[Banten Raya Post, 27 Januari 2011
(Tanggapan Atas Tulisan Mohammad Sofiyan, “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang”)
Oleh Ayatulloh Marsai
Mohammad Sofiyan, dalam tulisannya “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang” (dimuat di Baraya Post dan Radar Banten, 15 Januari 2011), mengemukakan pergeseran nilai yang signifikan dalam hal rakyat menyampaikan aspirasinya. Menurutnya, ada perubahan pola menyampaikan aspirasi pada zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi ini. Pada masa orde lama dan orde baru, aspirasi disampaikan dengan turun ke jalan dengan pengerahan massa. Banyaknya massa menggambarkan banyaknya (besarnya) aspirasi tersebut. Sementara, pada orde reformasi aspirasi disampaikan dengan kreatif, baik secara verbal, tertulis hingga pelambangan atau simbol-simbol. Secara verbal biasanya aspirasi disampaikan dengan orasi oleh juru bicara massa demonstrasi. Secara tertulis, biasa dilakukan melalui pamphlet-pamplet yang dibagikan kepada pengguna jalan dan tulisan di media massa. Sementara pelambangan ---ini yang sedang trend, dilakukan dengan menggunakan media simbolisasi sesuai dengan aspirasi yang diusung. Misal, untuk mengatakan bahwa pemerintahan SBY lamban, demonstran mengajak seekor kerbau yang ditulis, “SBY”. Atau, seperti pada tulisan ‘Aspirasi Sebatang Pohon Pisang’ ini: untuk meminta perbaikan/pembangunan jalan digunakanlah pohon pisang, untuk menggambarkan bahwa kondisi jalan sudah tidak layak untuk kendaraan bahkan jalan kaki, lebih tepat dipergunakan kebon pisang.
Pergeseran nilai tersebut, lebih lanjut memperlihatkan penyampaian aspirasi tidak membutuhkan massa yang besar (banyak). Cukup dengan memasang tulisan-tulisan di karton, pamphlet-pamplet, hingga simbol-simbol di tempat umum, maka aspirasi dipastikan akan sampai pada sasaran demonstrasi. Hal ini pernah disampaikan oleh Asep Saeful Muhtadi, dalam kuliah jurnalistik tahun 1998, dimana aksi demonstrasi saat itu telah menumbangkan rezim orde baru. Dia berkomentar terhadap aksi demonstrasi yang sedang marak di hampir seluruh tanah air, “unjuk rasa sebetulnya tidak usah repot-repot turun ke jalan dengan massa yang banyak, cukup beberapa orang saja dengan konsep yang jelas. Tulis konsep-konsep itu di karton atau semacamnya. Lalu undang media untuk meliput unjuk rasa itu, selesai. Maka tuntutan akan sampai kepada sasaran.”
Tulisan ini mencoba mengisi ruang yang kosong dalam “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang”, yang tidak menempatkan media pada posisi signifikan. Padahal di era informasi ini, media massa menjadi kekuatan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Ketika media massa dikuasi oleh pemerintah, maka pemerintah akan kuat. Media massa dikuasi oleh parlemen, parlemen akan kuat. Begitu juga sebaliknya, kalau media berpihak pada rakyat dengan segudang aspirasinya, maka rakyat akan kuat.
Jadi, aspirasi sebantang pohon pisang, akan sampai ke telinga sasaran aspirasi tergantung pada media. Media yang berpihak pada kepentingan rakyat akan menguatkan aspirasi itu, tentu dengan tetap berpegang pada etika jurnalisme. Dengan begitu, “aspirasi sebatang pohon pisang”, tidak hanya akan didengar, lebih jauh akan terngiang untuk kemudian direspon oleh yang bersangkutan. Karena pemerintah merasa terus dikontrol oleh ‘media’ yang mengatasnamakan ‘massa’ ini.
Kenyataan serupa banyak terjadi di masyarakat, bervariasi bentuk aspirasi disampaikan, mulai dari membuang sampah di jalan, hingga menulis: “jalan ini akan diperbaiki dua hari lagi”, “tolong jalan ini segera di perbaiki pak!”, di jalan yang rusak itu. Tetapi, unjuk rasa itu luput dari pandangan media massa. Akibatnya, unjuk rasa itu tidak sampai pada sasarannya. Bayangkan, berapa aspirasi rakyat yang tidak sampai sasaran ketika media massa tidak meliputnya, entah karena tidak tahu, tidak konfermasi, atau karena kepentingan pada profit, kepentingan orang besar, dan isu-isu besar saja? Misalnya, protesnya petani terhadap kelangkaan pupuk, protesnya pedagang kecil terhadap menjamurnya waralaba, protesnya karyawan kecil, guru honor, protesnya tukang becak, tukang ojeg dan seterusnya.
Padahal media massa menjadi satu-satunya saluran aspirasi rakyat ketika aspirasi itu jauh, atau “tersumbat” pada jalur seharusnya. Termasuk kepada parlemen. Aspirasi rakyat banyak tidak digubris ketimbang keinginan partai politik .
Maka keberpihakan media massa kepada ‘massa’ (masyarakat) menjadi pilar untuk tegaknya demokrasi. Media yang berpihak kepada ‘massa’ akan mendampingi aspirasi rakyat, mengontrol jalannya pemerintahan pada satu sisi. Dan juga, tidak “menghasut” rakyat serta menjatuhkan pemerintah pada sisi yang lain dengan pemberitaan yang tidak terbukti kebenarannya.
Era informatika memfasilitasi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya lewat dunia maya. Menurut Ono Purbo (Filosofi Naif Kehidupan Dunia Cyber, Penerbit Republika, 2003), di dunia maya, dimana informasi dan pengetahuan bergerak dengan sangat cepat tidak mustahil kita akan kembali ke masa lalu, hukum tidak tertulis dan keimanan yang akan mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya umat manusia. Situs jejaring sosial yang paling popular sekarang ini adalah facebook. Pengguna jejaring ini bisa menuliskan apa saja pada status-nya, dari urusan pribadi (narsis), sosial, budaya, agama, pendidikan, politik, hingga urusan promosi produk usahanya. Termasuk di dalamnya aspirasi kepada pemerintah yang “dilempar” kepada masyarakat facebooker.
Dukungan publik di dunia maya pernah berhasil mengeluarkan Bibit Candra dari jerat hukum kejaksaan dan polri. Dukungan publik dunia maya juga telah terbukti berhasil membebaskan Pryta Mulyasari dari tuntutan sebuah rumah sakit internasional yang merasa tercoreng nama baiknya.
Sampai di sini, aspirasi sebatang pohon pisang bisa sampai kepada sasaran karena keberadaan media massa. Begitupun aspirasi unjuk rasa lainnya, baik kecil maupun besar, sangat tergantung kepada media massa. Karena media massa, satu pilar utama dalam demokrasi. Keberadaan media massa, corak, isi, hingga pilihan headline, menggambarkan kualitas demokrasi sebuah negara.
Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah.