibangun dengan Yahudi dan Nasrani untuk hidup bersama dalam satu wilayah.
Itu artinya, babak perubahan besar tidak akan terjadi. Mekkah terlalu homogen jika dibandingkan Madinah. Homogenitas dalam sejarahnya tidak melahirkan peradaban yang besar. Terbukti, dakwah di Mekkah yang menghabiskan waktu 13 tahun progresnya lambat, jauh lebih pesat di Madinah yang 10 tahun. Baik dalam perkembangan Islam itu sendiri maupun pada kemajuan masyarakat sebagai bentuk “Negara.” Di Madinah berhasil dirumuskan Piagam Madinah sebagai dasar hidup bersama antara pendatang dan pribumi, antara Islam, Yahudi dan Nasrani.
Peristiwa pengungsian umat Islam yang biasa disebut hijrah itu tidak terjadi dengan sendirinya, bukan kehendak Nabi juga, tapi nasib pahit yang menimpa umat Islam di Mekkah. Ditegaskan dengan wahyu Allah kepada Nabi untuk melakukan hijrah. Secara historis, pengungkit hijrah Nabi ke Madinah adalah penolakan, caci maki, fitnah, siksa, blokade (boikot), dan pembunuhan dari orang kafir Mekkah kepada Nabi dan pengikut-pengikutnya. Lalu hijrah pun dimulai.
Madinah bukan tujuan pertama. Pengikut Nabi mulanya minta suaka ke Habsy. Lalu ke Thaif, diusir, dilempari batu. Ternyata masyarakat yang menerima dengan tulus kedatangannya adalah masyarakat Yasrib atau Madinah.
Sekarang kita dihadapkan pada kenyataan arus migrasi muslim ke Eropa dan Amerika, sebagaimana ditulis oleh Asma Nadia (Republika, Pengungsi dan Semangat Ukhuwah), Jerman menerima suaka 98.700 orang, Swedia 64.000 orang, Prancis 6.700 orang, Britania Raya 7.000 orang (Britania Raya siap menampung 20 ribu imigrant), Denmark 11.300 orang, dan Amerika siap menampung 1,9 juta pengungsi.
Meskipun setelah peristiwa pengeboman Stade de France, Prancis, diantara negara-negara melihat Islam sebagai terror, kemudian enggan  menerima pengungsi muslim. Namun, secara keseluruhan, Eropa tidak berubah pikiran untuk menampung imigran-imigran dari negara-negara konflik. Baik dengan alasan kemanusiaan, maupun alasan sejarah sebagai bangsa yang sama pernah menjadi migran.
Adalah keniscayaan dalam persoalan migrasi (hijrah), sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad dan pengikutnya dulu: ada yang menyambut dengan senyum dan ada yang menolaknya dengan marah. Sentimental perbedaan agama, bangsa dan sejarah tidak mudah pudar. Apalagi bangsa yang punya persepsi ‘Islam agama teroris,’ kedatangan para imigran muslim menimbulkan rasa tidak aman dan menganggap kehadiran mereka sebagai ancaman (terror). Karena Islam disikapi sebagaimana pemahaman mereka tentang Islam dari berita yang diciptakan oleh media. Media yang hanya menampilkan tindakan-tindakan terror mengatasnamakan kelompok Islam. 
Dan hal terakhir ini rupanya yang menjadi tujuan dari para “scenario terorisme.” Semacam konspirasi untuk menciptakan fobia Islam. Dengan fobia Islam, seluruh dunia akan menolak kedatangan umat Islam. Umat Islam yang tidak bisa lagi tinggal di tanah lahirnya karena keadaan perang, harus mencari tempat untuk bisa menyelamatkan jiwa dan imannya, lebih keras lagi. Walaupun harus meregang nyawa.
Selain keselamatannya terancam di tanah air sendiri, para migran muslim juga mengalami penolakan-penolakan dari Negara-negara tertentu dengan berbagai alasan. Ada yang berdalih, (seperti Indonesia ini), tidak bisa memberikan kehidupan kepada migrant karena mengurus rakyat sendiri saja masih repot, ada yang beralasan adat, budaya dan pola hidup yang berbeda, dan ada karena fitnah terorisme (fobia Islam).
Jika kita mau mengambil sisi baik dari situasi ini, maka kondisi ini bisa kita pahami sebagai proses untuk melahirkan “generasi emas,” yang punya keyakinan kuat, keyakinan yang sudah diuji oleh tempaan kesulitan dan kerasnya ancaman penolakan dari luar terhadap tauhid Islam. “Generasi emas” ini siap menjadi “dutanya Allah” untuk melakukan perubahan di seantero bumi.   
Dengan demikian pengungsian atau hijrah umat Islam dari negara-negara konflik ke berbagai belahan bumi ini, terutama Eropa dan Amerika, menjadi faktor kuat terwujudnya Islam sebagai agama mayoritas dunia di masa depan. Satu kesimpulan yang sudah disadari oleh lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center: Islam akan menjadi agama mayoritas dunia pada tahun 2050.
Saya optimis, ini adalah cara sejarah memberikan perubahan kepada dunia untuk mengenal Islam dengan sangat dekat. Kalau selama ini mereka menjauhi Islam, ini adalah cara Islam mendekati mereka. Tentu harus didukung dengan sikap dan langkah tepat dari pemimpin-pemimpin dunia Islam, organisasi-organisasi Islam internasinal. Organisasi masyarakat (Ormas) Islam, Organisasi pelajar dan mahasiswa Islam Indonesia juga tidak boleh alpa menyikapi permasalahan muslim Internasional, baik karena ukhuwah Islamiyah maupun kemanusiaan. Kita harus bisa belajar dari langkah-langkah politik Rasulullah Muhammad SAW ketika dalam posisi terdesak di Mekkah, dicabut suakanya di Habsy dan ditolak mentah-mentah di Thaif.” Wallahu 'Alam.[]

*Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar