Kamis, 27 Januari 2011

Aspirasi dan Media Massa

[Banten Raya Post, 27 Januari 2011

(Tanggapan Atas Tulisan Mohammad Sofiyan, “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang”)

Oleh Ayatulloh Marsai

Mohammad Sofiyan, dalam tulisannya “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang” (dimuat di Baraya Post dan Radar Banten, 15 Januari 2011), mengemukakan pergeseran nilai yang signifikan dalam hal rakyat menyampaikan aspirasinya. Menurutnya, ada perubahan pola menyampaikan aspirasi pada zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi ini. Pada masa orde lama dan orde baru, aspirasi disampaikan dengan turun ke jalan dengan pengerahan massa. Banyaknya massa menggambarkan banyaknya (besarnya) aspirasi tersebut. Sementara, pada orde reformasi  aspirasi disampaikan dengan kreatif, baik secara verbal, tertulis hingga pelambangan atau simbol-simbol. Secara verbal biasanya aspirasi disampaikan dengan orasi oleh juru bicara massa demonstrasi. Secara tertulis, biasa dilakukan melalui pamphlet-pamplet yang dibagikan kepada pengguna jalan dan tulisan di media massa. Sementara pelambangan ---ini yang sedang trend, dilakukan dengan menggunakan media simbolisasi sesuai dengan aspirasi yang diusung. Misal, untuk mengatakan bahwa pemerintahan SBY lamban, demonstran mengajak seekor kerbau yang ditulis, “SBY”. Atau, seperti pada tulisan ‘Aspirasi Sebatang Pohon Pisang’ ini: untuk meminta perbaikan/pembangunan jalan digunakanlah pohon pisang, untuk menggambarkan bahwa kondisi jalan sudah tidak layak untuk kendaraan bahkan jalan kaki, lebih tepat dipergunakan kebon pisang.

Pergeseran nilai tersebut, lebih lanjut memperlihatkan penyampaian aspirasi tidak membutuhkan massa yang besar (banyak). Cukup dengan memasang tulisan-tulisan di karton, pamphlet-pamplet, hingga simbol-simbol di tempat umum, maka aspirasi dipastikan akan sampai pada sasaran demonstrasi. Hal ini pernah disampaikan oleh Asep Saeful Muhtadi, dalam kuliah jurnalistik tahun 1998, dimana aksi demonstrasi  saat itu telah menumbangkan rezim orde baru. Dia berkomentar terhadap aksi demonstrasi yang sedang marak di hampir seluruh tanah air, “unjuk rasa sebetulnya tidak usah repot-repot turun ke jalan dengan massa yang banyak, cukup beberapa orang saja dengan konsep yang jelas. Tulis konsep-konsep itu di karton atau semacamnya. Lalu undang media untuk meliput unjuk rasa itu, selesai. Maka tuntutan akan sampai kepada sasaran.” 

Tulisan ini mencoba mengisi ruang yang kosong dalam “Aspirasi Sebatang Pohon Pisang”, yang tidak menempatkan media pada posisi signifikan. Padahal di era informasi ini, media massa menjadi kekuatan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Ketika media massa dikuasi oleh pemerintah, maka pemerintah akan kuat. Media massa dikuasi oleh parlemen, parlemen akan kuat. Begitu juga sebaliknya, kalau media berpihak pada rakyat dengan segudang aspirasinya, maka rakyat akan kuat.

Jadi, aspirasi sebantang pohon pisang, akan sampai ke telinga sasaran aspirasi tergantung pada media. Media yang berpihak pada kepentingan rakyat akan menguatkan aspirasi itu, tentu dengan tetap berpegang pada etika jurnalisme. Dengan begitu, “aspirasi sebatang pohon pisang”, tidak hanya akan didengar, lebih jauh akan terngiang untuk kemudian direspon oleh yang bersangkutan. Karena pemerintah merasa terus dikontrol oleh ‘media’ yang mengatasnamakan ‘massa’  ini.

Kenyataan serupa banyak terjadi di masyarakat, bervariasi bentuk aspirasi disampaikan, mulai dari membuang sampah di jalan, hingga menulis: “jalan ini akan diperbaiki dua hari lagi”, “tolong jalan ini segera di perbaiki pak!”,  di jalan yang rusak itu. Tetapi, unjuk rasa itu luput dari pandangan media massa. Akibatnya, unjuk rasa itu tidak sampai pada sasarannya. Bayangkan, berapa aspirasi rakyat yang tidak sampai sasaran ketika media massa tidak meliputnya, entah karena tidak tahu, tidak konfermasi, atau karena kepentingan pada profit, kepentingan orang besar, dan isu-isu besar saja? Misalnya, protesnya petani terhadap kelangkaan pupuk, protesnya pedagang kecil terhadap menjamurnya waralaba, protesnya karyawan kecil, guru honor, protesnya tukang becak, tukang ojeg dan seterusnya.  

Padahal media massa menjadi satu-satunya saluran aspirasi rakyat ketika aspirasi itu jauh, atau “tersumbat” pada jalur seharusnya. Termasuk kepada parlemen. Aspirasi rakyat banyak tidak digubris ketimbang keinginan partai politik .  

Maka keberpihakan media massa kepada ‘massa’ (masyarakat) menjadi pilar untuk tegaknya demokrasi. Media yang berpihak kepada ‘massa’ akan mendampingi aspirasi rakyat, mengontrol jalannya pemerintahan pada satu sisi. Dan juga, tidak “menghasut” rakyat serta menjatuhkan pemerintah pada sisi yang lain dengan pemberitaan yang tidak terbukti kebenarannya.

Era informatika memfasilitasi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya lewat dunia maya. Menurut Ono Purbo (Filosofi Naif Kehidupan Dunia Cyber, Penerbit Republika, 2003), di dunia maya, dimana informasi dan pengetahuan bergerak dengan sangat cepat tidak mustahil kita akan kembali ke masa lalu, hukum tidak tertulis dan keimanan yang akan mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya umat manusia. Situs jejaring sosial yang paling popular sekarang ini adalah facebook. Pengguna jejaring ini bisa menuliskan apa saja pada status-nya, dari urusan pribadi (narsis), sosial, budaya, agama, pendidikan, politik, hingga urusan promosi produk usahanya. Termasuk di dalamnya aspirasi kepada pemerintah yang “dilempar” kepada masyarakat facebooker.

Dukungan publik di dunia maya pernah berhasil mengeluarkan Bibit Candra dari jerat hukum kejaksaan dan polri.  Dukungan publik dunia maya juga telah terbukti berhasil membebaskan Pryta Mulyasari dari tuntutan sebuah rumah sakit internasional yang merasa tercoreng nama baiknya.

Sampai di sini, aspirasi sebatang pohon pisang bisa sampai kepada sasaran karena keberadaan media massa. Begitupun aspirasi unjuk rasa lainnya, baik kecil maupun besar, sangat tergantung kepada media massa. Karena media massa, satu pilar utama dalam demokrasi. Keberadaan media massa, corak, isi, hingga pilihan headline, menggambarkan kualitas demokrasi sebuah negara.

Penulis adalah Pengajar Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Al-Khairiyah Karangtengah.

Rabu, 19 Januari 2011

YA RASULULLAH, APAKAH KAMU SENANG DENGAN CARA UMATMU MENCINTAIMU


by. ayatulloh marsai

S
aya baru saja pulang dari masjid, memberi materi bulanan kepada anggota RISMA Nurul Ikhlas Dukumalang. Pada kesempatan ini saya mengambil tema tentang muludan yang sedang ramai dilaksanakan oleh masyarakat Cilegon khususnya, dunia pada umumnya. Saya katakan bahwa kita jangan terjebak pada “cinta gincu” kepada rasul. Cinta kita harus berasa seperti garam pada sayur, tidak terlihat tapi sangat menyedapkan masakan yang kita makan. Inilah gambaran untuk kita yang menjadikan muludan ini tidak hanya sebagai acara seremonial belaka. Sehingga zikir mulud yang berisi puji salawat kepada Kanjeng Nabi bukan sebagi rayuan gombal kita kepada beliau, tetapi cinta kita terbukti dengan menjalankan perintahnya, anjurannya dan tauladannya dalam kehidupan kita sehari hari.

Dalam “upacara muludan” ini, sering kita dengar ada masalah dalam mempersiapkannya. Terutama ibu-ibu yang mempersiapkan berkat. Sampai tidak tidur, bahkan mungkin ada yang tidak sholat, ada yang marah-marah bermasalah dengan anggota keluarga karena tidak menjaga emosi, marah-marah dan seterusnya. Kalau ini terbukti masih saja terjadi pada masyarakat kita berarti, muludan kita belum berhasil.

Saya berani menjamin “ahli zikir mulud” tidak semuanya mengerti apa yang mereka teriakan, apa yang mereka kumandangkan. Yang pasti mereka tahu, kekompakan, suara sekeras-kerasnya, mengalahkan lawan zikir dan pulang dapat berkat.

Peringatan kelahiran nabi sudah menjadi budaya, tradisi atau upacara adat. Suatu kampong mengadakan muludan. Mereka mengunang tetangga kampung terdekat untuk zikir mulud. Sementara masyarakat yang mengadakan mulud menyediakan berkat untuk oleh-oleh pezikir pulang. Di dalam pelaksanaannya, peserta zikir yang berkelompok berdasarkan asal kampungnya masing-masing, dinilai oleh juri/tim pengawas. Yang menang dapat oleh-oleh lebih atau hadiah untuk kampungnya. Macamnya bervariasi dan tidak terikat. Yang sudah biasa: karbau, uang, lemari alat musik dst. Ada berupa pakaian yang tadinya tergantung di panjang-panjang. Semuanya diserahkan kepada kelompok, bukan perorangan. Di kampunya atau masyarakatnya nanti setelah beberapa hari oleh-oleh tadi di lelang kepada masyarakat setempat dengan harga relative murah. Uangnya diserahkan kepada kas masjid sebagian, sebagian lagi untuk kas kelompok zikir.

Masalah berkat. Masyarakat yang hajat mempersiapkannya. Bentuknya ada yang dinamakan panjang, ada yang biasa (nasi di bakul sama lauknya). Khas lauk yang mesti adalah telur ditusuk sama bambu yang sudah dibikin sedemikian rupa. Telur itu dihias dengan kertas hias. Yang berupa panjang, lebih berfariasi karena bisa saja didalamnya terdapat pakaian dan uang rupiah yang dipajang di panjang itu. Pakian macam-macam: sarung, kaos, pakaian anak-anak, dst.

Ada yang tidak kalah pentingnya adalah bentuk panjang. Bentuk panjang menggambarkan berbagai bentuk. Yang sudah biasa adalah bentuk masjid, perahu, kapal. Atau kalau saya inget tahun kemaren ada yang gambar ayam dan alat tebang kayu. Itu menggambarkan hidup, atau mata pencaharian yang mencari penghidupannya dari menjual ayam dan tukang tebang pohon. Sesudah sampai di masjid karya seni panjang itu seakan sia-sia, langsung dirusak diambil isinya untuk segera di bagikan kepada tamu undangan zikir.

Di Rumah, sebelum panjang sampai ke mesjid, ibu rumah tangga mengantarkan nasi kepada handai taulan kepada saudara terdekat yang beda Kampung. Disini jelas positif karena memberi tetangga. Sayangnya kebaikan ini, nantinya terkesan negative karena yang diberi berkat tadi merasa punya hutang atau keutangan. Artinya, kalau nanti kampungnya mengadakan muludan dia harus memberi balik kepada orang-orang yang pernah member. Memang tidak ada akad hutang-menghutangkan, tetapi merasa harus membalas kebaikan orang lain.

Dari uraian tradisi ini bisa dibayangkan capeknya bukan main mempersiapkan acara ini bagi yang mengadakan. Terutama di dapur. Ibu-ibu dan para gadis. Tidak jarang mereka sampai meninggalkan kewajiban salatnya. Bertengkar keluarga karena terlalu capek dan tidak bisa mengendalikan nafsu.

Ya Rasulullah apakah kamu senang dengan cara umatmu mencintaimu?

Dukumalang, 24 Februari 2010

Senin, 17 Januari 2011

“Sekarang Saya Sudah Jadi Guru, Guru Besar. Karena Kekaguman Saya Kepada Guru”

Oleh: Ayatulloh, S. Hum

“Waktu kecil, saya punya dua cita-cita. Pertama, saya pengen jadi kondektur. Saya lihat enak sekali jadi kondektur. Setiap pagi, ketika saya pergi sekolah naik bus, saya lihat kondektur memintai uang setiap penumpang, sehingga setiap saku baju dan celanya penuh dengan uang. Kalau besar nanti, saya mau jadi kondektur, supaya punya uang banyak.

Cita-cita saya yang kedua, pengen jadi guru. Waktu saya sekolah SD, setiap pagi menunggui guru datang untuk mengambil tas dan sepedahnya. Tasnya ditaruh di meja guru, sementara sepedahnya, ditaruh di tempat parkir. Dan itu saya lakukan dengan berebut antar sesama teman. Saya pengen jadi guru. Karena saya lihat betapa guru dijunjung tinggi oleh murid-muridnya.

Sekarang, sepedanya sudah tidak ada. Tapi, nilai-nilainya harus tetap bertahan. Guru dihormati, karena guru sayang kepada muridnya. Waktu saya lagi malas sekolah. Siangnya, Bu Guru saya langsung ke rumah. Dan bertanya, “kamu sakit ya?, istirahat yang cukup yah, mudah-mudahan besok sudah bisa sekolah”. Padahal saya tidak sakit, dan Bu Guru pasti tahu itu. Tapi, tidak mau menampakkan keadaan yang sebenarnya. Sehingga besoknya, saya mulai sekolah. Guruku sayang kepadaku”.

Kalimat panjang tersebut meluncur dari mulut Cendikiawan Muslim yang juga Rektor UIN Jakarta, Komarudin Hidayat, ketika memberikan sambutan pada acara Pengukuhan Guru PAI Profesional Propinsi Banten, di Kampus UIN Jakarta, tanggal 6 Januari 2010.

Saya terhanyut dengan pembicaraan beliau. Gaya bicaranya, kekuatan karakter dari setiap katanya. Beliau, selalu berangkat dari pengalaman pribadinya. Pengalaman pribadi yang disikapi dengan kepandaian mengambil hikmah terdalam, yang tidak hanya bisa diambil oleh dirinya sendiri, tetapi juga ampuh untuk orang lain.

Satu contoh lagi, sebagai bukti bahwa beliau sangat bijaksana mengambil perspektif dalam memandang suatu masalah; pada sambutan sebelumnya yang disampaikan oleh Direktur LPTK. Beliau bercerita tentang kesimpulan sebuah penelitaian di sebuah sekolah. Kesimpulan penelitian itu menyebutkan bahwa minat siswa terhadap pelajaran Agama Islam sagat rendah. Pertanyaan yang melahirkan kesimpulan itu adalah “ketika jam pelajaran apa anda merasa bosan dan malas”. Jawabannya, pelajaran Agama Islam.

Bagaimana Komarudin Hidayat memandang masalah itu? Belau bertanya kepada peserta pengukuhan, “Anda-anda sekalian inikan, dulunya murid juga. Nah, apakah anda ketika jadi murid dulu punya kesan bagus tentang belajar agama”. Peserta pengukuhan tidak menjawab ya atau tidak, malah gerr, semuanya tertawa. Sebagai tanda pengakuan hadirin, bahwa tidak ada kenangan indah dan menyenangkan ketika belajar agama dulu. “Ini artinya apa”, sambung Pak Rektor, “bahwa ini bukan masalah baru. Dari dulu memang pelajaran agama sudah tidak menyenangkan. Ini masalah yang harus diselesaikan oleh Guru Profesional bidang PAI yang sekarang. Jadi, kalau Guru Profesional itu harus bisa merubah wajah pelajaran agama menjadi manis dan banyak diminati oleh siswa”, pungkas beliau.

Sekarang, Pak Komar menyandang status Guru Besar di Universitas Islam Jakarta. Sebuah status yang patut dibanggakan oleh gurunya. Sebuah status yang dilejitkan oleh rasa kagum pada sosok guru.

Sampai disini, saya memandang pas pribahasa, Guru kencil berdiri, murid kencing berlari, untuk kita arahkan kepada arah positif. Sehingga menjadi, Guru mimpi berdiri, murid mimpi berlari. Bagaimana, kalau guru mimpi berlari? Muridnya akan mimpi terbang. Dan meraih cita-citanya di langit.***

Minggu, 16 Januari 2011

PEMBICARA HEBAT SAMA DENGAN PENDENGAR HEBAT

Judul Buku
25 kiat dahsyat menjadi pembicara hebat

Tebal
120 hal

Penulis
Rob Abernathy dan markReardom

Penerbit
Penerbit kaifa PT Mizan Pustaka

Cetekan VI, 2004


Salah satu BUKU KOLEKSI PERPUSTAKAAN BAITUL HIKMAH ini, praktis, lezat dibaca kapanpun dan di manapun. Karena model penyajian materinya sangat singkat. Halaman demi halaman terdapat “tali pengikat makna”, baik kata-kata mutiara ataupun ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh besar. Sehingga pemahaman akan semakin kuat terbangun di benak siapa saja yang membaca buku ini.

Seperti anjuran dari penulis buku ini, Rob Abernathy dan Mark Reardon, bahwa anggap kiat-kiat yang ada di dalamnya sebuah alat. Ambil yang anda suka, gunakan sebagai modal untuk tampil di podium dengan sempurna. Salah satu alat (kiat) itu adalah Memuji, kiat nomor 16.

Di antara yang jarang nampak dari seorang pembicara kita adalah sikap mau mendengar dan memuji pembicaraan orang lain. Dan itu “haram” di lakukan oleh seorang pembicara hebat. Kenapa? Karena sikap pembicara itu akan segera kehilangan pendengar setianya. Lalu, buat apa terus bicara kalau ternyata tidak ada lagi orang yang mau mendengarkan.

Jadi, memuji lawan bicara, mendengar, harus di lakukan. Pada tahap ini penulis menyebutnya dengan “teknologi hati”. Bagaimana seorang pembicara masuk keranah perasaan merubah energi energi negatif menjadi energi positif: minder menjadi percaya diri, perasaan kecil menjadi besar dan seterusnya. Akhirnya, ikut membantu peningkatan keberanian mengambil resiko. Berani mengambil resiko adalah bagian dari ciri belajar sepanjang hayat.

Memuji, dapat menyemangati, memberikan kegembiraan dan mendorong keinginan belajar sepanjang hayat. Bertepuk tanganlah sambil berdiri, bersoraklah, acungkan ibu jari untuk mengakui prestasi seseorang atau kelompok.

Kapan kita memuji sama pentingnya dengan bahwa kita memuji. Pujilah peserta, siswa atau teman kita yang maju ke depan kelas (apabila dia tidak tahu pasti apa yang harus di lakukan di depan), ketika memberi wawasan mengagumkan. Pujilah hasil presentasi seseorang atau kelompok. Bahkan pujilah, karena seseorang telah mengikuti pembelajaran/ pelatihan.

Buku ini cocok untuk di baca siapapun. Terutama anda yang bergelut dengan bagaimana menyampaikan informasi atau pengetahuan kepada orang lain. Ataupun yang sedang belajar meraihnya. Terlebih, jika anda adalah presenter, guru, fasilitator, penceramah dan pembicara.

Selamat membaca!

Ayatulloh, S.Hum
Karangtengahsawah, 27 januari 2010

Sabtu, 15 Januari 2011

Saya Beruntung Menemukan "Menulis Mengurangi Stress"

by. ayatulloh marsai

23:26

Hari ini saya beruntung. Menemukan tulisan seorang yang saya kagumi kelihainnya menulis dan juga menyampaikan kuliah. Dia, Bapak Prof. Prof. Komarudian Hidayat, menulis di sindo on line, “Menulis Mengurangi Stress”. Dia menyampaikan bahwa masukan informasi kepada kita yang lumayan bikin pusing dan stress, akan mengganggu pikiran dan bisa mengakibatkan struk. Maka, seperti kita buang air besar, kita harus menumpahkan segala yang membuat kita sakit itu. Kotoran. Kita harus menuliskan segala kotoran yang menumpuk dalam pikiran kita. Agar kita sehat. Buang pada tempat yang sudah dipersiapkan, maka juga akan bermanfaat bagi yang lain. Memfungsikan lagi unsur alam yang hampir punah, agar kehidupan berlangsung wajar, tidak ada satu mendominasi yang lain.

Kotoran harus dibuang. Masukan informasi harus dikomunikasikan. Harta harus diambil sodakohnya. Baru bisa berjalan dengan wajar dan normal. Saya teringat pengalaman para penulis, banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh orang yang rutin menulis setiap hari. Fatimah Mernisi misalnya, merasa kulitnya semakin kencang dan awet muda. Komarudin Hidayat, berasumsi menulis bisa menangkal stress. Dan hasil penelitian Profesor Sian Beilock, dari University of Chicagho, menyebutkan bahwa menuliskan masalah-masalah yang dicemaskan, justru bisa mengurangi rasa cemas itu.

Saya Lagi Susah Nulis!

Jumat, 14 Januari 2011
23:08

by. ayatulloh marsai

Sekarang saya susah nulis. Beberapa hari ini saya tidak melahirkan apa-apa, sipa-siapa. Resah, tidak tenang. Padahal lagak saya seperti orang paling hebat dalam hal menulis. Sok memberikan motivasi kepada siapapun, terlebih kepada siswa-siswaku. Aku sendiri, ah payah!

Sebabnya mungkin terlalu terobsesi untuk menjadi terkenal, cepat punya buku. Sementara proses kreatif dilewatkan, tahapan-tahapan tidak dilakukan. Percuma. Padahal, menurut Afifah Afra, dalam …and the star is me, bahwa keinginan, atau mungkin visi adalah kata sifat, dan misinya merupakan kata kerja. Jadi visi atau keinginan tidak akan menjadi apapun selagi tidak diikuti dengan menempuh proses menuju visi tersebut. Dia mencontohkan, ibarat kita ingin ke Singapura, sementara kita tiduran di rumah, tidak membeli tiket, tidak ke bandara. Maka sudah bisa dipastikan bahwa kita tidak akan sampai ke Singapura. Inilah contoh kongkret untuk sebuah visi yang tidak diikuti oleh misi yang jelas.

Begitu pun hal menulis, ingin menjadi penulis (apapun), tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada langkah nyata. Harus ada langkah pertama. Kemudian diikuti dengan langkah kedua dan seterusnya. Langkah nyata itu adalah mulai menulis, kemudian menulis, dan terus menulis.

Kamis, 06 Januari 2011

Input-Output = Membaca-Menulis & Mencerahkan Umat

Oleh Ayatulloh Marsai

Sabtu, 01 Januari 2011
14:59

Teori input-output dalam membaca-menulis saya kenal lag-lagi dari guru saya Hernowo Hasyim. Dari catatan dia di facebook, judulnya “Belajar dari Tulisan Sendiri, karya Juli-Desember 2010”. Dia mengatakan: “semakin banyak pemasukan maka semakin banyak pengeluaran”. Dalam kegiatan berkarya, khususnya menulis, kalimat itu berarti: “semakin banyak membaca [tentu dalam pengertian yang luas], semakin mungkin untuk bisa banyak menulis”. Dengan kata lain, semakin menguatkan pendapat, bahwa kegiatan menulis tidak bisa dipisahkan dari membaca.

Hentakkan dalam diri saya juga kembali terjadi, ketika dia mengutip ayat dari surat al-alaq: iqra’ warabbukal aqram. Tentu ayat ini sudah berkali-kali saya baca, terutama ketika melaksanakan shalat subuh, tetapi yang menyadarkan saya tentang maknanya adalah rangkaian kata “sang pengikat makna”, Bapak Hernowo, bahwa dengan membaca sungguh-sungguh kita akan diberi kemuliaan oleh Allah.

Membaca, menurut Bapak Quraisy Shihab adalah proses menghimpun makna dari segala sesuatu yang ada di alam ini. Nah lo, sekarang, apa bedanya antara “input” dalam istilah Hernowo dengan “menghimpun makna” dalam istilah Pak Quraisy untuk menafsirkan “iqra” dalam surat al-alaq ini? Sama saja! Sama-sama mengambil pemahaman dari luar, baik tertulis maupun tidak tertulis, kemudian diambil manfaat dan maslahatnya untuk “rahmatan lil alamin”.

Nah, dalam tindakan lebih lanjut, setelah diamalkan, manfaat lebih luas bisa didapatkan lewat hasil pembacaan yang dituliskan, dibukukan dan dipublikasikan. Maka public (umat) bisa mengakses “produk pemahaman” atau “hasil pembacaan” kita. Maka dari proses tersebut sebetulnya sudah terjadi proses pencerahan terhadap umat. Atau dalam bahasa yang umum, sudah terjadi proses dakwah, atau mengajak kepada agama. Jadi, menuliskan hasil pembacaan, atau dalam bahasa Mas Hernowo, output, termasuk “dakwah” dalam bahasa agama. [ayatbanten].

Ki Qomar Mencerahkan Masyarakat Lewat Tiga Jalur Dakwah

Oleh Ayatulloh Marsai

Teori termashur tentang saluran dakwah Islam di Indonesia menggambarkan 5 saluran utama penyebaran Islam di Indonesia, yaitu perdagangan, perkawinan, seni budaya, pengajaran dan tasawuf. Dari 5 saluran utama ini, actornya bisa satu atau dua orang, tapi jarang sekali satu saluran satu orang. Ini menggambarkan penyebar-penyebar Islam mempunyai banyak talenta, kompetensi dan jiwa social yang tinggi.

Sebut saja namanya Ki Qomar, panggilan Kiai Qomarudin bin Rakta, seorang tokoh penyebar agama Islam di Cilegon Utara. Dia tokoh paling penting. Ini bisa dibuktikan lewat jaringan ilmu pengetahuan (istilahnya Azyumardi Azra) yang terbentuk sebagai hasil dari usahanya mengajarkan agama Islam, baik kepada santri, jawara, kiai sebaya, bahkan masyarakat umum. Melihat objek dakwah yang bervariasi, maka Ki Qomarpun menggunakan metode sesuai dengan objek dakwahnya. Kepada para santri dia menggunakan metode bandungan kitab kuning dan sorogan. Kepada jawara, ia sampaikan ajaran agama sambil berlatih ilmu kanuragan. Kepada masyarakat, cukup dengan “ngaji kuping”. Dalam metode ini, masyarakat hanya mendengarkan wasiat-wasiat dari Kiai. Metode ini, kalau kita lihat sekarang masih berlaku di banyaj masjlis-majlis ta’lim, tabligh akbar dan ceramah-ceramah agama. Terakhir, objek pengajaran agama Ki Qomar juga para kiai muda, sebaya bahkan lebih tua. Kepada mereka digunakan metode diskusi, tukar informasi masalah-masalah agama, sosial kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan.

Khusus untuk para jawara dan kiai pengajian diadakan pada hari Sabtu sampai malam minggu. Malam minggu dengan materi khusus ilmu kanuragan, mencakup ilmu batin bagi beberapa orang yang dianggap layak.

Jadi, Ki Qomar dalam menyampaikan ajaran agama tidak hanya lewat pengajaran di majlis-majlis, namun juga melalui seni beladiri atau kanuragan bahkan ilmu batin atau tasawuf. [ayatbanten publishing]