Senin, 01 Agustus 2011

Puasa dan Konsumeritas

1 August 2011
11:04
Oleh Ayatulloh Marsai 
Hari pertama puasa, saya ingin mencatat satu hal yang sejak setengah bulan lalu sedikit mengganggu pikiran dan perasaan. Catatan itu adalah naiknya harga-harga kebutuhan pokok (sembako). Benar saja, pada hari pertama puasa ini, ketika saya membolak-balik koran lokal hari ini (1/08/2011), ada lima berita tentang perkembangan harga kebutuhan pokok di pasar. Dua dianataranya jaminan dari pemerintah daerah bahwa pasokan beras dan gula aman, tidak akan mengalami kelangkaan sampai lebaran nanti. Lainnya tentang lonjakan harga sembako dan sayur di pasar-pasar tradisional wilayah Banten.
Kenaikan harga kebutuhan pokok (dan juga sandang sebetulnya) tidak hanya terjadi tahun ini. Setiap tahun menjelang puasa dan lebaran harga-harga sembako beranjak naik. Dalam rumus ekonomi, terjadinya kenaikan barang paling tidak disebabkan oleh dua kemungkinan: 1) meningkatnya permintaan. 2) langkanya pasokan barang.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan, dimana setiap tahunnya harga barang naik, diantara dua kemungkinan di atas, mana yang lebih mungkin sebagai biang keladi kenaikan barang di pasaran? Kesimpulan dari beberapa diskusi dengan teman-teman di “markas” bahwa penyebab kenaikan barang di pasaran menjelang bulan puasa dan lebaran adalah naiknya permintaan.  Kesimpulan ini kemudian penulis kaitkan dengan tujuan puasa itu sendiri, yakni takwa. Dalam pelaksanaannya, puasa menurut Hatta Rajasa mengandung beberapa hikmah, yaitu menahan hawa nafsu, berlaku sabar, meperkuat etos kerja, meningkatkan rasa syukur, disiplin, dan kesehatan jasmani (Radar Banten, 1 Agustus 2011).
Poin pertama hikmah puasa adalah menahan hawa nafsu, baik nafsu jasmaniyah maupun nafsu batiniyah. Dalam tulisan ini saya ingin menjadikan situasi harga-harga barang di pasar sebagai barometer keberhasilan puasa kita berkaitan dengan menahan hawa nafsu ini. Apakah puasa kita justru memperbesar nafsu kita untuk berencana makan enak, minum enak, dan berpakaian bagus? Atau peningkatan harga di pasar karena sebab lain? Setidaknya ada tiga sebab meningkatnya tingkat konsumsi muslim Indonesia ketika bulan puasa dan lebaran.
Syari’at
Syariat Islam pada bulan Ramadhan, disamping mewajibkan umat beriman untuk puasa, juga menganjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan. Disamping amal fi’liyah (perbuatan baik) juga maliyah (harta). Orang-orang kaya, yang diberi kelebihan rizki, biasanya terdorong untuk belanja lebih banyak dari biasanya, karena disamping untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga untuk berbagi dengan yang lain, mengeluarkan sedekahnya.
Dan, nanti pada akhir Ramadhan atau awal bulan Sawal, syariat juga mewajibkan masing-masing muslim, kecil maupun besar, laki-laki maupun perempuan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Pada sedekah maupun zakat fitrah, tentu mempengaruhi peningkatan permintaan barang (daya beli masyarakat) yang pada akhirnya mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran.


Tradisi
Tradisi yang saya maksud adalah sikap kolektif terhadap datangnya dan sepanjang bulan Ramadhan yang sudah turun-temurun diwarisi oleh masyarakat. Sepanjang bulan Ramadhan, di Banten khsususnya,  paling tidak ada empat tradisi yang berkembang di masyarakat, yakni tradisi pregpegan/kramasan (munggahan), kunutan/ngupat, maleman dan hataman. Tradisi pregpegan adalah aktifitas masyarakat satu hari menjelang puasa Ramadhan. Banyak hal dilakukan, bersih-bersih tempat tinggal, lingkungan, mesjid, badan dengan mencukur rambut dan diakhiri dengan keramas. Tidak ketinggalan pada hari ini juga masakan istimewa disiapkan. Kebiasaan membeli daging, motong ayam/bebek pun tidak bisa dilewatkan. Tidak kalah penting dicatat di sini, malam hari setelah shalat tarawih, masyarakat berduyun-duyun pergi ke mesjid atau pendopo dengan membawa nasi dan lauknya. Nasi dan lauk itu akan dibagikan lagi secara merata kepada jamaah yang hadir. Acara ini biasa disebut acara kirim du’a , karena sebelum nasi dan lauk tadi dibagi rata, pimpinan upacara membaca hadarah yang disambung dengan do’a untuk keselamatan semua orang, yang masih hidup ataupun yang meninggal.
Tradisi kunutan/ngupat adalah tradisi membuat ketupat oleh masyarakat pada hari ke-14 puasa atau malam ke-15, bulan Ramadhan. Seperti acara pregpegan, ketupat juga dibawa ke mesjid untuk dibagi rata pada jama’ah yang hadir setelah sebelumnya dibacakan hadarah dan do’a.
Tradisi maleman adalah pembacaan doa bersama pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan: 21, 23, 25, 27 dan 29. Artinya selama bulan Ramadhan dilaksnakan lima kali setiap tahunnya. Malam ganjil dipilih karena ada diantara penafsiran lailatulqodr akan turun pada malam-malam ganjil ini. Teknis pelaksanaanya sama dengan pregpegan dan kunutan. Yang membedakan acara maleman dengan yang lainnya menu yang dibawa ke mesjid hanya kue-kue ringan. Dalam perkembangannya sekarang lebih ringan lagi karena terdiri dari snack-snack yang tersedia di warung.
Terakhir tradisi khataman, yakni tradisi membaca hadarah dan doa bersama di masjid pada malam Idul Fitri. Menu sajian yang dibawa dan dibagi rata pada tradisi ini nasi, lauk dan sambelan. Berbeda dengan tradisi awal puasa dan pertengahan puasa, di sini bacaan ditambah dengan pembacaan surat-surat al-Qur’an pendek (At-Takasur sampai An-Nas).
Semua acara tersebut dilaksanakan secara serentak seluruh Indonesia, kecuali bagi daerah yang tidak memegang tradisi ini. Maka tradisi-tradisi pada bulan Ramadhan yang berkembang di Indonesia sangat signifikan dalam menentukan pasar, sembako khsususnya.
Pola Makan
Jadwal makan-minum pada bulan Ramadhan drastis berubah. Pada bulan yang lain makan dilakukan pada pagi, siang dan malam hari, sedangkan pada bulan Ramadhan makan dilakukan pada dini hari (makan sahur) dan sore menjelang malam (maghrib-buka puasa). Pada pelaksanaannya tidak hanya jadwal makannya yang berubah, ternyata sampai menu-nya pun menjadi tidak biasa (luar biasa). Ada banyak menu khas buka puasa di Indonesia, dari beragam kolak, ragam es campur, hingga santen roti. Semua menu itu hanya makanan pembuka, kemudian dilanjutkan dengan makan malam. Singkatnya, menu yang disediakan pada bulan Ramadhan diluar kebiasaan pada bulan yang lain.
Dari uraian di atas hanya satu yang mungkin terhindar dari kehawatiran berlebihan, yakni kebutuhan yang didorong oleh syari’at (sedekah dan zakat fitrah). Sedangkan yang dua terakhir, tradisi dan pola makan buka dan sahur, baiknya kita evaluasi ulang, apakah sejalan dengan semangat ibadah puasa yang menghendaki lahirnya manusia bertakwa, bisa mengendalikan hawa nafsu, sabar, etos kerja yang kuat, sederhana, syukur, disiplin, dan sehat? Ayo sempurnakan ibadah puasa Ramadhan kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar