“Waktu kecil, saya punya dua cita-cita. Pertama, saya pengen jadi kondektur. Saya lihat enak sekali jadi kondektur. Setiap pagi, ketika saya pergi sekolah naik bus, saya lihat kondektur memintai uang setiap penumpang, sehingga setiap saku baju dan celanya penuh dengan uang. Kalau besar nanti, saya mau jadi kondektur, supaya punya uang banyak.
Cita-cita saya yang kedua, pengen jadi guru. Waktu saya sekolah SD, setiap pagi menunggui guru datang untuk mengambil tas dan sepedahnya. Tasnya ditaruh di meja guru, sementara sepedahnya, ditaruh di tempat parkir. Dan itu saya lakukan dengan berebut antar sesama teman. Saya pengen jadi guru. Karena saya lihat betapa guru dijunjung tinggi oleh murid-muridnya.
Sekarang, sepedanya sudah tidak ada. Tapi, nilai-nilainya harus tetap bertahan. Guru dihormati, karena guru sayang kepada muridnya. Waktu saya lagi malas sekolah. Siangnya, Bu Guru saya langsung ke rumah. Dan bertanya, “kamu sakit ya?, istirahat yang cukup yah, mudah-mudahan besok sudah bisa sekolah”. Padahal saya tidak sakit, dan Bu Guru pasti tahu itu. Tapi, tidak mau menampakkan keadaan yang sebenarnya. Sehingga besoknya, saya mulai sekolah. Guruku sayang kepadaku”.
Kalimat panjang tersebut meluncur dari mulut Cendikiawan Muslim yang juga Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat, ketika memberikan sambutan pada acara Pengukuhan Guru PAI Profesional Propinsi Banten, di Kampus UIN Jakarta, tanggal 6 Januari 2010.
Saya terhanyut dengan pembicaraan beliau. Gaya bicaranya, kekuatan karakter dari setiap katanya. Beliau, selalu berangkat dari pengalaman pribadinya. Pengalaman pribadi yang disikapi dengan kepandaian mengambil hikmah terdalam, yang tidak hanya bisa diambil oleh dirinya sendiri, tetapi juga ampuh untuk orang lain.
Satu contoh lagi, sebagai bukti bahwa beliau sangat bijaksana mengambil perspektif dalam memandang suatu masalah; pada sambutan sebelumnya yang disampaikan oleh Direktur LPTK. Beliau bercerita tentang kesimpulan sebuah penelitaian di sebuah sekolah. Kesimpulan penelitian itu menyebutkan bahwa minat siswa terhadap pelajaran Agama Islam sagat rendah. Pertanyaan yang melahirkan kesimpulan itu adalah “ketika jam pelajaran apa anda merasa bosan dan malas”. Jawabannya, pelajaran Agama Islam.
Bagaimana Komarudin Hidayat memandang masalah itu? Belau bertanya kepada peserta pengukuhan, “Anda-anda sekalian inikan, dulunya murid juga. Nah, apakah anda ketika jadi murid dulu punya kesan bagus tentang belajar agama”. Peserta pengukuhan tidak menjawab ya atau tidak, malah gerr, semuanya tertawa. Sebagai tanda pengakuan hadirin, bahwa tidak ada kenangan indah dan menyenangkan ketika belajar agama dulu. “Ini artinya apa”, sambung Pak Rektor, “bahwa ini bukan masalah baru. Dari dulu memang pelajaran agama sudah tidak menyenangkan. Ini masalah yang harus diselesaikan oleh Guru Profesional bidang PAI yang sekarang. Jadi, kalau Guru Profesional itu harus bisa merubah wajah pelajaran agama menjadi manis dan banyak diminati oleh siswa”, pungkas beliau.
Sekarang, Pak Komar menyandang status Guru Besar di Universitas Islam Jakarta. Sebuah status yang patut dibanggakan oleh gurunya. Sebuah status yang dilejitkan oleh rasa kagum pada sosok guru.
Sampai disini, saya memandang pas pribahasa, Guru kencil berdiri, murid kencing berlari, untuk kita arahkan kepada arah positif. Sehingga menjadi, Guru mimpi berdiri, murid mimpi berlari. Bagaimana, kalau guru mimpi berlari? Muridnya akan mimpi terbang. Dan meraih cita-citanya di langit.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar