Rabu, 19 Januari 2011

YA RASULULLAH, APAKAH KAMU SENANG DENGAN CARA UMATMU MENCINTAIMU


by. ayatulloh marsai

S
aya baru saja pulang dari masjid, memberi materi bulanan kepada anggota RISMA Nurul Ikhlas Dukumalang. Pada kesempatan ini saya mengambil tema tentang muludan yang sedang ramai dilaksanakan oleh masyarakat Cilegon khususnya, dunia pada umumnya. Saya katakan bahwa kita jangan terjebak pada “cinta gincu” kepada rasul. Cinta kita harus berasa seperti garam pada sayur, tidak terlihat tapi sangat menyedapkan masakan yang kita makan. Inilah gambaran untuk kita yang menjadikan muludan ini tidak hanya sebagai acara seremonial belaka. Sehingga zikir mulud yang berisi puji salawat kepada Kanjeng Nabi bukan sebagi rayuan gombal kita kepada beliau, tetapi cinta kita terbukti dengan menjalankan perintahnya, anjurannya dan tauladannya dalam kehidupan kita sehari hari.

Dalam “upacara muludan” ini, sering kita dengar ada masalah dalam mempersiapkannya. Terutama ibu-ibu yang mempersiapkan berkat. Sampai tidak tidur, bahkan mungkin ada yang tidak sholat, ada yang marah-marah bermasalah dengan anggota keluarga karena tidak menjaga emosi, marah-marah dan seterusnya. Kalau ini terbukti masih saja terjadi pada masyarakat kita berarti, muludan kita belum berhasil.

Saya berani menjamin “ahli zikir mulud” tidak semuanya mengerti apa yang mereka teriakan, apa yang mereka kumandangkan. Yang pasti mereka tahu, kekompakan, suara sekeras-kerasnya, mengalahkan lawan zikir dan pulang dapat berkat.

Peringatan kelahiran nabi sudah menjadi budaya, tradisi atau upacara adat. Suatu kampong mengadakan muludan. Mereka mengunang tetangga kampung terdekat untuk zikir mulud. Sementara masyarakat yang mengadakan mulud menyediakan berkat untuk oleh-oleh pezikir pulang. Di dalam pelaksanaannya, peserta zikir yang berkelompok berdasarkan asal kampungnya masing-masing, dinilai oleh juri/tim pengawas. Yang menang dapat oleh-oleh lebih atau hadiah untuk kampungnya. Macamnya bervariasi dan tidak terikat. Yang sudah biasa: karbau, uang, lemari alat musik dst. Ada berupa pakaian yang tadinya tergantung di panjang-panjang. Semuanya diserahkan kepada kelompok, bukan perorangan. Di kampunya atau masyarakatnya nanti setelah beberapa hari oleh-oleh tadi di lelang kepada masyarakat setempat dengan harga relative murah. Uangnya diserahkan kepada kas masjid sebagian, sebagian lagi untuk kas kelompok zikir.

Masalah berkat. Masyarakat yang hajat mempersiapkannya. Bentuknya ada yang dinamakan panjang, ada yang biasa (nasi di bakul sama lauknya). Khas lauk yang mesti adalah telur ditusuk sama bambu yang sudah dibikin sedemikian rupa. Telur itu dihias dengan kertas hias. Yang berupa panjang, lebih berfariasi karena bisa saja didalamnya terdapat pakaian dan uang rupiah yang dipajang di panjang itu. Pakian macam-macam: sarung, kaos, pakaian anak-anak, dst.

Ada yang tidak kalah pentingnya adalah bentuk panjang. Bentuk panjang menggambarkan berbagai bentuk. Yang sudah biasa adalah bentuk masjid, perahu, kapal. Atau kalau saya inget tahun kemaren ada yang gambar ayam dan alat tebang kayu. Itu menggambarkan hidup, atau mata pencaharian yang mencari penghidupannya dari menjual ayam dan tukang tebang pohon. Sesudah sampai di masjid karya seni panjang itu seakan sia-sia, langsung dirusak diambil isinya untuk segera di bagikan kepada tamu undangan zikir.

Di Rumah, sebelum panjang sampai ke mesjid, ibu rumah tangga mengantarkan nasi kepada handai taulan kepada saudara terdekat yang beda Kampung. Disini jelas positif karena memberi tetangga. Sayangnya kebaikan ini, nantinya terkesan negative karena yang diberi berkat tadi merasa punya hutang atau keutangan. Artinya, kalau nanti kampungnya mengadakan muludan dia harus memberi balik kepada orang-orang yang pernah member. Memang tidak ada akad hutang-menghutangkan, tetapi merasa harus membalas kebaikan orang lain.

Dari uraian tradisi ini bisa dibayangkan capeknya bukan main mempersiapkan acara ini bagi yang mengadakan. Terutama di dapur. Ibu-ibu dan para gadis. Tidak jarang mereka sampai meninggalkan kewajiban salatnya. Bertengkar keluarga karena terlalu capek dan tidak bisa mengendalikan nafsu.

Ya Rasulullah apakah kamu senang dengan cara umatmu mencintaimu?

Dukumalang, 24 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar