AYATULLOH MARSAI
“Lha,
saya ini tetap petani, tapi sudah bekerja di kota. Kalau pas masuk ke kantor,
ya, bukan petani. Tapi, pas pulang ke rumah, saya tetap petani. Yang jelas,
saya ini masih menggantungkan ekonomi rumah tangga dengan bertani. Kalau cuman
menggantungkan dari pegawai nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.” Komentar ini
meluncur dari seorang informan sebuah penelitian Imam Setyobudi di Yogyakarta,
yang kemudian dibukukan: “Menari Di Antara Sawah Dan Kota; Ambiguitas Diri
Petani-petani Terakhir di Yogyakarta,”
Saya
punya satu petak sawah warisan seluas kurang lebih 1000 meter persegi. Setiap
tahun, tentunya di musim penghujan (musim menamam padi), saya menanam padi.
Hasilnya bisa memenuhi kebutuhan makan saya dan keluarga kecil saya dalam
setahun. Tanpa hasil tanam padi itu, jelas honor mengajar saya tidak bisa
mencukupi kebutuhan makan sepanjang tahun. Ambiguitas ini umum terjadi di
sekitar saya: teman-teman guru (baik yang honorer maupun pegawai negeri),
karyawan-karyawan pabrik, pegawai pemerintahan yang masih tinggal di pedesaan,
termasuk pejabat-pejabat kelurahan, berwajah sama ganda seperti ini.
Lebih
nyata lagi fakta ini terlihat di kalangan pedagang kecil, buruh bangunan dan
buruh jasa angkutan: ojek, becak dan sopir angkot. Umumnya semua profesi
masyarakat pedesaan, tanpa kegiatan bertani tahunan akan selaras dengan kalimat
terakhir informan di atas: “Kalau cuman menggantungkan dari pegawai nggak cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”
Ambiguitas
ini tidak hanya berkaitan dengan urusan ekonomi. Ada hal lain, yaitu kultur.
Secara kultur ada ikatan batin yang mendalam. Sejak kecil seseorang sudah turun
ke sawah untuk membantu orang tuanya “rerendeng,” “ngarit,” “ngoyos,” “nandur,”
“macul,” “ngored,” “nggebod” dan lain sebagainya: banyak hal yang bisa
dilakukan di sawah, tidak hanya bekerja, bisa juga melakukan permainan.
Kegiatan-kegiatan yang tidak hanya “berdimensi” ekonomi, tapi juga pewarisan
karakter, budaya dan falsafah hidup.
Sehingga
ketika dewasa, profesi apapun yang dilakoni, tetap dia menjalani bertani sebagai
warisan budaya turun-temurun, meski bukan lagi sebagai pemenuhan kebutuhan
hidup. Hasilnya, tetap saja sangat membantu, baik bagi pemilik maupun bagi
masyarakat sekitar yang menjadi buruh di lahan pertanian tersebut.
Setelah
Jalan Itu Dibangun
Suatu
saat, sebagaimana terjadi di Yogyakarta --merujuk karya Imam Setyobudi di
atas-- dan kota-kota lain: petani, atau kegiatan bertani, atau lahan pertanian
itu terdesak oleh modal-modal besar yang mengalihfungsikan tanah pertanian
menjadi lahan-lahan industri lengkap dengan infrastrukturnya. Membeli secara
“sombong” dengan kekuatan modal yang dimiliki. Padahal sang pemilik tanah tidak
pernah berniat menjual tanahnya, karena secara turun-temurun, mereka mempunyai
ikatan kuat dengan tanah tersebut, baik secara kultur maupun secara ekonomi.
Tapi karena didesak, tidak ada pilihan selain meminta harga yang sesuai.
Ikatan
lahir dan batin petani dengan tanah, dicerai-beraikan oleh kekuatan-kekuatan di
luar dirinya: modal besar dan, memakai istilah Iwan Fals, oleh “sebuah
rencana.” Bukanlah kekuatan lokal, yang bisa membuat situasi “seragam” begini,
tapi pastilah kekuatan global atau multinasional. Mungkin yang orang sebut
sebagai kapitalisme. Kapitalisme yang sudah berhasil mengendalikan
kekuatan-kekuatan lokal menjadi “seirama dan harmonis” dengannya.
Di
Kelurahan Tegal Bunder, Kota Cilegon, telah diurug daerah pesawahan dan tegalan
untuk pembuatan jalan “lintas” menembus ke jalan utama Kelurahan Pabean. Dan,
Pemerintah Kelurahan Pabean juga kabarnya sedang “memproses” pekerjaan yang
sama: mengurug lahan untuk jalan, yang sebelumnya lahan ini menjadi lumbung
padi masyarakat, sepanjang 1 kilometer, lebar 10 meter.
Ada
beberapa persoalan yang jelas menghadang di depan mata setelah pengurugan lahan
pertanian ini. Pertama, diperkirakan 10 ton gabah kering yang biasa dihasilkan
dari lahan ini, mulai musim tahun ini dan seterusnya tidak lagi keluar dari
lahan ini. Itu artinya dua keluarahan tersebut kehilangan potensi pangan
sejumlah tersebut di atas. Sebagai gantinya masing-masing pemilik menggenggam
segepok uang puluhan juta, yang entah bisa atau tidak “usia” kebermanfatannya
sepanjang tanah yang mereka jual itu!
Akibat
lenyapnya 10 ton gabah dari dua kelurahan ini, maka terang saja harus ada stok
tambahan di Cilegon, setidaknya jumlahnya sesuai dengan jumlah lahan yang
hilang tahun ini. Saya melihat alih fungsi lahan pertanian terjadi di banyak
tempat di Kota Cilegon. Belum lagi menghitung peningkatan penduduk yang sangat
pesat karena peningkatannya tidak hanya dari kelahiran, tetapi dari migrasi
besar-besaran dari luar daerah dan luar negeri di Kota ini. Menjadi pekerjaan
rumah yang sangat serius bagi dinas terkait untuk menjamin keterediaan pangan,
karena jumlahnya bukan lagi 10 ton, mungkin ratusan sampai ribuan ton beras
harus didatangkan ke Kota ini.
Persoalan
kedua, profesi apa yang akan dijalani oleh “mantan pemilik tanah?” Dengan
segepok uang hasil tukaran dengan tanahnya, mungkin mereka bisa membuka usaha.
Apakah semua bisa melakukannya. Jawabnya tentu tidak. Beralih-profesi tidak
semudah alihfungsi lahannya. Butuh keahlian dan kemampuan khusus. Dan,
kemampuan serta keahlian khusus sangat butuh waktu dan proses panjang. Segepok
uang di tangan hasil tukar tanahnya, belum tentu cukup untuk melengkapi diri
dengan pengetahuan yang dibutuhkan “rencana” profesi barunya. Singkatnya,
alihfungsi lahan pertanian itu menjadi fungsi yang lain, tanpa jaminan
alih-profesi atau transformasi tenaga kerja dari pemerintah atau swasta
terkait, akan mengakibat masalah sosial yang besar. Tidak butuh waktu lama
untuk melihat akibat ini, karena berkaitan dengan perut dan persaingan untuk
mengisinya.
Transformasi
pekerjaan tentu akan terjadi, tapi sebagian kecil saja, tidak semua.
Bayangkanlah sebuah pyramid, bagian atas pyramid itu sajalah kiranya yang
menikmati “transformasi pekerjaan” dari keluarga petani ke profesi lain yang
mencukupi segala kebutuhan hidupnya tanpa bertani. Sisi bawah piramid tetap
harus mengolah tanah yang tersisa untuk bisa mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarga. Minimal ketika musim penghujan datang. Tidak ada pilihan, karena toh
pengelola Negara ini juga tidak menyediakan irigasi untuk mendukung kegiatan
bertani permanen.
Jelas
penghilangan lahan pertanian, atau lumbung padi masyarakat pedesaan, tanpa
disertai dengan transformasi tenaga kerja yang seimbang dan sepadan, terutama
yang berkaitan langsung dengan tanah yang hilang itu, akan mendatangkan masalah
baru, yaitu melahir orang miskin baru di masyarakat ini. Atau tepatnya
pemiskinan. Pemiskinan demi pemiskinan, diakui atau tidak, sedang dilakukan
dengan sangat gencar dan tak terbendung, oleh “pengemong” rakyat sendiri.
Industri
berat bertaraf internasioanl yang berjubel di Cilegon nyatanya tidak banyak
membantu menyejahterakan rakyat pedesaan. Karena transformasi tenaga kerja
tidak terjadi searah dengan pertumbuhan industri di kota ini. Tidak searah
masksudnya, “manusia Cilegon” yang ada di pedesaan tidak mengalami pertumbuhan
atau ditumbuhkan kemampuannya secara sistematis. Sementara, di sisi lain, penghilangan lahan
(ruang) bertani yang selama ini menghidupi terus direnggut oleh industri besar
itu.
Pihak
industry akan berdalil, mereka membutuhkan tenaga kerja yang professional. Itu
hak mereka. Tidak akan menjadi persoalan yang pelik jika pemerintah punya rencana
yang integral: tidak hanya membuka tangan terhadap kedatangan investasi asing,
namun juga mempersiapkan tenaga-tenaga siap pakai dengan kemampuan yang
dibutuhkan oleh industry yang bakal dibuka oleh investor itu. Dengan kuasanya,
seharusnya pemerintah punya daya tawar untuk memproteksi rakyatnya agar dijamin
masuk menjadi bagian industri yang dibangun di tanah Cilegon. Tentu setelah
dibekali kemampuan yang diperlukan.
Dengan
transformasi tenaga kerja atau sumber daya manusia, dari sawah ke pabrik-pabrik,
ke kantor-kantor jasa pelengkap, tidak ada masalah sekiranya semua lahan
pertanian di kota ini ditutup, digantikan dengan hamparan pabrik-pabrik lengkap
dengan infrastukturnya. Semua rakyat, tanpa kecuali, menghabiskan waktunya di
lahan yang baru hasil prestasi pemerintahnya: kawasan industri pabrik. Semua
rakyat terpebuhi kebutuhan hidupnya dari aktivitas industri. Itulah
“kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat” yang sejati.
Sederhananya,
kita bisa menjaga kesemibangan alam: seimbang antara yang kita ambil dengan
yang kita berikan. Begitu keseimbangan itu kita hilangkan, karena mengambil
tanpa memberi atau tanpa mengganti dengan yang sepadan, maka bencana sosial
kemanusiaan akan segera datang. Wallahu ‘Alam.[]
Guru
Honorer Madrasah, juga Petani Tadah Hujan