Senin, 28 Maret 2016

Petani dan Tanahnya

AYATULLOH MARSAI

“Lha, saya ini tetap petani, tapi sudah bekerja di kota. Kalau pas masuk ke kantor, ya, bukan petani. Tapi, pas pulang ke rumah, saya tetap petani. Yang jelas, saya ini masih menggantungkan ekonomi rumah tangga dengan bertani. Kalau cuman menggantungkan dari pegawai nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.” Komentar ini meluncur dari seorang informan sebuah penelitian Imam Setyobudi di Yogyakarta, yang kemudian dibukukan: “Menari Di Antara Sawah Dan Kota; Ambiguitas Diri Petani-petani Terakhir di Yogyakarta,”

“Wajah” ambigu, antara petani dengan buruh, pegawai, karyawan atau pengusaha kecil yang terjadi di Yogyakarta tersebut, ternyata menjadi fenomena yang umum terjadi di daerah lain, termasuk Banten, tak terkecuali Cilegon.

Saya punya satu petak sawah warisan seluas kurang lebih 1000 meter persegi. Setiap tahun, tentunya di musim penghujan (musim menamam padi), saya menanam padi. Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan makan saya dan keluarga kecil saya dalam setahun. Tanpa hasil tanam padi itu, jelas honor mengajar saya tidak bisa mencukupi kebutuhan makan sepanjang tahun. Ambiguitas ini umum terjadi di sekitar saya: teman-teman guru (baik yang honorer maupun pegawai negeri), karyawan-karyawan pabrik, pegawai pemerintahan yang masih tinggal di pedesaan, termasuk pejabat-pejabat kelurahan, berwajah sama ganda seperti ini.

Lebih nyata lagi fakta ini terlihat di kalangan pedagang kecil, buruh bangunan dan buruh jasa angkutan: ojek, becak dan sopir angkot. Umumnya semua profesi masyarakat pedesaan, tanpa kegiatan bertani tahunan akan selaras dengan kalimat terakhir informan di atas: “Kalau cuman menggantungkan dari pegawai nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”

Ambiguitas ini tidak hanya berkaitan dengan urusan ekonomi. Ada hal lain, yaitu kultur. Secara kultur ada ikatan batin yang mendalam. Sejak kecil seseorang sudah turun ke sawah untuk membantu orang tuanya “rerendeng,” “ngarit,” “ngoyos,” “nandur,” “macul,” “ngored,” “nggebod” dan lain sebagainya: banyak hal yang bisa dilakukan di sawah, tidak hanya bekerja, bisa juga melakukan permainan. Kegiatan-kegiatan yang tidak hanya “berdimensi” ekonomi, tapi juga pewarisan karakter, budaya dan falsafah hidup.

Sehingga ketika dewasa, profesi apapun yang dilakoni, tetap dia menjalani bertani sebagai warisan budaya turun-temurun, meski bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. Hasilnya, tetap saja sangat membantu, baik bagi pemilik maupun bagi masyarakat sekitar yang menjadi buruh di lahan pertanian tersebut.

Setelah Jalan Itu Dibangun
Suatu saat, sebagaimana terjadi di Yogyakarta --merujuk karya Imam Setyobudi di atas-- dan kota-kota lain: petani, atau kegiatan bertani, atau lahan pertanian itu terdesak oleh modal-modal besar yang mengalihfungsikan tanah pertanian menjadi lahan-lahan industri lengkap dengan infrastrukturnya. Membeli secara “sombong” dengan kekuatan modal yang dimiliki. Padahal sang pemilik tanah tidak pernah berniat menjual tanahnya, karena secara turun-temurun, mereka mempunyai ikatan kuat dengan tanah tersebut, baik secara kultur maupun secara ekonomi. Tapi karena didesak, tidak ada pilihan selain meminta harga yang sesuai.

Ikatan lahir dan batin petani dengan tanah, dicerai-beraikan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya: modal besar dan, memakai istilah Iwan Fals, oleh “sebuah rencana.” Bukanlah kekuatan lokal, yang bisa membuat situasi “seragam” begini, tapi pastilah kekuatan global atau multinasional. Mungkin yang orang sebut sebagai kapitalisme. Kapitalisme yang sudah berhasil mengendalikan kekuatan-kekuatan lokal menjadi “seirama dan harmonis” dengannya.

Di Kelurahan Tegal Bunder, Kota Cilegon, telah diurug daerah pesawahan dan tegalan untuk pembuatan jalan “lintas” menembus ke jalan utama Kelurahan Pabean. Dan, Pemerintah Kelurahan Pabean juga kabarnya sedang “memproses” pekerjaan yang sama: mengurug lahan untuk jalan, yang sebelumnya lahan ini menjadi lumbung padi masyarakat, sepanjang 1 kilometer, lebar 10 meter.

Ada beberapa persoalan yang jelas menghadang di depan mata setelah pengurugan lahan pertanian ini. Pertama, diperkirakan 10 ton gabah kering yang biasa dihasilkan dari lahan ini, mulai musim tahun ini dan seterusnya tidak lagi keluar dari lahan ini. Itu artinya dua keluarahan tersebut kehilangan potensi pangan sejumlah tersebut di atas. Sebagai gantinya masing-masing pemilik menggenggam segepok uang puluhan juta, yang entah bisa atau tidak “usia” kebermanfatannya sepanjang tanah yang mereka jual itu!

Akibat lenyapnya 10 ton gabah dari dua kelurahan ini, maka terang saja harus ada stok tambahan di Cilegon, setidaknya jumlahnya sesuai dengan jumlah lahan yang hilang tahun ini. Saya melihat alih fungsi lahan pertanian terjadi di banyak tempat di Kota Cilegon. Belum lagi menghitung peningkatan penduduk yang sangat pesat karena peningkatannya tidak hanya dari kelahiran, tetapi dari migrasi besar-besaran dari luar daerah dan luar negeri di Kota ini. Menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi dinas terkait untuk menjamin keterediaan pangan, karena jumlahnya bukan lagi 10 ton, mungkin ratusan sampai ribuan ton beras harus didatangkan ke Kota ini.

Persoalan kedua, profesi apa yang akan dijalani oleh “mantan pemilik tanah?” Dengan segepok uang hasil tukaran dengan tanahnya, mungkin mereka bisa membuka usaha. Apakah semua bisa melakukannya. Jawabnya tentu tidak. Beralih-profesi tidak semudah alihfungsi lahannya. Butuh keahlian dan kemampuan khusus. Dan, kemampuan serta keahlian khusus sangat butuh waktu dan proses panjang. Segepok uang di tangan hasil tukar tanahnya, belum tentu cukup untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang dibutuhkan “rencana” profesi barunya. Singkatnya, alihfungsi lahan pertanian itu menjadi fungsi yang lain, tanpa jaminan alih-profesi atau transformasi tenaga kerja dari pemerintah atau swasta terkait, akan mengakibat masalah sosial yang besar. Tidak butuh waktu lama untuk melihat akibat ini, karena berkaitan dengan perut dan persaingan untuk mengisinya.

Transformasi pekerjaan tentu akan terjadi, tapi sebagian kecil saja, tidak semua. Bayangkanlah sebuah pyramid, bagian atas pyramid itu sajalah kiranya yang menikmati “transformasi pekerjaan” dari keluarga petani ke profesi lain yang mencukupi segala kebutuhan hidupnya tanpa bertani. Sisi bawah piramid tetap harus mengolah tanah yang tersisa untuk bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Minimal ketika musim penghujan datang. Tidak ada pilihan, karena toh pengelola Negara ini juga tidak menyediakan irigasi untuk mendukung kegiatan bertani permanen.

Jelas penghilangan lahan pertanian, atau lumbung padi masyarakat pedesaan, tanpa disertai dengan transformasi tenaga kerja yang seimbang dan sepadan, terutama yang berkaitan langsung dengan tanah yang hilang itu, akan mendatangkan masalah baru, yaitu melahir orang miskin baru di masyarakat ini. Atau tepatnya pemiskinan. Pemiskinan demi pemiskinan, diakui atau tidak, sedang dilakukan dengan sangat gencar dan tak terbendung, oleh “pengemong” rakyat sendiri.

Industri berat bertaraf internasioanl yang berjubel di Cilegon nyatanya tidak banyak membantu menyejahterakan rakyat pedesaan. Karena transformasi tenaga kerja tidak terjadi searah dengan pertumbuhan industri di kota ini. Tidak searah masksudnya, “manusia Cilegon” yang ada di pedesaan tidak mengalami pertumbuhan atau ditumbuhkan kemampuannya secara sistematis.  Sementara, di sisi lain, penghilangan lahan (ruang) bertani yang selama ini menghidupi terus direnggut oleh industri besar itu.

Pihak industry akan berdalil, mereka membutuhkan tenaga kerja yang professional. Itu hak mereka. Tidak akan menjadi persoalan yang pelik jika pemerintah punya rencana yang integral: tidak hanya membuka tangan terhadap kedatangan investasi asing, namun juga mempersiapkan tenaga-tenaga siap pakai dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh industry yang bakal dibuka oleh investor itu. Dengan kuasanya, seharusnya pemerintah punya daya tawar untuk memproteksi rakyatnya agar dijamin masuk menjadi bagian industri yang dibangun di tanah Cilegon. Tentu setelah dibekali kemampuan yang diperlukan.

Dengan transformasi tenaga kerja atau sumber daya manusia, dari sawah ke pabrik-pabrik, ke kantor-kantor jasa pelengkap, tidak ada masalah sekiranya semua lahan pertanian di kota ini ditutup, digantikan dengan hamparan pabrik-pabrik lengkap dengan infrastukturnya. Semua rakyat, tanpa kecuali, menghabiskan waktunya di lahan yang baru hasil prestasi pemerintahnya: kawasan industri pabrik. Semua rakyat terpebuhi kebutuhan hidupnya dari aktivitas industri. Itulah “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat” yang sejati.

Sederhananya, kita bisa menjaga kesemibangan alam: seimbang antara yang kita ambil dengan yang kita berikan. Begitu keseimbangan itu kita hilangkan, karena mengambil tanpa memberi atau tanpa mengganti dengan yang sepadan, maka bencana sosial kemanusiaan akan segera datang. Wallahu ‘Alam.[]


Guru Honorer Madrasah, juga Petani Tadah Hujan

Sabtu, 26 Maret 2016

Guru Berhenti Belajar, Berhenti Mengajar!

AYATULLOH MARSAI

“Guru yang berhenti belajar, berhentilah mengajar!” Tegas dan kuat suara Komarudin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, waktu menyampaikan kalimat itu, pada acara pengukuhan Guru Sertifikasi Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah, akhir Desember 2009. Klimaks dari sekian panjang uraian sambutan, agar guru yang sedang dikukuhkan sebagai guru profesional, terus melakukan pengembangan diri tanpa henti seumur hidup.

Dalam sambutan itu kesan sulit dalam pengembangan diri guru sangatlah nampak. Kalau kita petakan mungkin, paling tidak ada dua faktor. Pertama faktor biaya. Sebelum adanya sertifikasi guru, gaji guru tidak cukup atau merasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan dirinya. Sementara dia harus terus meningkatkan kemampuan diri: agar bisa mengajar efektif dan kreatif karena menghadapi anak-anak di zaman yang terus berkembang.

Melalui sertifikasi, guru sudah menjadi tenaga professional. Ada uang tunjangan di luar gaji rutin bulanan bagi pegawai negeri sipil, dan di luar honor bagi yang honorer. Uang ini sepatutnya digunakan “sebagiannya” untuk pengembangan diri. Baik melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti seminar-seminar, workshop-workshop yang menunjang keahliannya, atau membeli buku terkait profesinya, atau buku umum untuk wawasan, minimal satu buku dalam satu bulan.

Selama ini guru tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembangkan dirinya. Pelatihan-pelatihan yang digelar pemerintah tidak serta-merta membuat guru berkembang. Sering kali pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, terutama tingkat kota dan provinsi, kurang berkualitas. Baik disebabkan persiapan yang mendesak karena akhir tahun anggaran, juga sering kali narasumber yang dihadirkan tidak berkompeten. Sering juga narasumber dihadirkan dari kalangan struktural, bukan dari kalangan fungsional professional. Yang paling laten bahayanya adalah, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah dianggap sebagai “proyek” semata, artinya untuk mendulang keuntungan dari anggaran yang diserap. Tidak terkecuali di kalangan peserta pelatihan (guru), sehingga mereka hanya menunggu “uang transportasi” saja, sementara partisipasi dalam pelatihan yang gelar sangat rendah.

Faktor kedua, yang menyebabkan pengembangan diri guru tidak berkembang adalah mental guru sendiri yang tidak mempunyai mental pembelajar sepanjang hayat. Ada atau pun tidak adanya biaya, bagi guru seperti ini tidak merubah keadaan, tidak akan membawa kemajuan pendidikan.

Tidak sedikit guru yang melanjutkan kuliah karena punya dana yang cukup, terutama yang pegawai negeri sipil, namun karena mental pembelajarnya nihil maka yang terjadi adalah pembohongan-pembohongan. Mulai dari membayar joki untuk pertemuan kuliah, pembelian karya ilmiah tugas akhir, copy-paste dalam mengerjakan tugas, sampai mendaftar di perguruan tinggi yang menyediakan kemudahan: tahu beres, langsung wisuda magister.

Guru yang mengambil kuliah seperti di atas, tidak saja sedang merusak kualitas dirinya, tapi juga siswa-siswanya, juga citra pendidikan secara keseluruhan. Tidak heran kemudian, terjadi apa yang “diramalkan” Erich Fromm, seorang psikolog sosial Amerika,  pembohongan atau kepalsuan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, yakni ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tidak linear dengan kompetensi yang dimiliki pemegang ijazah-nya.   

Sebagai bukti dari fenomena tersebut, tengoklah kembali pemberitaan yang sempat menghangat beberapa bulan yang lalu tentang “wisuda abal-abal” yang diikuti oleh ribuan orang itu. Sekian banyak alasan orang yang terlibat di dalamnya, salah satu diantaranya disebabkan karena mereka tidak mau berproses dalam pembelajaran yang seharusnya.

Setelah Sertifikasi Guru
Harapan dari Profesor Komaruddian Hidayat di atas tidak terwujud secara signifikan. Pengembangan kompetensi guru tidak meningkat. Wajah dunia pendidikan, disorot oleh banyak kalangan, tidak banyak berubah: tetap buram. Paling tidak itu dilihat dari ketercapaian kriteria lulusan. Dunia luar pendidikan yang menyerap lulusan produk sekolah mengeluh dengan rendahnya kemampuan mereka. Padahal angka nilai yang tertulis di ijazah tidak kecil. Belum lagi masalah-masalah sosial yang dilakukan oleh kalangan pelajar, bahkan oleh sebagian (oknum) guru, semakin menegaskan dunia pendidikan tidak banyak berubah setelah guru-guru disertifikasi sekalipun.

Lebih lugas lagi potret kurangya pengembangan diri guru itu ---untuk tidak menyebut tidak ada perkembangan sama sekali, kalau kita melihat minimnya guru yang berhasil lulus dalam ujian kompetensi guru (UKG) yang digelar pemerintah.

Tampak jelas, setelah sertifikasi guru pun dengan tunjangan di luar gaji atau honor, tidak serta-merta meningkatkan kompetensi guru. Mereka tidak belajar mengembangkan dirinya. Mereka berhenti belajar: tidak membeli dan membaca buku-buku setiap bulannya, tidak menuju kampus-kampus untuk mengikuti kuliah atau seminar-seminar di sana, atau tidak banyak yang melakukan kegiatan penelitian dan penulisan karya ilmiah atau karya populer.

Sepinya gairah membaca di kalangan guru adalah indikasi memang mental pembelajar sepanjang hayat di kalangan gurunya rendah. Padahal untuk proses pengembangan diri tidak harus seminar, tidak mesti melanjutkan kuliah, tidak juga harus beli buku. Pengembangan diri bisa dilakukan dengan meminjam buku di perpustakaan, baik perpustakaan sekolah maupun perpustakaan luar sekolah. Di setiap kota, provinsi ada perpustakaan yang dibuka untuk umum. Di sana mereka bisa mengembangkan diri. Atau berlangganan koran. Atau berlangganan paket internet, kegiatan yang paling sederhana untuk mengembangkan diri.
Program UKG diharapkan bisa “memaksa” guru untuk terus belajar, karena guru harus mengikuti ujian. Meskipun terdengar ironis kalau guru melakukan pengembangan diri hanya ketika mau mengikuti UKG, bukan untuk proses mengajar yang lebih baik: efektif dan kreatif. Seperti halnya kita juga “tidak senang” menyaksikan siswa yang baru mau belajar ketika akan menghadapi ulangan atau ujian saja. Padahal proses belajar itu wajib sepanjang hayat.

Menjadi pembelajar sepanjang hayat atau long life education ini harus bersemayam pada diri setiap guru. Lalu ditransfer kepada muridnya. Sehingga akan menghasilkan lulusan bermental pembelajar: terus belajar sepanjang hayat, meski tidak lagi berada di lembaga pendidikan. Sesuai pesan Nabi SAW: “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.” Bekal ini yang akan sangat bermanfaat dalam mengarungi zaman yang terus berubah sangat cepat. ***   


Kepala MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon. 

Semangat Literasi

Ayatulloh Marsai

Tahun 2015 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan edaran: mewajibkan para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Buku yang dibaca umum. Buku umum yang maksud adalah bacaan-bacaan buku non paket pelajaran yang disediakan perpustakaan atau pun dibawa sendiri oleh siswa dari rumah. Kegiatan ini bagian dari pelaksanaan dari Kurikulum Nasional, Kurikulum 2013.

Edaran ini menggelitik untuk dianalisis. Karena “kegiatan membaca” dan “kegiatan belajar,” kegiatan inti di sekolah, bisa dilaksanakan secara bersamaan. Bukankah dalam kegiatan pembelajaran biasanya terdapat kegiatan membaca. Dan membaca merupakan bagian dari belajar. Tapi dalam edaran itu, secara tersurat, “membaca” dan “belajar mengajar” dipisahkan bahkan dibedakan. Artinya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengharapkan kegiatan membaca dilakukan secara berbeda sebelum kegiatan belajar mengajar. Sesungguhnya, pesan dibalik kewajiban membaca di sekolah itu, apa?

Saya menengarai semangat yang melatarbelakangi gagasan tersebut adalah semangat literasi. Tegasnya ingin membudayakan membaca dan menulis di sekolah. Pada tataran ini juga tidak kalah menggelitiknya. Karena sekolah sejatinya “rumah” bagi keberaksaraan itu sendiri. Setiap orang di dalamnya pasti melek aksara, atau setidaknya dalam proses keberaksaraan. Mengkampanyekan membaca di sekolah ibarat menyuruh berenang pada ikan dalam air. Atau menyuruh makan pada ayam yang sudah di dalam lumbung. Membaca mestinya sudah berlaku di sekolah tanpa menunggu di kampanyekan. Apalagi dikampanyekan oleh faktor luar sekolah: komunitas-komunitas literasi, misalnya. Itu idealnya.

Nampaknya ada pesan tersendiri di dalam edaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Itu sebuah solusi dari ironi yang terjadi di sekolah. Lembaga sekolah nyatanya tidak serta merta melahirkan kebiasaan membaca dan menulis kepada siswanya. Memberikan tugas kepada siswa membuat karya ilmiah: makalah, laporan penelitian dan resensi buku, tidak serta merta membuat siswa terbiasa membaca dan menulis. Apalagi sampai berdampak pada  kegandurungan yang sangat tinggi hingga siswa menghabiskan berpuluh-puluh buku judul buku dalam satu tahun.

Tidak bisa dipungkiri ketidak-biasaan guru melahap buku-buku bacaan juga sangat berpengaruh besar. Anak-anak itu pada dasarnya sangat mudah meniru perilaku disekitarnya, daripada diceramahi tentang membaca, sementara gurunya sendiri tidak melakukannya. Akan sangat lucu jika mendapati guru menggebu-gebu menganjurkan siswanya rajin membaca sementara dirinya bukanlah pembaca yang ulung. Begitu juga dengan menulis.

Ironi tersebut jelas terjadi di sekolah. Jelas tujuan edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menciptakan lingkungan berbudaya literer: membaca dan menulis menjadi kebiasaan hidup. Ya, meskipun dalam waktu yang sangat singkat, 15 menit. Tidak hanya kepada siswa, nampaknya Pemerintah ingin menegaskan kepada gurunya juga untuk membaca pada saat itu.

Apakah guru selama ini tidak membaca? Membaca, pasti. Tapi banyak guru membaca buku paket yang dari tahun ke tahun bukunya itu-itu juga. Maka dalam kesempatan singkat: lima belas menit, guru dipaksa untuk membuka dan membaca buku lain. Tentu yang menarik perhatiannya. Momen yang singkat itu adalah pintu masuk. Selanjutnya diharapkan guru tersebut memiliki ketertarikan berkelanjutan untuk membaca buku bacaan di luar buku paket. Hal ini pasti akan sangat membantu disiplin pengetahuannya. Karena sesungguhnya ilmu itu menyatu, saling mendukung antara disiplin yang satu dengan yang lain. Tidak berdiri sendiri. Semakin guru banyak mengetahui satu hal dari berbagai sudut pandang, akan semakin menarik minat siswa untuk memperhatikannya ketika mengajar. Karena kaya pandangan, dan luas penjelasannya. 
Saya dangat mendamba kondisi di atas: membaca dan menulis menjadi budaya di kalangan guru, siswa dan semua warga madrasah. Oleh karena itu, saya merencanakan dua hal penting untuk menyikapi edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Pertama, menjadikan perpustakaan madrasah sebagai program prioritas: mulai dari sistem, kenyamanan, penambahan koleksi buku bacaan umum dan program kegiatan.

Yang kedua, wisata literasi. Saya mengenal wisata literasi ini dari Rumah Dunia. Sebagai komunitas yang bergiat di bidang literasi, Rumah Dunia tidak hanya mengajar membaca dan menulis, mewadahai karya bahkan merayakan atas lahirnya karya-karya, baik yang lahir dari dalam maupun dari luar Rumah Dunia. Lebih dari itu mengapresisasi setiap kegiatan literasi baik daerah, nasional dan internasional. Rumah Dunia rajin sekali membawa anggota komunitasnya untuk berwisata literasi di pameran-pameran buku nasional. Keuntungannya, bisa memotivasi anggota untuk menjadi penulis produktif. Karena di pameran buku sudah bisa dipastikan akan bertemu dengan penulis-penulis buku best seller, nasional dan internasional. Ketika ada karya anggota komunitas yang di lounching di acara pameran, kunjungan sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan terhadap prestasi anggota komunitas.

Tahun ini tahun kedua, madrasah dimana saya mengabdi, mengadakan wisata literasi kunjungan ke “Islamic Book Fair” (IBF). Sengaja tidak diwajibkan, tidak dimasukan dalam anggaran rutin. Hanya yang berminat dan mendaftar saja yang berangkat dalam kunjungan ini. Dengan begitu bisa dilihat secara benderang: hanya siswa dan guru yang punya keinginan kuat saja yang ikut serta dalam acara ini. Perkembangannya sangat menggembirakan, mencapai seratus persen, dari 30 (tiga puluh) orang pada tahun pertama, menjadi 65 (enam puluh lima) orang pada tahun kedua ini. 

Semoga kegiatan ini bisa menginspirasi semua: guru dan murid sekaligus. Mereka tidak membaca hanya dalam waktu yang ditentukan, melainkan membaca seumur hidup. Guru bisa mengajar lebih baik dengan tidak berhenti belajar, dan murid bisa berkembang secara berkelanjutan, tidak terbatas ketika menjadi siswa saja. Ia akan belajar sepanjang hayat. Dengan begitu, meminjam bahasanya Gus Ballon, kita sudah punya “kunci laci” tanpa harus tahu “isi laci.” Generasi yang melek literasi akan sangat mudah membuka “rahasia” zamannya di masa depan. Amien.[]

Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.

Pengungsi dan Masa Depan Islam

Ayatulloh Marsai

Seandainya dakwah Nabi Muhammad SAW. langsung diterima oleh semua masyarakat Mekkah, mungkin tidak ada kemudian babak-babak sejarah hijrah ke Yasrib (kemudian menjadi Madinah). Tidak ada kompromi-kompromi yang dibangun dengan Yahudi dan Nasrani untuk hidup bersama dalam satu wilayah.
Itu artinya, babak perubahan besar tidak akan terjadi. Mekkah terlalu homogen jika dibandingkan Madinah. Homogenitas dalam sejarahnya tidak melahirkan peradaban yang besar. Terbukti, dakwah di Mekkah yang menghabiskan waktu 13 tahun progresnya lambat, jauh lebih pesat di Madinah yang 10 tahun. Baik dalam perkembangan Islam itu sendiri maupun pada kemajuan masyarakat sebagai bentuk “Negara.” Di Madinah berhasil dirumuskan Piagam Madinah sebagai dasar hidup bersama antara pendatang dan pribumi, antara Islam, Yahudi dan Nasrani.
Peristiwa pengungsian umat Islam yang biasa disebut hijrah itu tidak terjadi dengan sendirinya, bukan kehendak Nabi juga, tapi nasib pahit yang menimpa umat Islam di Mekkah. Ditegaskan dengan wahyu Allah kepada Nabi untuk melakukan hijrah. Secara historis, pengungkit hijrah Nabi ke Madinah adalah penolakan, caci maki, fitnah, siksa, blokade (boikot), dan pembunuhan dari orang kafir Mekkah kepada Nabi dan pengikut-pengikutnya. Lalu hijrah pun dimulai.
Madinah bukan tujuan pertama. Pengikut Nabi mulanya minta suaka ke Habsy. Lalu ke Thaif, diusir, dilempari batu. Ternyata masyarakat yang menerima dengan tulus kedatangannya adalah masyarakat Yasrib atau Madinah.
Sekarang kita dihadapkan pada kenyataan arus migrasi muslim ke Eropa dan Amerika, sebagaimana ditulis oleh Asma Nadia (Republika, Pengungsi dan Semangat Ukhuwah), Jerman menerima suaka 98.700 orang, Swedia 64.000 orang, Prancis 6.700 orang, Britania Raya 7.000 orang (Britania Raya siap menampung 20 ribu imigrant), Denmark 11.300 orang, dan Amerika siap menampung 1,9 juta pengungsi.
Meskipun setelah peristiwa pengeboman Stade de France, Prancis, diantara negara-negara melihat Islam sebagai terror, kemudian enggan  menerima pengungsi muslim. Namun, secara keseluruhan, Eropa tidak berubah pikiran untuk menampung imigran-imigran dari negara-negara konflik. Baik dengan alasan kemanusiaan, maupun alasan sejarah sebagai bangsa yang sama pernah menjadi migran.
Adalah keniscayaan dalam persoalan migrasi (hijrah), sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad dan pengikutnya dulu: ada yang menyambut dengan senyum dan ada yang menolaknya dengan marah. Sentimental perbedaan agama, bangsa dan sejarah tidak mudah pudar. Apalagi bangsa yang punya persepsi ‘Islam agama teroris,’ kedatangan para imigran muslim menimbulkan rasa tidak aman dan menganggap kehadiran mereka sebagai ancaman (terror). Karena Islam disikapi sebagaimana pemahaman mereka tentang Islam dari berita yang diciptakan oleh media. Media yang hanya menampilkan tindakan-tindakan terror mengatasnamakan kelompok Islam. 
Dan hal terakhir ini rupanya yang menjadi tujuan dari para “scenario terorisme.” Semacam konspirasi untuk menciptakan fobia Islam. Dengan fobia Islam, seluruh dunia akan menolak kedatangan umat Islam. Umat Islam yang tidak bisa lagi tinggal di tanah lahirnya karena keadaan perang, harus mencari tempat untuk bisa menyelamatkan jiwa dan imannya, lebih keras lagi. Walaupun harus meregang nyawa.
Selain keselamatannya terancam di tanah air sendiri, para migran muslim juga mengalami penolakan-penolakan dari Negara-negara tertentu dengan berbagai alasan. Ada yang berdalih, (seperti Indonesia ini), tidak bisa memberikan kehidupan kepada migrant karena mengurus rakyat sendiri saja masih repot, ada yang beralasan adat, budaya dan pola hidup yang berbeda, dan ada karena fitnah terorisme (fobia Islam).
Jika kita mau mengambil sisi baik dari situasi ini, maka kondisi ini bisa kita pahami sebagai proses untuk melahirkan “generasi emas,” yang punya keyakinan kuat, keyakinan yang sudah diuji oleh tempaan kesulitan dan kerasnya ancaman penolakan dari luar terhadap tauhid Islam. “Generasi emas” ini siap menjadi “dutanya Allah” untuk melakukan perubahan di seantero bumi.   
Dengan demikian pengungsian atau hijrah umat Islam dari negara-negara konflik ke berbagai belahan bumi ini, terutama Eropa dan Amerika, menjadi faktor kuat terwujudnya Islam sebagai agama mayoritas dunia di masa depan. Satu kesimpulan yang sudah disadari oleh lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center: Islam akan menjadi agama mayoritas dunia pada tahun 2050.
Saya optimis, ini adalah cara sejarah memberikan perubahan kepada dunia untuk mengenal Islam dengan sangat dekat. Kalau selama ini mereka menjauhi Islam, ini adalah cara Islam mendekati mereka. Tentu harus didukung dengan sikap dan langkah tepat dari pemimpin-pemimpin dunia Islam, organisasi-organisasi Islam internasinal. Organisasi masyarakat (Ormas) Islam, Organisasi pelajar dan mahasiswa Islam Indonesia juga tidak boleh alpa menyikapi permasalahan muslim Internasional, baik karena ukhuwah Islamiyah maupun kemanusiaan. Kita harus bisa belajar dari langkah-langkah politik Rasulullah Muhammad SAW ketika dalam posisi terdesak di Mekkah, dicabut suakanya di Habsy dan ditolak mentah-mentah di Thaif.” Wallahu 'Alam.[]

*Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Al-Khairiyah Karangtengah – Cilegon.

Pemimpin dan Ilmu Pengetahuan

Ayatulloh Marsai*

Pemilukada serentak tanggal 9 Desember nanti tidaklah penting, jika tidak membawa perubahan lebih baik bagi nasib daerah-daerah: tidak lebih sejahtera, tidak lebih adil, tidak lebih menjamin kemerdekaan berpendapat dan berserikat, serta tidak lebih menjamin kehidupan sosial. Karena pemilu adalah mekanisme demokrasi untuk menentukan kepemimpinan. Pemilu bukan untuk pemilu itu sendiri. Utamanya kepemimpinan hasil pemilu bisa membawa rakyat atau warga negara dalam kehidupan yang lebih sejahtera, adil, dan jaminan terpenuhinya hak asasi selaku warga Negara.

Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang cakap dari calon terpilih. Dan kecakapan itu bisa “ditelisik” dari sekarang. Waktu tersisa bisa kita gunakan untuk “istiharah,” baik secara pemikiran maupun sejatinya menurut syari’at agama, jangan tidak sama sekali. Karena berupaya sejak dalam pikiran untuk memilih pemimpin daerah yang cakap adalah satu upaya sadar untuk menuju masa keemasan Indonesia.

Kita bisa belajar dari sejarah. Dari masa-masa keemasan sebuah peradaban. Dengan apa dan bagaimana masa keemasan mereka raih. Untuk menyebutkan sedikit “zaman emas,” kita sebut saja kejayaan Raja Sulaiman, dan masa keemasannya Dinasti Abbasiyah masa Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Mereka sukses karena memegang kunci kesuksesan: mencintai ilmu pengetahuan. Mereka berkeyaninan bahwa dengan membekali diri dan rakyatnya ilmu pengetahuan seluas-luas dan sedalam-dalamnya, kesejahteraan akan terwujud dengan mudah. Ilmulah yang memudahkan segala urusan, termasuk urusan kesejahteraan dan keadilan. Ilmu bukan hanya membuat sebuah bangsa sejahtera tapi juga beradab.

Ketika Nabi Sulaiman diberikan tiga pilihan ”hadiah” (nikmat) oleh Allah: kekayaan, kejayaan dan ilmu pengetahuan. Dengan pasti Nabi Sulaiman menjatuhkan pilihannya pada ilmu pengetahuan. Ternyata pilihannya tepat. Dengan ilmu pengetahuan, Nabi Sulaiman bisa meraih semua pilihan: ilmu, kejayaan dan kekayaan. Nyatanya kejayaan dan kekayaan berada menyatu di dalam dan dengan ilmu pengetahuan.
Semangat dari kisah Nabi Sulaiman tersebut kemudian dibuktikan juga oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Makmun. Masa keduanya merupakan masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Mereka berdua membangun pemerintahannya dengan pondasi ilmu pengetahuan. Di kumpulkannya buku-buku dari berbagai warisan peradaban dunia di sebuah pusat pembelajaran: Baitul Hikmah. Diantara buku yang terkenal dari Yunani, Persia dan India. Dari buku-buku Yunani berkembang-pesatlah kemudian filsafat, dari Persia berkembang kemudian ilmu politik dan pemerintahan, dan ilmu matematika dari India maju pesat setelah dipelajari oleh umat Islam masa itu.

Di Baitul Hikmah buku-buku itu diterjemahkan, dikaji dan didiskusikan. Lalu melahirkan pemikiran baru yang sesuai dengan semangat dan nilai Islam. Di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah menjelma menjadi pusat riset dan eksperimen dan melahirkan para cendikiawan dan ilmuwan kenamaan, diantaranya adalah Al-Hawarizmi, ahli matematika, penemu angka nol. 

Hukum siklus dalam sejarah memang membagi babak sejarah peradaban menjadi tiga periode: kebangkitan, kejayaan dan kehancuran. Tapi semua periode (bangkit, jaya dan hancur) tentu saja ada sebabnya. Tidak berdiri sendiri. Tentu saja kita tidak mau terjebak pada situasi-kondisi yang menyebabkan kehancuran. Sebaliknya kita perlu berupaya menciptakan situasi-kondisi menyebabkan kebangkitan bahkan kemajuan-kemajuan.

Belajar dari Nabi Sulaiman, Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun, jelas kita harus memilih calon pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan. Pemimpin yang tidak hanya percaya bahwa ilmu pengetahuan kunci kemajuan, tapi juga pemimpin yang mau mewujudkan kepercayaannya itu dalam bentuk tindakan dan langkah-langkah politik. Penyediaan pusat pembelajaran semisal Baitul Hikmahnya Abbasiyah, menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nantinya.

Pada saat yang sama: pemimpin impian ini adalah sosok yang mau berkorban menampik keuntungan-keuntungan pragmatis-sesaat yang biasa disodorkan oleh para pengusaha pemburu keuntungan semata, dengan mengabaikan pembangunan manusia jangka panjang. Tapi bukan juga sosok yang tertutup untuk membangun kerjasama secara luas. Kerjasama dengan “orang lain” mutlak penting dibuka sebagai syarat kemajuan. Namun, sebagaimana idealnya, kerjasama harus saling menguntungkan antar pihak-pihak yang bekerjasama.  
***

Menjelang Pemilukada yang tinggal menghitung hari, saya berandai-andai, bisa memerogi calon pemimpin daerah dalam perjalanan entah kemana. Saya menghentikan laju mobilnya. Lalu bersegera menggeledah mobil itu, apakah ada buku, atau buku-buku di dalamnya. Atau karena buku bukan satu-satunya media belajar, baiklah saya akan memeriksa handphonnya, tab dan lain sebagainya, apakah di sana ada e-book atau bacaan lain yang menunjukkan dia seorang pembelajar sepanjang hayat dan pecinta ilmu pengetahuan. Saya meminta ikut serta ke rumahnya: apakah ada sederet lemari atau rak yang dipenuhi buku-buku di sana. Saya akan memilih calon pemimpin daerah yang di mobil dan rumahnya dipenuhi buku-buku. Sebelum pamit akan saya katakan: “saya ingin saudara memilih apa yang dipilih Nabi Sulaiman, dan saya mendukung saudara “menjadi Al-Makmun” yang akan mendesain “Baitul Hikmah” di kota ini!”[]


*Guru Sejarah Kebudayaan Islam, MTs Al-Khairiyah Karangtengah, Cilegon.